Kamis, 14 Mei 2009

Hemat Energi, Mulailah dari Menu di Piring - Kompas, Rabu, 11 Juni 08

YOGYAKARTA - Ada sisi penghematan energi yang enggan dilihat orang, yakni menu makanan di piring. Kegemaran makan daging, kalau dirunut ke belakang, banyak menyumbang kerusakan lingkungan. Sebab, pemakaian energi untuk menghasilkan daging sangat besar.


"Produksi daging melibatkan indutri yang tidak mudah diajak memahami masalah energi dan lingkungan," kata Prasasto Satwiko, Koordinator Bidang Teknologi Pusat Studi Energi Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY), dalam Seminar Energi di UAJY, Rabu (11/6).

Ia memaparkan, laporan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) menyebut industri daging, telur, dan produk hewani melepas gas 60 persen gas N2O (nitrogen) yang berbahaya di bumi. Peternakan menjadi sumber terbesar gas metana (sekitar 40 persen) yang juga berbahaya.

Pemakaian energi untuk menghasilkan sepotong daging amatlah besar. Prosesnya dimulai dari menanam tanaman sebagai pakan ternak. Lantas ke urusan transportasi, pengolahan, operasional peternakan, penjagalan, pemrosesan pabrik, hingga pendinginan.

Setiap tahap, setidaknya menimbulkan polusi dan gas rumah kaca. Sebagai ilustrasi, dibutuhkan 16 pon bijian untuk menghasilkan satu pon daging. Seorang pemakan daging melepas gas CO2 lebih banyak ketimbang mereka yang tidak mengonsumsi daging. "Orang Indonesia beranggapan kalau kurang makan daging maka tubuh jadi lemas. Itu keliru karena tak ada teori yang membuktikan," katanya.

Di Indonesia, kalau orang tidak makan daging lantas dianggap tidak keren. Padahal daging sumber penyakit. Di luar negeri, tren penyakit bisa berkurang karena kaum vegetarian semakin bertambah.
(http://icarecatsanddogs.multiply.com/journal/item/99)

Readmore »»

Rabu, 06 Mei 2009

Hutan Gambut Riau Mesti Diselamatkan

KOMPAS, Rabu, 6 Mei 2009 03:57 WIB
Pekanbaru - Seiring kerusakan hutan alam kering, hutan gambut di Riau yang memiliki luas terbesar di Pulau Sumatera masuk dalam kondisi benar-benar terancam. Berdasarkan penelitian WWF, selama periode 2002-2007, Provinsi Riau rata-rata kehilangan 135.438 hektar hutan gambut per tahun, atau dalam kurun lima tahun saja kerusakan hutan gambut Riau mencapai 677.190 hektar atau 19 persen dari total hutan alam yang tersisa pada tahun 2002.


Demikian salah satu hal yang mengemuka dalam Workshop Penyusunan Strategi Pengelolaan Bersama Ekosistem Hutan Rawa Gambut Semenanjung Kampar, yang berlangsung di Pekanbaru, Selasa (5/5).

Kerusakan hutan gambut Riau diakui oleh Gubernur Riau Rusli Zainal. Dalam sambutan tertulis Gubernur Riau yang disampaikan Asisten III Pemprov Riau Ramli Walid, dalam kurun 12 tahun terakhir telah terjadi penyusutan karbon yang tersimpan di hutan gambut Riau sebesar 2.246 juta ton.

”Semua itu disebabkan oleh ulah manusia, terutama karena alih fungsi lahan, penebangan hutan, dan kebakaran di lahan gambut. Pada Maret 2008, Riau sudah membuat MOU (nota kesepahaman) dengan Menteri Negara Lingkungan Hidup untuk menyelamatkan gambut yang ditandatangani tujuh bupati dan wali kota di Riau. Mungkin hal itu terlambat. Namun, lebih baik terlambat daripada kita tidak berbuat sama sekali,” ujar Ramli.

Muslim dari Badan Lingkungan Hidup Riau mengungkapkan, penyusutan cadangan karbon Riau sebesar 2,42 juta ton selama kurun 12 tahun itu mencapai 57,4 persen dari total kehilangan karbon di Pulau Sumatera. Riau memiliki 4 juta hektar gambut atau 20 persen dari total lahan gambut nasional.

Untuk menyelamatkan salah satu aset gambut Riau, Pemerintah Provinsi Riau bersama Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau, Walhi, WWF, dan segenap unsur lembaga pemerhati lingkungan hidup di Riau sepakat untuk menjaga hutan gambut terbesar di Semenanjung Kampar. Blok Semenanjung Kampar merupakan salah satu blok hutan gambut yang tersisa.

Readmore »»

Masalah Sampah Juga Tanggung Jawab Warga

KOMPAS, Rabu, 6 Mei 2009 04:05 WIB
Jakarta - Volume produksi sampah di Jakarta melebihi kemampuan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk mengolahnya. Untuk itu, memang sangat diperlukan partisipasi warga agar masalah sampah tuntas tertangani.


”Perilaku warga, seperti kebiasaan membuang sampah di sungai, masih sulit diubah. Namun, berbagai program terus dilaksanakan oleh pemerintah demi mengatasi masalah sampah, seperti didirikannya rumah kompos dan menggalakkan pembuatan lubang biopori,” kata Wali Kota Jakarta Pusat Sylviana Murni, Selasa (5/5).

Namun, belum semua warga menyadari bahwa sampah bisa diolah dan bernilai ekonomi tinggi. Kepala Suku Dinas Kebersihan Jakarta Pusat Syamsudin sering menemukan bungkusan-bungkusan berisi sampah yang sengaja diletakkan di sekitar tempat pembuangan sampah sementara (TPS), bukan di dalam bak atau kontainer yang telah disediakan. Akibatnya, sampah pun selalu berceceran.

Paul L Coutrier, Ketua Ikatan Profesional Lingkungan Hidup Indonesia, berpendapat tidak mungkin melenyapkan semua sampah yang ada di masyarakat. Alasannya, produksi sampah bertambah menurut deret ukur, sedangkan upaya mengurangi sampah bertambah menurut deret hitung.

”Cara terbaik mengatasi masalah sampah adalah menciptakan sistem edukasi yang tepat bagi masyarakat. Selama ini pemerintah lalai membina masyarakat untuk menjaga kebersihan di lingkungannya. Padahal, masyarakat tidak akan tertib jika tidak dipaksa. Kesadaran masyarakat baru muncul jika berkaitan dengan kepentingannya,” kata Coutrier.

Seharusnya pemerintah terus- menerus menanamkan pola pikir kepada masyarakat bahwa mengurangi sampah jauh lebih baik dan murah daripada memusnahkan sampah. Ada banyak cara mengurangi sampah, seperti hanya makan secukupnya sehingga tidak ada makanan sisa. Kemudian memisahkan sampah kering dan sampah basah serta bagaimana mengelola sampah. ”Sering kali masyarakat memasukkan sampah basah ke dalam kantong plastik. Padahal, ini berarti menghalangi kerja organik pengurai sampah,” ujar Coutrier.

Kurang orang dan dana

Meskipun sebagian masyarakat memang kurang peduli terhadap masalah sampah, pemerintah di tingkat provinsi maupun kota juga mengakui banyak kekurangan dalam realisasi pengelolaan sampah Jakarta.

Di Jakarta Pusat, misalnya, hanya terdapat 150 armada truk dengan 384 petugas berstatus pegawai negeri sipil dan tambahan 600 petugas dari pihak swasta yang bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi DKI. Namun, rata-rata petugas tambahan dipekerjakan sebagai penyapu jalan.

Sesuai ketentuan yang berlaku, idealnya, setiap truk diawaki empat anggota kru, termasuk sopir. Kini, rata-rata awak truk hanya dua-tiga orang.

”Setiap truk, sesuai ketentuan terkait pengelolaan sampah, mendapat dana 30-35 liter bahan bakar untuk satu trip pulang pergi dari TPS ke pembuangan akhir,” kata Syamsudin.

Paiman, salah seorang operator truk sampah yang ditemui di kawasan Kebayoran Baru, mengatakan, dana untuk pembelian 30-an liter bahan bakar itu sangat tidak mencukupi, apalagi dengan kondisi armada yang relatif sudah tua dan rute memutar karena truk sampah tidak boleh melalui jalan utama.

Hal itu tentu saja membuat langkah petugas kebersihan dalam menangani sampah tidak efektif.

Readmore »»

Selasa, 05 Mei 2009

Walhi Desak Penerapan RTH

30 Persen Wilayah Palembang Harus Jadi Ruang Terbuka Hijau
KOMPAS, Selasa, 5 Mei 2009 03:10 WIB

Palembang - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Sumatera Selatan mendesak Pemerintah Kota Palembang segera mewujudkan ruang terbuka hijau seluas 30 persen dari luas wilayah. Hal itu telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.


Manajer Pengembangan Sumber Daya Organisasi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumsel Hadi Jatmiko hari Senin (4/5) mengatakan, dalam undang-undang (UU) itu juga diatur bahwa proporsi ruang terbuka hijau (RTH) untuk publik pada wilayah kota paling sedikit seluas 20 persen.

Hadi Jatmiko mengutarakan, RTH adalah wilayah perkotaan yang diisi dengan tumbuhan, tanaman, dan vegetasi. Ruang terbuka tersebut memiliki manfaat secara ekologis, sosial, dan estetika.

Menurut Hadi, Walhi Sumsel akan melakukan gugatan terhadap Pemkot Palembang jika tidak mewujudkan RTH seluas 30 persen dari luas wilayah. Jika Pemkot Palembang tidak merealisasikan RTH tersebut, Pemkot Palembang telah melanggar undang-undang.

Hadi mengatakan, Pemkot Palembang harus berkomitmen menjaga dan merawat RTH agar manfaat dan fungsinya dapat dinikmati oleh masyarakat.

Kurangi emisi

Hadi menambahkan, Walhi Sumsel mengapresiasi kebijakan Pemkot Palembang yang memberlakukan kawasan bebas kendaraan bermotor setiap Sabtu dan Minggu di Kambang Iwak.

Walhi Sumsel juga mengapresiasi pernyataan Wali Kota Palembang Eddy Santana Putra yang akan melakukan pembebasan lahan di Simpang Jalan Rajawali sebagai RTH. Lahan tersebut saat ini masih digunakan sebagai lokasi parkir kendaraan dari sebuah dealer kendaraan bermotor.

Beberapa waktu lalu saat peringatan Hari Bumi, Walhi Sumsel mengadakan aksi penanaman pohon dan menggelar orasi di lokasi tersebut.

Menurut Hadi, untuk mengurangi emisi dan mengurangi dampak pemanasan global, sebenarnya tidak cukup dengan membuat program bebas kendaraan bermotor atau car fee day, seperti di kawasan Kambang Iwak. Pemkot Palembang perlu melakukan mitigasi emisi, yaitu membatasi kepemilikan kendaraan bermotor bagi setiap individu.

Kebijakan tersebut harus pula didukung dengan penyediaan sarana transportasi massal dan jalur bagi pejalan kaki serta pengendara sepeda yang aman.

Perlu perda

Supaya kebijakan tersebut terlaksana, kata Hadi Jatmiko, Pemkot Palembang perlu membuat peraturan daerah (perda) tentang pembatasan kepemilikan dan penggunaan kendaraan bermotor serta tentang RTH.

”Kami serius soal gugatan itu kalau pemkot tidak mengalokasikan 30 persen wilayah sebagai RTH. Kami ingin menyadarkan publik bahwa RTH sangat dibutuhkan,” kata Hadi.

Baik pemerintah maupun individu bisa digugat kalau mereka melanggar peraturan mengenai tata ruang.

Readmore »»

FAUNA - Singa Kawin di Tsavo Resto

KOMPAS, Selasa, 5 Mei 2009 04:49 WIB
Entah bagaimana caranya, tercatat sudah 135 pekerja rel kereta api Kenya-Uganda Railway itu satu-satu tewas berantakan dibunuh singa buas telengas Afrika. Baru pada Desember 1898, Letkol John Henry Patterson selama dua mingguan berhasil menembak mati kedua satwa pembunuh, si Ghost dan sang Darkness, karena kedua singa jantan besar tersebut muncul dan hilang macam setan dan roh kegelapan di perkemahan karyawan di tepian kali Tsavo di Kenya.


Kisah nyata singa Tsavo begitu tenar karena pemegang rekor pembunuhan pekerja rel asal India dan penduduk lokal sejumlah 135 jiwa, hingga diabadikan sebagai novel kisah nyata dan film Hollywood, The Ghost and the Darkness (1996). Kedua bangkai singa itu pun kini diabadikan menjadi singa opsetan di Museum Chicago Filed sejak tahun 1924.

Saking ternamanya kisah singa dari Tsavo yang maneaters alias pemakan manusia yang sudah 110-an tahun lalu, kini sejak tahun 2007, di Gianyar, Bali, pun ada Tsavo Lion Restaurant yang keren di dalam kompleks Bali Safari Marine Park (BSMP). Resto penyedia hidangan dapur Barat, memajang lima ekor singa hidup asal Afrika di sisi ruangan puluhan meja kursi, hanya berbatas kaca tebal pelindung agar keluarga singa buas itu tidak nyelonong ikut makan di dalam resto.

Unikum resto dengan hiasan lima ekor singa yang doyan daging segar memang dirancang dengan perhitungan keamanan, serta kadar hiburan dan pendidikan ”singanologi” bagi tamu penikmat hidangan makanan siang dan malam, serta meneguk minuman segar. ”Singa itu bukan keturunan Ghost dan Darkness, tetapi sama-sama asal Afrika. Penyantap dan tamu kami kebanyakan tertarik, karena selain makan enak juga ada pelajaran mengamati perilaku singa liar, hanya sebatas beberapa meter atau beberapa puluh sentimeter di hadapannya,” kata pimpinan BSMP, Hans Manansang (38), sambil menjelaskan perilaku hewan itu tengah April lalu.

”Di samping resto ada jantan Tata dengan keempat ekor harem betinanya. Nanti jangan terkejut kalau ke toilet pria, di sana kami lepas dengan aman singa jantan Kofi dekat jendela wastafel,” tutur Hans yang menjelaskan kehadiran kelompok singa itu paling tepat, karena hanya keluarga mamalia besar Afrika berintelegensia cukup tinggi, sehingga tidak akan agresif dan menabrak kaca tebal, melanggar pagar kawat beraliran listrik, atau berenang di kolam atau meloncati benteng pembatas berupa gunung-gunung batu.

Kawin 36 kali sehari

Kawanan singa (Panthera leo) di samping resto itu, menurut Hans, tidak jelas asal usulnya. Sebab, singa memang pribuminya Afrika yang dulu hidup menyebar hingga ke Asia Kecil sampai ke hutan Gir di India. Namun, beberapa jenis singa mulai hilang, terutama singa pemukim hutan dari Maroko sampai Mesir. Begitu pun nasib singa asal tanjung selatan Afrika, termasuk singa Persia yang sudah tidak ditemukan lagi sisa hidupannya di Iran dan Irak.

Sebagai pemuda yang besar dalam keluarga Taman Safari Indonesia, Hans menuturkan soal singa afrika terkenal macam singa masai (P l massaicus), singa senegal (P l senegalensis), singa angola (P l bleyenberghi) dan singa tranvaal (P l krugeri). ”Singa peliharaan kami kemungkinan besar asal beberapa taman nasional. Orangtua kami memperolehnya legal sejak 20-an tahun lalu, lalu dikembangbiakkan dan sebagian kami pelihara di Bali,” tutur Hans yang lulusan ilmu komputerisasi Amerika Serikat.

Entah minta makan atau lagi gembira, Tata yang berpoligami empat betina tiba-tiba mengaum keras dan keras sekali. Wajah sangarnya agak mendongak dan kelihatan kokoh lehernya yang penuh bulu kuduk gondrong. Suara auman yang meraung dan menderam campur dengungan bergeletar, sungguh dahsyat menyeramkan.

Di antara mamalia ”kucing besar”(big cats), singa satu-satunya yang punya suara auman keras. Menurut penelitian, auman singa bisa terdengar sejauh 8 kilometer, sebagai tanda penguasaan teritorial, tantangan bagi musuh, atau panggilan kangen berahi bagi betinanya.

”Kalau ada singa betina berahi, si Tata terus mendekati dan ngawinin betinanya. Kami pernah catat, seharian dari pagi sampai pukul 21.00, Tata mampu kawin atau kopulasi betinanya sampai 36 kali, ya 36 kali dalam tempo 12 jam,” ujar Hans sambil mengisahkan singa koleksi resto sudah punya dua anakan, juga Tata sudah membuntingi betina lainnya.

”Aumannya bikin tamu kaget tapi senang. Juga kalau Tata kawin di balik kaca tanpa tedeng aling-aling, tamu ada yang malu-malu tapi ada yang heran melihat singa betina mengaum-aum kalau sudah klimaks kawinnya,” ujarnya.

Secara umum, perilaku singa dalam penangkaran mengalami perubahan. Paling tidak, menurut Hans, naluri membunuh mangsa tidak seganas di alam asli. Namun, perilaku sosial kawanan singa yang rata-rata makan sekitar 4 kilogram daging per hari masih tetap guyub berkumpul dan dikepalai singa betina utama, tentu dengan pejantan utamanya yang kepala kelompok dan singa residen yang mempertahankan teritorial dan keluarganya.

Diperhitungkan masa bunting singa sekitar 105 hari, jadi tidak lama akan lahir anakan singa baru, hasil perkawinan Tata yang terang-terangan ditonton Hans Manansang bersama tamunya. Singa liar di samping Resto Tsavo memang singa unik. Sebab, menjadi obyek studi pemerhati amatiran ”singanologi”, atau penonton adegan singa kawin yang mengeluarkan suara puasnya, aum! (RUDY BADIL, Wartawan Senior di Jakarta)

Readmore »»

Jabar Selatan dan Mitos Lingkungan

KOMPAS, Selasa, 5 Mei 2009 03:27 WIB
Oleh Dedi Muhtadi, Agustinus Handoko, dan Bayu Dwi Radius

Mengapa pembangunan tak merata ke selatan Jawa Barat? Padahal, ketimpangan pembangunan antara wilayah utara dan wilayah selatan Jabar telah menciptakan berbagai kesenjangan. Dengan infrastruktur yang lemah, kegiatan ekonomi Jabar selatan seperti kerakap di atas batu. Derivasinya berupa kemiskinan, keterisolasian, dan ketidakberdayaan seolah melekat pada kehidupan warganya.


Berpuluh-puluh tahun pikiran para elite dan penentu kebijakan terbelenggu oleh angka- angka versi lingkungan bahwa 60 persen wilayah di Jabar bagian selatan merupakan kawasan lindung. Memang sebagian besar wilayah ini terdiri atas kawasan hutan hujan tropis. Di wilayah ini terdapat 20 kawasan hulu daerah aliran sungai, termasuk Sungai Citarum yang memasok waduk Pusat Listrik Tenaga Air Saguling, Cirata, dan Jatiluhur. Ketiga waduk ini merupakan pemasok listrik interkoneksi Jawa-Bali.

Angka-angka itu kemudian menjadi mitos bahwa kawasan Jabar selatan tidak boleh dieksploitasi atau hati-hati kalau membuka wilayah selatan.

”Lalu, kelestarian lingkungan Jabar selatan untuk siapa? Terlebih lagi fakta di lapangan menunjukkan 70 persen dari kawasan lindung itu kini sudah dikuasai masyarakat (swasta),” ungkap anggota Dewan Pemerhati Kelestarian Lingkungan Tatar Sunda, Sobirin, dalam sarasehan tentang Jabar selatan di Grha Kompas-Gramedia Bandung, akhir Maret lalu.

Karena itu, nasib Jabar selatan berbeda dengan utara yang sejarah pertaniannya dimulai semasa serangan Kerajaan Mataram ke Batavia tahun 1600-an. Kala Jabar selatan masih hutan belantara yang bergunung-gunung (virgin forest), daerah hutan rawa di bagian utara sudah dibuka menjadi petak-petak sawah. Strategi Kerajaan Mataram itu dimaksudkan menjadikan wilayah utara sebagai basis logistik penunjang aktivitas militer untuk menyerang Batavia.

Belanda melanjutkan strategi pertahanan pangan rintisan Mataram itu tahun 1700-an pada wilayah Jabar bagian tengah. Antropolog dari Universitas Padjadjaran Bandung, Prof Kusnaka Adimiharja, mengatakan, Belanda mendatangkan orang-orang dari Tegal untuk membuka lahan pertanian baru di Jawa Barat. Strategi yang diterapkan Belanda itu mampu menjadikan Jawa Barat sebagai ”tanah harapan” yang akhirnya mengundang banyak orang untuk datang.

Dalam bukunya, The History of Java, Thomas Stamford Raffles yang pernah menjadi gubernur jenderal di Jawa menyebutkan, pada tahun 1813, tercatat luas tanah sawah di Cianjur (Jabar tengah) mencapai 5.179 jungs (1 jung > 674/121 are Inggris) dan tanah ladang 1.241 jungs dengan hasil padi sebanyak 22.898 ikat.

Padahal, di Karawang (utara), luas tanah sawah saat itu mencapai 8.887 jungs dan luas tanah ladang 537 jungs. Di Subang, luas tanah sawah mencapai 9.889 jungs dan luas tanah ladang 4.057 jungs. Wilayah utara Jawa didukung oleh infrastruktur pelabuhan, sementara di bagian tengah dan selatan tidak.

Pemerintah Hindia Belanda amat serius memberikan perhatian terhadap kawasan utara Jawa karena melihat potensi ekonominya tinggi. Misalnya, tahun 1858, atas persetujuan parlemen, Pemerintah Hindia Belanda membangun 19 pelabuhan di Jawa. Dari 19 pelabuhan itu, hanya satu pelabuhan yang boleh dibangun di wilayah selatan Jawa, yakni di Cilacap.

Lintas selatan

Dengan alasan lingkungan, Belanda hanya membuka wilayah selatan dengan perkebunan yang tidak merakyat karena dikelola segelintir pengusaha. ”Dosa” sejarah itu terus berlangsung hingga berpuluh tahun sesudah merdeka. Akibatnya, Jabar selatan terus terisolasi karena lemahnya pembangunan infrastruktur. Aktivitas ekonomi lemah dan laju pertumbuhan ekonomi jauh lebih rendah dibandingkan utara.

Laju pertumbuhan ekonomi (LPE) di wilayah selatan Jabar tahun 2003, misalnya, hanya 3,87 persen dan tahun 2004 hanya meningkat menjadi 4,21 persen. Sementara itu, di bagian utara Jabar, LPE tahun 2003 mencapai 4,38 persen dan tahun berikutnya naik menjadi 5,08 persen.

Kepala Subbidang Tata Ruang dan Lingkungan Hidup Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Jawa Barat Eko Priastono mengatakan, penyebab utama rendahnya aktivitas ekonomi di bagian selatan Jabar adalah infrastruktur yang tidak memadai.

Kepala Seksi Data Informasi dan Leger Jalan Dinas Bina Marga Jabar Lucky R Sumanang mengatakan, dari jalan lintas Jabar sepanjang 420 kilometer dari Kabupaten Ciamis hingga Kabupaten Sukabumi, 48 kilometer di antaranya dalam kondisi rusak. Kerusakan terparah ada di antara Cianjur dan Sukabumi karena jalan itu belum pernah diaspal sama sekali.

Buruknya infrastruktur juga menyebabkan potensi perikanan tidak tergarap maksimal. Sebagai perbandingan, tahun 2008 hasil tangkapan laut di Indramayu (utara) mencapai 95.631 ton, sedangkan Cianjur (selatan) hanya 99,35 ton. Menurut Kepala Biro Budidaya Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia Daerah Jabar Muhamad Husen, dari 30 pangkalan pendaratan ikan di selatan, 20 di antaranya tidak berfungsi maksimal karena infrastruktur yang tak memadai.

Untuk menyeimbangkan laju pertumbuhan ekonomi di Jabar yang ditopang oleh pertanian, peningkatan jalan lintas selatan (JLS) kemudian digagas menjadi solusinya.

Kendati memiliki nilai strategis terhadap pengembangan ekonomi di Jabar bagian selatan, pengembangan JLS tentunya harus melibatkan warga. Tanpa pemberdayaan masyarakat, JLS hanya akan menjadi sarana eksploitasi kekayaan alam di Jabar selatan.

Idealnya, pengembangan selatan harus melingkupi 3F, yakni for people, for planet atau lingkungan, dan for prosperity atau kesejahteraan.

Readmore »»