Kamis, 29 Januari 2009

Selama 2008 Terjadi 27 Kasus Konflik Gajah

KOMPAS, Rabu, 28 Januari 2009 00:55 WIB
Bengkulu, Kompas - Selama tahun 2008 terjadi 27 kasus konflik gajah sumatera (Elephas maximus sumatrae) di Bengkulu karena semakin terdesak dan menyempitnya habitat satwa liar tersebut. Gajah terdesak akibat pembukaan hutan menjadi lahan perkebunan.


Koordinator Tim Mitigasi Konflik dan Monitoring Gajah (MKMG)—sebuah lembaga kerja sama Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) dengan Flora Fauna International (FFI) Indonesia, Andri mengatakan, pemicu konflik adalah pembukaan kawasan hutan yang selama ini menjadi wilayah jelajah dari gajah sumatera.

”Gajah memiliki sifat unik dibandingkan dengan binatang lain yang rutin mendatangi wilayah jelajahnya meskipun sudah berubah fungsi menjadi kebun masyarakat,” katanya.

Menurut dia, kerugian akibat konflik tersebut mencapai Rp 300 juta meskipun tidak ada korban jiwa di pihak masyarakat.

”Selama tahun 2008 tidak ada korban jiwa dan tidak ada gajah yang mati, tetapi hanya kerugian tanaman yang dimakan atau dirusak gajah dan pondok yang roboh,” ujarnya.

Dalam melakukan mitigasi atau pencegahan sebelum terjadi konflik, menurut Andri, pihaknya sudah membuat sejumlah strategi serta sarana dan prasarana, seperti pembuatan menara pantau, pagar sirene yang berfungsi menimbulkan bunyi-bunyian dan meriam karbit dari besi, serta menanam serai di pinggir kebun karena tanaman tersebut tidak disukai gajah.

Ia mengatakan, kasus konflik terbanyak terjadi di Desa Dusun Pulau, Kecamatan Sungai Rumbai, Kabupaten Mukomuko, yang berjarak 2 kilometer dari Pusat Latihan Gajah (PLG) Seblat di Kecamatan Putri Hijau.

”Selain di Desa Tunggang dan Sukamerindu karena perladangan ini sebelumnya termasuk jelajah gajah. Makanya, lebih sering terjadi konflik karena kawanan gajah rutin mendatangi wilayah ini,” katanya.

Andri berharap pemerintah dan semua pihak membahas solusi untuk meminimalisasi konflik gajah untuk kehidupan manusia dan gajah. (ANTARA/BOY)

Tidak ada komentar: