Kamis, 29 Januari 2009 13:27 WIB Oleh: Sindy Fathan Mubina
Tepat pukul 08.30, Rabu (28/1), tak kurang dari 50 anak berusia 7- 9 tahun, berseragam kaus biru, turun berbondong-bondong dari mikrolet hijau tua yang melintas di Jalan Ngagel Jaya Selatan, Surabaya.
Wajah mereka tampak antusias ingin segera menyeberang jalan dan menyeruak masuk ke kawasan Taman Flora. Seketika tergiring masuk, sontak puluhan siswa SD Muhammadiyah 25 Sidotopo itu berhamburan masuk dengan terperangah. "Wah ada taman yang lebih enak daripada Kebun Binatang ya? Sing iki gratis, rek!" kata salah seorang anak kepada teman sebayanya.
Nilna Faiza Madania (7), siswa kelas dua SD Muhammadiyah 25 itu, tampak serius memerhatikan flora dan fauna yang berada di sekelilingnya. "Aku belum pernah lihat ada taman serindang ini, terus ada nama-nama latinnya," tuturnya sumringah seraya melihat pohon beringin (Ficus benjamina).
Nilna bersama puluhan teman sekelasnya diberi tugas untuk mempelajari dan mengobservasi berbagi tumbuhan dan beberapa jenis unggas yang berada di Taman Flora. Rupanya, kunjungan kali ini merupakan metode belajar di ruang terbuka yang secara berkala dilakukan oleh SD Muhammadiyah 25 untuk memperkenalkan alam kepada anak-anak.
"Asyik banget, kapan lagi bisa belajar tapi enggak pakai nguap (mengantuk)? Taman ini seperti lihat hutan di tengah gedung-gedung (kota)," kata Sofiyatul Maula (8), teman sebangku Nilna. Dalam kunjungan itu, Sofiyatul tak hanya mempelajari nama tumbuhan dalam bahasa Latin, ia juga melihat proses pengomposan dari daun-daun kering.
Ini hanya sekelumit gambaran dari ketergantungan Nilna dan Sofiyatul pada Taman Flora sebagai hutan kota. Tak hanya memberikan kerindangan dari terik panas matahari serta udara segar, taman itu pun memberikan sarana edukasi yang tak ternilai harganya.
Aksar Wiyono (25), salah seorang guru agama Islam di sekolah itu, menyesalkan bila taman flora berubah fungsi. "Eman (sayang) ya, kalau masih dipertahankan tamannya sih tidak masalah. Tetapi kalau sampai diganti jadi mal atau bentuk lain, wah itu benar-benar merugikan," tutur Aksar.
30 persen
Nasib Taman Flora seluas 3,1 hektar memang tengah di ujung tanduk. Bukan rahasia lagi, hak pengelolaan taman yang dikunjungi sekitar 15.000 pengunjung per minggu itu beralih ke pihak ketiga (PT Surya Inti Permata) sejak dimenangkan oleh Mahkamah Agung, Maret 2008. Bahkan, Presiden Direktur SIP Hendry J Gunawan mengatakan, pihaknya telah mengajukan permohonan eksekusi sejak satu minggu silam. Meski ia mengaku masih belum memiliki gambaran terkait pengelolaan Taman Flora nantinya.
Pengamat Hukum Lingkungan dari Universitas Airlangga, Suparto Wijoyo mengatakan, keberadaan ruang terbuka hijau (RTH) di tengah kota merupakan kewajiban mutlak bagi pemerintah kota. Lantaran dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, pemerintah diwajibkan menyediakan ruang terbuka hijau hingga 30 persen dari luas daerah.
Terkait dengan hal itu, Wali Kota Surabaya Bambang DH mengatakan, tidak akan menyerah begitu saja melepaskan pengelolaan pada pihak ketiga. "Lakukan langkah hukum luar biasa, entah bagaimana caranya. Kami lagi mencari novum baru agar bisa diajukan ke Peninjauan Kembali," tuturnya berapi-api. Boleh jadi sikap wali kota itu sejalan dengan apa yang dirasakan anak-anak yang berteriak, "Jangan& jangan diambil kebun kami!"
Tepat pukul 08.30, Rabu (28/1), tak kurang dari 50 anak berusia 7- 9 tahun, berseragam kaus biru, turun berbondong-bondong dari mikrolet hijau tua yang melintas di Jalan Ngagel Jaya Selatan, Surabaya.
Wajah mereka tampak antusias ingin segera menyeberang jalan dan menyeruak masuk ke kawasan Taman Flora. Seketika tergiring masuk, sontak puluhan siswa SD Muhammadiyah 25 Sidotopo itu berhamburan masuk dengan terperangah. "Wah ada taman yang lebih enak daripada Kebun Binatang ya? Sing iki gratis, rek!" kata salah seorang anak kepada teman sebayanya.
Nilna Faiza Madania (7), siswa kelas dua SD Muhammadiyah 25 itu, tampak serius memerhatikan flora dan fauna yang berada di sekelilingnya. "Aku belum pernah lihat ada taman serindang ini, terus ada nama-nama latinnya," tuturnya sumringah seraya melihat pohon beringin (Ficus benjamina).
Nilna bersama puluhan teman sekelasnya diberi tugas untuk mempelajari dan mengobservasi berbagi tumbuhan dan beberapa jenis unggas yang berada di Taman Flora. Rupanya, kunjungan kali ini merupakan metode belajar di ruang terbuka yang secara berkala dilakukan oleh SD Muhammadiyah 25 untuk memperkenalkan alam kepada anak-anak.
"Asyik banget, kapan lagi bisa belajar tapi enggak pakai nguap (mengantuk)? Taman ini seperti lihat hutan di tengah gedung-gedung (kota)," kata Sofiyatul Maula (8), teman sebangku Nilna. Dalam kunjungan itu, Sofiyatul tak hanya mempelajari nama tumbuhan dalam bahasa Latin, ia juga melihat proses pengomposan dari daun-daun kering.
Ini hanya sekelumit gambaran dari ketergantungan Nilna dan Sofiyatul pada Taman Flora sebagai hutan kota. Tak hanya memberikan kerindangan dari terik panas matahari serta udara segar, taman itu pun memberikan sarana edukasi yang tak ternilai harganya.
Aksar Wiyono (25), salah seorang guru agama Islam di sekolah itu, menyesalkan bila taman flora berubah fungsi. "Eman (sayang) ya, kalau masih dipertahankan tamannya sih tidak masalah. Tetapi kalau sampai diganti jadi mal atau bentuk lain, wah itu benar-benar merugikan," tutur Aksar.
30 persen
Nasib Taman Flora seluas 3,1 hektar memang tengah di ujung tanduk. Bukan rahasia lagi, hak pengelolaan taman yang dikunjungi sekitar 15.000 pengunjung per minggu itu beralih ke pihak ketiga (PT Surya Inti Permata) sejak dimenangkan oleh Mahkamah Agung, Maret 2008. Bahkan, Presiden Direktur SIP Hendry J Gunawan mengatakan, pihaknya telah mengajukan permohonan eksekusi sejak satu minggu silam. Meski ia mengaku masih belum memiliki gambaran terkait pengelolaan Taman Flora nantinya.
Pengamat Hukum Lingkungan dari Universitas Airlangga, Suparto Wijoyo mengatakan, keberadaan ruang terbuka hijau (RTH) di tengah kota merupakan kewajiban mutlak bagi pemerintah kota. Lantaran dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, pemerintah diwajibkan menyediakan ruang terbuka hijau hingga 30 persen dari luas daerah.
Terkait dengan hal itu, Wali Kota Surabaya Bambang DH mengatakan, tidak akan menyerah begitu saja melepaskan pengelolaan pada pihak ketiga. "Lakukan langkah hukum luar biasa, entah bagaimana caranya. Kami lagi mencari novum baru agar bisa diajukan ke Peninjauan Kembali," tuturnya berapi-api. Boleh jadi sikap wali kota itu sejalan dengan apa yang dirasakan anak-anak yang berteriak, "Jangan& jangan diambil kebun kami!"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar