Selasa, 05 Mei 2009

FAUNA - Singa Kawin di Tsavo Resto

KOMPAS, Selasa, 5 Mei 2009 04:49 WIB
Entah bagaimana caranya, tercatat sudah 135 pekerja rel kereta api Kenya-Uganda Railway itu satu-satu tewas berantakan dibunuh singa buas telengas Afrika. Baru pada Desember 1898, Letkol John Henry Patterson selama dua mingguan berhasil menembak mati kedua satwa pembunuh, si Ghost dan sang Darkness, karena kedua singa jantan besar tersebut muncul dan hilang macam setan dan roh kegelapan di perkemahan karyawan di tepian kali Tsavo di Kenya.


Kisah nyata singa Tsavo begitu tenar karena pemegang rekor pembunuhan pekerja rel asal India dan penduduk lokal sejumlah 135 jiwa, hingga diabadikan sebagai novel kisah nyata dan film Hollywood, The Ghost and the Darkness (1996). Kedua bangkai singa itu pun kini diabadikan menjadi singa opsetan di Museum Chicago Filed sejak tahun 1924.

Saking ternamanya kisah singa dari Tsavo yang maneaters alias pemakan manusia yang sudah 110-an tahun lalu, kini sejak tahun 2007, di Gianyar, Bali, pun ada Tsavo Lion Restaurant yang keren di dalam kompleks Bali Safari Marine Park (BSMP). Resto penyedia hidangan dapur Barat, memajang lima ekor singa hidup asal Afrika di sisi ruangan puluhan meja kursi, hanya berbatas kaca tebal pelindung agar keluarga singa buas itu tidak nyelonong ikut makan di dalam resto.

Unikum resto dengan hiasan lima ekor singa yang doyan daging segar memang dirancang dengan perhitungan keamanan, serta kadar hiburan dan pendidikan ”singanologi” bagi tamu penikmat hidangan makanan siang dan malam, serta meneguk minuman segar. ”Singa itu bukan keturunan Ghost dan Darkness, tetapi sama-sama asal Afrika. Penyantap dan tamu kami kebanyakan tertarik, karena selain makan enak juga ada pelajaran mengamati perilaku singa liar, hanya sebatas beberapa meter atau beberapa puluh sentimeter di hadapannya,” kata pimpinan BSMP, Hans Manansang (38), sambil menjelaskan perilaku hewan itu tengah April lalu.

”Di samping resto ada jantan Tata dengan keempat ekor harem betinanya. Nanti jangan terkejut kalau ke toilet pria, di sana kami lepas dengan aman singa jantan Kofi dekat jendela wastafel,” tutur Hans yang menjelaskan kehadiran kelompok singa itu paling tepat, karena hanya keluarga mamalia besar Afrika berintelegensia cukup tinggi, sehingga tidak akan agresif dan menabrak kaca tebal, melanggar pagar kawat beraliran listrik, atau berenang di kolam atau meloncati benteng pembatas berupa gunung-gunung batu.

Kawin 36 kali sehari

Kawanan singa (Panthera leo) di samping resto itu, menurut Hans, tidak jelas asal usulnya. Sebab, singa memang pribuminya Afrika yang dulu hidup menyebar hingga ke Asia Kecil sampai ke hutan Gir di India. Namun, beberapa jenis singa mulai hilang, terutama singa pemukim hutan dari Maroko sampai Mesir. Begitu pun nasib singa asal tanjung selatan Afrika, termasuk singa Persia yang sudah tidak ditemukan lagi sisa hidupannya di Iran dan Irak.

Sebagai pemuda yang besar dalam keluarga Taman Safari Indonesia, Hans menuturkan soal singa afrika terkenal macam singa masai (P l massaicus), singa senegal (P l senegalensis), singa angola (P l bleyenberghi) dan singa tranvaal (P l krugeri). ”Singa peliharaan kami kemungkinan besar asal beberapa taman nasional. Orangtua kami memperolehnya legal sejak 20-an tahun lalu, lalu dikembangbiakkan dan sebagian kami pelihara di Bali,” tutur Hans yang lulusan ilmu komputerisasi Amerika Serikat.

Entah minta makan atau lagi gembira, Tata yang berpoligami empat betina tiba-tiba mengaum keras dan keras sekali. Wajah sangarnya agak mendongak dan kelihatan kokoh lehernya yang penuh bulu kuduk gondrong. Suara auman yang meraung dan menderam campur dengungan bergeletar, sungguh dahsyat menyeramkan.

Di antara mamalia ”kucing besar”(big cats), singa satu-satunya yang punya suara auman keras. Menurut penelitian, auman singa bisa terdengar sejauh 8 kilometer, sebagai tanda penguasaan teritorial, tantangan bagi musuh, atau panggilan kangen berahi bagi betinanya.

”Kalau ada singa betina berahi, si Tata terus mendekati dan ngawinin betinanya. Kami pernah catat, seharian dari pagi sampai pukul 21.00, Tata mampu kawin atau kopulasi betinanya sampai 36 kali, ya 36 kali dalam tempo 12 jam,” ujar Hans sambil mengisahkan singa koleksi resto sudah punya dua anakan, juga Tata sudah membuntingi betina lainnya.

”Aumannya bikin tamu kaget tapi senang. Juga kalau Tata kawin di balik kaca tanpa tedeng aling-aling, tamu ada yang malu-malu tapi ada yang heran melihat singa betina mengaum-aum kalau sudah klimaks kawinnya,” ujarnya.

Secara umum, perilaku singa dalam penangkaran mengalami perubahan. Paling tidak, menurut Hans, naluri membunuh mangsa tidak seganas di alam asli. Namun, perilaku sosial kawanan singa yang rata-rata makan sekitar 4 kilogram daging per hari masih tetap guyub berkumpul dan dikepalai singa betina utama, tentu dengan pejantan utamanya yang kepala kelompok dan singa residen yang mempertahankan teritorial dan keluarganya.

Diperhitungkan masa bunting singa sekitar 105 hari, jadi tidak lama akan lahir anakan singa baru, hasil perkawinan Tata yang terang-terangan ditonton Hans Manansang bersama tamunya. Singa liar di samping Resto Tsavo memang singa unik. Sebab, menjadi obyek studi pemerhati amatiran ”singanologi”, atau penonton adegan singa kawin yang mengeluarkan suara puasnya, aum! (RUDY BADIL, Wartawan Senior di Jakarta)

Tidak ada komentar: