KOMPAS Selasa, 20 Januari 2009 01:15 WIB Oleh M CLARA WRESTI
Dulu, Condet, Jakarta Timur, terkenal akan salak dan dukunya. Kini, kawasan itu dikenal sebagai kawasan yang padat, macet, menjadi pusatnya rumah kos dan penampungan tenaga kerja. Istilah Betawi-nya, semek atau semerawut.
Keputusan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menjadikan Condet sebagai kawasan cagar budaya tahun 1974, ternyata justru mendorong daerah itu kehilangan jati diri sebagai cagar budaya.
Ketika itu, kawasan Condet yang hijau, kantong orang Betawi, dan buah-buahannya yang beragam, memang pantas menjadi pertimbangan pemerintah sebagai cagar budaya. Pemerintah lalu mencegah pembangunan di kawasan ini dengan menerapkan koefisien dasar ruang 80:20. Ruang terbuka hijau 80 persen, sedangkan ruang yang boleh dibangun 20 persen saja.
”Akibatnya harga tanah menjadi murah karena untuk mendapatkan IMB (izin mendirikan bangunan) susah sekali. Orang luar kawasan Condet lalu berduyun-duyun datang,” kata Abdul Kodir, tukang ojek yang peduli pada lingkungan di Condet.
Lelaki yang biasa disapa Diding ini prihatin dengan kondisi Condet belakangan ini, apalagi Sungai Ciliwung yang melintas di kawasan ini juga parah kondisinya. Sampah plastik yang dibuang ke sungai setiap hari bertumpuk di pinggir sungai membuat kawasan Condet semakin kumuh dan tak sehat.
”Ketika saya masih kecil, setiap kali malam takbiran, warga kampung Condet Balekambang melakukan tradisi mandi dan mencuci bersama di sungai. Dengan kondisi sungai yang sakit seperti ini, tradisi itu pun hilang,” ceritanya.
Kawasan Condet telah berkembang menjadi tempat hunian yang padat. Beragam pohon buah-buahan asli Jakarta, yang hingga tahun 1990-an masih memenuhi kawasan ini, makin tersingkir ke pinggir sungai. Di pinggir sungai pun saat banjir melanda, pohon-pohon tersebut tergerus.
Hilangnya pohon salak dan buah-buahan khas Jakarta membuat sarjana pertanian ini merasa khawatir. Dia lalu mengumpulkan satu per satu bibit dan ditanam di halaman rumahnya. Ia tak tertarik bekerja di lapangan kerja formal. Diding justru berkeliling kampung, mencari sesuatu yang khas Condet dan masih bisa diselamatkan. Ia telah mengumpulkan 10 jenis salak yang dulu ada di Condet.
Tak masuk akal
Apa yang dilakukan Diding itu dinilai tak masuk akal oleh orangtuanya, HM Amin (almarhum) dan Hj Sunayah (70-an). Keduanya ingin putra mereka kerja kantoran, apalagi Diding mengantongi ijazah sarjana. Namun, dia malah terjun mengurus tanaman dan membersihkan Sungai Ciliwung. Sesekali, kalau butuh uang, Diding menjadi tukang ojek.
Ia juga mengajak anak-anak di kampungnya belajar tentang tanaman. Tanaman yang mulai langka dia perkenalkan kepada anak-anak. Mereka diajari menanam, merawat tanaman, membersihkan lingkungan, dan mengambil sampah yang menyangkut di sungai.
”Di buku pelajaran mereka diajarkan biji monokotil dan dikotil. Tetapi, biji berkeping tunggal seperti apa? Mereka tak tahu. Nah, di sini mereka tahu seperti apa biji monokotil, contohnya salak, sedangkan yang dikotil seperti nangka,” ujar Diding yang mendirikan Komunitas Ciliwung Condet.
Para murid itu juga dikenalkan pada ekosistem dan hewan yang ada di lingkungannya. Di Condet setidaknya ditemukan 35 jenis burung dan tujuh jenis kelelawar. Ini belum termasuk berbagai jenis ikan dan hewan-hewan kecil lain.
”Namun, ekosistem di Condet banyak yang sudah rusak dan berubah. Dulu, jenis ikan di Sungai Ciliwung banyak sekali, antara lain ada ikan berot, gabus, baung, keting, lele, mas, mase, tawes, lempalung, senggal, julung-julung, sisik melik, dan lopis. Tetapi sekarang, Sungai Ciliwung didominasi ikan sapu-sapu,” kata Diding.
Keberadaan ikan sapu-sapu, yang juga melahap telur-telur ikan jenis lain, membuat ikan jenis lain tersingkir dan hilang. Maka, di aliran Sungai Ciliwung dari kawasan Pasar Rebo hingga ke hilir, dikuasai oleh ikan sapu-sapu. Ikan ini juga merusak dinding sungai karena mereka membuat liang di pinggir sungai. Akibatnya, dinding sungai mudah longsor.
Ikan sapu-sapu itu banyak dijaring warga di sekitar sungai untuk diambil dagingnya. Mereka menjual daging ikan itu dengan harga sekitar Rp 8.000 per kilogram untuk dijadikan penganan berbahan dasar ikan.
”Memperlihatkan pada anak-anak apa yang terjadi di sungai, dari yang tadinya ada, lalu hilang. Dari yang tadinya tidak ada, sekarang menjadi ada. Ini tentu menjadi pelajaran yang berharga,” katanya.
Diskusi
Murid Diding berjumlah sekitar 20 orang. Mereka adalah siswa SD dan SMP di sekitar Condet. Mereka boleh datang kapan saja untuk berdiskusi tentang tanaman dan sungai.
”Dengan menanamkan kecintaan terhadap lingkungan kepada anak-anak, mereka bisa menjadi duta kampanye untuk lingkungan bagi orang-orang di dekatnya,” kata Diding berharap.
Koleksi tanaman Diding sekarang sudah ribuan jenis. Dari salak dengan beragam varietasnya, duku, kemang, sukun, kapuk, melinjo, pucung (kluwek), sampai jengkol. Selain itu, dia masih mempunyai 4.000 bibit salak siap tanam yang tidak tahu akan dia apakan.
”Inginnya, saya tanam di sini, tetapi saya tidak punya lahan lagi. Ini saja saya memakai lahan tetangga di pinggir sungai,” kata Diding yang mengelola lahan seluas 2 hektar itu.
Tetangganya bersedia lahannya dikelola Diding karena lahan itu selalu bersih. ”Kalau lingkungan bersih, warga jadi enggan buang sampah, berarti ini ada yang punya. Tetapi, kalau lahan didiamkan saja, warga tidak merasa bersalah membuang sampah di sungai,” kata anak ketujuh dari 10 bersaudara ini.
Diding mengakui, sampah yang tersangkut di pohon dia bersihkan bersama anak-anak didiknya, lalu dibuang kembali ke sungai. Dia tahu, apa yang dilakukan itu salah. Namun, tak mungkin sampah itu dibuang ke tempat penampungan warga karena jumlahnya sangat banyak. Selain itu, ia juga tak mempunyai alat untuk mengangkut sampah dari sungai lalu naik ke permukiman warga.
Persoalan Condet dari masalah peruntukan lahan, sampah di sungai, hingga ekosistem yang berubah, menjadi keprihatinan buat Diding. Dia berharap, jika semakin banyak orang yang peduli pada lingkungan, ekosistem setempat akan semakin baik, sehat, dan bermanfaat bagi semua penghuninya.
Film Sharkwater Extinction
4 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar