KOMPAS, Senin, 1 Desember 2008
Setiap pukul 16.00, antrean nasabah bank sampah biasanya sudah panjang. Mereka bukannya menanti giliran menyetor uang seperti di bank pada umumnya, melainkan sampah yang mereka kumpulkan selama dua hari. Meski yang disetorkan wujudnya tidak sama, pengelolaan bank sampah mirip dengan bank pada umumnya.
Setiap nasabah datang dengan tiga kantong sampah berbeda. Kantong I berisi sampah plastik, kantong II sampah kertas, dan kantong III berupa kaleng dan botol. Ketika menimbang sampah, nasabah akan mendapat bukti setoran dari petugas teller. Bukti setoran itu menjadi dasar penghitungan nilai rupiah sampah, yang kemudian dicatat dalam buku tabungan. Untuk membedakan, warna buku tabungan tiap RT dibuat berbeda.
Setelah sampah terkumpul banyak, petugas bank menghubungi tukang rosok.
Harga sampah bervariasi bergantung pada klasifikasinya. Kertas karton dihargai Rp 2.000 per kg, kertas arsip Rp 1.500 per kg. Sedangkan plastik, botol, dan kaleng harganya menyesuaikan ukuran.
Tiap nasabah memiliki karung ukuran besar, yang tersimpan di bank untuk menyimpan seluruh sampah yang mereka tabung. Tiap karung diberi nama dan nomor rekening tiap nasabah. Tujuannya agar setiap tukang rongsok datang, petugas bank tidak kebingungan memilah tabungan sampah tiap nasabah. Karung- karung sampah itu tersimpan rapi di gudang bank.
Gemah Ripah
Bank Sampah Gemah Ripah, didirikan masyarakat Dusun Bandegan, Bantul, DI Yogyakarta, tiga bulan lalu. Kini jumlah nasabahnya 41 orang dari 12 RT di dusun tersebut. Pada tahap awal mereka masih membatasi diri untuk warga satu dusun, tetapi bila sudah memungkinkan nasabah tidak akan dibatasi asalnya.
Tidak semua sampah disetor ke tukang rosok. Sebagian di antaranya, yakni jenis plastik sachet dan gabus, diolah sendiri oleh bank sampah. ”Plastik sachet kami hargai Rp 15 per sachet, sementara gabus bergantung pada ukuran,” ujar Ismiyati, koordinator daur ulang sampah.
Plastik-plastik itu lalu diolah untuk membuat aneka aksesori rumah tangga, seperti tas, dompet, hingga rompi. Barang-barang tersebut dijual dengan harga Rp 20.000-Rp 35.000. ”Beberapa pembeli asing minta dikirim contoh barang. Kalau mereka setuju, pesanan yang kami terima akan menumpuk. Karenanya, stok bahan baku harus banyak. Kami sudah meminta warga untuk lebih aktif menabung sampah,” katanya.
Sampah jenis gabus biasanya dibuat menjadi pot bunga, tempat dudukan bendera, atau perlengkapan rumah tangga lainnya. Gabus-gabus itu dicampur dengan pasir dan semen. ”Produksi dari bahan gabus pesananannya masih lokal saja,” kata Ismiyanti
Menurut Panut Susanto, ketua pengelola bank sampah, sampah yang terkumpul tiap minggu mencapai 60-70 kg. Untuk sementara jam layanan bank dimulai pukul 16.00-21.00 tiap hari Senin-Rabu-Jumat. ”Kami baru bisa melayani pada sore hari karena sebagian besar petugas bank harus bekerja pada pagi hari,” katanya.
Belum maksimalnya kinerja petugas karena mereka mengelola bank sampah tanpa dibayar. Artinya, mereka harus tetap bekerja untuk membiayai kehidupan keseharian. ”Apa yang kami kerjakan sifatnya masih sosial. Jadi, kami memang tidak mengharapkan upah karena kondisi bank belum maksimal,” katanya.
Bank sampah memotong dana 15 persen dari nilai sampah yang disetor nasabah. Dana itu digunakan untuk membiayai kegiatan operasional, seperti fotokopi, pembuatan buku tabungan, dan biaya lainnya. ”Selama ini tidak ada nasabah yang keberatan. Kami harus melakukan pemotongan karena bank ini memang dikelola bersama-sama,” katanya.
Berbeda dengan bank tempat nasabah bisa mengambil dana setiap saat, di bank sampah nasabah hanya bisa menarik dana setiap tiga bulan sekali. Tujuannya agar dana yang terkumpul bisa lebih banyak sehingga uang tersebut dimanfaatkan sebagai modal kerja atau keperluan yang bersifat produktif.
”Kalau dibebaskan, mereka bisa konsumtif. Baru terkumpul Rp 20.000-Rp 30.000 sudah tergiur untuk mengambil. Karena hanya tiga bulan sekali, mereka bisa menarik dana sampai Rp 100.000-Rp 200.000 bergantung pada banyaknya sampah yang ditabung,” kata Bambang Suwirda, penggagas bank sampah.
Tersimpan
Menurut Bambang, dana kelolaan yang saat ini tersimpan tinggal Rp 500.000. Sebagian besar nasabah sudah mengambil saat Lebaran lalu. Untuk sementara, dana nasabah disimpan sendiri oleh pengelola bank. Ke depan, pengelola akan menjalin kerja sama dengan Bank Bantul untuk menyimpan dana nasabah.
Para pengelola bank juga bertekad memperluas operasional bank agar tidak terbatas pada penyimpanan, tetapi juga peminjaman. ”Dalam konsep bank sampah, barang jaminan mungkin berupa sampah juga,” katanya.
Fokus sampah yang dikumpulkan saat ini masih sebatas sampah anorganik. Ke depan, sampah organik juga akan diterima, yang selanjutnya diolah menjadi pupuk kompos.
Bagi para nasabah, keberadaan bank sangat membantu. Mereka bisa mendapat penghasilan tambahan sekaligus kebersihan lingkungan sekitar terjaga. ”Lumayanlah tiap bulan ada pemasukan tambahan. Hitung-hitung buat nambah dana belanja dapur,” kata Sutiyani, warga setempat.
Bila gerakan bank sampah bisa meluas ke berbagai desa, masalah sampah bisa tertangani. Tak hanya itu, perekonomian masyarakat juga ikut membaik sehingga angka kemiskinan bisa ditekan.
Di Bantul, produksi sampah per hari mencapai 614 meter kubik. Sayangnya, pemerintah daerah setempat belum berpikiran ke arah itu. (ENY PRIHTIYANI)
Film Sharkwater Extinction
4 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar