Kamis, 29 Januari 2009

Kebijakan Lingkungan - Inkonsistensi Itu Mesti Diakhiri

KOMPAS, Kamis, 29 Januari 2009 01:06 WIB Brigitta Isworo L.
Penanganan adaptasi dan mitigasi terkait perubahan iklim hingga kini belum jelas terbaca. Berita terakhir cukup positif dengan terjalinnya kerja sama antara Dewan Nasional Perubahan Iklim dan Konvensi Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim.


Kerja sama yang dicanangkan melalui lokakarya NEEDS (National Economic, Environment, and Development Study) pada Selasa (27/1) baru meliputi program-program untuk mitigasi. Itu pun baru dalam tahap identifikasi.

Ketika pemerintah masih berkutat melakukan identifikasi, para nelayan di pesisir sudah ”menganggur”, tak dapat melaut akibat gelombang tinggi yang meningkat frekuensinya.

Sementara itu, muncul laporan terakhir bahwa dari total luas wilayah perairan Indonesia, yaitu sekitar 5,7 juta kilometer persegi (km2), hanya 1,8 juta km 2 atau 30 persen yang kondisinya baik. Adapun sisanya dalam kondisi rusak ringan hingga rusak berat.

Selain nelayan, petani juga semakin sering menjadi manusia urban karena tanahnya tak dapat lagi ditanami sebab musim kering semakin panjang durasinya.

Sementara itu, di Kalimantan dan Nusa Tenggara serta Papua, semakin banyak masyarakat adat yang kehilangan mata pencarian akibat turunnya berbagai izin untuk perusahaan ekstraktif guna mengeksploitasi sumber daya alam. Surat-surat dari pemerintah pusat dan daerah itu telah memutus akses mereka terhadap hutan yang bergenerasi telah memberi kehidupan kepada mereka.

Kebijakan demi kebijakan di bidang perikanan dan kehutanan justru tidak ramah lingkungan. Tidak mendukung upaya menekan dampak perubahan iklim.

Ironisnya, beberapa peraturan justru muncul ketika pemerintah berjanji kepada dunia internasional untuk menjaga hutannya. Sebab, Indonesia sebagai salah satu dari lima negara pemilik hutan terluas berpotensi untuk berperan sebagai penyerap gas rumah kaca (GRK).

Wilayah perairan berupa lautan yang sedemikian luas, 60 persen dari luas seluruh wilayah Indonesia, juga telah diakui para ilmuwan, memiliki kemampuan menyerap karbon dioksida, senyawa gas yang menjadi standar ekuivalen GRK.

Laporan 2008

Pada awal bulan ini, Indonesian Civil Society Forum for Climate Justice (CSF) dengan Ketua Umum Nur Hidayati menyampaikan pandangannya atas upaya-upaya penanggulangan perubahan iklim sepanjang 2008 yang bertajuk ”Jalan Terjal Menuju Keadilan Iklim”. Mereka menyebut, kebijakan nasional dan penanggulangan perubahan iklim merupakan sebuah inkonsistensi berkelanjutan.

Momentum Desember 2007, ketika Bali, Indonesia, menjadi panggung Konferensi PBB untuk Perubahan Iklim (UNCCC) telah dilepaskan begitu saja oleh pemerintah.

Kerangka kebijakan pemerintah bahkan sampai sekarang tetap tidak jelas kecuali dibentuknya DNPI, Juli tahun lalu.

Yang terbit justru Peraturan Pemerintah No 2/2008 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan untuk Kepentingan Pembangunan di Luar Kegiatan Kehutanan yang berlaku pada Departemen Kehutanan.

Kebijakan ini secara luas membuka hutan bagi pengusaha pertambangan, sementara uang yang didapat setara dengan Rp 120-Rp 300 per meter persegi!! (Kompas, 20/2/2008).

”Sekarang semua tingkatan pemerintah bisa memberi izin untuk perusahaan pertambangan,” gugat Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Siti Maemunah pada pemaparan evaluasi CSF tersebut.

Di bidang kelautan, ketika gelombang tinggi semakin sering, pemerintah justru mengeluarkan Keputusan Menteri No 6/2008 yang isinya antara lain membolehkan kapal pukat harimau (trawl) beroperasi lagi. Padahal, sudah jelas bahwa pukat harimau pernah dilarang karena terbukti merusak terumbu karang, bertentangan dengan prinsip-prinsip keberlanjutan, dan berpotensi memicu konflik sosial.

Sementara itu, Rencana Aksi Nasional Menghadapi Perubahan Iklim (RAN-Mapi) yang diterbitkan pemerintah ternyata memang tidak memiliki kekuatan yang mengikat. Selalu ditegaskan bahwa DNPI bersifat koordinatif terhadap semua departemen baik teknis atau pemegang kebijakan.

Tanpa ada keterikatan, amat terbuka kesempatan bagi setiap departemen untuk mengeluarkan peraturan atau kebijakan yang amat kontraproduktif terhadap upaya adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim.

”Sense of crisis”

Persoalan yang mendasar dari semua urusan adaptasi dan mitigasi adalah tidak terasa adanya sense of crisis dalam menyikapi fenomena perubahan iklim.

Padahal, ketika Indonesia belum mampu ”menjual mahal” potensinya—yaitu bisa memberi kontribusi besar dalam menahan laju pemanasan global—sekurangnya, di dalam negeri sendiri pemerintah dapat menunjukkan secara nyata niatan mengurangi dampak perubahan iklim.

Sikap pemerintah yang menganggap perubahan iklim adalah suatu fenomena yang sifatnya kritis dan mengancam keberlangsungan kehidupan tidak pernah tampak. Hal paling sederhana adalah isu perubahan iklim dimasukkan dalam kurikulum pendidikan secara sistematis.

Sampai kapan kita bisa menanggung semua perilaku pemerintah ini? Yang serba tidak konsisten dalam isu perubahan iklim dan lingkungan? Ketika pemerintahan ini berhenti berkuasa, pada saat itulah rakyat akan menuai semua bencana akibat diabaikannya langkah adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.

Demi mengakhiri segala kebijakan yang inkonsisten tersebut, (mungkin) sudah saatnya masyarakat mendesak pribadi-pribadi yang mengajukan diri sebagai calon presiden (saat ini sudah banyak yang antre) untuk membuat janji: ketersediaan sumber daya alam akan dijaga secara ketat dan konsisten.

Yang dibutuhkan saat ini adalah Presiden yang tidak hanya berorientasi pada pendapatan negara, tetapi yang peduli pada isu keberlanjutan ekosistem demi mendukung kehidupan rakyatnya. Yang lebih penting lagi, dia mampu ”menjual mahal” Indonesia karena sebenarnyalah Indonesia amat kaya....

Tidak ada komentar: