Selasa, 05 Mei 2009

Jabar Selatan dan Mitos Lingkungan

KOMPAS, Selasa, 5 Mei 2009 03:27 WIB
Oleh Dedi Muhtadi, Agustinus Handoko, dan Bayu Dwi Radius

Mengapa pembangunan tak merata ke selatan Jawa Barat? Padahal, ketimpangan pembangunan antara wilayah utara dan wilayah selatan Jabar telah menciptakan berbagai kesenjangan. Dengan infrastruktur yang lemah, kegiatan ekonomi Jabar selatan seperti kerakap di atas batu. Derivasinya berupa kemiskinan, keterisolasian, dan ketidakberdayaan seolah melekat pada kehidupan warganya.


Berpuluh-puluh tahun pikiran para elite dan penentu kebijakan terbelenggu oleh angka- angka versi lingkungan bahwa 60 persen wilayah di Jabar bagian selatan merupakan kawasan lindung. Memang sebagian besar wilayah ini terdiri atas kawasan hutan hujan tropis. Di wilayah ini terdapat 20 kawasan hulu daerah aliran sungai, termasuk Sungai Citarum yang memasok waduk Pusat Listrik Tenaga Air Saguling, Cirata, dan Jatiluhur. Ketiga waduk ini merupakan pemasok listrik interkoneksi Jawa-Bali.

Angka-angka itu kemudian menjadi mitos bahwa kawasan Jabar selatan tidak boleh dieksploitasi atau hati-hati kalau membuka wilayah selatan.

”Lalu, kelestarian lingkungan Jabar selatan untuk siapa? Terlebih lagi fakta di lapangan menunjukkan 70 persen dari kawasan lindung itu kini sudah dikuasai masyarakat (swasta),” ungkap anggota Dewan Pemerhati Kelestarian Lingkungan Tatar Sunda, Sobirin, dalam sarasehan tentang Jabar selatan di Grha Kompas-Gramedia Bandung, akhir Maret lalu.

Karena itu, nasib Jabar selatan berbeda dengan utara yang sejarah pertaniannya dimulai semasa serangan Kerajaan Mataram ke Batavia tahun 1600-an. Kala Jabar selatan masih hutan belantara yang bergunung-gunung (virgin forest), daerah hutan rawa di bagian utara sudah dibuka menjadi petak-petak sawah. Strategi Kerajaan Mataram itu dimaksudkan menjadikan wilayah utara sebagai basis logistik penunjang aktivitas militer untuk menyerang Batavia.

Belanda melanjutkan strategi pertahanan pangan rintisan Mataram itu tahun 1700-an pada wilayah Jabar bagian tengah. Antropolog dari Universitas Padjadjaran Bandung, Prof Kusnaka Adimiharja, mengatakan, Belanda mendatangkan orang-orang dari Tegal untuk membuka lahan pertanian baru di Jawa Barat. Strategi yang diterapkan Belanda itu mampu menjadikan Jawa Barat sebagai ”tanah harapan” yang akhirnya mengundang banyak orang untuk datang.

Dalam bukunya, The History of Java, Thomas Stamford Raffles yang pernah menjadi gubernur jenderal di Jawa menyebutkan, pada tahun 1813, tercatat luas tanah sawah di Cianjur (Jabar tengah) mencapai 5.179 jungs (1 jung > 674/121 are Inggris) dan tanah ladang 1.241 jungs dengan hasil padi sebanyak 22.898 ikat.

Padahal, di Karawang (utara), luas tanah sawah saat itu mencapai 8.887 jungs dan luas tanah ladang 537 jungs. Di Subang, luas tanah sawah mencapai 9.889 jungs dan luas tanah ladang 4.057 jungs. Wilayah utara Jawa didukung oleh infrastruktur pelabuhan, sementara di bagian tengah dan selatan tidak.

Pemerintah Hindia Belanda amat serius memberikan perhatian terhadap kawasan utara Jawa karena melihat potensi ekonominya tinggi. Misalnya, tahun 1858, atas persetujuan parlemen, Pemerintah Hindia Belanda membangun 19 pelabuhan di Jawa. Dari 19 pelabuhan itu, hanya satu pelabuhan yang boleh dibangun di wilayah selatan Jawa, yakni di Cilacap.

Lintas selatan

Dengan alasan lingkungan, Belanda hanya membuka wilayah selatan dengan perkebunan yang tidak merakyat karena dikelola segelintir pengusaha. ”Dosa” sejarah itu terus berlangsung hingga berpuluh tahun sesudah merdeka. Akibatnya, Jabar selatan terus terisolasi karena lemahnya pembangunan infrastruktur. Aktivitas ekonomi lemah dan laju pertumbuhan ekonomi jauh lebih rendah dibandingkan utara.

Laju pertumbuhan ekonomi (LPE) di wilayah selatan Jabar tahun 2003, misalnya, hanya 3,87 persen dan tahun 2004 hanya meningkat menjadi 4,21 persen. Sementara itu, di bagian utara Jabar, LPE tahun 2003 mencapai 4,38 persen dan tahun berikutnya naik menjadi 5,08 persen.

Kepala Subbidang Tata Ruang dan Lingkungan Hidup Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Jawa Barat Eko Priastono mengatakan, penyebab utama rendahnya aktivitas ekonomi di bagian selatan Jabar adalah infrastruktur yang tidak memadai.

Kepala Seksi Data Informasi dan Leger Jalan Dinas Bina Marga Jabar Lucky R Sumanang mengatakan, dari jalan lintas Jabar sepanjang 420 kilometer dari Kabupaten Ciamis hingga Kabupaten Sukabumi, 48 kilometer di antaranya dalam kondisi rusak. Kerusakan terparah ada di antara Cianjur dan Sukabumi karena jalan itu belum pernah diaspal sama sekali.

Buruknya infrastruktur juga menyebabkan potensi perikanan tidak tergarap maksimal. Sebagai perbandingan, tahun 2008 hasil tangkapan laut di Indramayu (utara) mencapai 95.631 ton, sedangkan Cianjur (selatan) hanya 99,35 ton. Menurut Kepala Biro Budidaya Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia Daerah Jabar Muhamad Husen, dari 30 pangkalan pendaratan ikan di selatan, 20 di antaranya tidak berfungsi maksimal karena infrastruktur yang tak memadai.

Untuk menyeimbangkan laju pertumbuhan ekonomi di Jabar yang ditopang oleh pertanian, peningkatan jalan lintas selatan (JLS) kemudian digagas menjadi solusinya.

Kendati memiliki nilai strategis terhadap pengembangan ekonomi di Jabar bagian selatan, pengembangan JLS tentunya harus melibatkan warga. Tanpa pemberdayaan masyarakat, JLS hanya akan menjadi sarana eksploitasi kekayaan alam di Jabar selatan.

Idealnya, pengembangan selatan harus melingkupi 3F, yakni for people, for planet atau lingkungan, dan for prosperity atau kesejahteraan.

Tidak ada komentar: