KOMPAS, Kamis, 29 Januari 2009 01:44 WIB NIRWONO JOGA
Krisis pemanasan global yang disusul krisis finansial global telah memaksa pelaku bisnis properti berpikir ulang mengenai makna dasar pembangunan properti di Tanah Air selama ini. Krisis pemanasan global telah mendorong semua pengembang kembali ke alam sebagai tema utama pembangunan (baca: penjualan) properti.
Hasilnya,
Sementara pengembangan prinsip dasar ”hijau” yang lebih luas sebagai proses kehidupan yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan belum banyak disentuh para pengembang.
Untuk membangun properti hijau yang berkelanjutan, setidaknya para pengembang harus memerhatikan keseimbangan ekologis (daerah terbangun dan ruang terbuka hijau, kualitas lingkungan meningkat, menggunakan sumber daya terbarukan), penyediaan lapangan kerja (warga kota), pemberdayaan masyarakat (peningkatan kesejahteraan penduduk sekitar), penegakan hukum (sesuai tata ruang wilayah), etika, keadilan dan kesetaraan hak, kenyamanan warga, serta peningkatan keindahan kota.
Properti hijau bertujuan mengembangkan kawasan berbasis penggunaan sumber daya utama berupa penghematan energi listrik, air, material bangunan, serta lahan menjadi jauh lebih efisien dan ramah lingkungan dibandingkan pengembangan kawasan pada umumnya.
Prinsip dasarnya adalah mengembangkan kawasan hunian terpadu yang ramah lingkungan dan menyenangkan melalui praktik bisnis yang terpuji dan berkelanjutan (ecollaboration, economy, ecommitment, ecommunity).
Akan tetapi, di tengah keberhasilan penjualan properti bernuansa hijau, kedatangan krisis finansial global telah menimbulkan pertanyaan kembali apakah untuk mewujudkan properti hijau selalu harus berkonotasi mahal. Di sinilah tantangan para pengembang untuk meyakinkan diri dan juga kepada konsumen bahwa membangun properti hijau itu sejatinya selaras dengan prinsip dasar ekonomi.
Dengan modal tidak harus besar tetapi memberikan keuntungan sebesar-besarnya, baik kepada pengembang maupun (terpenting) penghuni permukiman tersebut. Keuntungan dimaksud tidak hanya sekadar finansial, tetapi juga lebih dari kelestarian alam tetap terjaga, kualitas lingkungan hidup membaik, kenyamanan hunian dan lingkungan, kesehatan dan kesejahteraan masyarakat meningkat.
Ini penting bagi keberlanjutan pemahaman ”hijau” itu sendiri. Membangun properti hijau dengan biaya yang sangat mahal di tengah kondisi krisis finansial global seperti sekarang justru akan kontraproduktif dengan upaya mewujudkan lingkungan yang berkelanjutan.
Pengembang dapat melakukan penghematan besar-besaran, termasuk memangkas dan hanya menyediakan sedikit biaya penghijauan ala kadarnya, serta lebih fokus kepada membangun rumah dan gedung, cepat terjual, habis perkara.
Soal ketidaknyamanan akibat berbagai permasalahan lingkungan kelak, hal itu urusan penghuni yang harus menanggungnya. Hal ini hendaknya harus diantisipasi mulai sekarang.
Bagi konsumen, pilihlah lokasi properti di kawasan strategis (dekat pusat kegiatan harian, rendah polusi, bebas banjir dan macet), berfasilitas lengkap (sekolah, pasar, dan kantor), serta kredibilitas tinggi dari si pengembang. Pengembang mendesain bangunan hemat listrik, memadukan energi alternatif, efisiensi pemakaian air, bidang resapan memadai, material bangunan ramah lingkungan, kreativitas dan inovasi desain. Lingkungannya hijau, bahkan lebih hijau dari sekitarnya.
Pengelolaan air ditangani secara serius dengan prinsip tidak ada air yang terbuang. Air limbah rumah tangga disaring dulu di sumur resapan air pekarangan rumah sebelum dialirkan ke kolam-kolam resapan air di taman situ atau danau untuk dinetralkan.
Daur ulang air limbah
Air limbah rumah tangga juga dapat didaur ulang melalui sarana waste water treatment plant menjadi air bersih yang bisa dimanfaatkan kembali untuk menyiram tanaman. Air hujan dapat langsung disalurkan ke sumur-sumur resapan air di pekarangan rumah atau taman lingkungan.
Pengelolaan sampah dilakukan dengan sepenuh hati. Sampah basah diolah menjadi kompos (pupuk organik tanaman) atau biomas (bahan bakar industri). Sampah kering dipilah dan didaur ulang menjadi bahan pakai baru. Bersama bekerja dengan partisipasi penghuni dan masyarakat sekitar permukiman merupakan salah satu kunci keberhasilan pengolahan sampah mandiri.
Kawasan permukiman terpadu didukung fasilitas hunian (hotel, apartemen, rumah susun, dan rumah sedang-mewah), pendidikan (sekolah, kursus, dan pelatihan), perkantoran (berteknologi informasi modern), kesehatan (puskesmas, klinik, dan rumah sakit), tempat ibadah (masjid, gereja, pura, dan wihara), lapangan olahraga, serta taman bermain. Kelengkapan fasilitas pendukung dan ketersediaan pedestrian yang nyaman mendorong warga cukup berjalan kaki atau bersepeda ke berbagai tujuan harian dalam kawasan.
Penghuni didorong menggunakan angkutan umum massal (bus bertenaga biogas dan kereta api). Fasilitas parkir sepeda dan jalur sepeda serta parkir sepeda motor dan mobil disediakan dekat pintu gerbang atau stasiun kereta api terdekat memungkinkan penghuni dapat melanjutkan perjalanan dengan angkutan umum massal. Di sini keuntungan bagi permukiman yang dilalui jaringan transportasi angkutan massal kota.
Partisipasi masyarakat harus dibangun sejak awal dalam bentuk berbagai program lingkungan bersama secara rutin, seperti penanaman pohon di depan rumah dan taman, adopsi pohon dan taman depan rumah, pembuatan sumur resapan air kolektif, serta pengolahan sampah. Penghuni didorong membentuk komunitas hijau yang akan merawat keberlanjutan program-program lingkungan ke depan.
Bangunan perumahan saat ini masih standar, massal, dan sangat dipengaruhi tren gaya arsitektur dunia, jauh dari kearifan arsitektur lokal. Rencana mewujudkan bangunan hijau (green building) masih dalam tahap konsep. Sementara rumah-rumah tunggal berkonsep rumah hijau justru sudah dibangun secara sporadis di berbagai sudut kota. Kini sudah saatnya bagi pengembang untuk merealisasikan membangun rumah-rumah hijau.
Perlu diyakini bahwa manfaat bangunan hijau berupa terobosan desain bangunan (10 persen), penggunaan listrik hibrid (30 persen) dan konsumsi air lebih irit (10 persen), biaya perawatan dan operasional lebih murah (15 persen), pengurangan emisi dan penggunaan material ramah lingkungan (green product, ecolabelling, material daur ulang) (15 persen), kualitas udara terhadap peningkatan produktivitas kerja dan kualitas kesehatan penghuni (20 persen). Semua manfaat tersebut tentu dapat dihitung nilai ekonominya.
Berbagai hasil penelitian menyimpulkan bahwa walaupun biaya membangun bangunan hijau lebih mahal 2-5 persen, ternyata menghasilkan nilai penghematan sebesar 20-30 persen dari total biaya pembangunannya dan memberikan tambahan manfaat (benefit) sepuluh kali lipat lebih tinggi sepanjang hayat bangunan (life cycle costing)!
Oleh karena itu, kita harus melakukan bersama-sama untuk membuktikan bahwa dengan membangun properti hijau itu justru akan lebih ramah lingkungan karena menghemat biaya yang harus dikeluarkan pemerintah dan pengembang dalam jangka waktu lama ketimbang biaya yang harus dikeluarkan untuk memperbaiki kerusakan lingkungan akibat pembangunan properti. Sekarang adalah waktu yang paling tepat, bagaimana dengan Anda?
NIRWONO JOGA Arsitek Lanskap
Film Sharkwater Extinction
4 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar