Senin, 22 Desember 2008
Aksi Teatrikal Enomers
Kerusakan Lingkungan - 4.000 Hektar Hutan Mangrove Beralih Fungsi
KOMPAS Selasa, 23 Desember 2008 00:57 WIB
Alih fungsi hutan mangrove di Segara Anakan, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, menyebabkan kerusakan ekologi dan sedimentasi makin tinggi. Luas laguna Segara Anakan tinggal 500 hektar, seperenam luas laguna tahun 1984, seperti pada foto yang diambil Senin pekan lalu.
Cilacap - Sebanyak 4.000 hektar hutan mangrove di Segara Anakan, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, beralih fungsi menjadi lahan pertanian. Hal itu memperparah kerusakan ekologi di kawasan hutan mangrove terluas di Jawa itu.Wakil Administratur Perhutani Kesatuan Pemangku Hutan (KPH) Banyumas Barat Hilman Firmansyah, Senin (22/12), mengungkapkan, 4.000 hektar (ha) hutan mangrove yang dialihfungsikan berada di Segara Anakan bagian barat dan masuk di tiga kecamatan, yaitu Patimuan, Gandrungmangu, dan Kawunganten.Hutan mangrove berada di tanah timbul yang terjadi karena sedimentasi di Laguna Segara Anakan. Hutan itu secara administratif di bawah pengelolaan Perhutani. Alih fungsi lahan dilakukan petani sekitar laguna delapan tahun terakhir. ”Akibat alih fungsi hutan mangrove, biota laut semakin habis, abrasi dan erosi di kawasan Segara Anakan kian parah, serta sedimentasi makin besar,” kata Hilman.Berkurangnya hutan mangrove membuat kawasan permukiman dan lahan pertanian di Segara Anakan makin mudah terendam saat air pasang. Akibatnya, instalasi air bersih rusak, sumber air bersih tercemar, lahan pertanian rusak, dan banjir.Alih fungsi lahan itu sempat menimbulkan konflik antara Perhutani dan petani. Sejumlah petani sempat ditahan polisi.Menurut Hilman, untuk mengatasi masalah alih fungsi lahan, KPH Banyumas Barat mulai menanami lahan yang beralih fungsi dengan kayu putih. Tahun 2007, kayu putih ditanam seluas 500 ha dan tahun 2008 seluas 150 ha. Ditargetkan, tahun 2010 seluruh lahan ditanami kayu putih. ”Dengan ditanami kayu putih, secara ekonomi petani dapat merasakan hasilnya dan secara lingkungan fungsi hutan dapat dipertahankan,” katanya.Kepala Badan Pengelola Kawasan Segara Anakan Supriyanto memaparkan, pada tahun 1974, luas hutan mangrove di laguna ada 15.551 ha, tahun 1978 menjadi 10.975 ha, tahun 1994 menyusut jadi 8.975 ha, dan tahun 2003 tinggal 8.359 ha. Hutan itu diperkirakan terus menyusut.Konversi hutan mangrove antara lain menjadi sawah, tambak, dan permukiman. Kayu mangrove dimanfaatkan untuk bahan bakar.(HAN)
Penghijauan - Bibit Gratis untuk Warga Palembang
Palembang, Kompas - Pemerintah Kota Palembang terus berupaya menjadikan Palembang sebagai kota hijau dengan cara membagikan bibit buah gratis secara rutin kepada setiap warganya. Pembagian bibit buah gratis tersebut telah dilaksanakan dan akan berlanjut pada tahun 2009
Kepala Dinas Pertanian, Kehutanan, dan Peternakan Palembang Masriadi, Senin (22/12) di Palembang, mengatakan, pihaknya telah mengajukan dana pada APBD tahun 2009 untuk membeli bibit beragam buah tersebut sebesar Rp 472 juta. Dengan dana tersebut, diharapkan semua penduduk Palembang mendapat pohon produktif tersebut sehingga bisa ditanam di pekarangan dan menghasilkan buah.
Ia mengatakan, selama ini pihaknya telah mendistribusikan 3.000 lebih pohon buah mulai dari sawo, jeruk, manggis, rambutan, dan duku. Warga Palembang sangat antusias ketika bibit buah tersebut dibagikan terbukti dalam hitungan menit, sudah tak ada yang tersisa.
Dia menambahkan, untuk penanaman pohon produktif tersebut sampai kini pihaknya belum menyediakan lahan khusus, tetapi menggunakan lahan pekarangan rumah atau sekolah. Penanaman buah produktif tersebut diharapkan bisa menjadikan Palembang semakin hijau.
A Sihombing (28), warga Palembang, berharap pembagian bibit buah gratis tersebut bisa dilaksanakan segera sehingga masyarakat setempat menanam buah pada musim hujan.
”Jika bibit dibagikan pada musim kemarau dan bisa tumbuh subur, penghijauan yang dilakukan bisa menjadi solusi mengurangi permasalahan lingkungan, seperti banjir,” ujarnya. (ANTARA/BOY)
Kamis, 18 Desember 2008
Kampanye Bahaya Pemanasan Global
KOMPAS Jumat, 19 Desember 2008 11:06 WIB
YOGYAKARTA - Menjelang puncak peringatan HUT Ke-2 Kompas Muda di Yogyakarta, anggota komunitas Kompas Muda yang tergabung
dalam tim Enom'rs mengadakan
tersebut juga digunakan untuk mengampanyekan bahaya pemanasan global kepada masyarakat.
Sebanyak 12 sepeda dan satu buah andong melewati rute Jalan Abu Bakar Ali, Malioboro, Panembahan Senopati, dan Jalan Mayor Suryotomo. Sepeda dan andong kami gunakan sebagai simbol pengurangan penggunaan kendaraan bermotor, ujar Brama Danuwinata (21), koordinator kegiatan.
Brama menambahkan, kampanye bahaya pemanasan global mereka pilih untuk mendukung tema yang mereka usung, yaitu Jadilah Sahabat Bumi, Stop Global Warming!. Sejumlah desain pin yang berisi tulisan anjuran untuk mengurangi penggunaan tas plastik, menghemat listrik, dan ajakan untuk berhenti merokok juga telah mereka persiapkan guna mendukung kampanye tersebut.
Selain melalui pawai, upaya mengurangi laju pemanasan global juga dilakukan oleh masing-masing anggota komunitas itu dalam kehidupan sehari-hari. Rosa (16), salah seorang peserta pawai, mengaku telah mengurangi penggunaan tas kresek untuk mengurangi timbulnya sampah plastik. Ia juga mengikuti program sekolahnya yang melarang penggunaan kendaraan bermotor sebagai alat transportasi ke sekolah setiap hari Sabtu.
Satwa Dilindungi - Perdagangan Trenggiling Meningkat
KOMPAS Jumat, 19 Desember 2008 00:17 WIB (NDY)
Medan - Perdagangan ilegal trenggiling (Manis javanica) terus meningkat di wilayah Indonesia. Akibatnya,
”Tahun ini kami menangani delapan kasus perdagangan trenggiling. Jumlah ini meningkat dari tahun lalu yang jumlahnya hanya beberapa saja (tidak sampai delapan kasus),” tutur Direktur Penyidikan dan Perlindungan Hutan (PPH) Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Awriya Ibrahim di sela-sela semiloka tentang kejahatan satwa liar dilindungi, Kamis (18/12) di Medan.
Awriya mengatakan, perdagangan trenggiling di Indonesia terpusat di Sumatera Utara, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Selatan. Di daerah inilah, katanya, pintu perdagangan trenggiling dalam negeri maupun ke mancanegara berlangsung.
”Trenggiling banyak diburu para pedagang karena nilai ekonominya tinggi,” kata Awriya. Di antara negara tujuan yang paling banyak adalah China dan sebagian negara-negara di Asia Tenggara. Penyitaan trenggiling ini umumnya tidak dilengkapi dengan surat-surat resmi. Perdagangan trenggiling hanya bisa diperbolehkan jika berasal dari penangkaran resmi binaan pemerintah.
Kasus terakhir yang belakangan menarik perhatian adalah terbongkarnya perdagangan trenggiling di Palembang sebanyak 13 ton. Kasus lain terjadi di Banjarmasin, Medan, Bali, dan Surabaya.
Kepala Balai Besar Sumber Daya Alam Sumut Djati Witjaksono Hadi mengatakan, sejumlah kasus perdagangan ilegal trenggiling melibatkan petugas di lapangan. Mereka sengaja memanfaatkan lobi petugas untuk meloloskan praktik ilegal di pintu keluar Sumut.
”Kami sekarang menangani tempat penangkaran yang tidak memiliki kelengkapan dokumen di Serdang Bedagai,” kata Djati.
Trenggiling bisa menjadi bioindikator kesuburan tanah karena hewan ini pemakan semut dan rayap.
Nama ilmiah trenggiling memakai javanica karena awal penemuan hewan ini ada di hutan hujan tropis di Jawa. Lantaran terdesak permukiman, konsentrasi habitat trenggiling ada di Kalimantan dan Sumatera.
Rabu, 17 Desember 2008
Bakau Proyek Rehabilitasi TBakau Proyek Rehabilitasi Tertimbun Limbahertimbun Limbah
KOMPAS Kamis, 18 Desember 2008 00:44 WIB
Tanjung Pinang, Kompas - Perairan di sekitar hutan bakau dan tanaman bakau yang baru ditanam melalui program Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan tertimbun limbah penambangan bauksit. Akibatnya,
Berdasarkan pengamatan Kompas, Rabu (17/12), air laut dan garis pantai di perairan sekitar hutan bakau di Kampung Senggarang Besar, Kota Tanjung Pinang, Provinsi Kepulauan Riau, terlihat menguning.
Lumpur-lumpur bekas tanah atau limbah bauksit berserakan di sela-sela tanaman bakau. Bahkan, bibit bakau yang baru ditanam di perairan pantai juga terkena limbah bauksit. Tanaman bakau baru ditanam melalui proyek kegiatan GN-RHL/Gerhan.
Papan proyek Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL) di lokasi itu pun masih tampak jelas tertancap di garis pantai. Dalam papan proyek itu, tertulis jenis kegiatannya, yaitu pembuatan tanaman hutan mangrove di areal lahan seluas 56 hektar. Proyek tahun 2007 itu dilaksanakan dengan sumber dana dari APBN.
Menurut seorang warga, Asman, tanaman bakau dan perairan di area itu menguning terkena limbah bekas pencucian bauksit. Tempat penampungan limbah bauksit di salah satu tempat penambangan bauksit jebol.
Seorang warga lain, Ain (50), mengungkapkan, sebelum limbah bauksit tumpah ke laut, ia mampu mencari gonggong 200-400 ekor sehari. ”Namun, saat ini, mencari 30 gonggong saja sudah susah,” katanya.
Sementara itu, Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Kota Tanjung Pinang Yulianus Muchtar belum dapat memberikan komentar lebih jauh.
Alita, Perusahaan dengan Fasilitas Terlengkap Bagi Karyawan Pengguna Sepeda
Pada hari Rabu, 5 November 2008, sekitar 60-an karyawan PT Alita melakukan aktivitas bersepeda ke tempat kerja bersama jajaran manajemen puncaknya. PT Alita sendiri adalah sebuah perusahaan yang bergerak di industri Teknologi Informasi dan Komunikasi (ICT-Information and Communication Technology) serta berkantor di Gedung Alita, Jl. TB Simatupang, Jakarta Selatan. (http://www.b2w-indonesia.or.id/)
Readmore »»Toto, Antipemanasan Global
KOMPAS Kamis, 18 Desember 2008 03:00 WIB NINOK LEKSONO
Pada masa lalu, tak banyak yang bisa diceritakan tentang aktivitas bersepeda. Sebagai moda transportasi, dulu, bersepeda merupakan hal yang wajar karena belum banyak kendaraan bermotor dan jarak yang harus ditempuh relatif tak jauh sehingga
Bersepeda tak saja menghadirkan gaya hidup sehat, tetapi juga menyampaikan pesan prolingkungan. Itu karena bersepeda berkontribusi pada pengurangan penggunaan bahan bakar minyak (BBM). Bahkan, lebih jauh, bersepeda itu merespons anjuran untuk menanggulangi pemanasan global karena aktivitas tanpa BBM berarti tak melepaskan gas rumah kaca yang menjadi biang utama fenomena pemanasan global.
Alasan yang bersifat praktis, bersepeda lebih lincah dalam menembus kemacetan lalu lintas di kota-kota besar.
Itulah yang diamati Toto Sugito (45), Ketua Umum Bike to Work (B2W), komunitas pengguna sepeda ke kantor (atau kegiatan lain).
Landasan aktivitas yang logis dari sejumlah argumen tersebut membuat anggota komunitas terus bertambah. Kelompok ini pun tak hanya eksis di Jakarta, tetapi juga di kota-kota lain di Indonesia. Menurut Toto, anggota B2W di berbagai kota mencapai 10.000-an.
Bersepeda pada satu sisi lalu tampak sebagai suatu gaya hidup modern. Di sini juga tersirat niat tulus untuk bersikap baik terhadap Sang Bumi.
Menengok kembali awal B2W, Toto yang untuk kiprahnya mendapat penghargaan dari Swiss Contact dan ”Indonesia Berprestasi” dari XL ini mengatakan, ide pendirian B2W muncul setelah ia semakin prihatin dengan kondisi polusi udara, keterbatasan tempat parkir, dan kemacetan. Toto—sebelumnya ia pencinta sepeda gunung—lalu mencoba moda transportasi alternatif untuk ke kantor. Jalur Cibubur-Tebet, Jakarta Selatan, lalu menjadi rute hariannya sejak 2004.
Pada awalnya, sang istri keberatan Toto bersepeda ke kantor karena alasan polusi udara sangat tinggi. Jalan keluarnya, Toto memakai masker yang bermutu baik.
Setelah merasakan manfaatnya, Toto kemudian memperkenalkan ”bersepeda ke kantor” tersebut kepada teman-teman dekatnya. Ternyata sambutan mereka positif. Oleh karena itu pula, tahun 2005 Toto lalu menghimpun komunitas pekerja bersepeda dalam B2W.
Tidak butuh waktu lama, komunitas ini berkembang menjadi tren baru di kalangan eksekutif muda. Malah berikutnya, gaya hidup bersepeda ini meluas pula di kalangan remaja, bahkan juga ke kalangan mereka yang berusia lanjut.
Keluarga dari sebagian anggota komunitas ini, yang semula sempat meragukan, kini justru ikut pro terhadap aktivitas bersepeda yang dipelopori Toto. Kendaraan utama anak pertama dia yang belakangan kuliah di Bandung juga sepeda. Adapun kedua anak Toto yang lain baru menggunakan sepeda sebagai alat olahraga.
Penitipan sepeda
Toto memimpikan B2W dapat berkembang menjadi komunitas serupa yang sukses seperti di Kanada dan banyak negara Eropa, khususnya Belanda. Di negara-negara itu, meski sarana transportasi bermotor pribadi dan umum sangat baik, banyak warga yang memilih menggunakan sepeda untuk menunjang aktivitas sehari-hari mereka.
Di dekat stasiun kereta api, banyak terlihat area parkir sepeda. Selain pertimbangan kesehatan dan nonpolusi, secara transportasi, sepeda pun bisa menjadi pengumpan (feeder) bagi aktivitas commuting (ulang-alik, pergi-pulang, rumah-tempat bekerja yang cukup jauh).
Bukankah peran serupa juga masuk akal bagi busway yang belakangan dipromosikan di kota-kota besar Indonesia? Tentu saja masih diperlukan penyediaan fasilitas penitipan sepeda yang bisa diandalkan, bila hal tersebut hendak dikembangkan di Indonesia. Namun secara ide, hal itu masuk akal.
Berbicara tentang tolok ukur kesuksesan B2W di Indonesia, hal ini, menurut Toto, tidak semata bisa dicerminkan oleh banyaknya anggota komunitas, tetapi juga seberapa jauh bersepeda dapat menjadi gaya hidup masyarakat Indonesia.
”Artinya, masyarakat kita menjadi sadar betul akan masalah polusi udara dan hubungannya dengan perubahan iklim, juga bagaimana energi atau BBM yang ada bisa dihemat untuk generasi selanjutnya,” kata Toto.
Bila kesadaran tersebut telah dipahami masyarakat luas, tentu tidak akan sulit untuk menambah anggota komunitas bersepeda.
B2W dalam hal ini mengajak masyarakat menggunakan sepeda tidak hanya sebagai alat olahraga dan/atau rekreasi, tetapi juga sebagai alat transportasi yang ramah lingkungan sekaligus menyehatkan bangsa.
Dalam posisi ini, sepeda memang tergolong unik karena peran mendukung mobilitas muncul seiring dengan peran menyehatkan, sekaligus peran memelihara lingkungan.
Jalur khusus
Toto yang sehari-hari bekerja sebagai direktur di sebuah perusahaan konsultan arsitektur ini punya cara mudah dalam mengampanyekan kegiatan bersepeda, yakni melalui 3M.
”3M itu maksudnya: Mulai bersepeda dari diri sendiri, Mulai bersepeda dari jarak terdekat, dan Mulai bersepeda sekarang juga.”
Toto menyadari bahwa aktivitas bersepeda di perkotaan bukannya bebas dari tantangan. Selain udara penuh debu, banyak kota besar di Indonesia belum atau tidak punya jalur khusus sepeda. Bahkan, kata dia, sudah ada pengendara sepeda yang menjadi korban kecelakaan lalu lintas karena berbagi jalan dengan kendaraan bermotor besar dan kecil.
Maka, wajarlah kalau salah satu harapan komunitas B2W adalah tersedianya jalur khusus untuk sepeda.
Jalur yang akan membuat aktivitas bersepeda bisa dilakukan dengan aman sehingga menjadi insentif bagi mereka yang ingin bergabung dalam komunitas ini, tetapi masih meragukan keamanan aktivitas bersepeda.
Di luar tantangan yang ada, Toto yakin, ide bersepeda besar faedahnya tidak saja bagi individu bersangkutan, tetapi juga untuk masyarakat, bahkan bagi kelestarian lingkungan Bumi.
Panitia ”Indonesia Berprestasi Awards” menilai, apa yang dilakukan Toto Sugito memiliki kekhasan yang relevan dengan permasalahan yang tidak saja dihadapi masyarakat Indonesia, dalam hal ini terkait dengan lalu lintas perkotaan yang semakin macet dan terkena polusi, tetapi juga dengan upaya bersama seluruh umat manusia untuk menanggulangi pemanasan global yang berakibat mengerikan.
Festival Kendeng-Lusi ~ Melestarikan Tradisi, Menyelamatkan Bumi
KOMPAS, Rabu, 17 Desember 2008 10:43 WIB (HENDRIYO WIDI)
JAWA TENGAH - Seniman Semarang asal Blora, Bowo Kajangan, berendam di Sungai Lusi, Kabupaten Blora, sembari membawa bibit daun jati, Minggu (14/12) siang. Tak jauh
Begitu Bowo bersiap-siap menapaki anak tangga yang berdiri tegak di tengah-tengah Sungai Lusi, Djuadi memercikkan air dan melempar sampah-sampah sungai. Namun, Bowo tidak goyah. Ia sekuat tenaga naik ke tangga itu dan menghunjukkan bibit itu kepada Sang Pencipta.
Usai itu, Bowo mengambil air Sungai Lusi dengan klenthing atau kendi wadah air yang terbuat dari tanah liat. Melalui air itu, Bowo memerciki uborampe khas Pegunungan Kendeng dan Sungai Lusi, seperti ketela pohon, jagung, padi, air, dan sayuran.
"Saya bersyukur anak-anak kecil, temanten anyar, dan pengusaha furnitur mau menerima bibit jati," kata Bowo seusai mengarak uborampe itu bersama para pemain reog siswa-siswi SMA Negeri 1 Randublatung.
Kegiatan itu menjadi puncak Festival Budaya Nguripi Kendeng-Lusi yang digelar Komunitas Pasang Surut Blora di tepi Sungai Lusi dan rumah sastrawan Pramoedya Ananta Toer. Komunitas yang mengambil semangat sastrawan asal Blora itu bergerak di bidang sejarah, seni- budaya, dan lingkungan hidup.
Bowo mengatakan, manusia tidak lagi dekat dengan alam. Padahal banyak terdapat "buku kecil" dari alam, seperti kembang kenikir yang berarti berpikir, dan alang-alang atau rumput liar yang berarti manusia harus mampu menghindari rintangan atau halangan hidup.
"Saat ini, rumah-rumah air dirusak dan dijarah manusia. Misalnya Pegunungan Kendeng yang kaya akan karst dan gua-gua air bawah tanah ditambang. Maka jangan salahkan alam kalau terjadi banjir dan longsor," kata dia.
Pendamping Komunitas Pasang Surut, Gatot Pranoto, mengatakan, dahulu Sungai Lusi tidak pernah kehabisan air pada musim kemarau. "Namun, sekarang Sungai Lusi tidak lagi memberikan kesegaran pada musim itu," kata dia.
Pada Sabtu (13/12), adik Pramoedya, Soesilo Toer, mengarak bibit jati sebagai simbol kehidupan Kendeng-Lusi sembari diiringi musik terbang jidor.
Perlu komitmen
Mantan Menteri Lingkungan Hidup Sony Keraf yang hadir dalam acara itu mengatakan, masyarakat dan komunitas di sekitar Pegunungan Kendeng dan Sungai Lusi perlu punya komitmen menyelamatkan bumi dan melestarikan tradisi. Langkah-langkah konkret perlu dilakukan, seperti menolak menjual pegunungan karst untuk kepentingan kapitalis yang berbasis industrialisasi.
"Tradisi dan cara hidup masyarakat akan berubah jika ada industrialisasi. Kearifan lokal dan kelestarian lingkungan terganti dengan keinginan mendapat keuntungan sebesar-besarnya," kata dia.
Acara yang digelar hingga Minggu malam itu menampilkan pula aksi teatrikal Imam Boca, Pop Rembang, Exy Mahardika, dan reog SMA Negeri 1 Randublatung. Mereka merefleksikan tentang kapitalisme baru yang mengancam Pegunungan Kendeng dan Lusi.
Koordinator I Komunitas Pasang Surut Blora Eko Arifianto mengatakan, gerakan antarkomunitas di sekitar Kendeng-Lusi akan bergulir terus. Ini merupakan komitmen antarkomunitas untuk melestarikan tradisi dan menyelamatkan bumi.
Selasa, 16 Desember 2008
Kerusakan Lingkungan di Bali Meluas
Rabu, 17 Desember 2008 01:20 WIB (AYS)
Kerusakan lingkungan hidup di Pulau Dewata semakin meluas selama 10 tahun ini, seperti abrasi mencapai 20 persen dari total panjang pantai. Lainnya kerusakan lahan kritis lebih dari 55.000 hektar. Penyebab kerusakan
Sikopi-Kopi, "Surga" di Tengah Kebun Sawit
Hutan Sikopi-Kopi yang terletak di Kecamatan Aek Kanopan, Kabupaten Labuhan Batu Utara, Sumatera Utara, dikepung perkebunan sawit. Hutan ini merupakan hasil rehabilitasi kawasan yang pernah digunakan peladang berpindah tahun 1994. Foto yang diambil akhir November 2008 menunjukkan kawasan itu.
KOMPAS, Rabu, 17 Desember 2008 03:00 WIB (ANDREAS MARYOTO)
Jalan raya di sepanjang Kota Medan hingga Rantau Prapat, Sumatera Utara, ”dipagari” pohon kelapa sawit. Kalaupun ada rumah di pinggir jalan, di belakangnya pasti dipenuhi pohon kelapa sawit. Pemandangan ini tentu menjemukan bagi mereka yang sudah lama tinggal di Sumut.
Pemandangan berubah total saat kita menginjakkan kaki di hutan Sikopi-Kopi. Berbagai tanaman, seperti mahoni, rotan, bambu, durian, rambutan, serta bermacam jenis pakis, tumbuh liar di hutan seluas sekitar 40 hektar itu.
Sikopi-Kopi terletak di Kecamatan Aek Kanopan, Kabupaten Labuhan Batu Utara, yang berada di tepi jalan raya itu. Dari Aek Kanopan, Sikopi-Kopi hanya berjarak sekitar 30 kilometer.
Namun, kondisi jalan sangat rusak sehingga perjalanan membutuhkan waktu panjang. Belum lagi jalan tanah baru tersiram hujan sehingga perjalanan makin lama. Perlu waktu sedikitnya dua jam menggunakan mobil dari Aek Kanopan ke hutan yang berada di tengah perkebunan sawit itu.
”Tanah ini bekas lahan yang dikuasai peladang berpindah. Semula tanah di sini gersang. Bekas pembakaran kayu ada di mana-mana. Penduduk sempat menanami padi ladang di bekas hutan yang dibakar,” kata Pastor Simon Sinaga, OFM Cap yang merintis rehabilitasi hutan Sikopi-Kopi tahun 1994.
Sinaga menuturkan, berkat bantuan dana relasinya, tanah itu lantas dibeli. Ia bertekad mengembalikan kondisi hutan itu agar tidak tandus. Ia menanam berbagai jenis tanaman. Kala itu, dengan mudah ia mendapat bibit tanaman dari berbagai lembaga dan instansi pemerintah.
Ia tekun menghijaukan kembali lahan itu. Sinaga mengaku tidak banyak memiliki pengetahuan soal lingkungan, tetapi kecintaan terhadap lingkungan memacunya untuk mengembalikan kondisi hutan.
Setelah 14 tahun berlalu, kawasan yang dikepung perkebunan kelapa sawit itu kembali menjadi hutan.
”Kini kera, ular, burung, dan berbagai jenis hewan lain masuk ke hutan ini,” kata Bruder Beno, OFM Cap yang menjadi penerus Sinaga untuk merawat hutan itu.
Sarang binatang
Sebuah goa di dalam hutan itu dibiarkan apa adanya. Goa dengan panjang sekitar 20 meter menjadi tempat kelelawar dan ular bersarang. Bila kita masuk goa, langsung terdengar bunyi kelelawar beterbangan. Bagi yang tidak biasa masuk goa, situasinya memang terasa mencekam.
Beno yakin dengan masuknya berbagai jenis hewan, termasuk pacet yang setiap saat siap mengisap darah mereka yang masuk hutan, kawasan itu telah kembali normal dan menjadi habitat bagi hewan-hewan yang terganggu dengan adanya perkebunan sawit di sekitarnya.
Di dalam hutan ada bunga bangkai yang tengah mekar. Keberadaan tanaman endemis itu dan tanaman lokal lainnya makin meyakinkan kalau kawasan tersebut telah pulih kembali.
Sinaga mengatakan, hutan Sikopi-Kopi yang hanya 40 hektar terbilang kecil dibandingkandengan 970.716 hektar kebun sawit di seluruh Sumut. Namun, ia bangga bisa menjadikan kawasan tersebut sebagai ”surga” bagi hewan-hewan dan berbagai jenis tanaman.
”Kita tidak bisa hidup dengan cara instan. Jangan hanya karena kebutuhan sesaat, kita mengubah hutan menjadi kebun sawit. Kita harus melihat ke depan. Hutan masih dibutuhkan untuk kehidupan,” kata Sinaga.
KEPUNAHAN FAUNA - Kodok yang Serba Rentan
KOMPAS, Rabu, 17 Desember 2008 01:03 WIB HELLEN KURNIATI Bidang Zoologi, Puslit Biologi-LIPIKodok adalah kelompok binatang yang sangat peka terhadap perubahan lingkungan, seperti polusi air, perusakan hutan, ataupun perubahan iklim. Karena kepekaan mereka, amfibi dapat dijadikan indikator perubahan lingkungan.
Perubahan lingkungan yang dampaknya sangat nyata terhadap kodok jelas terlihat pada turunnya populasi disertai
Dari 6.000 jenis, 5.915 telah ditelaah statusnya oleh IUCN (International Union for Conservation and Natural Resources). Hasilnya, 1.893 dalam status terancam dan menuju kepunahan. Ancaman utama yang dihadapi kodok saat ini adalah hilangnya habitat (tempat hidup yang sesuai), polusi, pemanfaatan, dan penyakit.
Berawal dari kekhawatiran para ahli kodok di dunia yang tergabung dalam Amphibian Specialist Group—lembaga swadaya masyarakat di bawah naungan IUCN—disepakati tahun 2008 sebagai Tahun Kodok (Year of Frogs). Tujuannya agar kelompok binatang kodok menjadi pusat perhatian dunia, ditambah dengan isu pemanasan global yang mengakibatkan kehidupan mereka semakin rentan.
Diharapkan, dengan ditetapkan sebagai Tahun Kodok, tahun ini kelompok binatang kodok tidak lagi dipandang sebagai kelompok binatang tidak penting dan selalu berada pada posisi marjinal.
Kodok di Indonesia ada 351 jenis yang telah terdeskripsi dengan benar. Sekitar lebih dari 100 jenis dalam proses pendeskripsian menjadi jenis baru, terutama untuk jenis-jenis kodok yang berasal dari Papua.
Masalah utama di Indonesia adalah hilangnya habitat alami kodok, seperti penggundulan hutan hujan tropis, pencemaran air sungai, dan konversi lahan basah menjadi areal perkebunan. Jenis-jenis kodok asli hutan hidupnya sangat bergantung pada keberadaan hutan. Maka, rusaknya hutan akan berdampak negatif pada kelangsungan hidup jenis-jenis itu.
Kerusakan hutan hujan tropis paling besar di Indonesia terjadi di Pulau Jawa karena pulau ini berpenduduk paling banyak, sedangkan lahan yang digarap untuk menunjang kehidupan penduduknya semakin sempit. Karena itu, hutan-hutan yang tersisa di dalam kawasan lindung atau taman nasional mendapat tekanan sangat berat dari aktivitas manusia.
Kerusakan hutan tropis di Pulau Jawa berdampak sangat nyata pada status jenis-jenis kodok yang ada di dalamnya, terutama jenis-jenis endemik (tidak terdapat di pulau lain).
Saat ini diketahui terdapat dua jenis kodok endemik Jawa berstatus kritis (CR), yaitu kodok merah (Leptophryne cruentata)—hanya ada di hutan tropis dataran tinggi Jawa Barat; dan kodok pohon ungaran (Philautus jacobsoni)—hanya ada di hutan tropis Jawa Tengah.
Selain itu, ada empat jenis endemik lainnya yang berstatus rentan (VU), yaitu kongkang jeram (Huia masonii), kodok pohon mutiara (Nyctixalus margaritifer), kodok pohon kaki putik (Philautus pallidipes), dan kodok pohon jawa (Rhacophorus javanus).
Pemanfaatan
Ancaman lain yang sangat nyata berpengaruh pada status populasi kodok adalah dari segi pemanfaatan. Indonesia adalah negara pengekspor terbesar daging paha kodok. Mulai dari jenis penghuni sawah (Fejervarya spp) hingga penghuni perairan berarus deras (Limnonectes spp) yang umumnya berukuran besar (macrodon).
Selain itu, kodok juga sebagai komoditas ekspor bahan baku sarung tangan—dari jenis kodok berkulit kasar (Bufo spp) yang dagingnya mengandung racun. Aktivitas ekspor tersebut menghasilkan devisa negara.
Masalah yang dihadapi adalah pemanfaatan berlebihan sehingga tidak memikirkan apakah 10 tahun ke depan jenis-jenis kodok itu masih ada atau sudah habis di alam. Fenomena pemanfaatan kodok 10 tahun belakangan ini tidak berkelanjutan tanpa peduli pada pelestarian.
Ancaman dari polusi perairan juga jelas nyata berpengaruh pada penurunan populasi dan keanekaragaman jenis kodok. Hampir 80 persen jenis kodok di Indonesia tidak dapat toleransi terhadap polusi air berupa limbah rumah tangga dan logam berat. Mereka biasanya mati pada tingkat metamorfosa (perubahan bentuk) dari telur ke berudu, sedang jenis-jenis yang tahan umumnya akan mengalami cacat tangan atau kaki.
Organ jari tangan kodok yang dinamakan tonjolan ibu jari sangat berperan pada proses kawin kodok; jadi bila bentuknya tidak normal atau tidak tumbuh, maka sangat perpengaruh pada berlanjutnya keturunan jenis kodok. Akibatnya, berangsur-angsur jenis yang tahan terhadap polusi air juga punah.
Ancaman lain, yaitu penyakit disebabkan jamur dan virus. Jamur yang mematikan adalah dari kelompok Chytridiomycota; jamur yang menyerang berudu dan kodok dewasa adalah Batrachochytrium dendrobatidis. Kasus kematian massal kodok karena infeksi jamur banyak dijumpai di dataran tinggi Australia dan juga di Amerika Utara dan Selatan.
Selain itu, Ranavirus juga menyebabkan kematian massal pada kodok di tahap embrio dan berudu. Ranavirus adalah virus dari genus Ranavirus, famili Iridoviridae. Virus ini berukuran besar (diameter 120-300 nm). Kasus kematian massal berudu disebabkan Ranavirus terjadi di Amerika Utara, Eropa, dan Australia. Di Indonesia belum pernah ada penelitiannya.
Menghadapi kondisi seperti itu, masyarakat ilmuwan biologi lingkungan harus berbuat sesuatu untuk mempertahankan kodok jenis-jenis asli Indonesia untuk tidak punah, terutama jenis-jenis yang endemik.
Langkah awal yang diambil Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) adalah dengan menyadartahukan (memberikan awareness) masyarakat sebelum terlambat bahwa dunia kodok di dunia dan Indonesia, khususnya, sedang berada dalam bayang-bayang kepunahan yang pasti.
Usaha penyadartahuan akan berdampak positif bila dimulai dari sekarang pada siswa-siswa sekolah menengah dan mahasiswa. Mereka harus paham betul manfaat dari kekayaan jenis kodok yang terdapat di Indonesia.
Melalui kegiatan pelatihan pengenalan jenis, ekologi, dan perikehidupan kodok dan mengetahui betapa banyak spesimen dari berbagai jenis kodok di Indonesia yang tersimpan di Museum Zoologi Bogor, diharapkan dapat mengubah cara pikir mereka bahwa kodok adalah kelompok binatang yang harus disayangi dengan cara menjaga lingkungan tempat hidupnya.
Senin, 15 Desember 2008
Energi Alternatif - Biogas Kotoran Manusia, Kenapa Tidak?
Tiga kamar mandi dan tujuh toilet berjajar di tengah bangunan bercat hijau di kawasan pemukiman RT 9 RW 2, Kelurahan Tegalsari, Kecamatan Tegal Barat, Kota Tegal.
Pada salah satu ruangan di pojok bangunan terdapat sebuah kompor gas tungku satu. Kompor tersebut tersalur dengan pipa-pipa yang dihubungkan ke dalam saluran pembuangan limbah manusia, dari toilet dan kamar mandi.
Bangunan tersebut merupakan fasilitas WC dan kamar mandi umum, bernama Sanimas Asyifa. Sanimas Asyifa mulai dioperasikan sekitar Februari 2008. Limbah manusia di sanimas ini dimanfaatkan sebagai biogas untuk bahan bakar memasak.
Pengelola Sanimas Asyifa, Abukandar (49), mengatakan, sanitasi masyarakat tersebut bantuan Bremen Overseas Research Development Association, organisasi nonprofit yang berpusat di Bremen, Jerman. Fasilitas umum tersebut untuk warga di Kelurahan Tegalsari dan sekitarnya.
Menurut Abukandar, pendirian sanitasi berawal dari penawaran salah satu lembaga swadaya masyarakat di Yogyakarta. Kebetulan saat itu masyarakat memang membutuhkan WC dan kamar mandi umum. "Dari sekitar 200 keluarga di RT 9, dulu sekitar 50 persen buang air besar di sungai," ujarnya, Senin (15/12).
Saat ini, masyarakat memanfaatkan fasilitas tersebut untuk mandi, mencuci, buang air kecil, dan buang air besar. Limbah kotoran manusia di sini dimanfaatkan sebagai biogas untuk memasak.
Cara kerja kompor tidak jauh berbeda dengan kompor gas lainnya. Hanya saja setelah tombolnya dinyalakan, kompor tersebut harus disulut dengan api. Selain mempersiapkan nyala yang lebih besar, hal tersebut juga dimaksudkan untuk mengurangi efek bau kurang sedap yang ditimbulkan dari biogas. Meski berasal dari kotoran manusia, hasil tidak berbau.
Menurut Abukandar, meski efektif, belum banyak masyarakat yang bersedia memanfaatkan energi tersebut. Selama ini hanya ia dan istrinya, Turinah (47), yang memanfaatkan biogas itu. Padahal, persediaan biogas saat ini cukup untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar lima keluarga.
Untuk mendapatkan biogas itu, warga hanya perlu menyiapkan pipa dan kompor. Biayanya diperkirakan tidak lebih dari Rp 200.000 per keluarga. Setelah itu, warga cukup membayar iuran sebesar Rp 5.000 per bulan.
Dibandingkan dengan minyak tanah atau elpiji, biayanya jauh lebih murah. Pengelola sanitasi tersebut memang mematok biaya iuran yang rendah karena biogas hasil kotoran manusia belum populer di masyarakat.
Casriyah (55), warga yang tinggal di dekat Sanimas Asyifa mengaku sudah mengetahui keberadaan biogas tersebut. Namun, ia masih enggan memanfaatkannya karena takut meledak. Menurut dia, di sekitar lokasi rumahnya banyak tikus sehingga pipa yang terpasang bisa saja digerogoti tikus.
Untuk memasak, ia memilih menggunakan minyak tanah seharga Rp 5.500 per liter. Dalam sehari, ia membutuhkan sekitar satu liter minyak tanah.
Menurut Abukandar, sebagian warga lain enggan memenfaatkan biogas tersebut karena bahan bakar itu berasal dari kotoran manusia. Oleh karena itu, ia berharap agar pemerintah ikut menyosialisasikan pemanfaatan biogas dari kotoran manusia untuk memasak.
KOMPAS, Selasa, 16 Desember 2008 00:20 WIB
Kolkata - Jangan pernah melemparkan batu atau benda keras lainnya ke arah simpanse di kebun binatang Kolkata, India. Bisa-bisa batu atau benda keras tersebut kembali menghantam si pelempar atau orang di sekitarnya. Seorang ibu, Mithu Mondal (30), dan putrinya, Nikita (6), hari Minggu siang cedera akibat lemparan batu dari simpanse bernama Babu.
FAUNA - Ulah Manusia Sebabkan Kepunahan Terbesar
KOMPAS, Selasa, 16 Desember 2008 00:22 WIB
Bandung - Ulah manusia menjadi penyebab kepunahan terbesar makhluk hidup. Ulah manusia menyebabkan kehancuran lingkungan hidup dan kepunahan lingkungan hidup di bumi dengan cepat ketimbang perubahan evolusi,
Demikian dikatakan Dr H Fachroel Aziz dalam orasi ilmiah berjudul Evolusi dan Paleontologi Vertebrata Indonesia: Perspektif Perubahan Iklim di Badan Geologi, Bandung, Senin (15/12).
Orasi ini disampaikan ketika Fachroel dinobatkan sebagai profesor riset bidang paleontologi. Dua peneliti lainnya yang dinobatkan sebagai profesor riset adalah Bhakti Hamonangan Harahap Msc (Petrografi) dan Dr Hamdan Zaenal Abidin MAppSc (Geologi dan Geofisika).
Menurut Fachroel, ada tiga penyebab kepunahan. Kepunahan yang disebabkan bencana alam, kepunahan jangka panjang akibat perubahan iklim dan akibat ulah manusia.
Fachroel mengatakan, contoh kepunahan akibat bencana alam adalah punahnya fauna endemik Tangiitalo di Cekungan Soa Flores. Penyebabnya adalah bencana alam letusan gunung api Soa, sekitar 2 juta tahun lalu. Selain itu, juga letusan Gunung api Tambora di Sumbawa tahun 1815 yang memusnahkan etnis Tambora.
Perubahan akibat perubahan iklim berlangsung berangsur. Contohnya, suksesi kehidupan fauna di Jawa. Di antaranya Fauna Satir (sekitar 1.500 tahun lalu) yang didominasi mastodon dan kura-kura besar. Fauna Cisaat- Fauna Trinil (1.200-1.000 tahun) yang didominasi stegodon dan rusa. Fauna Kedungbrubus-Fauna Ngandong (800-200.000 tahun) didominasi gajah (Elephas hysudrindicus), tapir (Tapirus indicus), babi (Sus magrognathus), dan homo erectus solonensis. Setelah itu, ada Fauna Punung (200-25.000 tahun) yang didominasi beruang (Ursus malayanus), kambing (Capricornus sumatraensis), serta manusia modern (Homo sapiens).
Yang terakhir, yang paling memprihatinkan, yaitu kepunahan akibat ulah manusia. Hal itu tecermin pada punahnya fauna di Jawa. Di antaranya harimau, tapir, dan gajah. Perubahan fungsi lahan dari hutan menjadi permukiman dan pertanian adalah penyebab utamanya.
”Hal ini dikhawatirkan terjadi bagi fauna yang ada di Sumatera dan Kalimantan. Keberadaan mereka terancam seperti di Jawa,”
Ia mengatakan, kepunahan yang disebabkan bencana alam dan perubahan iklim merupakan perubahan evolusi yang berlangsung jutaan tahun dan sangat unik dalam sejarah bumi. Namun, kepunahan akibat ulah manusia menyebabkan dampak cepat dan kehancuran lingkungan hidup yang sangat luas.
Hal ini menandakan, evolusi tidak dapat mengimbangi perubahan drastis akibat ulah manusia. Ditambahkannya, manusia adalah makhluk pembuat bencana dan sekaligus coba mengatasinya. Namun, sering kali tak berhasil dan bahkan gagal dalam usahanya menyelamatkan lingkungan.
”Ini sebuah krisis serius dan harus segera dilihat oleh banyak pihak,”
KOMPAS, Senin, 15 Desember 2008
Masyarakat dari berbagai kalangan mengikuti Aksi Jempol Hijau dengan membubuhkan cap jempol hijau dan menulis ungkapan kepedulian pada Bumi di arena Earth Fest 2008, Hall Basket Senayan, Jakarta, Minggu (14/12). Kegiatan yang digagas Yayasan Peduli Hutan Lestari tersebut mengajak masyarakat bergabung dalam komunitas Warga Hijau (Green Citizen) dengan semangat menggerakkan banyak orang untuk bersuara secara bersama menyelamatkan Bumi.
Cikapundung - ALAT PENYARING SAMPAH DIPASANG DI SUNGAI
KOMPAS, Senin, 15 Desember 2008 10:26 WIB
Kondisi sungai di Bandung, seperti Cikapundung dan Citepus, amat memprihatinkan karena banyak warga membuang sampah ke dalamnya. Padahal, sungai merupakan
Alih fungsi lahan - Ribuan Hektar Hutan Berpindah Tangan
KOMPAS, Senin, 15 Desember 2008 00:36 WIB
Kediri, Kompas - Ribuan hektar hutan di bawah pengelolaan Perum Perhutani di Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur, berpindah tangan menjadi milik pribadi atau kelompok. Lahan itu kemudian dialihfungsikan untuk permukiman dan pertanian.
Pelakunya diidentifikasi sebagai
Administratur Kesatuan Pemangkuan Hutan Kediri Perum Perhutani Unit II Jawa Timur Marinus R Zerman, Minggu (14/12) di Kediri, mengatakan, luas lahan hutan yang disertifikatkan mencapai 2.727 hektar dari 62.000 hektar luas hutan di Kabupaten Trenggalek. Hal itu marak terjadi sejak tahun 1999.
Areal yang berpindah tangan tersebar di seluruh Trenggalek, terbanyak di Kecamatan Pule, Bendungan, dan Munjungan. Tiga daerah ini rawan longsor karena hutannya kritis akibat beralih fungsi jadi lahan pertanian.
Marinus telah melaporkan kasus ini ke kepolisian serta menggugat ke pengadilan. Namun, proses hukum berjalan lamban dan sulit karena terkait dengan kepentingan banyak pihak.
Data Perum Perhutani menyebutkan, luas hutan kritis di Trenggalek mencapai 11.800 hektar, jumlah ini 42 persen dari luas hutan kritis di wilayah KPH Kediri sebanyak 28.000 hektar.
Adapun luas hutan di wilayah Kediri 117.000 hektar, meliputi Kota Kediri, Kabupaten Kediri, Kabupaten Tulungagung bagian barat, Kabupaten Nganjuk, dan Kabupaten Trenggalek.
Minggu, 14 Desember 2008
Perburuan Burung Marak di Pantai Trisik
KOMPAS, Senin, 15 Desember 2008 00:23 WIB
Perburuan burung-burung pantai migran di pesisir Pantai Trisik, Galur, Kulon Progo, DI Yogyakarta, marak. Menurut Dwi Aji Sujatmiko, anggota Bionic (Biologi Universitas Negeri Yogyakarta Ornitologi Club)—organisasi mahasiswa pengamat burung—perburuan
Kamis, 11 Desember 2008
Kompetisi Web dan Blog dengan tema ”Jadilah Sahabat Bumi”
Kamu bisa ikut kompetisi ini atas nama pribadi atau atas nama tim. MuDA tak peduli apakah kamu pakai web gratisan atau web berbayar. Bisa menggunakan top level domain sendiri (misal www.madingku.com) atau subdomain (misal madingku.blogspot.com), baik yang berbayar maupun gratis. Atau kamu dapat memanfaatkan web pertemanan yang ada, seperti blogger.com, multiply.com, blog di friendster, Hi5, dan masih banyak lagi.
Kompetisi ini menggabungkan antara kualitas tulisan dan kualitas desain (50 persen : 50 persen). Jadi, yang tidak jago desain tetap punya peluang. Sebaliknya, yang tidak jago nulis, tapi hobi nge-blog dan jago desain, bisa punya peluang menang.
Web yang dilombakan minimal satu halaman yang berisi tulisan dengan tema ”Jadilah Sahabat Bumi”. Boleh menulis apa pun, mulai hal-hal kecil terkait lingkungan yang bisa menggugah minat orang untuk membaca.
Tentu saja, karena acara ini ditujukan buat kaum muda, tulisan boleh santai, boleh menggunakan bahasa gaul, dan tak dibatasi panjang tulisan. Kalian yang punya gaya bahasa blogger, pakai saja gaya khas kamu buat nunjukin kalau kamu peduli dan siap jadi sahabat Bumi!
Ketentuan yang tak boleh kamu lupakan: di halaman web harus menyertakan kalimat ”Kompetisi Website Kompas MuDA-IM3” dan www.mudaers.com (semua tanpa tanda kutip). Lokasi dua kalimat itu bebas.
Untuk teks ”www.mudaers.com”, MuDA akan apresiatif jika tulisan itu bisa diklik mengarah alamat web Mudaers. Tapi, ini memang enggak wajib kok.
Setelah membuat artikel dan mencantumkan dua teks tersebut, kamu harus mengirimkan alamat web atau submit di Direktori Mudaers.com.
Caranya, kunjungi www.mudaers.com/submit-web, kemudian klik Add Entry. Kamu harus terdaftar di Mudaers.com sebelum menggunakan fasilitas ini. Jika kamu kesulitan, langsung saja kirim alamat web kamu ke e-mail lomba@mudaers.com.
MuDA juga mewajibkan mengisi dan mengirim formulir pendaftaran yang bisa diunduh dari www.mudaers.com/download-form. Formulir harus disertai kupon ”Muda Creativity Kompas-IM3” yang bisa digunting dari Kompas MuDA cetak tiap hari Jumat. Formulir kamu harus sudah diterima panitia paling lambat 20 Januari 2009.
Bocoran penilaian, Penjurian akan dilakukan Kompas MuDA dan Kompas.com. MuDA mau kasih bocoran penilaian dari juri nih. Salah satu metode yang digunakan untuk menilai web kamu adalah popularitas web di mesin pencari Google.
Cara yang akan digunakan adalah dengan mengetikkan kata kunci: Kompetisi Website Kompas MuDA-IM3. Nah... di Google nanti akan muncul web-web peserta lomba. Karena itu, kata kunci ”Kompetisi Website Kompas MuDA-IM3” ini harus ada di halaman web kamu.
Peringkat yang bagus akan ikut menentukan nilai web kamu. Salah satu pesan yang ingin disampaikan MuDA adalah kamu boleh saja buat tulisan bagus dan desain yang hebat, tetapi kalau tak terindeks oleh Google atau tak punya popularitas di mesin pencari, ya percuma saja kawan.... (Amir Sodikin)
Penghijauan - Panen Buah-buahan di Kota Jakarta
KOMPAS, Jumat, 12 Desember 2008 01:53 WIB
Di tengah krisis ketersediaan ruang terbuka hijau atau RTH, memetik dan memanen buah segar di belantara beton Jakarta seakan hanya sebuah mimpi kosong. Namun, mimpi itu kini perlahan menjadi kenyataan.
Widodo, Kepala Suku Dinas Pertanian dan Kehutanan Jakarta Pusat mengatakan, sejak tahun 2004 mulai dirintis
”Kami sudah menanam 13.584 pohon produktif, yaitu jenis pohon mangga, jambu air, nangka, kelengkeng, sirsak, dan belimbing. Panen raya belimbing bahkan sudah dilakukan di Rumah Susun Gatot Subroto, 2006 silam,” kata Widodo, akhir November.
Belasan ribu pohon produktif itu, sesuai data dari Suku Dinas Pertanian dan Kehutanan Jakarta Pusat, telah ditanam di halaman perkantoran, puskesmas, sekolah, dan pekarangan rumah warga. Di Taman Monumen Nasional (Monas), misalnya, telah ditanami 5.000 pohon, sebagian di antaranya adalah pohon buah-buahan.
Menurut Widodo, pohon buah dipilih sebagai tanaman pengisi RTH dan jalur hijau karena mampu memberi manfaat lebih bagi masyarakat. Pohon buah umumnya memiliki akar dan batang kuat serta berdaun rimbun. Selain bisa menjadi peneduh, fungsi akar pohon sebagai penahan air dapat diandalkan. Buah yang dihasilkan siap disantap sendiri atau bisa juga dijual oleh pemiliknya.
Kelompok-kelompok masyarakat di tingkat RT/RW dipikat turut menanam pohon produktif. Bibit pohon dan pupuk, bahkan di beberapa lokasi penataan tamannya pun dibiayai pemerintah. Masyarakat hanya bertugas memelihara. Ketika upaya ini berhasil, ditandai dengan tumbuh suburnya pohon hingga berbuah, masyarakat pula yang memetik hasilnya.
Widodo mengakui, program ini belum menjangkau semua masyarakat di Jakarta Pusat. Namun, program ini diharapkan menularkan budaya menanam bagi masyarakat dan menunjang upaya percepatan realisasi penghijauan di Jakarta.
Masyarakat bisa dengan mudah mendapatkan bibit pohon produktif atau pohon siap berbuah. Jenis-jenis pohon tersebut banyak dijual di pusat penjualan tanaman, seperti di Jalan Asia Afrika (Senayan) serta Rawa Belong dan Meruya di Jakarta Barat. Harga mulai dari Rp 20.000 hingga ratusan ribu rupiah per pohon.
Aida (36), penjual tanaman hias dan pohon buah di Rawa Belong, mengatakan, perawatan pohon produktif cukup mudah. Dengan rutin diberi pupuk dan obat antihama, dalam satu-dua tahun pohon sudah bisa berbuah.
”Media tanam pun tidak perlu terlalu luas, tanaman buah bisa tumbuh subur bahkan di rumah-rumah mungil yang hanya memiliki satu-empat meter persegi sisa lahan kosong. Kalau tidak ada lahan, bisa juga ditanam di pot besar sekadar untuk penghijauan di rumah,” kata Aida. Bagaimana, menarik untuk dicoba bukan?
Perayaan Natal - Mari Merayakan dengan Menanam Pohon!
KOMPAS, Jumat, 12 Desember 2008
Pernahkah terpikir oleh Anda merayakan Natal dengan menanam pohon? Jika belum, mulailah dari Natal tahun ini.
Ini yang disarankan dan dilakukan Marandus Sirait, peraih penghargaan Kalpataru dari Desa Sionggang, Lumban Julu, Toba Samosir, untuk kategori Perintis Lingkungan tahun 2005, dan mereka yang cinta lingkungan. Mereka membuat
”Sudah bukan saatnya lagi pesta-pesta, tetapi ada tindakan nyata untuk menyelamatkan bumi,” tutur Marandus, pekan lalu. Marandus punya spiritualitas sendiri dalam merayakan Natal, yaitu bahwa persembahan untuk bayi Yesus penyelamat dunia adalah pohon. Sama dengan Yesus yang diyakini menyelamatkan dunia, manusia juga bisa menyelamatkan dunia dengan menanam pohon.
Salah satu panitia Natal, Sabungan Panggabean, yang sehari-hari bekerja sebagai petugas kesehatan, mengatakan, dirinya tertarik untuk terlibat menjadi panitia karena ingin melakukan perayaan natal yang berbeda. Panitia sendiri tidak semuanya beragama Kristen, tetapi juga Muslim. Rata-rata panitia mengaku terlibat karena semangat mencintai lingkungan yang ada dalam perayaan ini.
Bagaimana keluarga Marandus bisa mempertahankan tanahnya dan membangunnya menjadi lahan konservasi? Leas Sirait (71), ayah Marandus, mengatakan, tahun 1980 hingga 1990-an banyak pengusaha yang mengincar kayu-kayu hutan yang ada di lahannya. Mereka juga menawar untuk membeli lahannya.
Pensiunan kepala sekolah dasar itu mengaku enggan menjual kayu-kayu dan lahan tersebut meskipun para tetangganya melakukannya.
”Sejak kecil saya suka naik gunung di sini dan tanam pohon, mengapa saya harus jual?” kata Leas.
Leas berprinsip, kalau lahan kering dijual, sulit kembali. Ia tidak mau menjual batang pohon. Leas menghidupi 10 anaknya dari gaji sebagai pegawai negeri sipil dan hasil sawah.
Suku Terasing - 2,3 Juta Hektar Hutan Jelajah SAD Habis
KOMPAS, Jumat, 12 Desember 2008
Jambi - Sekitar 2,3 juta hektar kawasan jelajah masyarakat Suku Anak Dalam atau Orang Rimba di Provinsi Jambi telah habis. Kawasan itu berubah menjadi perkebunan sawit, akasia, areal hak pengusahaan hutan, dan permukiman transmigran. Orang Rimba makin kesulitan
Koordinator Bidang Konservasi dan Pemberdayaan Masyarakat Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, Robert Aritonang, mengatakan, telah terjadi monopoli swasta dalam penguasaan lahan hutan. Hingga kini, tinggal hutan di sebelah barat Jambi saja yang merupakan hulu sungai di kawasan penyangga Taman Nasional Kerinci Seblat, seluas 390.730 hektar, yang masih layak sebagai hunian Orang Rimba. Kawasan itu kini juga dalam ancaman terdegradasi dan terfragmentasi akibat tingginya aktivitas pembalakan dan perambahan.
”Semestinya hutan jangan hanya dilihat dari segi ekonomi, namun juga dari sisi ekologis dan sosial budaya bagi kehidupan masyarakat,” tutur Robert, dalam workshop ”Ancaman terhadap Etno-Ekologi Orang Rimba bagi Hegemoni-Kapitalis dan Strategi Penyelamatannya”, di Jambi, Kamis (11/12).
Hal ini menyebabkan areal jelajah Orang Rimba semakin sempit. Dalam perkembangannya, banyak Orang Rimba terpencar-pencar untuk memperoleh sumber makanan baru di area jelajah lain. Ia mencontohkan, belum lama ditemukan ada kelompok Orang Rimba di Kota Sungai Penuh, Kabupaten Kerinci. Keberadaan mereka di kota kecil tersebut sempat dipertanyakan karena Sungai Penuh tidak masuk area jelajah Orang Rimba. Ternyata diketahui bahwa mereka mencari sumber makanan di tempat baru.
Tumenggung Kitab, salah seorang pemimpin Suku Anak Dalam di Kabupaten Tebo, mengaku terpaksa keluar hutan dan tinggal di sekitar kebun sawit di Kabupaten Sarolangun. ”Kami mengais-ngais makanan tersisa di tempat sampah. Kalau beruntung, kami bisa dapat babi atau labi-labi untuk dijual ke tauke (pedagang pengumpul),” tuturnya.
Kepala Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam Provinsi Jambi Didi Wurjanto mengatakan, Orang Rimba tak dapat dipisahkan dari sumber daya hutan. Sayangnya, keberadaan mereka kerap tak diakui. Aturan negara tidak memadai untuk mengakomodasi kebutuhan masyarakat suku terasing seperti Orang Rimba.
Oleh karena itu, pihaknya akan melaksanakan inventarisasi atas hunian Orang Rimba di Jambi. Taman Nasional Bukit Duabelas yang ditujukan untuk mengonservasi Orang Rimba dinilainya tidak cukup luas. Sejumlah hutan produksi yang tak dikelola swasta dapat difungsikan untuk areal konservasi.
Rabu, 10 Desember 2008
Kearifan Masyarakat - Selamatkan Lingkungan dengan Perahu Wisata
KOMPAS, Kamis, 11 Desember 2008 (siwi nurbiajanti)
Jawa Tengah - Angin di kawasan obyek wisata Pantai Alam Indah Kota Tegal berembus kencang, menembus sendi-sendi tulang, Minggu (7/12) sore. Riak-riak kecil mewarnai ketenangan air laut di pantai tersebut. Tiga perahu wisata
Perahu-perahu tersebut milik Paguyuban Pengelolaan Sabuk Hijau. Paguyuban ini merupakan kelompok penyelamat kawasan Pantai Tegal dari ancaman abrasi.
Ketua Paguyuban Penyelamat Lingkungan Kota Tegal Riyanto mengatakan, usaha perahu wisata dimulai sekitar satu tahun lalu. Para pengelola perahu merupakan anggota Paguyuban Pengelolaan Sabuk Hijau, Kelurahan Mintaregan, Kecamatan Tegal Timur, Kota Tegal, termasuk dia. Mereka terlibat dalam pengelolaan lingkungan sejak 2000. Jumlah anggota paguyuban ini 20 orang.
Usaha tersebut berawal dari keprihatinan terhadap nasib warga yang menjadi sukarelawan penyelamat lingkungan. Mereka membantu menyelamatkan kawasan pantai dari ancaman abrasi, antara lain dengan menanam bakau, tanpa mendapatkan insentif dari pemerintah.
"Waktu ada proyek UNDP sekitar tahun 2005, kami mendapatkan insentif, Rp 16.000 per orang setiap bulan. Namun sejak setahun lalu tidak lagi," katanya.
Padahal, bibit bakau yang sudah ditanam harus dipelihara agar dapat tumbuh sehingga kuat menahan empasan ombak. Oleh karena itu, anggota Paguyuban Pengelolaan Sabuk Hijau Kelurahan Mintaragen bertekad tetap menjaga lingkungan. Selain memelihara tanaman yang ada, mereka juga menanam bibit bakau di pinggir petakan berukuran 3 meter x 100 meter dengan kedalaman 1 meter. Petakan yang berisi air itu dimanfaatkan untuk memelihara ikan nila. Kendala biaya
Riyanto mengatakan, apabila penyelamatan lingkungan tidak dilakukan, kerusakan kawasan pantai akan semakin parah. Selama 10 tahun terakhir, ratusan hektar tambak milik petani hilang, serta sebagian daratan pantai sepanjang 7,5 kilometer di Kota Tegal juga hilang. "Abrasi terus terjadi dan mengancam keberadaan pemukiman di sekitar pantai," ujarnya.
Namun, untuk biaya pemeliharaan dan insentif anggota, mereka terkendala ketersediaan dana. Oleh karena itu, ia berinisiatif menyelenggarakan usaha penyewaan perahu wisata. Riyanto membeli satu unit perahu seharga Rp 27 juta. Ternyata usaha tersebut membuahkan hasil. Ia kemudian menambah satu perahu lagi. Tiga perahu lainnya dari hasil patungan anggota paguyuban lainnya.
Perahu wisata di Pantai Alam Indah hanya beroperasi pada Minggu atau hari libur saat obyek wisata ramai pengunjung. Dengan membayar Rp 5.000 per orang, pengunjung akan dibawa menyusuri pantai sejauh 4 kilometer.
"Rata-rata sehari penghasilan kotor kami Rp 500.000 per kapal. Saat Lebaran bisa mencapai Rp 5 juta per hari," ujarnya.
Setelah dikurangi biaya operasional, sebagian pendapatan yang diperoleh disisihkan untuk kas paguyuban pengelolaan sabuk hijau. "Sisanya, 40 persen untuk pemilik kapal, 60 persen untuk anggota yang menjalankan," ujarnya.
Dari uang yang disisihkan tersebut saat ini terkumpul sekitar Rp 2 juta. Uang ini digunakan untuk membuat tiga unit terumbu karang, serta biaya pengadaan konsumsi saat penanaman atau pemeliharaan pohon bakau.
Selasa, 09 Desember 2008
Rinco Norkim, Menjaga Tempat Bermain
KOMPAS, Rabu, 10 Desember 2008
Masa kecil adalah masa terindah. Itulah yang dirasakan Rinco Norkim ketika berbicara mengenai masa kecilnya. Kenangan masa kecil dia yang tidak lepas dari hutan Mangkatip, Kecamatan Dusun Hilir, Kabupaten Barito Selatan, Kalimantan Tengah. Pada saat usianya menginjak kepala enam, Rinco tergugah
Dia tidak ingin anak cucu kita nanti cuma bisa mendengar tentang pohon ramin, tetapi tidak pernah melihat wujud pohonnya. Mereka hanya bisa membaca tentang adanya ikan jelawat, tetapi tidak pernah melihat ikannya secara langsung.
Alasan Rinco sederhana saja. Pada masa kecil, dia masih sempat bermain-main di hutan Mangkatip yang ditumbuhi pohon ramin, dan memancing ikan jelawat di rawa sekitarnya. Namun, belakangan ini, banyaknya areal hutan di Kalteng yang rusak mengakibatkan sebagian flora dan fauna hutan itu kian sulit ditemui.
Namun, Rinco menyadari bahwa menyelamatkan hutan jelas merupakan pekerjaan raksasa, apalagi kalau konteksnya adalah luasan hutan kritis di Kalteng yang mencapai 7,5 juta hektar (menurut taksiran Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Kalteng). Maka, dia pun tidak berpretensi menyelamatkan jutaan hektar hutan yang kritis itu.
”Saya hanya ingin menjaga hutan tempat saya bermain dulu. Kebetulan ada kerabat di desa ngomong kepada saya bahwa hutan di Mangkatip sampai sekarang kondisinya relatif masih bagus,” kata lelaki yang pernah menjabat sebagai Pembantu Rektor II Universitas Palangkaraya (1995-1999) ini.
Rinco kemudian pergi ke Mangkatip untuk melihat hutan yang disebut-sebut masih perawan itu. Dijumpainya hamparan hutan seluas sekitar 250 hektar yang berbatasan dengan areal Proyek Lahan Gambut (PLG) Sejuta Hektar.
Hutan Mangkatip itu masih beruntung karena pohon-pohonnya tidak habis dibabat sebagaimana terjadi di kawasan PLG. Aneka pohon masih ditemukan di sini, seperti meranti, belangeran, ramin, dan jelutung. Adapun satwa yang ditemui di hutan itu antara lain bekantan, orangutan, dan beragam jenis burung serta ikan. Berbagai spesies anggrek hutan juga ada di hutan Mangkatip.
”Ada juga tanaman kantong semar yang gedenya seperti saksofon,” kata Rinco yang tahun 1988-1989 turut mencetuskan berdirinya Mahasiswa Pencinta Alam (Mapala) Komodo Universitas Palangkaraya. Saat itu dia menjadi Pembantu Dekan III Fakultas Ekonomi di perguruan tinggi tersebut.
Berbekal rekomendasi dari Kepala Desa Mangkatip dan izin Camat Dusun Hilir serta Bupati Barito Selatan, Rinco beserta beberapa warga setempat bersepakat bersama-sama menjaga kawasan hutan Mangkatip agar tidak ditebangi. Mereka juga berusaha agar kawasan hutan itu jangan sampai terbakar pada musim kemarau.
Konservasi
Dalam Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah Provinsi Kalteng, hutan Mangkatip termasuk dalam kawasan konservasi flora dan fauna. Oleh karena itu, Rinco lalu meminta izin kepada Pemkab Barito Selatan untuk mengelola kawasan hutan Mangkatip. Gayung bersambut, pemerintah setempat memberikan lampu hijau kepada Rinco untuk menjaga kawasan itu.
Maka, mulai awal 2004 ia berkali-kali melakukan pendekatan kepada warga sekitar hutan Mangkatip. Agar penjagaan kawasan hutan lebih terorganisasi, Rinco kemudian mendirikan LSM Lestari Hutanku. LSM itu disahkan pada 14 Maret 2007 dengan akta notaris, dan dua hari kemudian terdaftar di Pengadilan Negeri Palangkaraya.
Langkah LSM Lestari Hutanku untuk menjaga kawasan hutan Mangkatip dari jarahan penebang liar, antara lain, dengan membangun empat kamp pemantauan. Dirintis pula pembuatan jalan setapak sepanjang tujuh kilometer yang mengelilingi areal hutan.
Setidaknya ada lima warga yang bernaung di LSM Lestari Hutanku dengan tugas memantau hutan Mangkatip secara bergantian. Setiap hari mereka diberi upah Rp 50.000. ”Selama ini biaya operasional pengamanan hutan Mangkatip itu masih dari kantong sendiri,” kata anggota DPRD Kalteng periode 2004-2009 ini.
Meski sudah mengantongi izin, Rinco tetap khawatir. Pasalnya, kegiatan pengawasan hutan Mangkatip itu tak mungkin selamanya dibiayai dari kantongnya sendiri. Dia berharap pemerintah daerah mau mendukung kegiatan tersebut.
Sejauh ini, LSM Lestari Hutanku mencatat ada 32 jenis pohon di hutan Mangkatip, termasuk memberi nomor pada pohon-pohon tersebut. Secara psikologis, pemasangan pelat bernomor efektif mencegah orang yang berniat menebang pohon di hutan itu.
Rinco menuturkan, dia pernah ditawari uang Rp 1 miliar oleh sebuah perusahaan pemegang hak pengusahaan hutan (HPH) di Kalteng. Perusahaan itu ingin agar pengelolaan hutan Mangkatip diserahkan kepada mereka sehingga dapat menjadi lokasi percontohan pengelolaan hutan oleh perusahaan HPH bersangkutan.
”Tawaran ini saya tolak. Saya ingin menjaga hutan Mangkatip itu karena memang ingin melihatnya tetap lestari seperti dulu. Ini agar anak cucu bisa melihatnya, bukan untuk diperjualbelikan,” katanya.
Bahaya kebakaran
Papan berisi imbauan untuk menjaga hutan dari bahaya kebakaran pun dipasang di beberapa lokasi. Rinco juga berkeinginan agar kawasan ini bisa dijadikan lokasi penelitian karena masih banyak jenis flora dan fauna yang belum terdata.
Dia mencontohkan, di hutan Mangkatip ada sejenis pohon yang diameter batangnya mencapai 40 sentimeter. Jika kulit batang pohon ini ditusuk, akan keluar getah bening yang menjulur serupa tali.
Ketika mengering, getah itu menjadi liat seperti agar-agar. Jika dipotong kecil-kecil (seukuran ujung jari kelingking orang dewasa) dan dimasukkan dalam baskom berisi air, air di wadah itu akan menjadi liat juga seperti agar-agar. Warga setempat acap menggunakan agar-agar dari getah pohon itu untuk mengobati penderita panas dalam.
”Saya sudah bertanya ke kolega di Jurusan Kehutanan Universitas Palangkaraya, tapi sejauh ini belum ada yang tahu spesies pohon itu,” kata Rinco yang di pengujung tahun 2007 meluncurkan buku karyanya, Menuju Pengelolaan Hutan Lestari.
Buku dengan kata pengantar Gubernur Kalteng Agustin Teras Narang dan Bupati Barito Selatan Baharudin Lisa ini disebarkan ke lingkup kantor pemerintah daerah serta dijual melalui beberapa toko buku di Kalteng dan Kalimantan Selatan.
Lewat bukunya, Rinco berharap akan semakin banyak orang yang mau peduli terhadap pelestarian hutan. Direktur CV Daya Kreatif Eka Dolok Martimbang, penerbitnya, mengatakan, ”Kami sungguh mengapresiasi kepedulian dan kesungguhannya untuk melestarikan hutan di Mangkatip.” -C Anto Saptowalyono-
Lingkungan Toba Rusak
KOMPAS, Rabu, 10 Desember 2008
Hujan yang turun berhari-hari di kawasan Danau Toba ditambah kerusakan hutan di Sumatera diduga menjadi penyebab naiknya permukaan air Danau Toba mencapai puncak tertinggi dalam 30 tahun terakhir. Akibatnya, Kabupaten Toba Samosir dan Samosir yang berada
Banjir juga melanda daerah yang dilewati air danau melalui Sungai Asahan ke Selat Malaka yakni Kabupaten Asahan, Kota Tanjung Balai, dan Kabupaten Batu Bara.
Elevasi Danau Toba pada Selasa (9/12) menurut Badan Otorita Asahan mencapai +905,153 meter dengan buangan melalui dam pengatur Siruar mencapai 260,5 ton per detik, dua kali lipat pembuangan biasanya yang rata-rata 110 ton per detik.
Ketua Otorita Asahan Effendi Sirait mengatakan, pihaknya belum bisa membuka pintu dam terlalu lebar karena Kabupaten Asahan dan Kota Tanjung Balai akan makin kebanjiran. Penggiat Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat Bungaran Antonius Simanjuntak dan tokoh masyarakat Parmalim Balige Monang Naipospos mengatakan, fungsi hutan sebagai penahan air semakin menurun. Di sisi lain, fungsi danau sebagai penampung air tereduksi oleh sedimentasi.
Sementara itu, Kepala Kelompok Data dan Prakiraan Stasiun Meteorologi Maritim Panjang, Bandar Lampung, Neneng Kusrini, memperingatkan adanya konvergensi (pertemuan angin) di barat daya Selat Sunda yang berpotensi menimbulkan gelombang tinggi dan berbahaya bagi pelayaran. Hal itu berlangsung sejak Selasa sampai 2-3 hari berikutnya. Gelombang laut di daerah konvergensi diperkirakan setinggi 2-3 meter, sedangkan gelombang di Selat Sunda diperkirakan 1,5-2 meter.
Terkait bencana banjir pekan lalu, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bandung Askary Wirantaatmadja meyakini hal itu tidak memengaruhi minat wisatawan asing dan domestik datang ke Kota Bandung. Desember 2008 kunjungan wisatawan diyakini lebih dari 20.000 orang per minggu.
Adapun masalah kawasan Danau Limboto yang sering kebanjiran, Pemkab Gorontalo mengaku tak berdaya memindahkan 150 keluarga di kawasan danau yang menjadi daratan itu.
Menurut Bupati Gorontalo David Bobihoe yang dihubungi dari Manado, Selasa, pemkab telah membangun 150 unit rumah tipe 21 yang dibagi gratis dari dana APBD 2007 di Kwandang.
Namun, warga menolak karena daerah itu berjarak 6 kilometer dari tempat semula. Alasannya, warga kesulitan melakukan pekerjaan sebagai nelayan di danau, apalagi rumah mereka saat ini lebih bagus dan luas.
Karena itu, pemkab membangun balai ukuran 10 x 25 meter dengan tinggi 3 meter sebagai tempat warga mengungsi apabila kebanjiran.
Memimpikan Kota Peduli Lingkungan
KOMPAS, Selasa, 9 Desember 2008
Kudus adalah kota kabupaten di jalur pantai utara Jawa Tengah tanpa pantai dan terkenal dengan industri rokok, bordir, serta jenang. Selain tenar sebagai "kota kretek", Kudus dapat pula
Alasannya, banyak pondok pesantren dan tempat-tempat bersejarah bagi umat Islam di Jawa dan sekaligus menjadi obyek ziarah seperti Masjid Menara Kudus dengan makan Sunan Kudus dan makam Sunan Muria. Mereka adalah dua di antara sembilan Wali atau penyebar agama Islam di Jawa.
Mayoritas wilayah Kabupaten Kudus adalah dataran rendah. Di wilayah utara terdapat Pegunungan Muria dengan puncaknya setinggi 1.602 meter, Gunung Rahtawu (1.522 meter), dan Gunung Argojembangan (1.410 meter) sehingga Kudus memiliki potensi alam luar biasa. Desa Ternadi, Desa Kajar, Desa Colo, Desa Japan, Desa Rahtawu, dan Desa Soco adalah desa-desa yang berhubungan langsung dengan kawasan Pegunungan Muria. Desa Colo merupakan desa wisata ziarah karena di situ ada makam Sunan Muria.
Kebijakan pemerintah daerah Kudus berniat meningkatkan investasi ekonomi dengan tetap memerhatikan konservasi alam dan pelestarian lingkungan hidup. Sayangnya, secara faktual hal itu belum berjalan lancar. Masalah lingkungan tidak hanya terjadi di kawasan Pegunungan Muria yang kian memprihatinkan seperti beberapa sumber mata air telah hilang, beberapa jenis satwa kian langka, dan pembabatan hutan lindung. Apalagi, penataan kawasan lindung antara masyarakat lokal yang terkait langsung dengan Kawasan Muria, Pemerintah Kabupaten Kudus, serta Perhutani, tidak jelas.
Kerusakan daerah atas Kudus di Desa Rahtawu di kawasan Muria berkorelasi dengan bencana di daerah di bawahnya. Saat musim hujan, terjadi banjir di beberapa tempat di Desa Setrokalangan, Kecamatan Kaliwungu, dan tiga desa di Kecamatan Mejobo, yaitu Golantepus, Temulus, dan Mejobo.
Di perkotaan, pelanggaran tata ruang kota berlangsung seiring dengan pertumbuhan ekonomi berdasarkan pemasukan dana pemerintah daerah. Pemkab Kudus, Dinas Lingkungan Hidup dan Pertambangan Kabupaten Kudus, dan masyarakat perlu menginisiasi produk hukum peraturan daerah lingkungan hidup agar ada pijakan hukum yang jelas dan arif menangani lingkungan. Mochamad Widjanarko Pengajar Fakultas Psikologi di Universitas Muria Kudus dan Peneliti di Muria Research Center (MRC).
Tingkatkan Kesadaran Masyarakat
KOMPAS, 09 Desember 2008
Kelompok Solar Generation dari Greenpeace bergabung dalam gerakan Global Day of Action atau Hari Aksi Global untuk iklim dengan aksi long march dari Bundaran Hotel Indonesia dan membentuk formasi manusia di Monumen Nasional, Jakarta, Sabtu (6/12). Global Day of Action berlangsung serentak di seluruh dunia untuk mendesak Konferensi PBB Mengenai Perubahan Iklim (UNCCC) yang berlangsung 1-12 Desember di Poznan, Polandia, agar segera mengambil keputusan demi menahan laju pemanasan global guna penyelamatan Bumi.
Ribuan Bibit Ditanam di Lahan Kritis
KOMPAS, Selasa, 9 Desember 2008
WATES - Sekitar 469.344 bibit pohon kayu dan buah, Sabtu (6/12), ditanam bertahap di sejumlah lahan kritis di Kulon Progo. Selain mencegah pemanasan global, penanaman bibit pohon juga akan memperbaiki kualitas udara. Kepala Subdinas Kehutanan dan Perkebunan Kulon Progo Djunianto Marsudi Utomo menyatakan, penanaman bibit pohon secara massal ini merupakan
Bibit pohon yang tersisa akan disebar ke kantor-kantor kecamatan. Bagi warga yang hendak melakukan penghijauan di sekitar lingkungan, mereka bisa meminta bibit ke kecamatan secara gratis, ujar Djunianto. Kualitas udara Dalam sambutannya, Bupati Toyo mengatakan penanaman bibit pohon tidak hanya bertujuan menjaga kestabilan iklim dunia dan mencegah pemanasan global, melainkan juga memperbaiki kualitas udara yang dihirup warga. Tanaman diyakini mampu menyerap gas-gas polutan beracun, seperti karbonmonoksida dan sulfurdioksida dalam proses fotosintesis, kemudian menghasilkan gas oksigen yang lebih bermanfaat. Selain itu, penanaman pohon juga bermanfaat menjaga cadangan air di dalam tanah. Dengan begitu, air tidak akan mudah terbuang ke sungai sehingga risiko banjir akibat luapan aliran sungai bisa dihindari. Sebenarnya Kulon Progo sudah lama mencanangkan gerakan daerah rehabilitasi lahan dengan cara menanam pohon di hutan-hutan rakyat. Ini menjadi bukti bahwa pemerintah dan rakyat Kulon Progo senantiasa peduli dengan kelestarian alam, kata Toyo. Diharapkan, penanaman bibit pohon di akhir tahun ini bisa mengurangi luas lahan kritis di Kulon Progo hingga lebih dari 1.400 hektare.
Senin, 08 Desember 2008
Aktivis Lingkungan Inggris Hentikan Pesawat
KOMPAS, Selasa, 9 Desember 2008
Seluruh aktivitas penerbangan di Bandara Stansted, London, terhenti setelah 50 aktivis lingkungan hidup dari kelompok bernama Plane Stupid berhasil menerobos masuk ke jalur landas pacu, Senin (8/12). Para aktivis membuat semacam pagar manusia untuk menghalangi pesawat yang hendak mendarat dan terbang. Kelompok ini mengaku menutup landas pacu itu untuk mengantisipasi lepasnya ribuan ton emisi gas rumah kaca ke atmosfer.
Jumat, 05 Desember 2008
Hutan Aceh Sudah Rusak Parah
KOMPAS, Jumat, 5 Desember 2008 00:03 WIB
Banda Aceh - Banjir yang melanda lebih dari tujuh kabupaten di pantai barat, pantai timur, dan wilayah tengah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam membuktikan lingkungan dan hutan dalam kondisi rusak parah. Kebijakan moratorium logging atau penghentian
Manajer Riset Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) NAD M Nur, mengatakan, terjadinya banjir di beberapa kabupaten, terutama di pantai timur Aceh, membuktikan bahwa kebijakan jeda tebang atau moratorium logging yang dicanangkan pemerintahan Irwandi Yusuf-Muhammad Nazar tidak berjalan. Pencegahan penebangan liar di wilayah hutan di wilayah Bukit Barisan di Provinsi Aceh tidak bisa dibendung. Selain itu, masih terus diberikannya izin eksplorasi pertambangan yang dilakukan tanpa riset terhadap dampak lingkungan telah membuat wilayah hilir Aceh banjir.
Menurut catatan Walhi Aceh, frekuensi bencana banjir melanda NAD terus meningkat. Hal ini selain disebabkan terjadinya perubahan iklim, juga dipengaruhi oleh cepatnya laju penurunan luas hutan Aceh yang mencapai 20.796 hektar per tahun.
Laju pengurangan luas hutan ini disebabkan makin tingginya aktivitas pengelolaan sumber daya alam, seperti pertambangan, perkebunan skala besar, dan pembalakan liar.
Staf Bidang Riset Walhi NAD M Oki Kurniawan menyebutkan, berdasarkan data yang dikeluarkan Badan Meteorologi dan Geofisika Blang Bintang-Aceh Besar, Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional, serta Direktorat Jenderal Sumber Daya Air dan Pekerjaan Umum, pada September hingga awal Desember ini sudah 11 dari 23 kabupaten di Aceh dilanda banjir.