KOMPAS, Selasa, 16 Desember 2008 10:35 WIB
Tiga kamar mandi dan tujuh toilet berjajar di tengah bangunan bercat hijau di kawasan pemukiman RT 9 RW 2, Kelurahan Tegalsari, Kecamatan Tegal Barat, Kota Tegal.
Tiga kamar mandi dan tujuh toilet berjajar di tengah bangunan bercat hijau di kawasan pemukiman RT 9 RW 2, Kelurahan Tegalsari, Kecamatan Tegal Barat, Kota Tegal.
Kawasan tersebut merupakan kawasan pemukiman nelayan yang berjarak sekitar 300 meter dari Laut Jawa.
Pada salah satu ruangan di pojok bangunan terdapat sebuah kompor gas tungku satu. Kompor tersebut tersalur dengan pipa-pipa yang dihubungkan ke dalam saluran pembuangan limbah manusia, dari toilet dan kamar mandi.
Bangunan tersebut merupakan fasilitas WC dan kamar mandi umum, bernama Sanimas Asyifa. Sanimas Asyifa mulai dioperasikan sekitar Februari 2008. Limbah manusia di sanimas ini dimanfaatkan sebagai biogas untuk bahan bakar memasak.
Pengelola Sanimas Asyifa, Abukandar (49), mengatakan, sanitasi masyarakat tersebut bantuan Bremen Overseas Research Development Association, organisasi nonprofit yang berpusat di Bremen, Jerman. Fasilitas umum tersebut untuk warga di Kelurahan Tegalsari dan sekitarnya.
Menurut Abukandar, pendirian sanitasi berawal dari penawaran salah satu lembaga swadaya masyarakat di Yogyakarta. Kebetulan saat itu masyarakat memang membutuhkan WC dan kamar mandi umum. "Dari sekitar 200 keluarga di RT 9, dulu sekitar 50 persen buang air besar di sungai," ujarnya, Senin (15/12).
Saat ini, masyarakat memanfaatkan fasilitas tersebut untuk mandi, mencuci, buang air kecil, dan buang air besar. Limbah kotoran manusia di sini dimanfaatkan sebagai biogas untuk memasak.
Cara kerja kompor tidak jauh berbeda dengan kompor gas lainnya. Hanya saja setelah tombolnya dinyalakan, kompor tersebut harus disulut dengan api. Selain mempersiapkan nyala yang lebih besar, hal tersebut juga dimaksudkan untuk mengurangi efek bau kurang sedap yang ditimbulkan dari biogas. Meski berasal dari kotoran manusia, hasil tidak berbau.
Menurut Abukandar, meski efektif, belum banyak masyarakat yang bersedia memanfaatkan energi tersebut. Selama ini hanya ia dan istrinya, Turinah (47), yang memanfaatkan biogas itu. Padahal, persediaan biogas saat ini cukup untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar lima keluarga.
Untuk mendapatkan biogas itu, warga hanya perlu menyiapkan pipa dan kompor. Biayanya diperkirakan tidak lebih dari Rp 200.000 per keluarga. Setelah itu, warga cukup membayar iuran sebesar Rp 5.000 per bulan.
Dibandingkan dengan minyak tanah atau elpiji, biayanya jauh lebih murah. Pengelola sanitasi tersebut memang mematok biaya iuran yang rendah karena biogas hasil kotoran manusia belum populer di masyarakat.
Casriyah (55), warga yang tinggal di dekat Sanimas Asyifa mengaku sudah mengetahui keberadaan biogas tersebut. Namun, ia masih enggan memanfaatkannya karena takut meledak. Menurut dia, di sekitar lokasi rumahnya banyak tikus sehingga pipa yang terpasang bisa saja digerogoti tikus.
Untuk memasak, ia memilih menggunakan minyak tanah seharga Rp 5.500 per liter. Dalam sehari, ia membutuhkan sekitar satu liter minyak tanah.
Menurut Abukandar, sebagian warga lain enggan memenfaatkan biogas tersebut karena bahan bakar itu berasal dari kotoran manusia. Oleh karena itu, ia berharap agar pemerintah ikut menyosialisasikan pemanfaatan biogas dari kotoran manusia untuk memasak.
Pada salah satu ruangan di pojok bangunan terdapat sebuah kompor gas tungku satu. Kompor tersebut tersalur dengan pipa-pipa yang dihubungkan ke dalam saluran pembuangan limbah manusia, dari toilet dan kamar mandi.
Bangunan tersebut merupakan fasilitas WC dan kamar mandi umum, bernama Sanimas Asyifa. Sanimas Asyifa mulai dioperasikan sekitar Februari 2008. Limbah manusia di sanimas ini dimanfaatkan sebagai biogas untuk bahan bakar memasak.
Pengelola Sanimas Asyifa, Abukandar (49), mengatakan, sanitasi masyarakat tersebut bantuan Bremen Overseas Research Development Association, organisasi nonprofit yang berpusat di Bremen, Jerman. Fasilitas umum tersebut untuk warga di Kelurahan Tegalsari dan sekitarnya.
Menurut Abukandar, pendirian sanitasi berawal dari penawaran salah satu lembaga swadaya masyarakat di Yogyakarta. Kebetulan saat itu masyarakat memang membutuhkan WC dan kamar mandi umum. "Dari sekitar 200 keluarga di RT 9, dulu sekitar 50 persen buang air besar di sungai," ujarnya, Senin (15/12).
Saat ini, masyarakat memanfaatkan fasilitas tersebut untuk mandi, mencuci, buang air kecil, dan buang air besar. Limbah kotoran manusia di sini dimanfaatkan sebagai biogas untuk memasak.
Cara kerja kompor tidak jauh berbeda dengan kompor gas lainnya. Hanya saja setelah tombolnya dinyalakan, kompor tersebut harus disulut dengan api. Selain mempersiapkan nyala yang lebih besar, hal tersebut juga dimaksudkan untuk mengurangi efek bau kurang sedap yang ditimbulkan dari biogas. Meski berasal dari kotoran manusia, hasil tidak berbau.
Menurut Abukandar, meski efektif, belum banyak masyarakat yang bersedia memanfaatkan energi tersebut. Selama ini hanya ia dan istrinya, Turinah (47), yang memanfaatkan biogas itu. Padahal, persediaan biogas saat ini cukup untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar lima keluarga.
Untuk mendapatkan biogas itu, warga hanya perlu menyiapkan pipa dan kompor. Biayanya diperkirakan tidak lebih dari Rp 200.000 per keluarga. Setelah itu, warga cukup membayar iuran sebesar Rp 5.000 per bulan.
Dibandingkan dengan minyak tanah atau elpiji, biayanya jauh lebih murah. Pengelola sanitasi tersebut memang mematok biaya iuran yang rendah karena biogas hasil kotoran manusia belum populer di masyarakat.
Casriyah (55), warga yang tinggal di dekat Sanimas Asyifa mengaku sudah mengetahui keberadaan biogas tersebut. Namun, ia masih enggan memanfaatkannya karena takut meledak. Menurut dia, di sekitar lokasi rumahnya banyak tikus sehingga pipa yang terpasang bisa saja digerogoti tikus.
Untuk memasak, ia memilih menggunakan minyak tanah seharga Rp 5.500 per liter. Dalam sehari, ia membutuhkan sekitar satu liter minyak tanah.
Menurut Abukandar, sebagian warga lain enggan memenfaatkan biogas tersebut karena bahan bakar itu berasal dari kotoran manusia. Oleh karena itu, ia berharap agar pemerintah ikut menyosialisasikan pemanfaatan biogas dari kotoran manusia untuk memasak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar