Rabu, 28 Januari 2009

Perdagangan Karbon Harus Segera Diatur

KOMPAS, Selasa, 27 Januari 2009 01:30 WIB
Jambi Sudah Hitung Potensi Hutan yang Hasilkan Karbon
Masyarakat di Desa Guguk, Sungai Manau, Merangin, Jambi, masih selalu menjaga dan mengelola hutan adat mereka seluas 690 hektar. Dari hasil penghitungan, cadangan karbon yang dihasilkan desa ini mencapai 261 ton atau Rp 19 miliar per tahun.

Jambi, Kompas - Daerah mendesak supaya pemerintah pusat segera mengeluarkan mekanisme perdagangan karbon. Pasalnya, saat ini telah banyak makelar karbon yang datang menawarkan jasa mencari pembeli karbon ke pemerintah daerah.

”Pemerintah daerah sudah sangat ingin merealisasikan kerja sama perdagangan karbon karena berharap mendapat keuntungan dari situ. Tetapi, sampai sekarang belum ada mekanisme yang mengaturnya,” ujar Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jambi Budidaya, Jumat (23/1).

Menurut Budidaya, Jambi telah menandatangani prakarsa kerja sama perdagangan karbon dengan broker dari Australia. Penandatanganan dilakukan akhir tahun lalu oleh Gubernur dan semua bupati. Akan tetapi, tambahnya, prakarsa tersebut tidak dapat dilanjutkan hingga kini karena belum ada mekanisme detail mengenai perdagangannya. ”Daerah perlu secepatnya mendapat pemahaman mengenai jumlah dana yang dibagi untuk pusat dan daerah, juga persentase hasil perdagangan untuk broker,” ujarnya.

Pihaknya meminta ada legalitas dari pusat atas broker-broker yang datang ke daerah. ”Saat ini banyak broker datang ke daerah untuk menawarkan kerja sama. Kami khawatir begitu saja melakukan kerja sama sekarang, ternyata ada masalah di kemudian hari,” lanjutnya.

Hutan adat

Saat ini, Jambi mulai merealisasikan perhitungan potensi cadangan karbon di Hutan Adat Desa Guguk, Kecamatan Sungai Manau, Kabupaten Merangin, dengan metodologi kaji cepat cadangan karbon (RaCSA). Dari studi, cadangan karbon Hutan Adat Desa Guguk diketahui sebesar 261,25 ton per hektar. Jika dijual dengan asumsi 10 dollar AS per ton karbon, Desa Adat Guguk yang memiliki luas 690 ha itu bisa menghasilkan 1,8 juta dollar AS atau sekitar Rp 19 miliar.

Menurut Direktur Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, Rakhmat Hidayat, metode penghitungan karbon ini sangat penting untuk menentukan nilai yang akan diterima masyarakat. Metode ini berbeda dengan yang dikembangkan broker karbon, yang tidak akomodatif terhadap kondisi lokal.

”Broker punya banyak kepentingan dalam transaksi karbon sehingga masyarakat adat perlu tahu untuk menghitung sendiri potensi karbonnya,” kata Rakhmat.

Dengan mengetahui perhitungan karbon, masyarakat dapat mengetahui nilai yang mereka akan terima. Ia melanjutkan, hutan ke depan tidak lagi dipandang sebagai sumber kayu semata, yang akibat pemanfaatannya juga menimbulkan kerusakan hutan. Dengan memelihara hutan, dapat memberi manfaat ekonomi yang nilainya jauh lebih besar tanpa menimbulkan kerusakan lingkungan. (ITA)

Tidak ada komentar: