KOMPAS, Jumat, 30 Januari 2009 02:03 WIB
Petugas rumah kompos milik Gerakan Lingkungan Ciliwung Hijau yang terletak di Kampung Pulo, Kampung Melayu, Jakarta Timur, menggiling sampah organik sebelum diolah menjadi kompos, Rabu (28/1). Setiap hari rumah kompos di bawah naungan Sanggar Ciliwung tersebut mengolah 40 kilogram sampah organik dari lima rukun tetangga di kawasan tersebut. Rumah kompos yang dikelola secara swadaya oleh masyarakat tersebut dimaksudkan mengurangi pembuangan sampah ke sungai.
Usaha mengatasi masalah sampah, termasuk sampah Ciliwung, tak hanya dapat dilakukan dengan mencari alternatif tempat pembuangan akhir lain. Solusi masalah sampah juga bisa ditemukan dengan menumbuhkembangkan pandangan bahwa sampah merupakan sumber daya ekonomi yang menguntungkan.
Sedikit-sedikit lama-lama menjadi bukit. Apakah sampah bisa menjadi pemicu bencana banjir atau menghasilkan rupiah, itu sangat bergantung pada sikap warga menghadapi limbah rumah tangga yang jumlahnya melimpah di Sungai Ciliwung.
Jika dikelola dengan baik, sampah ternyata tak selalu jadi masalah. Sanggar Merdeka Ciliwung, kelompok pemberdayaan masyarakat bantaran Ciliwung di RT 5 8 RW 12 Bukit Duri, Jakarta Selatan, telah membuktikannya.
”Sekarang ada sepuluh orang yang terlibat bisnis sampah. Sampah yang tidak diolah dibuang ke penampungan di Tebet,” kata Rachmat (39), seorang warga Kelurahan Bukit Duri.
Sampah yang menjijikkan mampu mereka olah hingga bisa mendatangkan keuntungan ekonomi. Kegiatan mengolah sampah menjadi kompos sekaligus mendidik warga untuk mau memilah sampah. Meskipun pemisahan antara sampah organik dan anorganik oleh warga belum sempurna, langkah ini mampu mengubah gaya hidup warga bantaran kali dan mengajak mereka untuk hidup lebih sehat.
Dari 50-80 kilogram sampah organik, yang terdiri atas sayuran, sisa makanan, dan tumbuhan, setelah ditambah dengan bahan-bahan pengurai bakteri mampu menghasilkan sekitar 100 kilogram kompos. Harga jual kompos Rp 5.000 per kilogram. Kekurangan pasokan sampah dari warga ditutup pengelola dengan sampah sayuran yang diambil dari Pasar Jatinegara.
Setelah didampingi selama 15 tahun lebih, warga bantaran Ciliwung akhirnya mau mengolah sampah. Dengan memberinya nilai ekonomis, sampah akan dilihat warga kelas bawah yang berpenghasilan minim sebagai peluang menambah rezeki.
Peluang emas
Ketua Umum Asosiasi Persampahan Indonesia Sri Bebassari mengingatkan, kontributor sampah bukan hanya masyarakat, tetapi juga industri yang jumlahnya sangat besar. Setiap orang menghasilkan sampah sebanyak 0,5 kilogram per hari. Sumber sampah yang dihasilkan, salah satunya, adalah dari penggunaan produk-produk industri, terutama aneka kemasan makanan dan minuman dari plastik.
”Selama ini yang disalahkan hanya konsumen. Demi keadilan, produsen yang menghasilkan barang-barang yang digunakan konsumen juga harus dituntut tanggung jawabnya,” kata Sri Bebassari. Produsen seharusnya menggunakan menggunakan kemasan produk yang dapat dengan mudah diurai alam, seperti plastik yang cepat terurai atau mengganti plastik dengan kertas.
Ketua Program Pascasarjana Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia Setyo Sarwanto Moersidik menambahkan, pengelolaan sampah yang dilakukan sejumlah pemerintah daerah umumnya masih bertumpu pada proyek pembangunan fisik, berteknologi tinggi dan membutuhkan investasi besar.
Padahal, sebagian masyarakat masih memiliki modal sosial yang tinggi dan dapat diberdayakan, khususnya untuk pengelolaan sampah. ”Pemerintah masih belum memandang rekayasa sosial dalam penanganan sampah sebagai hal yang penting,” ujar Setyo.
Kondisi itu justru sering kali menimbulkan kekonyolan dalam pengelolaan sampah. Warga disuruh membuang sampah ke tempat sampah, tetapi tak ada tempat sampahnya. Warga diminta memisahkan sampah kering dan basah, tetapi setelah diangkut ke tempat pembuangan sementara, sampah berbeda jenis itu kembali disatukan.
Setyo mengakui, memang tidak semua masyarakat dapat diberdayakan untuk mengelola sampahnya sendiri. Karena itu, pemerintah perlu memetakan kelompok masyarakat mana saja yang dapat digarap. Penentuan kelompok masyarakat ini juga harus dilakukan dengan memerhatikan etnohidrolik atau budaya airnya. Hal ini akan memberikan langkah yang tepat bagi pemerintah untuk mengingatkan warga agar tidak membuang sampahnya di kali, bukan dengan seruan semata.
Salah satu kelompok masyarakat yang dapat diberdayakan adalah kelompok kaum ibu yang tergabung dalam kelompok Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) atau Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) seperti pada masa Orde Baru. Memang cara ini masih melibatkan peran pemerintah yang cukup kuat. Namun, cara itu mampu mengajak masyarakat untuk mencegah penyakit.
”Masih 30-40 persen warga Jakarta dapat didorong untuk membuat sistem pengelolaan sampah mandiri, termasuk mereka yang berasal dari pendidikan tinggi maupun ekonomi menengah,” katanya.
Pemberdayaan masyarakat untuk mengelola sampahnya sendiri memang membutuhkan waktu panjang. Tetapi, hal itu harus dilakukan dari sekarang melalui penganggaran yang memadai untuk melakukan rekayasa sosial tersebut. Sayangnya, rekayasa sosial ini masih dipahami pemerintah hanya dengan cara sosialisasi dan imbauan.(Iwan Santosa/ Muhammad Zaid Wahyudi/ Ester Lince Napitupulu
Usaha mengatasi masalah sampah, termasuk sampah Ciliwung, tak hanya dapat dilakukan dengan mencari alternatif tempat pembuangan akhir lain. Solusi masalah sampah juga bisa ditemukan dengan menumbuhkembangkan pandangan bahwa sampah merupakan sumber daya ekonomi yang menguntungkan.
Sedikit-sedikit lama-lama menjadi bukit. Apakah sampah bisa menjadi pemicu bencana banjir atau menghasilkan rupiah, itu sangat bergantung pada sikap warga menghadapi limbah rumah tangga yang jumlahnya melimpah di Sungai Ciliwung.
Jika dikelola dengan baik, sampah ternyata tak selalu jadi masalah. Sanggar Merdeka Ciliwung, kelompok pemberdayaan masyarakat bantaran Ciliwung di RT 5 8 RW 12 Bukit Duri, Jakarta Selatan, telah membuktikannya.
”Sekarang ada sepuluh orang yang terlibat bisnis sampah. Sampah yang tidak diolah dibuang ke penampungan di Tebet,” kata Rachmat (39), seorang warga Kelurahan Bukit Duri.
Sampah yang menjijikkan mampu mereka olah hingga bisa mendatangkan keuntungan ekonomi. Kegiatan mengolah sampah menjadi kompos sekaligus mendidik warga untuk mau memilah sampah. Meskipun pemisahan antara sampah organik dan anorganik oleh warga belum sempurna, langkah ini mampu mengubah gaya hidup warga bantaran kali dan mengajak mereka untuk hidup lebih sehat.
Dari 50-80 kilogram sampah organik, yang terdiri atas sayuran, sisa makanan, dan tumbuhan, setelah ditambah dengan bahan-bahan pengurai bakteri mampu menghasilkan sekitar 100 kilogram kompos. Harga jual kompos Rp 5.000 per kilogram. Kekurangan pasokan sampah dari warga ditutup pengelola dengan sampah sayuran yang diambil dari Pasar Jatinegara.
Setelah didampingi selama 15 tahun lebih, warga bantaran Ciliwung akhirnya mau mengolah sampah. Dengan memberinya nilai ekonomis, sampah akan dilihat warga kelas bawah yang berpenghasilan minim sebagai peluang menambah rezeki.
Peluang emas
Ketua Umum Asosiasi Persampahan Indonesia Sri Bebassari mengingatkan, kontributor sampah bukan hanya masyarakat, tetapi juga industri yang jumlahnya sangat besar. Setiap orang menghasilkan sampah sebanyak 0,5 kilogram per hari. Sumber sampah yang dihasilkan, salah satunya, adalah dari penggunaan produk-produk industri, terutama aneka kemasan makanan dan minuman dari plastik.
”Selama ini yang disalahkan hanya konsumen. Demi keadilan, produsen yang menghasilkan barang-barang yang digunakan konsumen juga harus dituntut tanggung jawabnya,” kata Sri Bebassari. Produsen seharusnya menggunakan menggunakan kemasan produk yang dapat dengan mudah diurai alam, seperti plastik yang cepat terurai atau mengganti plastik dengan kertas.
Ketua Program Pascasarjana Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia Setyo Sarwanto Moersidik menambahkan, pengelolaan sampah yang dilakukan sejumlah pemerintah daerah umumnya masih bertumpu pada proyek pembangunan fisik, berteknologi tinggi dan membutuhkan investasi besar.
Padahal, sebagian masyarakat masih memiliki modal sosial yang tinggi dan dapat diberdayakan, khususnya untuk pengelolaan sampah. ”Pemerintah masih belum memandang rekayasa sosial dalam penanganan sampah sebagai hal yang penting,” ujar Setyo.
Kondisi itu justru sering kali menimbulkan kekonyolan dalam pengelolaan sampah. Warga disuruh membuang sampah ke tempat sampah, tetapi tak ada tempat sampahnya. Warga diminta memisahkan sampah kering dan basah, tetapi setelah diangkut ke tempat pembuangan sementara, sampah berbeda jenis itu kembali disatukan.
Setyo mengakui, memang tidak semua masyarakat dapat diberdayakan untuk mengelola sampahnya sendiri. Karena itu, pemerintah perlu memetakan kelompok masyarakat mana saja yang dapat digarap. Penentuan kelompok masyarakat ini juga harus dilakukan dengan memerhatikan etnohidrolik atau budaya airnya. Hal ini akan memberikan langkah yang tepat bagi pemerintah untuk mengingatkan warga agar tidak membuang sampahnya di kali, bukan dengan seruan semata.
Salah satu kelompok masyarakat yang dapat diberdayakan adalah kelompok kaum ibu yang tergabung dalam kelompok Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) atau Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) seperti pada masa Orde Baru. Memang cara ini masih melibatkan peran pemerintah yang cukup kuat. Namun, cara itu mampu mengajak masyarakat untuk mencegah penyakit.
”Masih 30-40 persen warga Jakarta dapat didorong untuk membuat sistem pengelolaan sampah mandiri, termasuk mereka yang berasal dari pendidikan tinggi maupun ekonomi menengah,” katanya.
Pemberdayaan masyarakat untuk mengelola sampahnya sendiri memang membutuhkan waktu panjang. Tetapi, hal itu harus dilakukan dari sekarang melalui penganggaran yang memadai untuk melakukan rekayasa sosial tersebut. Sayangnya, rekayasa sosial ini masih dipahami pemerintah hanya dengan cara sosialisasi dan imbauan.(Iwan Santosa/ Muhammad Zaid Wahyudi/ Ester Lince Napitupulu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar