Kamis, 29 Januari 2009

penghijauan - "Pak, Datang dan Lihatlah Langsung..."

KOMPAS, Selasa, 27 Januari 2009 01:07 WIB

Warga desa asal Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, berunjuk rasa di depan Kantor Departemen Kehutanan Jakarta, Kamis (22/1). Mereka memprotes penebangan hutan yang masih lestari untuk Gerakan Rehabilitasi Lahan (Gerhan).


Kerumunan kecil itu bisa jadi tak berarti bagi pelintas jalan di sekitar Gedung Departemen Kehutanan, Kamis pekan lalu. Penarik perhatian barangkali adalah tujuh lelaki berbaju adat Nusa Tenggara Timur tanpa alas kaki.

Mereka bukan preman sewaan. Namun, utusan masyarakat adat pemangku hutan Besipae di Kecamatan Amanuban Selatan, Timor Tengah Selatan (TTS), NTT. Akhir tahun 2008, hutan adat seluas 400 hektar, gantungan hidup warga, gundul dibabat dan dibakar massa atas nama proyek Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Gerhan).

Salah satu warga, Rison Taopan, mengatakan, masyarakat adat di sekitar hutan telah melaporkan kasus itu ke polisi dan pemerintah kabupaten, provinsi, dan DPRD. Bukannya solusi, yang ada adalah saling mencari kambing hitam.

”Kami datang ke gedung mewah ini hanya satu tujuan, ada komitmen Dephut menyelesaikan masalah,” kata Rison didampingi Marthen Tanono, ketika ditemui perwakilan Dephut. Organisasi lingkungan Walhi mendampingi mereka.

Kepala Pusat Informasi Kehutanan Dephut Masyhud sempat meminta warga memberikan nama dan identitas orang yang terlibat pembabatan. Namun, ditolak dan warga meminta Dephut serius dengan membentuk semacam tim pencari fakta.

Kepada warga, Masyhud berjanji akan segera memberi jawaban. Ia menyebut para pembabat sebagai ”oknum”.

”Gerhan tidak merusak hutan, tetapi justru membuka akses warga untuk turut mengelola hutan. Kalau ada pembabatan, pasti oknum,” kata dia. Sejumlah aktivis LSM menyeletuk, ”Meskipun sampai ratusan hektar?”

Pemerintah terlibat

Informasi warga, pembabatan hutan di Desa Pollo dan Linamnutu, Amanuban Selatan, TTS, melibatkan pemerintah daerah. Dua proyek Gerhan sebelumnya, hutan di Desa Mio (2003) dan Oe’ekam (2006) juga dibabat dan dibakar sebelum ditanami.

Dua tahun dipelihara, sebagian besar tanaman Gerhan mati, berganti semak berduri. Tegakan pohon asam, kayu merah, kabesak, kapok hutan, dan bambu musnah. Begitu pun satwa liar.

Berkaca pada pengalaman itu, masyarakat adat di Desa Pollo dan Linamnutu menolak proyek itu. Apa daya, hutan terus dibabat dan dibakar. Kini, hamparan luas menyisakan kehancuran dan kegersangan. Panas dan tandus.

Dulu, satu pohon asam dapat menghasilkan sekitar Rp 500.000 sekali panen. Setahun tiga kali panen. ”Sekarang tak ada lagi,” kata Benyamin Selan, seorang petani.

Sawah mengering

Akibat pembabatan, mata air yang menghidupkan 50 hektar sawah padi pun mati tahun 2007. Mata air di beberapa tempat muncul pada tahun 1999, ketika hutan masih baik. ”Saya tidak bisa bertani lagi. Beternak juga susah,” kata Marthen Tanono, pemilik lima hektar sawah. Begitu pun Paulus Selan, pemilik sawah satu hektar.

Tak tahan dengan kebuntuan, warga sepakat mengutus perwakilan ke Jakarta. Berbekal uang saku hasil iuran warga Rp 3,5 juta, lima orang tiba di Surabaya menumpang kapal barang bertarif Rp 300.000 per orang.

Lima hari mereka tempuh mengarungi laut. Di Surabaya, mereka bertemu Walhi dan difasilitasi ke Jakarta.

”Negara harus bertanggung jawab atas nasib mereka. Perjuangan mereka luar biasa,” kata Manajer Regional Bali-Nusa Tenggara Eksekutif Nasional Walhi I Wayan Suardana.

Kepada Masyhud, warga menyampaikan harapan mereka. ”Kami undang Pak Menteri untuk tinggal bersama kami satu atau dua hari. Silakan rasakan langsung apa yang kami alami,” kata Rison.(GSA)

Tidak ada komentar: