Ponpes Walisongo Gomang Tuban
Jumat, 30 Januari 2009 13:26 WIB Oleh: Adi Sucipto Kisswara
Berdiri di sebuah areal perbukitan dengan ketinggian 470 meter di atas permukaan laut yang dikelilingi hutan jati membuat Pondok Pesantren Walisongo Gomang, Desa Lajolor, Kecamatan Singgahan, Kabupaten Tuban, terasa teduh dan sejuk. Jika menempuh rute perjalanan Bojonegoro-Jatirogo-Tuban, ponpes ini terletak 37 kilometer dari Bojonegoro dan 45 kilometer dari Tuban.
Salah satu keunggulan ponpes ini selain mengajarkan ilmu agama, juga membentuk santrinya untuk mencintai lingkungan. Memang santri tidak hanya dididik ilmu agama, tetapi juga digembleng agar mencintai lingkungan. Para santri sering dilibatkan dalam penghijauan, reboisasi, pemeliharaan dan pengayaan tanaman hingga penerapan konservasi tanah pada lahan kritis dan tidak produktif serta penyelamatan sumber mata air.
Penghijauan dilakukan di petak 11 Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan Mulyoagung, Kesatuan Pemangkutan Hutan Parengan seluas 78,3 hektar, dan petak 26 seluas 23 hektar untuk penyelamatan mata air. Penyelamatan mata air di Pacing seluas 5 hektar, Prataan 8 hektar, dan Malo 5 hektar. Selain itu, penghijauan juga dilakukan di hutan rakyat di Podang 38 hektar, Ngaglik 65 hektar, Banyubang 4 hektar, Mbaro 8 hektar, Kumpulrejo 1 hektar, dan Gomang 5 hektar. Rehabilitasi penyelamatan sumber mata air dilakukan di beberapa titik.
"Dulu saat hutan rusak, dari 17 mata air hanya tinggal delapan yang berair. Setelah ada upaya rehabilitasi, kini 14 mata air telah menyemburkan air. Tinggal tiga yang mulai keluar sedikit demi sedikit," kata KH Noer Nasroh Hadiningrat, Pengasuh Pondok Pesantren Walisongo Gomang, Rabu (28/1). Sumber mata air di Krawak saja bermanfaat untuk kebutuhan air bersih bagi 10 Desa di Kecamatan Montong dan delapan desa di Kecamatan Singgahan. Sumber mata air yang mengalir melalui Bendung Nglirip bisa mengairi 3.800 hektar sawah.
KH Noer menegaskan, ponpes juga mengembangkan sapi sistem bergulir bagi santri yang kurang mampu secara ekonomi. Saat ini telah berkembang menjadi 700 sapi termasuk bantuan dari alumni. Santri juga diikutsertakan untuk mendapatkan keterampilan menjahit, anyaman bambu dan rotan, ukir, las dan elektronika. Bekerja sama dengan PT Semen Gresik, santri dibekali pengetahuan dan keterampilan berwirausaha.
SMK Kehutanan
Untuk lebih meningkatkan peran ponpes terhadap kelestarian lingkungan hidup, Ponpes Walisongo Gomang, Tuban, merintis pendirian SMK Kehutanan pertama dan baru satu-satunya di Indonesia. Dengan SMK Kehutanan dimaksudkan sejak dini anak-anak bisa secara mendiri ikut mengelola hutan dan melestarikannya.
"Kalau hal tersebut berjalan efektif, selanjutnya hutan Indonesia, khususnya yang ada di bawah Perhutani KPH Parengan, akan kembali hijau. Ini merupakan komitmen kami mencetak kader yang peduli terhadap hutan dan lingkungan. Kami sangat mengharapkan partisipasi masyarakat luas mengenai pentingnya penanaman sejak dini tentang kelestarian hutan," papar KH Noer.
Administratur Kesatuan Pemangkuan Hutan Parengan Kristomo mendukung penuh upaya Ponpes Gomang dalam pelestarian lingkungan hidup. Dengan kerja sama dengan Perhutani, Ponpes Gomang membuktikan kepedulian terhadap kelestarian lingkungan hidup. "Ini merupakan ponpes berbasis lingkungan yang membentuk santri sebagai generasi penerus cinta lingkungan," kata Kristomo saat berkunjung ke Ponpes Walisongo Gomang.
Sebagai pendukung Perhutani menyediakan lahan hutan untuk petak pendidikan untuk praktik siswa. Perhutani juga membantu kegiatan belajar dan mengajar termasuk instruktur di SMK Kehutanan. "Model penyulingan minyak kayu putih akan kami jadikan prototipe untuk kerja sama dengan sekolah yang ada di sekitar kawasan hutan di wilayah lainnya," katanya.
Ponpes Walisongo Gomang mengupayakan studi lanjut santri. Biaya pendidikan 15 siswa kelas XII dan 15 siswa kelas XI ditanggung Perum Perhutani KPH Parengan. KH Noer Nasroh mengatakan, bagi lulusan terbaik peringkat 1-3 diupayakan dibiayai ikatan dinas Perum Perhutani.
Seorang santri kelas X, Istiatur Rismayah Awaliyah, merasa bersyukur masuk di Ponpes Gomang. "Saya selain dapat ilmu agama juga dididik cinta hutan. Sangat menyenangkan sekali ketika praktik langsung tanam pohon atau menyetek tanaman," katanya. Hal sama dikemukanan Ahmad Fariz An dari Kudus. "Yang paling berkesan sikap perilaku kami lebih bagus dan kami lebih bisa mencintai lingkungan," tuturnya. "Saya senang bisa belajar dan praktik penyulingan minyak kayu putih," kata Naimatus Sholehah, santri dari Surabaya.
Rintisan awal
Saat ini ada sekitar 1.600 santri yang menetap di ponpes, terbagi dalam dua asrama putra dan putri. Para santri berasal dari berbagai wilayah di Indonesia. KH Noer Nasroh menuturkan ponpes ini dirintis sejak tahun 1977 oleh KH Syarbini, santri KH Hasyim Asy'ary dari Ponpes Tebuireng Jombang. Pada awalnya di Gomang ada enam keluarga dengan aliran kepercayaan tertentu. Aliran itu dikhawatirkan melebar.
Saat itu ulama Nahdlatul Ulama berupaya melakukan pendekatan ke warga agar menjalankan kehidupan dan peribadatan sesuai syariah ahlus sunah wal jamaah. Sejumlah santri KH Syarbini diminta mengajarkan syariah agama Islam di Gomang. Mereka diharapkan bisa memberikan pengertian tentang Islam. "Misi itu kurang berhasil. Mereka tidak betah karena diancam dibunuh dan diusir penganut aliran itu," kata KH Noer Nasroh.
Akhirnya tugas itu diemban KH Noer Nasroh Hadiningrat. "Awalnya perjuangan sangat berat, anak-anak yang mengaji pada awalnya hanya 27 santri," ujar KH Noer Nasroh. Dikatakan, masyarakat Gomang pada 1970- an masih terisolasi dan terbelakang. Bila ada anggota TNI datang, warga berhamburan ke hutan. Bahkan saat shalat Idul Fitri maupun Idul Adha warga malah menggembala sapi.
KH Noer Nasroh lalu mencari cara pendekatan termasuk dengan menjadi sutradara kesenian sandur di Tuban. Gending dan nyanyiannya diubah dengan shalawat badar. "Saya juga ikut menggembala enam sapi ibu angkat saya untuk pendekatan berdakwah," tuturnya. Upaya itu tidak sia-sia, bahkan Ponpes Walisongo Gomang kini menjadi salah satu ponpes yang diperhitungkan.
Jumat, 30 Januari 2009 13:26 WIB Oleh: Adi Sucipto Kisswara
Berdiri di sebuah areal perbukitan dengan ketinggian 470 meter di atas permukaan laut yang dikelilingi hutan jati membuat Pondok Pesantren Walisongo Gomang, Desa Lajolor, Kecamatan Singgahan, Kabupaten Tuban, terasa teduh dan sejuk. Jika menempuh rute perjalanan Bojonegoro-Jatirogo-Tuban, ponpes ini terletak 37 kilometer dari Bojonegoro dan 45 kilometer dari Tuban.
Salah satu keunggulan ponpes ini selain mengajarkan ilmu agama, juga membentuk santrinya untuk mencintai lingkungan. Memang santri tidak hanya dididik ilmu agama, tetapi juga digembleng agar mencintai lingkungan. Para santri sering dilibatkan dalam penghijauan, reboisasi, pemeliharaan dan pengayaan tanaman hingga penerapan konservasi tanah pada lahan kritis dan tidak produktif serta penyelamatan sumber mata air.
Penghijauan dilakukan di petak 11 Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan Mulyoagung, Kesatuan Pemangkutan Hutan Parengan seluas 78,3 hektar, dan petak 26 seluas 23 hektar untuk penyelamatan mata air. Penyelamatan mata air di Pacing seluas 5 hektar, Prataan 8 hektar, dan Malo 5 hektar. Selain itu, penghijauan juga dilakukan di hutan rakyat di Podang 38 hektar, Ngaglik 65 hektar, Banyubang 4 hektar, Mbaro 8 hektar, Kumpulrejo 1 hektar, dan Gomang 5 hektar. Rehabilitasi penyelamatan sumber mata air dilakukan di beberapa titik.
"Dulu saat hutan rusak, dari 17 mata air hanya tinggal delapan yang berair. Setelah ada upaya rehabilitasi, kini 14 mata air telah menyemburkan air. Tinggal tiga yang mulai keluar sedikit demi sedikit," kata KH Noer Nasroh Hadiningrat, Pengasuh Pondok Pesantren Walisongo Gomang, Rabu (28/1). Sumber mata air di Krawak saja bermanfaat untuk kebutuhan air bersih bagi 10 Desa di Kecamatan Montong dan delapan desa di Kecamatan Singgahan. Sumber mata air yang mengalir melalui Bendung Nglirip bisa mengairi 3.800 hektar sawah.
KH Noer menegaskan, ponpes juga mengembangkan sapi sistem bergulir bagi santri yang kurang mampu secara ekonomi. Saat ini telah berkembang menjadi 700 sapi termasuk bantuan dari alumni. Santri juga diikutsertakan untuk mendapatkan keterampilan menjahit, anyaman bambu dan rotan, ukir, las dan elektronika. Bekerja sama dengan PT Semen Gresik, santri dibekali pengetahuan dan keterampilan berwirausaha.
SMK Kehutanan
Untuk lebih meningkatkan peran ponpes terhadap kelestarian lingkungan hidup, Ponpes Walisongo Gomang, Tuban, merintis pendirian SMK Kehutanan pertama dan baru satu-satunya di Indonesia. Dengan SMK Kehutanan dimaksudkan sejak dini anak-anak bisa secara mendiri ikut mengelola hutan dan melestarikannya.
"Kalau hal tersebut berjalan efektif, selanjutnya hutan Indonesia, khususnya yang ada di bawah Perhutani KPH Parengan, akan kembali hijau. Ini merupakan komitmen kami mencetak kader yang peduli terhadap hutan dan lingkungan. Kami sangat mengharapkan partisipasi masyarakat luas mengenai pentingnya penanaman sejak dini tentang kelestarian hutan," papar KH Noer.
Administratur Kesatuan Pemangkuan Hutan Parengan Kristomo mendukung penuh upaya Ponpes Gomang dalam pelestarian lingkungan hidup. Dengan kerja sama dengan Perhutani, Ponpes Gomang membuktikan kepedulian terhadap kelestarian lingkungan hidup. "Ini merupakan ponpes berbasis lingkungan yang membentuk santri sebagai generasi penerus cinta lingkungan," kata Kristomo saat berkunjung ke Ponpes Walisongo Gomang.
Sebagai pendukung Perhutani menyediakan lahan hutan untuk petak pendidikan untuk praktik siswa. Perhutani juga membantu kegiatan belajar dan mengajar termasuk instruktur di SMK Kehutanan. "Model penyulingan minyak kayu putih akan kami jadikan prototipe untuk kerja sama dengan sekolah yang ada di sekitar kawasan hutan di wilayah lainnya," katanya.
Ponpes Walisongo Gomang mengupayakan studi lanjut santri. Biaya pendidikan 15 siswa kelas XII dan 15 siswa kelas XI ditanggung Perum Perhutani KPH Parengan. KH Noer Nasroh mengatakan, bagi lulusan terbaik peringkat 1-3 diupayakan dibiayai ikatan dinas Perum Perhutani.
Seorang santri kelas X, Istiatur Rismayah Awaliyah, merasa bersyukur masuk di Ponpes Gomang. "Saya selain dapat ilmu agama juga dididik cinta hutan. Sangat menyenangkan sekali ketika praktik langsung tanam pohon atau menyetek tanaman," katanya. Hal sama dikemukanan Ahmad Fariz An dari Kudus. "Yang paling berkesan sikap perilaku kami lebih bagus dan kami lebih bisa mencintai lingkungan," tuturnya. "Saya senang bisa belajar dan praktik penyulingan minyak kayu putih," kata Naimatus Sholehah, santri dari Surabaya.
Rintisan awal
Saat ini ada sekitar 1.600 santri yang menetap di ponpes, terbagi dalam dua asrama putra dan putri. Para santri berasal dari berbagai wilayah di Indonesia. KH Noer Nasroh menuturkan ponpes ini dirintis sejak tahun 1977 oleh KH Syarbini, santri KH Hasyim Asy'ary dari Ponpes Tebuireng Jombang. Pada awalnya di Gomang ada enam keluarga dengan aliran kepercayaan tertentu. Aliran itu dikhawatirkan melebar.
Saat itu ulama Nahdlatul Ulama berupaya melakukan pendekatan ke warga agar menjalankan kehidupan dan peribadatan sesuai syariah ahlus sunah wal jamaah. Sejumlah santri KH Syarbini diminta mengajarkan syariah agama Islam di Gomang. Mereka diharapkan bisa memberikan pengertian tentang Islam. "Misi itu kurang berhasil. Mereka tidak betah karena diancam dibunuh dan diusir penganut aliran itu," kata KH Noer Nasroh.
Akhirnya tugas itu diemban KH Noer Nasroh Hadiningrat. "Awalnya perjuangan sangat berat, anak-anak yang mengaji pada awalnya hanya 27 santri," ujar KH Noer Nasroh. Dikatakan, masyarakat Gomang pada 1970- an masih terisolasi dan terbelakang. Bila ada anggota TNI datang, warga berhamburan ke hutan. Bahkan saat shalat Idul Fitri maupun Idul Adha warga malah menggembala sapi.
KH Noer Nasroh lalu mencari cara pendekatan termasuk dengan menjadi sutradara kesenian sandur di Tuban. Gending dan nyanyiannya diubah dengan shalawat badar. "Saya juga ikut menggembala enam sapi ibu angkat saya untuk pendekatan berdakwah," tuturnya. Upaya itu tidak sia-sia, bahkan Ponpes Walisongo Gomang kini menjadi salah satu ponpes yang diperhitungkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar