Rabu, 17 Desember 2008

Festival Kendeng-Lusi ~ Melestarikan Tradisi, Menyelamatkan Bumi

KOMPAS, Rabu, 17 Desember 2008 10:43 WIB (HENDRIYO WIDI)
JAWA TENGAH - Seniman Semarang asal Blora, Bowo Kajangan, berendam di Sungai Lusi, Kabupaten Blora, sembari membawa bibit daun jati, Minggu (14/12) siang. Tak jauh

dari lelaki berambut gondrong itu, seniman Randublatung, Djuadi, muncul dari semak-semak di Sungai Lusi mengenakan pakaian sampah bambu dan topeng raksasa.

Begitu Bowo bersiap-siap menapaki anak tangga yang berdiri tegak di tengah-tengah Sungai Lusi, Djuadi memercikkan air dan melempar sampah-sampah sungai. Namun, Bowo tidak goyah. Ia sekuat tenaga naik ke tangga itu dan menghunjukkan bibit itu kepada Sang Pencipta.

Usai itu, Bowo mengambil air Sungai Lusi dengan klenthing atau kendi wadah air yang terbuat dari tanah liat. Melalui air itu, Bowo memerciki uborampe khas Pegunungan Kendeng dan Sungai Lusi, seperti ketela pohon, jagung, padi, air, dan sayuran.

"Saya bersyukur anak-anak kecil, temanten anyar, dan pengusaha furnitur mau menerima bibit jati," kata Bowo seusai mengarak uborampe itu bersama para pemain reog siswa-siswi SMA Negeri 1 Randublatung.

Kegiatan itu menjadi puncak Festival Budaya Nguripi Kendeng-Lusi yang digelar Komunitas Pasang Surut Blora di tepi Sungai Lusi dan rumah sastrawan Pramoedya Ananta Toer. Komunitas yang mengambil semangat sastrawan asal Blora itu bergerak di bidang sejarah, seni- budaya, dan lingkungan hidup.

Bowo mengatakan, manusia tidak lagi dekat dengan alam. Padahal banyak terdapat "buku kecil" dari alam, seperti kembang kenikir yang berarti berpikir, dan alang-alang atau rumput liar yang berarti manusia harus mampu menghindari rintangan atau halangan hidup.

"Saat ini, rumah-rumah air dirusak dan dijarah manusia. Misalnya Pegunungan Kendeng yang kaya akan karst dan gua-gua air bawah tanah ditambang. Maka jangan salahkan alam kalau terjadi banjir dan longsor," kata dia.

Pendamping Komunitas Pasang Surut, Gatot Pranoto, mengatakan, dahulu Sungai Lusi tidak pernah kehabisan air pada musim kemarau. "Namun, sekarang Sungai Lusi tidak lagi memberikan kesegaran pada musim itu," kata dia.

Pada Sabtu (13/12), adik Pramoedya, Soesilo Toer, mengarak bibit jati sebagai simbol kehidupan Kendeng-Lusi sembari diiringi musik terbang jidor.

Perlu komitmen

Mantan Menteri Lingkungan Hidup Sony Keraf yang hadir dalam acara itu mengatakan, masyarakat dan komunitas di sekitar Pegunungan Kendeng dan Sungai Lusi perlu punya komitmen menyelamatkan bumi dan melestarikan tradisi. Langkah-langkah konkret perlu dilakukan, seperti menolak menjual pegunungan karst untuk kepentingan kapitalis yang berbasis industrialisasi.

"Tradisi dan cara hidup masyarakat akan berubah jika ada industrialisasi. Kearifan lokal dan kelestarian lingkungan terganti dengan keinginan mendapat keuntungan sebesar-besarnya," kata dia.

Acara yang digelar hingga Minggu malam itu menampilkan pula aksi teatrikal Imam Boca, Pop Rembang, Exy Mahardika, dan reog SMA Negeri 1 Randublatung. Mereka merefleksikan tentang kapitalisme baru yang mengancam Pegunungan Kendeng dan Lusi.

Koordinator I Komunitas Pasang Surut Blora Eko Arifianto mengatakan, gerakan antarkomunitas di sekitar Kendeng-Lusi akan bergulir terus. Ini merupakan komitmen antarkomunitas untuk melestarikan tradisi dan menyelamatkan bumi.

Tidak ada komentar: