KOMPAS, Rabu, 10 Desember 2008
Masa kecil adalah masa terindah. Itulah yang dirasakan Rinco Norkim ketika berbicara mengenai masa kecilnya. Kenangan masa kecil dia yang tidak lepas dari hutan Mangkatip, Kecamatan Dusun Hilir, Kabupaten Barito Selatan, Kalimantan Tengah. Pada saat usianya menginjak kepala enam, Rinco tergugah
Dia tidak ingin anak cucu kita nanti cuma bisa mendengar tentang pohon ramin, tetapi tidak pernah melihat wujud pohonnya. Mereka hanya bisa membaca tentang adanya ikan jelawat, tetapi tidak pernah melihat ikannya secara langsung.
Alasan Rinco sederhana saja. Pada masa kecil, dia masih sempat bermain-main di hutan Mangkatip yang ditumbuhi pohon ramin, dan memancing ikan jelawat di rawa sekitarnya. Namun, belakangan ini, banyaknya areal hutan di Kalteng yang rusak mengakibatkan sebagian flora dan fauna hutan itu kian sulit ditemui.
Namun, Rinco menyadari bahwa menyelamatkan hutan jelas merupakan pekerjaan raksasa, apalagi kalau konteksnya adalah luasan hutan kritis di Kalteng yang mencapai 7,5 juta hektar (menurut taksiran Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Kalteng). Maka, dia pun tidak berpretensi menyelamatkan jutaan hektar hutan yang kritis itu.
”Saya hanya ingin menjaga hutan tempat saya bermain dulu. Kebetulan ada kerabat di desa ngomong kepada saya bahwa hutan di Mangkatip sampai sekarang kondisinya relatif masih bagus,” kata lelaki yang pernah menjabat sebagai Pembantu Rektor II Universitas Palangkaraya (1995-1999) ini.
Rinco kemudian pergi ke Mangkatip untuk melihat hutan yang disebut-sebut masih perawan itu. Dijumpainya hamparan hutan seluas sekitar 250 hektar yang berbatasan dengan areal Proyek Lahan Gambut (PLG) Sejuta Hektar.
Hutan Mangkatip itu masih beruntung karena pohon-pohonnya tidak habis dibabat sebagaimana terjadi di kawasan PLG. Aneka pohon masih ditemukan di sini, seperti meranti, belangeran, ramin, dan jelutung. Adapun satwa yang ditemui di hutan itu antara lain bekantan, orangutan, dan beragam jenis burung serta ikan. Berbagai spesies anggrek hutan juga ada di hutan Mangkatip.
”Ada juga tanaman kantong semar yang gedenya seperti saksofon,” kata Rinco yang tahun 1988-1989 turut mencetuskan berdirinya Mahasiswa Pencinta Alam (Mapala) Komodo Universitas Palangkaraya. Saat itu dia menjadi Pembantu Dekan III Fakultas Ekonomi di perguruan tinggi tersebut.
Berbekal rekomendasi dari Kepala Desa Mangkatip dan izin Camat Dusun Hilir serta Bupati Barito Selatan, Rinco beserta beberapa warga setempat bersepakat bersama-sama menjaga kawasan hutan Mangkatip agar tidak ditebangi. Mereka juga berusaha agar kawasan hutan itu jangan sampai terbakar pada musim kemarau.
Konservasi
Dalam Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah Provinsi Kalteng, hutan Mangkatip termasuk dalam kawasan konservasi flora dan fauna. Oleh karena itu, Rinco lalu meminta izin kepada Pemkab Barito Selatan untuk mengelola kawasan hutan Mangkatip. Gayung bersambut, pemerintah setempat memberikan lampu hijau kepada Rinco untuk menjaga kawasan itu.
Maka, mulai awal 2004 ia berkali-kali melakukan pendekatan kepada warga sekitar hutan Mangkatip. Agar penjagaan kawasan hutan lebih terorganisasi, Rinco kemudian mendirikan LSM Lestari Hutanku. LSM itu disahkan pada 14 Maret 2007 dengan akta notaris, dan dua hari kemudian terdaftar di Pengadilan Negeri Palangkaraya.
Langkah LSM Lestari Hutanku untuk menjaga kawasan hutan Mangkatip dari jarahan penebang liar, antara lain, dengan membangun empat kamp pemantauan. Dirintis pula pembuatan jalan setapak sepanjang tujuh kilometer yang mengelilingi areal hutan.
Setidaknya ada lima warga yang bernaung di LSM Lestari Hutanku dengan tugas memantau hutan Mangkatip secara bergantian. Setiap hari mereka diberi upah Rp 50.000. ”Selama ini biaya operasional pengamanan hutan Mangkatip itu masih dari kantong sendiri,” kata anggota DPRD Kalteng periode 2004-2009 ini.
Meski sudah mengantongi izin, Rinco tetap khawatir. Pasalnya, kegiatan pengawasan hutan Mangkatip itu tak mungkin selamanya dibiayai dari kantongnya sendiri. Dia berharap pemerintah daerah mau mendukung kegiatan tersebut.
Sejauh ini, LSM Lestari Hutanku mencatat ada 32 jenis pohon di hutan Mangkatip, termasuk memberi nomor pada pohon-pohon tersebut. Secara psikologis, pemasangan pelat bernomor efektif mencegah orang yang berniat menebang pohon di hutan itu.
Rinco menuturkan, dia pernah ditawari uang Rp 1 miliar oleh sebuah perusahaan pemegang hak pengusahaan hutan (HPH) di Kalteng. Perusahaan itu ingin agar pengelolaan hutan Mangkatip diserahkan kepada mereka sehingga dapat menjadi lokasi percontohan pengelolaan hutan oleh perusahaan HPH bersangkutan.
”Tawaran ini saya tolak. Saya ingin menjaga hutan Mangkatip itu karena memang ingin melihatnya tetap lestari seperti dulu. Ini agar anak cucu bisa melihatnya, bukan untuk diperjualbelikan,” katanya.
Bahaya kebakaran
Papan berisi imbauan untuk menjaga hutan dari bahaya kebakaran pun dipasang di beberapa lokasi. Rinco juga berkeinginan agar kawasan ini bisa dijadikan lokasi penelitian karena masih banyak jenis flora dan fauna yang belum terdata.
Dia mencontohkan, di hutan Mangkatip ada sejenis pohon yang diameter batangnya mencapai 40 sentimeter. Jika kulit batang pohon ini ditusuk, akan keluar getah bening yang menjulur serupa tali.
Ketika mengering, getah itu menjadi liat seperti agar-agar. Jika dipotong kecil-kecil (seukuran ujung jari kelingking orang dewasa) dan dimasukkan dalam baskom berisi air, air di wadah itu akan menjadi liat juga seperti agar-agar. Warga setempat acap menggunakan agar-agar dari getah pohon itu untuk mengobati penderita panas dalam.
”Saya sudah bertanya ke kolega di Jurusan Kehutanan Universitas Palangkaraya, tapi sejauh ini belum ada yang tahu spesies pohon itu,” kata Rinco yang di pengujung tahun 2007 meluncurkan buku karyanya, Menuju Pengelolaan Hutan Lestari.
Buku dengan kata pengantar Gubernur Kalteng Agustin Teras Narang dan Bupati Barito Selatan Baharudin Lisa ini disebarkan ke lingkup kantor pemerintah daerah serta dijual melalui beberapa toko buku di Kalteng dan Kalimantan Selatan.
Lewat bukunya, Rinco berharap akan semakin banyak orang yang mau peduli terhadap pelestarian hutan. Direktur CV Daya Kreatif Eka Dolok Martimbang, penerbitnya, mengatakan, ”Kami sungguh mengapresiasi kepedulian dan kesungguhannya untuk melestarikan hutan di Mangkatip.” -C Anto Saptowalyono-
Film Sharkwater Extinction
4 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar