Kamis, 22 Januari 2009

Lingkungan - 124.000 Hektar Hutan Konservasi Rusak

KOMPAS Jumat, 16 Januari 2009 00:56 WIB
Samarinda, Kompas - Hutan konservasi di Taman Nasional Kutai dan Taman Hutan Raya Bukit Soeharto seluas 124.000 hektar dari 160.500 hektar kini rusak parah. Hal itu akibat pembalakan dan perambahan hutan serta penambangan ilegal.
Yang memprihatinkan,

kawasan hutan Penelitian dan Pendidikan Universitas Mulawarman (Unmul) seluas 20.271 hektar yang dikelola Pusat Penelitian Hutan Tropis (PPHT) Unmul juga hancur akibat penambangan batu bara. Pihak kehutanan dan kepolisian yang dilapori tidak menggubris.
”Hutan yang cukup baik tinggal 7.000 hektar,” kata Kepala PPHT Unmul Chandradewana Boer.
Persoalan ini mengemuka dalam diskusi kelompok terfokus bertema ”Penguatan Upaya Pengelolaan Kawasan Pelestarian Alam di Kalimantan Timur: Kajian Kasus Taman Nasional Kutai dan Taman Hutan Raya Bukit Soeharto” di Unmul, Samarinda, Kamis (15/1).
Menurut Kepala Balai TN Kutai Tandya Tjahjana, kerusakan mencakup 99.314,5 hektar dari 198.629 hektar luas kawasan konservasi di Kabupaten Kutai Timur, Kutai Kartanegara, dan Kota Bontang.
Hal itu akibat pembalakan ilegal, perambahan untuk permukiman dan fasilitas publik, serta kebakaran. Di TN Kutai bermukim 4.952 keluarga (22.876 jiwa) di tujuh desa pada dua kecamatan di Kutai Timur.
Ada usulan pengurangan luas TN Kutai 24.000 hektar untuk permukiman warga. Selain itu, terbit enam kuasa pertambangan batu bara dalam kawasan.
Kepala UPTD Pembinaan Pelestarian Alam Dinas Kehutanan Kaltim Wahyu Widi Heranata menyatakan, hal serupa terjadi di Tahura Bukit Soeharto. Sebanyak 24.740 hektar dari 61.850 hektar kawasan di Kabupaten Kutai Kartanegara dan Penajam Paser Utara rusak. Di kawasan itu bermukim 32.979 penduduk di delapan desa.
”Kami juga mendengar penerbitan sejumlah izin kuasa pertambangan di wilayah Tahura Bukit Soeharto,” kata Wahyu.
Guru besar kehutanan sosial Unmul Mustofa Agung Sardjono mengatakan, kerusakan hutan di dua kawasan konservasi ini belum teratasi karena penanganan tidak terpadu. Pemerintah pusat dan daerah masih memperdebatkan siapa yang berwenang dan harus mengatasi kerusakan kawasan.
Sementara itu, di Jawa Timur, aparat gabungan dikepung ratusan warga Desa Kunjorowesi, Kecamatan Ngoro, Kabupaten Mojokerto, Kamis. Warga marah karena aparat gabungan dari Kodim Mojokerto, Polsek Ngoro, Polres Mojokerto, dan Satpol PP Kabupaten Mojokerto menutup penambangan galian C ilegal di kawasan itu.
Ratusan warga emosional setelah aparat menyegel dua unit backhoe di Desa Kunjorowesi dengan memasang garis polisi. Saat rombongan aparat gabungan hendak meninggalkan lokasi, warga yang berkumpul makin banyak. Ketegangan terjadi antara warga dan polisi saat warga menghalangi mobil aparat.
”Kenapa lokasi ini saja yang ditutup? Kalau ditutup, suami tidak bisa kerja lalu anak istri makan apa?” kata seorang warga, Maesaroh (30). Ia mempertanyakan mengapa lokasi penambangan galian C pasir batu di Desa Manduro, Kecamatan Ngoro, yang dikuasai perusahaan-perusahaan besar didiamkan saja.
Penambangan galian C di Desa Manduro dilindungi SK Gubernur Jatim Nomor 123 Tahun 1997. Bupati Mojokerto Suwandi pernah menyatakan, usaha penambangan galian C di kawasan itu menjadi kewenangan Pemprov Jatim. (BRO

Tidak ada komentar: