Jumat, 30 Januari 2009

Sampah Ciliwung Sumber Rupiah

KOMPAS, Jumat, 30 Januari 2009 02:03 WIB

Petugas rumah kompos milik Gerakan Lingkungan Ciliwung Hijau yang terletak di Kampung Pulo, Kampung Melayu, Jakarta Timur, menggiling sampah organik sebelum diolah menjadi kompos, Rabu (28/1). Setiap hari rumah kompos di bawah naungan Sanggar Ciliwung tersebut mengolah 40 kilogram sampah organik dari lima rukun tetangga di kawasan tersebut. Rumah kompos yang dikelola secara swadaya oleh masyarakat tersebut dimaksudkan mengurangi pembuangan sampah ke sungai.

Usaha mengatasi masalah sampah, termasuk sampah Ciliwung, tak hanya dapat dilakukan dengan mencari alternatif tempat pembuangan akhir lain. Solusi masalah sampah juga bisa ditemukan dengan menumbuhkembangkan pandangan bahwa sampah merupakan sumber daya ekonomi yang menguntungkan.

Sedikit-sedikit lama-lama menjadi bukit. Apakah sampah bisa menjadi pemicu bencana banjir atau menghasilkan rupiah, itu sangat bergantung pada sikap warga menghadapi limbah rumah tangga yang jumlahnya melimpah di Sungai Ciliwung.

Jika dikelola dengan baik, sampah ternyata tak selalu jadi masalah. Sanggar Merdeka Ciliwung, kelompok pemberdayaan masyarakat bantaran Ciliwung di RT 5 8 RW 12 Bukit Duri, Jakarta Selatan, telah membuktikannya.

”Sekarang ada sepuluh orang yang terlibat bisnis sampah. Sampah yang tidak diolah dibuang ke penampungan di Tebet,” kata Rachmat (39), seorang warga Kelurahan Bukit Duri.

Sampah yang menjijikkan mampu mereka olah hingga bisa mendatangkan keuntungan ekonomi. Kegiatan mengolah sampah menjadi kompos sekaligus mendidik warga untuk mau memilah sampah. Meskipun pemisahan antara sampah organik dan anorganik oleh warga belum sempurna, langkah ini mampu mengubah gaya hidup warga bantaran kali dan mengajak mereka untuk hidup lebih sehat.

Dari 50-80 kilogram sampah organik, yang terdiri atas sayuran, sisa makanan, dan tumbuhan, setelah ditambah dengan bahan-bahan pengurai bakteri mampu menghasilkan sekitar 100 kilogram kompos. Harga jual kompos Rp 5.000 per kilogram. Kekurangan pasokan sampah dari warga ditutup pengelola dengan sampah sayuran yang diambil dari Pasar Jatinegara.

Setelah didampingi selama 15 tahun lebih, warga bantaran Ciliwung akhirnya mau mengolah sampah. Dengan memberinya nilai ekonomis, sampah akan dilihat warga kelas bawah yang berpenghasilan minim sebagai peluang menambah rezeki.

Peluang emas

Ketua Umum Asosiasi Persampahan Indonesia Sri Bebassari mengingatkan, kontributor sampah bukan hanya masyarakat, tetapi juga industri yang jumlahnya sangat besar. Setiap orang menghasilkan sampah sebanyak 0,5 kilogram per hari. Sumber sampah yang dihasilkan, salah satunya, adalah dari penggunaan produk-produk industri, terutama aneka kemasan makanan dan minuman dari plastik.

”Selama ini yang disalahkan hanya konsumen. Demi keadilan, produsen yang menghasilkan barang-barang yang digunakan konsumen juga harus dituntut tanggung jawabnya,” kata Sri Bebassari. Produsen seharusnya menggunakan menggunakan kemasan produk yang dapat dengan mudah diurai alam, seperti plastik yang cepat terurai atau mengganti plastik dengan kertas.

Ketua Program Pascasarjana Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia Setyo Sarwanto Moersidik menambahkan, pengelolaan sampah yang dilakukan sejumlah pemerintah daerah umumnya masih bertumpu pada proyek pembangunan fisik, berteknologi tinggi dan membutuhkan investasi besar.

Padahal, sebagian masyarakat masih memiliki modal sosial yang tinggi dan dapat diberdayakan, khususnya untuk pengelolaan sampah. ”Pemerintah masih belum memandang rekayasa sosial dalam penanganan sampah sebagai hal yang penting,” ujar Setyo.

Kondisi itu justru sering kali menimbulkan kekonyolan dalam pengelolaan sampah. Warga disuruh membuang sampah ke tempat sampah, tetapi tak ada tempat sampahnya. Warga diminta memisahkan sampah kering dan basah, tetapi setelah diangkut ke tempat pembuangan sementara, sampah berbeda jenis itu kembali disatukan.

Setyo mengakui, memang tidak semua masyarakat dapat diberdayakan untuk mengelola sampahnya sendiri. Karena itu, pemerintah perlu memetakan kelompok masyarakat mana saja yang dapat digarap. Penentuan kelompok masyarakat ini juga harus dilakukan dengan memerhatikan etnohidrolik atau budaya airnya. Hal ini akan memberikan langkah yang tepat bagi pemerintah untuk mengingatkan warga agar tidak membuang sampahnya di kali, bukan dengan seruan semata.

Salah satu kelompok masyarakat yang dapat diberdayakan adalah kelompok kaum ibu yang tergabung dalam kelompok Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) atau Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) seperti pada masa Orde Baru. Memang cara ini masih melibatkan peran pemerintah yang cukup kuat. Namun, cara itu mampu mengajak masyarakat untuk mencegah penyakit.

”Masih 30-40 persen warga Jakarta dapat didorong untuk membuat sistem pengelolaan sampah mandiri, termasuk mereka yang berasal dari pendidikan tinggi maupun ekonomi menengah,” katanya.

Pemberdayaan masyarakat untuk mengelola sampahnya sendiri memang membutuhkan waktu panjang. Tetapi, hal itu harus dilakukan dari sekarang melalui penganggaran yang memadai untuk melakukan rekayasa sosial tersebut. Sayangnya, rekayasa sosial ini masih dipahami pemerintah hanya dengan cara sosialisasi dan imbauan.(Iwan Santosa/ Muhammad Zaid Wahyudi/ Ester Lince Napitupulu

Readmore »»

Sampah - Solusi Sementara Diperlukan

KOMPAS, Jumat, 30 Januari 2009 02:02 WIB
Salah satu kegiatan di rumah kompos milik Gerakan Lingkungan Ciliwung Hijau di Jakarta Timur adalah memasukkan sampah ke dalam komposter.


Usaha mendidik masyarakat untuk mengubah sampah menjadi komoditas ekonomi belum banyak dilakukan. Pemindahan warga bantaran pun masih dilakukan secara bertahap. Walhasil, perlu solusi sementara untuk menampung sampah bantaran Sungai Ciliwung.

Menurut Gubernur Fauzi Bowo, jumlah warga bantaran Sungai Ciliwung di wilayah DKI Jakarta sudah mencapai 70.000 keluarga. Terbayang, betapa besar sampah domestik yang dihasilkan mereka.

Bagi masyarakat di sekitar Ciliwung, tidak tersedianya tempat pembuangan sampah menimbulkan kesulitan sendiri. Godaan pun datang untuk dengan mudah melempar sampah ke kali.

Menurut Endang Budi, Ketua RT 03 RW 09, Kelurahan Katulampa, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor, sampai saat ini belum ada penanganan sampah yang serius. Padahal, warga sudah lama mengajukan permohonan untuk disediakan bak sampah yang bisa diangkut truk.

”Warga tak mampu mengadakannya sendiri. Cara yang paling mudah, ya buang ke kali. Ini masalah yang sedang kami coba pecahkan. Tetapi pemerintah lamban merespons,” ujarnya.

Penyempitan bantaran kali karena sampah ini menjadi pemandangan lazim jika menyusuri Sungai Ciliwung. Pembuangan sampah bukan hanya dilakukan secara perorangan oleh warga yang tinggal membelakangi Ciliwung, tetapi kenyataannya tempat pembuangan akhir sampah di Ciliwung juga dilakukan oleh pemerintah daerah setempat.

Pitoyo Subandrio, Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung- Cisadane, mengatakan, dari pantauan udara ditemukan ada lebih dari 100 lokasi pembuangan sampah di sepanjang Ciliwung. Di Jakarta, pembenahan masalah sampah sering kali tidak tuntas karena pengelolaannya dilakukan dua institusi yang berjalan sendiri-sendiri.

”Pekerjaan membersihkan sampah yang ada di badan sungai menjadi tugas dinas pekerjaan umum, sementara membersihkan sampah yang ada di pinggir Ciliwung menjadi tugas dinas kebersihan,” kata Pitoyo.

Ia menambahkan, tumpukan sampah di Kali Ciliwung menjadi potret kegagalan pengelolaan sampah.

”Masyarakat harus diajak untuk melihat sampah bukan hanya sebagai masalah, tetapi juga harus dilihat sebagai sumber ekonomi. Ini perlu upaya dan kerja sama dari banyak pihak,” katanya.

Bagi Pitoyo, solusi sementara untuk daerah bantaran yang belum dibersihkan dari warga adalah perlu dibuat kontainer-kontainer penampung sampah di lokasi pembuangan sampah. Namun, diperlukan akses bagi kendaraan besar, seperti truk, untuk dapat mengangkut sampah-sampah itu. (MZW/ELN/ONG)

Readmore »»

Mencetak Santri Peduli Lingkungan

Ponpes Walisongo Gomang Tuban
Jumat, 30 Januari 2009 13:26 WIB Oleh: Adi Sucipto Kisswara

Berdiri di sebuah areal perbukitan dengan ketinggian 470 meter di atas permukaan laut yang dikelilingi hutan jati membuat Pondok Pesantren Walisongo Gomang, Desa Lajolor, Kecamatan Singgahan, Kabupaten Tuban, terasa teduh dan sejuk. Jika menempuh rute perjalanan Bojonegoro-Jatirogo-Tuban, ponpes ini terletak 37 kilometer dari Bojonegoro dan 45 kilometer dari Tuban.


Salah satu keunggulan ponpes ini selain mengajarkan ilmu agama, juga membentuk santrinya untuk mencintai lingkungan. Memang santri tidak hanya dididik ilmu agama, tetapi juga digembleng agar mencintai lingkungan. Para santri sering dilibatkan dalam penghijauan, reboisasi, pemeliharaan dan pengayaan tanaman hingga penerapan konservasi tanah pada lahan kritis dan tidak produktif serta penyelamatan sumber mata air.

Penghijauan dilakukan di petak 11 Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan Mulyoagung, Kesatuan Pemangkutan Hutan Parengan seluas 78,3 hektar, dan petak 26 seluas 23 hektar untuk penyelamatan mata air. Penyelamatan mata air di Pacing seluas 5 hektar, Prataan 8 hektar, dan Malo 5 hektar. Selain itu, penghijauan juga dilakukan di hutan rakyat di Podang 38 hektar, Ngaglik 65 hektar, Banyubang 4 hektar, Mbaro 8 hektar, Kumpulrejo 1 hektar, dan Gomang 5 hektar. Rehabilitasi penyelamatan sumber mata air dilakukan di beberapa titik.

"Dulu saat hutan rusak, dari 17 mata air hanya tinggal delapan yang berair. Setelah ada upaya rehabilitasi, kini 14 mata air telah menyemburkan air. Tinggal tiga yang mulai keluar sedikit demi sedikit," kata KH Noer Nasroh Hadiningrat, Pengasuh Pondok Pesantren Walisongo Gomang, Rabu (28/1). Sumber mata air di Krawak saja bermanfaat untuk kebutuhan air bersih bagi 10 Desa di Kecamatan Montong dan delapan desa di Kecamatan Singgahan. Sumber mata air yang mengalir melalui Bendung Nglirip bisa mengairi 3.800 hektar sawah.

KH Noer menegaskan, ponpes juga mengembangkan sapi sistem bergulir bagi santri yang kurang mampu secara ekonomi. Saat ini telah berkembang menjadi 700 sapi termasuk bantuan dari alumni. Santri juga diikutsertakan untuk mendapatkan keterampilan menjahit, anyaman bambu dan rotan, ukir, las dan elektronika. Bekerja sama dengan PT Semen Gresik, santri dibekali pengetahuan dan keterampilan berwirausaha.

SMK Kehutanan

Untuk lebih meningkatkan peran ponpes terhadap kelestarian lingkungan hidup, Ponpes Walisongo Gomang, Tuban, merintis pendirian SMK Kehutanan pertama dan baru satu-satunya di Indonesia. Dengan SMK Kehutanan dimaksudkan sejak dini anak-anak bisa secara mendiri ikut mengelola hutan dan melestarikannya.

"Kalau hal tersebut berjalan efektif, selanjutnya hutan Indonesia, khususnya yang ada di bawah Perhutani KPH Parengan, akan kembali hijau. Ini merupakan komitmen kami mencetak kader yang peduli terhadap hutan dan lingkungan. Kami sangat mengharapkan partisipasi masyarakat luas mengenai pentingnya penanaman sejak dini tentang kelestarian hutan," papar KH Noer.

Administratur Kesatuan Pemangkuan Hutan Parengan Kristomo mendukung penuh upaya Ponpes Gomang dalam pelestarian lingkungan hidup. Dengan kerja sama dengan Perhutani, Ponpes Gomang membuktikan kepedulian terhadap kelestarian lingkungan hidup. "Ini merupakan ponpes berbasis lingkungan yang membentuk santri sebagai generasi penerus cinta lingkungan," kata Kristomo saat berkunjung ke Ponpes Walisongo Gomang.

Sebagai pendukung Perhutani menyediakan lahan hutan untuk petak pendidikan untuk praktik siswa. Perhutani juga membantu kegiatan belajar dan mengajar termasuk instruktur di SMK Kehutanan. "Model penyulingan minyak kayu putih akan kami jadikan prototipe untuk kerja sama dengan sekolah yang ada di sekitar kawasan hutan di wilayah lainnya," katanya.

Ponpes Walisongo Gomang mengupayakan studi lanjut santri. Biaya pendidikan 15 siswa kelas XII dan 15 siswa kelas XI ditanggung Perum Perhutani KPH Parengan. KH Noer Nasroh mengatakan, bagi lulusan terbaik peringkat 1-3 diupayakan dibiayai ikatan dinas Perum Perhutani.

Seorang santri kelas X, Istiatur Rismayah Awaliyah, merasa bersyukur masuk di Ponpes Gomang. "Saya selain dapat ilmu agama juga dididik cinta hutan. Sangat menyenangkan sekali ketika praktik langsung tanam pohon atau menyetek tanaman," katanya. Hal sama dikemukanan Ahmad Fariz An dari Kudus. "Yang paling berkesan sikap perilaku kami lebih bagus dan kami lebih bisa mencintai lingkungan," tuturnya. "Saya senang bisa belajar dan praktik penyulingan minyak kayu putih," kata Naimatus Sholehah, santri dari Surabaya.

Rintisan awal

Saat ini ada sekitar 1.600 santri yang menetap di ponpes, terbagi dalam dua asrama putra dan putri. Para santri berasal dari berbagai wilayah di Indonesia. KH Noer Nasroh menuturkan ponpes ini dirintis sejak tahun 1977 oleh KH Syarbini, santri KH Hasyim Asy'ary dari Ponpes Tebuireng Jombang. Pada awalnya di Gomang ada enam keluarga dengan aliran kepercayaan tertentu. Aliran itu dikhawatirkan melebar.

Saat itu ulama Nahdlatul Ulama berupaya melakukan pendekatan ke warga agar menjalankan kehidupan dan peribadatan sesuai syariah ahlus sunah wal jamaah. Sejumlah santri KH Syarbini diminta mengajarkan syariah agama Islam di Gomang. Mereka diharapkan bisa memberikan pengertian tentang Islam. "Misi itu kurang berhasil. Mereka tidak betah karena diancam dibunuh dan diusir penganut aliran itu," kata KH Noer Nasroh.

Akhirnya tugas itu diemban KH Noer Nasroh Hadiningrat. "Awalnya perjuangan sangat berat, anak-anak yang mengaji pada awalnya hanya 27 santri," ujar KH Noer Nasroh. Dikatakan, masyarakat Gomang pada 1970- an masih terisolasi dan terbelakang. Bila ada anggota TNI datang, warga berhamburan ke hutan. Bahkan saat shalat Idul Fitri maupun Idul Adha warga malah menggembala sapi.

KH Noer Nasroh lalu mencari cara pendekatan termasuk dengan menjadi sutradara kesenian sandur di Tuban. Gending dan nyanyiannya diubah dengan shalawat badar. "Saya juga ikut menggembala enam sapi ibu angkat saya untuk pendekatan berdakwah," tuturnya. Upaya itu tidak sia-sia, bahkan Ponpes Walisongo Gomang kini menjadi salah satu ponpes yang diperhitungkan.

Readmore »»

Cikapundung - Aston Lakukan Upaya Hemat Listrik

KOMPAS, Jumat, 30 Januari 2009, 16:30 Wib
Manajemen Aston Bandung Hotel and Residence sebagai bagian dari Green Hotels Association melakukan berbagai upaya hemat energi. Beberapa strategi ramah lingkungan yang dilakukan di antaranya
menghemat energi, air, dan pemanfaatan barang bekas. Public Relations Manager Aston Bandung Hotel and Residence Diah Suhandi di Bandung, Kamis (29/1), mengatakan, ancaman pemanasan global membuat pihaknya berpikir mengurangi sekecil mungkin dampak kejadian tersebut. Upaya lain adalah penggunaan pengatur waktu untuk pendingin udara dan pemanas air, serta plastik yang mudah diurai dalam waktu singkat. Hotel itu juga menggunakan lampu hemat energi dan kampanye antirokok pada Senin dan Kamis. Di area publiknya, dipasang poster imbauan untuk menghemat energi dan ramah lingkungan serta menggunakan pendingin udara hidrokarbon. Atap hotel pun dijadikan area untuk menanam sekitar 100 pohon. (bay)

Readmore »»

Sungai Ciparungpung Tercemar Limbah

Pemkot Bandung Dituntut Bertindak Nyata
KOMPAS, 30 Januari 2009 10:53 WIB

Bandung - Warga Kelurahan Cicaheum, Kecamatan Kiaracondong, mendesak Pemerintah Kota Bandung segera menindak pabrik yang mencemari Sungai Ciparungpung. Alasannya, pencemaran itu semakin mengancam kelangsungan hidup warga setempat.


Nengsi (50), warga RT 03 RW 07, menjelaskan, sudah 10 tahun air sungai berwarna biru kehitaman dan memunculkan bau tak sedap. Kadang warnanya merah tua, kadang kekuningan," kata Nengsi kepada Wali Kota Bandung Dada Rosada di Cicaheum, Kamis (29/1).

Ridwan (45), warga, mengatakan, Sungai Ciparungpung juga kerap meluap dan merendam rumah warga saat hujan turun. Sebagian tanggul hanya berupa tumpukan batu sehingga tidak mampu menahan air. Untuk itu, Wali Kota diminta memperbaiki tanggul.

"Tahun 1998 terjadi banjir besar karena tanggul sungai jebol. Kalau sekarang ini banjirnya 20-30 cm setiap turun hujan. Kami khawatir akan terjadi banjir besar lagi kalau tanggul tidak segera diperbaiki," kata Henny, Ketua RW 07 Kelurahan Cicaheum. Melihat fakta di lapangan, Dada memerintahkan Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Kota Bandung Nana Supriatna segera mengetes air guna mengetahui tingkat pencemarannya. "Saya meminta camat dan Kepala BPLH untuk memeriksa sumber pencemaran. Kalau terbukti ada pabrik yang membuang limbah tanpa IPAL (instalasi pembuangan air limbah), izinnya bisa dicabut," kata Dada seraya berjanji memperbaiki tanggul yang rusak.

Menurut Nana, ada tiga pabrik yang berdiri di dekat Sungai Ciparungpung. Dia berjanji segera memanggil pemilik ketiga pabrik itu. Namun, sebelumnya akan dilakukan pemeriksaan lapangan, terutama menyangkut IPAL.

"Pada Senin (2/2) saya mengundang para pemilik pabrik. Semoga segera ada penjelasan sehingga kami tahu harus bertindak apa, ujar Nana tanpa menyebutkan nama ketiga pabrik tersebut.

Sumur mengering

Sementara itu, sumur air milik warga Kelurahan Arjuna, Kecamatan Cicendo, di belakang Hotel Hilton, kini mengering. Penyebabnya diduga akibat pembuatan sumur artesis di hotel bintang lima di Jalan Pasirkaliki itu.

Djuhara, Sekretaris RW 07, mengungkapkan, sejak delapan bulan terakhir banyak sumur warga tidak lagi mengeluarkan air. "Air sumur saya yang semula melimpah sekarang berkurang. Saat kemarau, sumur kering. Padahal, sebelumnya hal itu tidak pernah terjadi," ujarnya. Djia Auw Kwin Tjin (58), warga RT 03 RW 07 Kelurahan Arjuna, menceritakan, sebelum hotel dibangun, permukaan air hanya 1 meter dari bibir sumur. Saat ini permukaan air menurun hingga 2 meter. Dia khawatir kondisi sumur semakin parah bila hotel sudah beroperasi. "Bayangkan saja, hotel baru dibangun saja air sudah sedemikian surut, apalagi nanti kalau sudah banyak tamu hotel," ujarnya.

Belum ada penjelasan detail dari pihak Hotel Hilton tentang sumur mengering tersebut. "Saya belum bisa memberi penjelasan mengenai masalah itu. Soalnya saya harus berbicara dulu dengan General Manager Hotel Hilton," kata Evi Azhali, Humas Hotel Hilton. (MHF)

Readmore »»

KOMPAS, Jumat, 30 Januari 2009, 00:39 Wib
Dibentuk Forum Konservasi Orangutan
Forum Konservasi Orangutan Kalimantan Timur dibentuk dalam pertemuan multipihak di Samarinda, Kamis (29/1). Forum tersebut diharapkan menjadi wadah komunikasi intensif pemerintah, LSM, perguruan tinggi, dan pengusaha yang ingin menyelamatkan orangutan (Pongo pygmaeus) dari kepunahan. Dalam pertemuan itu,
para pihak menyadari masih sendiri-sendiri melaksanakan penyelamatan orangutan. Niel Makinuddin dari The Nature Conservancy (TNC) mengatakan, belum diketahui secara pasti populasi terkini orangutan. Untuk itu, TNC membiayai sejumlah LSM di Kalimantan untuk menghitung populasi secara lebih akurat sepanjang tahun 2009. ”Lewat forum diharapkan pula timbul kesadaran kita untuk menyelamatkan satwa-satwa asli yang juga terancam punah seperti bekantan (Nasalis larvatus) dan pesut mahakam (Orcaella brevirostris),” kata Kepala Pusat Penelitian Hutan Tropis Universitas Mulawarman Dr Chandradewana Boer.(BRO)

Kampanye Efisiensi Energi
Efisiensi energi, terutama yang berbasis energi tak terbarukan, layak dijadikan gaya hidup. Apalagi hal itu dikaitkan emisi penyebab perubahan iklim. Setelah serangkaian kampanye pentingnya bergaya hidup ”hijau”, baik perorangan maupun kelompok, organisasi lingkungan WWF Indonesia menyiapkan kampanye efisiensi energi pada 28 Maret mendatang. Caranya, mematikan lampu depan rumah ataupun kantor selama satu jam dari pukul 20.30 hingga pukul 21.30. ”Kami telah berkirim surat ke Presiden dan Gubernur DKI Jakarta untuk turut terlibat di kantornya masing-masing,” kata Direktur Program Iklim dan Energi WWF Indonesia Fitrian Ardiansyah di Jakarta, Rabu (28/1). Istana Kepresidenan, Monumen Nasional, dan Balaikota DKI Jakarta menjadi ikon gedung yang diharapkan terlibat dalam kampanye satu jam itu. Jakarta menjadi bagian dari 74 kota di 62 negara di dunia. Kampanye itu diikuti pemantauan melalui media Google Earth. (GSA)

Readmore »»

Kamis, 29 Januari 2009

Lingkungan - Pilihan Properti Hijau

KOMPAS, Kamis, 29 Januari 2009 01:44 WIB NIRWONO JOGA
Krisis pemanasan global yang disusul krisis finansial global telah memaksa pelaku bisnis properti berpikir ulang mengenai makna dasar pembangunan properti di Tanah Air selama ini. Krisis pemanasan global telah mendorong semua pengembang kembali ke alam sebagai tema utama pembangunan (baca: penjualan) properti.

Hasilnya,

tema rumah kebun, rumah taman, atau rumah hijau, dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris berembel-embel green (agar lebih laku dijual), laris manis bak pisang goreng. Meski demikian, perkembangan properti hijau (green property) baru sebatas membangun permukiman bernuansa hijau berupa taman dan pepohonan di kiri-kanan jalan.

Sementara pengembangan prinsip dasar ”hijau” yang lebih luas sebagai proses kehidupan yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan belum banyak disentuh para pengembang.

Untuk membangun properti hijau yang berkelanjutan, setidaknya para pengembang harus memerhatikan keseimbangan ekologis (daerah terbangun dan ruang terbuka hijau, kualitas lingkungan meningkat, menggunakan sumber daya terbarukan), penyediaan lapangan kerja (warga kota), pemberdayaan masyarakat (peningkatan kesejahteraan penduduk sekitar), penegakan hukum (sesuai tata ruang wilayah), etika, keadilan dan kesetaraan hak, kenyamanan warga, serta peningkatan keindahan kota.

Properti hijau bertujuan mengembangkan kawasan berbasis penggunaan sumber daya utama berupa penghematan energi listrik, air, material bangunan, serta lahan menjadi jauh lebih efisien dan ramah lingkungan dibandingkan pengembangan kawasan pada umumnya.

Prinsip dasarnya adalah mengembangkan kawasan hunian terpadu yang ramah lingkungan dan menyenangkan melalui praktik bisnis yang terpuji dan berkelanjutan (ecollaboration, economy, ecommitment, ecommunity).

Akan tetapi, di tengah keberhasilan penjualan properti bernuansa hijau, kedatangan krisis finansial global telah menimbulkan pertanyaan kembali apakah untuk mewujudkan properti hijau selalu harus berkonotasi mahal. Di sinilah tantangan para pengembang untuk meyakinkan diri dan juga kepada konsumen bahwa membangun properti hijau itu sejatinya selaras dengan prinsip dasar ekonomi.

Dengan modal tidak harus besar tetapi memberikan keuntungan sebesar-besarnya, baik kepada pengembang maupun (terpenting) penghuni permukiman tersebut. Keuntungan dimaksud tidak hanya sekadar finansial, tetapi juga lebih dari kelestarian alam tetap terjaga, kualitas lingkungan hidup membaik, kenyamanan hunian dan lingkungan, kesehatan dan kesejahteraan masyarakat meningkat.

Ini penting bagi keberlanjutan pemahaman ”hijau” itu sendiri. Membangun properti hijau dengan biaya yang sangat mahal di tengah kondisi krisis finansial global seperti sekarang justru akan kontraproduktif dengan upaya mewujudkan lingkungan yang berkelanjutan.

Pengembang dapat melakukan penghematan besar-besaran, termasuk memangkas dan hanya menyediakan sedikit biaya penghijauan ala kadarnya, serta lebih fokus kepada membangun rumah dan gedung, cepat terjual, habis perkara.

Soal ketidaknyamanan akibat berbagai permasalahan lingkungan kelak, hal itu urusan penghuni yang harus menanggungnya. Hal ini hendaknya harus diantisipasi mulai sekarang.

Bagi konsumen, pilihlah lokasi properti di kawasan strategis (dekat pusat kegiatan harian, rendah polusi, bebas banjir dan macet), berfasilitas lengkap (sekolah, pasar, dan kantor), serta kredibilitas tinggi dari si pengembang. Pengembang mendesain bangunan hemat listrik, memadukan energi alternatif, efisiensi pemakaian air, bidang resapan memadai, material bangunan ramah lingkungan, kreativitas dan inovasi desain. Lingkungannya hijau, bahkan lebih hijau dari sekitarnya.

Pengelolaan air ditangani secara serius dengan prinsip tidak ada air yang terbuang. Air limbah rumah tangga disaring dulu di sumur resapan air pekarangan rumah sebelum dialirkan ke kolam-kolam resapan air di taman situ atau danau untuk dinetralkan.

Daur ulang air limbah

Air limbah rumah tangga juga dapat didaur ulang melalui sarana waste water treatment plant menjadi air bersih yang bisa dimanfaatkan kembali untuk menyiram tanaman. Air hujan dapat langsung disalurkan ke sumur-sumur resapan air di pekarangan rumah atau taman lingkungan.

Pengelolaan sampah dilakukan dengan sepenuh hati. Sampah basah diolah menjadi kompos (pupuk organik tanaman) atau biomas (bahan bakar industri). Sampah kering dipilah dan didaur ulang menjadi bahan pakai baru. Bersama bekerja dengan partisipasi penghuni dan masyarakat sekitar permukiman merupakan salah satu kunci keberhasilan pengolahan sampah mandiri.

Kawasan permukiman terpadu didukung fasilitas hunian (hotel, apartemen, rumah susun, dan rumah sedang-mewah), pendidikan (sekolah, kursus, dan pelatihan), perkantoran (berteknologi informasi modern), kesehatan (puskesmas, klinik, dan rumah sakit), tempat ibadah (masjid, gereja, pura, dan wihara), lapangan olahraga, serta taman bermain. Kelengkapan fasilitas pendukung dan ketersediaan pedestrian yang nyaman mendorong warga cukup berjalan kaki atau bersepeda ke berbagai tujuan harian dalam kawasan.

Penghuni didorong menggunakan angkutan umum massal (bus bertenaga biogas dan kereta api). Fasilitas parkir sepeda dan jalur sepeda serta parkir sepeda motor dan mobil disediakan dekat pintu gerbang atau stasiun kereta api terdekat memungkinkan penghuni dapat melanjutkan perjalanan dengan angkutan umum massal. Di sini keuntungan bagi permukiman yang dilalui jaringan transportasi angkutan massal kota.

Partisipasi masyarakat harus dibangun sejak awal dalam bentuk berbagai program lingkungan bersama secara rutin, seperti penanaman pohon di depan rumah dan taman, adopsi pohon dan taman depan rumah, pembuatan sumur resapan air kolektif, serta pengolahan sampah. Penghuni didorong membentuk komunitas hijau yang akan merawat keberlanjutan program-program lingkungan ke depan.

Bangunan perumahan saat ini masih standar, massal, dan sangat dipengaruhi tren gaya arsitektur dunia, jauh dari kearifan arsitektur lokal. Rencana mewujudkan bangunan hijau (green building) masih dalam tahap konsep. Sementara rumah-rumah tunggal berkonsep rumah hijau justru sudah dibangun secara sporadis di berbagai sudut kota. Kini sudah saatnya bagi pengembang untuk merealisasikan membangun rumah-rumah hijau.

Perlu diyakini bahwa manfaat bangunan hijau berupa terobosan desain bangunan (10 persen), penggunaan listrik hibrid (30 persen) dan konsumsi air lebih irit (10 persen), biaya perawatan dan operasional lebih murah (15 persen), pengurangan emisi dan penggunaan material ramah lingkungan (green product, ecolabelling, material daur ulang) (15 persen), kualitas udara terhadap peningkatan produktivitas kerja dan kualitas kesehatan penghuni (20 persen). Semua manfaat tersebut tentu dapat dihitung nilai ekonominya.

Berbagai hasil penelitian menyimpulkan bahwa walaupun biaya membangun bangunan hijau lebih mahal 2-5 persen, ternyata menghasilkan nilai penghematan sebesar 20-30 persen dari total biaya pembangunannya dan memberikan tambahan manfaat (benefit) sepuluh kali lipat lebih tinggi sepanjang hayat bangunan (life cycle costing)!

Oleh karena itu, kita harus melakukan bersama-sama untuk membuktikan bahwa dengan membangun properti hijau itu justru akan lebih ramah lingkungan karena menghemat biaya yang harus dikeluarkan pemerintah dan pengembang dalam jangka waktu lama ketimbang biaya yang harus dikeluarkan untuk memperbaiki kerusakan lingkungan akibat pembangunan properti. Sekarang adalah waktu yang paling tepat, bagaimana dengan Anda?

NIRWONO JOGA Arsitek Lanskap

Readmore »»

Taman Flora - Jangan Ambil Kebun Kami...

Kamis, 29 Januari 2009 13:27 WIB Oleh: Sindy Fathan Mubina
Tepat pukul 08.30, Rabu (28/1), tak kurang dari 50 anak berusia 7- 9 tahun, berseragam kaus biru, turun berbondong-bondong dari mikrolet hijau tua yang melintas di Jalan Ngagel Jaya Selatan, Surabaya.


Wajah mereka tampak antusias ingin segera menyeberang jalan dan menyeruak masuk ke kawasan Taman Flora. Seketika tergiring masuk, sontak puluhan siswa SD Muhammadiyah 25 Sidotopo itu berhamburan masuk dengan terperangah. "Wah ada taman yang lebih enak daripada Kebun Binatang ya? Sing iki gratis, rek!" kata salah seorang anak kepada teman sebayanya.

Nilna Faiza Madania (7), siswa kelas dua SD Muhammadiyah 25 itu, tampak serius memerhatikan flora dan fauna yang berada di sekelilingnya. "Aku belum pernah lihat ada taman serindang ini, terus ada nama-nama latinnya," tuturnya sumringah seraya melihat pohon beringin (Ficus benjamina).

Nilna bersama puluhan teman sekelasnya diberi tugas untuk mempelajari dan mengobservasi berbagi tumbuhan dan beberapa jenis unggas yang berada di Taman Flora. Rupanya, kunjungan kali ini merupakan metode belajar di ruang terbuka yang secara berkala dilakukan oleh SD Muhammadiyah 25 untuk memperkenalkan alam kepada anak-anak.

"Asyik banget, kapan lagi bisa belajar tapi enggak pakai nguap (mengantuk)? Taman ini seperti lihat hutan di tengah gedung-gedung (kota)," kata Sofiyatul Maula (8), teman sebangku Nilna. Dalam kunjungan itu, Sofiyatul tak hanya mempelajari nama tumbuhan dalam bahasa Latin, ia juga melihat proses pengomposan dari daun-daun kering.

Ini hanya sekelumit gambaran dari ketergantungan Nilna dan Sofiyatul pada Taman Flora sebagai hutan kota. Tak hanya memberikan kerindangan dari terik panas matahari serta udara segar, taman itu pun memberikan sarana edukasi yang tak ternilai harganya.

Aksar Wiyono (25), salah seorang guru agama Islam di sekolah itu, menyesalkan bila taman flora berubah fungsi. "Eman (sayang) ya, kalau masih dipertahankan tamannya sih tidak masalah. Tetapi kalau sampai diganti jadi mal atau bentuk lain, wah itu benar-benar merugikan," tutur Aksar.

30 persen

Nasib Taman Flora seluas 3,1 hektar memang tengah di ujung tanduk. Bukan rahasia lagi, hak pengelolaan taman yang dikunjungi sekitar 15.000 pengunjung per minggu itu beralih ke pihak ketiga (PT Surya Inti Permata) sejak dimenangkan oleh Mahkamah Agung, Maret 2008. Bahkan, Presiden Direktur SIP Hendry J Gunawan mengatakan, pihaknya telah mengajukan permohonan eksekusi sejak satu minggu silam. Meski ia mengaku masih belum memiliki gambaran terkait pengelolaan Taman Flora nantinya.

Pengamat Hukum Lingkungan dari Universitas Airlangga, Suparto Wijoyo mengatakan, keberadaan ruang terbuka hijau (RTH) di tengah kota merupakan kewajiban mutlak bagi pemerintah kota. Lantaran dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, pemerintah diwajibkan menyediakan ruang terbuka hijau hingga 30 persen dari luas daerah.

Terkait dengan hal itu, Wali Kota Surabaya Bambang DH mengatakan, tidak akan menyerah begitu saja melepaskan pengelolaan pada pihak ketiga. "Lakukan langkah hukum luar biasa, entah bagaimana caranya. Kami lagi mencari novum baru agar bisa diajukan ke Peninjauan Kembali," tuturnya berapi-api. Boleh jadi sikap wali kota itu sejalan dengan apa yang dirasakan anak-anak yang berteriak, "Jangan& jangan diambil kebun kami!"

Readmore »»

Pengusaha - Pengusaha Diwajibkan Tanam Pohon

KOMPAS, Kamis, 29 Januari 2009 01:40 WIB
Pangkal pinang - Wali Kota Pangkal Pinang Zulkarnain Karim meminta pemilik dealer kendaraan roda dua dan roda empat menyumbang bibit pohon. Bibit tersebut untuk menyukseskan program penghijauan kota yang sedang giat dilaksanakan.


”Kendaraan itu memicu terjadinya pencemaran udara. Untuk itu, kami minta mereka membantu bibit pohon sebagai bentuk kepedulian terhadap lingkungan,” ujar Zulkarnain Karim di Pangkal Pinang, Bangka Belitung, Rabu (28/1).

”Bila perlu, untuk satu unit kendaraan yang terjual ditukar dengan satu batang bibit pohon sehingga dapat membantu program penghijauan dalam kota,” ujarnya.

Caranya sangat mudah, pembeli kendaraan baik roda dua dan empat diminta memakai kartu pembelian dan kartu itu juga dikantongi Pemerintah Kota Pangkal Pinang untuk memudahkan pengecekan dan penagihan satu batang pohon setiap satu unit kendaraan yang terjual.

Namun, program tersebut harus dibicarakan dulu dengan berbagai unsur terkait, seperti DPRD, pemilik dealer dan kendaraan, agar bisa diterapkan.

”Ini memang program sedikit unik dan asing, tetapi sangat penting dan hasilnya akan sesuai harapan,” ujarnya.

Jika perlu, akan diterbitkan peraturan daerah yang isinya setiap satu unit penjualan kendaraan di dealer diwajibkan membantu satu batang pohon.

”Justru itu, jika DPRD lamban merespons rencana ini, kami akan menerbitkan peraturan wali kota dulu sebagai payung hukum,” ujarnya.

Dia menjelaskan, ruang terbuka hijau (RTH) di dalam Kota Pangkal Pinang masih minim. Hanya 10 persen dari 30 persen yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007.

”Daerah ini perlu 35 juta meter persegi kawasan hijau dari total 118 juta meter persegi luas kota ini. Seluas 25 juta akan digunakan untuk kawasan publik, sisanya untuk kawasan privat,” ujarnya.

Menurut dia, sangat sulit untuk mewujudkan hal itu. Namun, bukan tidak mungkin jika dimulai dari sekarang.

”Justru itu, program Green Revolution atau revolusi hijau dalam bentuk gerakan menanam secara serentak, dengan mengedepankan kepedulian dan partisipasi yang melibatkan berbagai pihak, harus digencarkan,” ujarnya.

Caranya, meminta sejumlah perusahaan dan lembaga lainnya di daerah ini, termasuk dealer kendaraan, menyumbangkan bibit pohon. (ANTARA/BOY)

Readmore »»

Hutan Adat - Enam Hutan Adat Siap Dikukuhkan

KOMPAS, Kamis, 29 Januari 2009 01:39 WIB
Bangko - Antusiasme masyarakat Kabupaten Merangin, Jambi, untuk menjaga hutan sebagai milik adat sangat besar. Tahun ini, Pemkab Merangin akan mengukuhkan enam lagi hutan adat setelah sebelumnya empat hutan adat.


”Pengukuhan ini kami lakukan atas permintaan masyarakat," ujar Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Merangin Takat Himawan, Rabu (28/1).

Enam hutan yang akan dikukuhkan tahun ini adalah Hutan Adat Pulau Raman di Kecamatan Muara Siau dan Hutan Adat Bukit Tematang di Kecamatan Tiang Mumpung yang dikukuhkan Februari mendatang.

Empat lainnya akan dikukuhkan tahun ini juga, yaitu Hutan Adat Danau di Kecamatan Nalo Tantan, Hutan Adat Pulau Terbakar di Kecamatan Tabir Ulu, Hutan Adat Sungai Manai di Kecamatan Sungai Manau, dan Hutan Adat Limbur Merangin di Kecamatan Pamenang Barat.

Menurut Takat, masyarakat memiliki sejarah marga dengan wilayah yang disepakati sebagai hutan adat. Pengukuhan hutan adat ini dilakukan untuk menghormati klaim adat serta aturan-aturan yang telah diberlakukan selama ini dalam masyarakat setempat.

Sudah empat

Saat ini, lanjutnya, ada empat hutan adat yang telah dikukuhkan terlebih dahulu, yaitu di Guguk di Renah Pembarap, Pangkalan Jambu di Sungai Manau, Batang Kibul di Tabir Barat, dan Pulau Tengah di Kecamatan Jangkat.

Sebagian besar hutan adat di Merangin berada dalam kawasan area penggunaan lain. Hanya sebagian kecil yang masuk dalam kawasan hutan produksi dan Taman Nasional Kerinci Seblat. Menurut Takat, hal ini menandakan antusiasme masyarakat lebih diperuntukkan melestarikan hutan. Dengan demikian, hal tersebut perlu didukung.

Pihaknya akan merancang peraturan daerah yang bertujuan untuk melindungi keberadaan hutan-hutan adat di Merangin. Hutan adat diharapkan juga dapat masuk dalam skema perdagangan karbon dunia. ”Kami sangat mendukung keberadaan hutan adat di sini,” ujarnya.

Pada Rabu kemarin, sosialisasi perhitungan cepat karbon dalam hutan dilaksanakan Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi bagi masyarakat pengelola Hutan Adat Guguk. Menurut Direktur KKI Warsi Rakhmat Hidayat, masyarakat dapat menghitung sendiri besaran karbon dalam hutan adat mereka. Dengan demikian, saat transaksi karbon dilaksanakan, masyarakat dapat memiliki posisi tawar yang baik di mata negara asing selaku donatur.

Anshori, warga Desa Guguk, mengatakan, sudah enam warga setempat memiliki kemampuan menghitung jumlah karbon dalam hutan. Menurut dia, kemampuan ini akan diteruskan bagi warga lainnya supaya semakin banyak yang dapat ikut serta ketika perdagangan karbon berlangsung. (ITA)

Readmore »»

Penimbunan Rawa Makin Marak

KOMPAS, KAmis, 29 Januari 2009, 01:38 Wib
Penimbunan rawa dalam di sepanjang Jalan Soekarno-Hatta, Kota Palembang, makin marak dilakukan. Sebagian besar rawa ditimbun untuk
kepentingan pembangunan industri, perumahan, dan perkantoran. Padahal, hasil penelitian Lembaga Divisi Rawa Universitas Sriwijaya menunjukkan bahwa rawa dalam di kawasan Jalan Soekarno-Hatta sangat penting keberadaannya. ”Rawa dalam ini penting karena menjadi penyerap atau penadah air hujan sekaligus menjadi habitat hidup berbagai macam hewan air dan serangga,” kata peneliti sekaligus ahli ekosistem rawa Universitas Sriwijaya, Momon Sodik Imanuddin, Rabu (28/1). Menurut Momon, dari seluruh areal rawa di Palembang yang luasnya 40.000 hektar, saat ini sebanyak 70 persen sudah hilang atau rusak karena beralih fungsi menjadi kawasan permukiman warga, kawasan industri properti, dan perkantoran.

Readmore »»

Walhi Sumsel Galang Sahabat Walhi

KOMPAS, Kamis, 29 Januari 2009, 01:38 Wib
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Selatan mengajak semua elemen masyarakat yang peduli pada persoalan lingkungan hidup untuk bergabung dengan Sahabat Walhi (Sawa). Cara bergabung
dengan Sawa cukup dengan mendatangi Sekretariat Walhi Sumsel, Jalan Kapten A Rivai 690A, Palembang, telepon (0711) 317526, atau mendaftar melalui e-mail Walhi Sumsel dengan alamat sumsel@walhi.or.id atau walhisumsel@gmail.com. Menurut Manajer Pengembangan Sumber Daya Organisasi Walhi Sumsel Hadi Jatmiko, persoalan lingkungan hidup di Sumsel saat ini cukup mengkhawatirkan. Gerakan perjuangan lingkungan perlu ditopang banyak pihak, khususnya masyarakat yang selama ini paling menderita akibat kerusakan lingkungan. Dalam laporan Walhi Sumsel 2008 disebutkan, kerusakan lingkungan di Sumsel disebabkan perilaku manusia dan kebijakan yang tidak prolingkungan. Setiap tahun Sumsel kehilangan sekitar 100.000 hektar hutan sehingga luas hutan Sumsel tinggal 1,1 juta hektar dari luas kawasan hutan 3,7 juta hektar. Karena itu, diperlukan langkah konkret menyelamatkan lingkungan Sumsel.

Readmore »»

Gubernur Mengancam

Rusli Zainal Minta Pembakar Lahan Dihukum Berat
KOMPAS, Kamis, 29 Januari 2009 00:39 WIB
Perawang - Gubernur Riau Rusli Zainal meminta seluruh warga Riau, baik perorangan maupun pengusaha, meninggalkan cara-cara membuka lahan dengan membakar. Pemerintah Provinsi Riau tidak akan menoleransi perilaku pembakar lahan yang telah menyengsarakan masyarakat Riau akibat bencana kabut asap.


”Saya sudah meminta kepada semua bupati di Riau, kepala polres, camat, lurah, kepala desa, dan pos polisi untuk terus mengantisipasi kebakaran hutan dan lahan. Saya sudah meminta kepada aparat hukum untuk menindak pembakar lahan yang tertangkap untuk diproses secara hukum seberat-beratnya,” ujar Rusli Zainal seusai penyerahan secara simbolis satu juta buku tulis oleh PT Indah Kiat Pulp and Paper (IKPP) di Sekolah Dasar YPPI, Perawang, Kabupaten Siak, Riau, Rabu (28/1).

Yan Partawijaya, Direktur PT IKPP, dalam sambutannya mengatakan, pemberian sejuta buku dari Grup Sinar Mas itu merupakan wujud kepedulian dari perusahaan kepada masyarakat sekitarnya. Buku tersebut merupakan bagian dari keinginan untuk meningkatkan mutu pendidikan di Riau.

Nurul Huda dari Humas PT Indah Kiat menyebutkan, sejuta buku dimaksud akan dibagikan di seluruh wilayah Riau, terutama kepada murid-murid sekolah yang berdekatan dengan kegiatan grup Indah Kiat. Setiap murid akan menerima satu lusin buku.

Sepanjang tahun

Rusli menambahkan, asap telah menjadi persoalan yang telah membuat bencana yang tidak kecil buat Riau sepanjang tahun. Padahal, berbagai upaya telah dibuat Pemerintah Provinsi Riau untuk mengatasi asap.

Seperti diberitakan, dalam dua pekan terakhir bencana asap telah melanda sebagian besar wilayah Riau. Dari seluruh Riau, hanya satu kabupaten dan kota yang bebas titik api, yakni Kabupaten Rokan Hulu dan Kota Pekanbaru.

Namun, arah angin yang bertiup dari timur laut membuat seluruh wilayah Riau tertiup asap. Bahkan, asap telah bergerak ke provinsi tetangga, seperti Sumatera Barat dan Jambi. Pekan lalu, jumlah titik api di Riau mencapai angka tertinggi, yakni 92 titik dari 106 titik api di Sumatera.

Pada Rabu kemarin, berdasarkan data Badan Meteorologi dan Geofisika Pekanbaru, jumlah titik api mencapai empat titik. Sehari sebelumnya, seluruh titik api di Riau sudah padam atau tidak terpantau satelit NOAA 18.

Rusli Zainal menambahkan, untuk mengatasi kabut asap, Wakil Presiden Jusuf Kalla telah mengisyaratkan akan memberi bantuan buat Riau. Saat ini Pemprov Riau sedang menginventarisasi kebutuhan yang berkaitan dengan pemadaman hutan dan lahan.

”Saya akan langsung turun untuk mengatasi asap ini. Hari ini saya akan memantau kondisi kebakaran dari udara,” ujar Rusli sebelum menaiki helikopter memantau lahan-lahan sisa kebakaran yang telah terjadi beberapa waktu lalu. (SAH)

Readmore »»

Hutan Diubah Fungsi

Pemprov Sumut Usul Perubahan Hutan Seluas 522.000 Hektar
KOMPAS, Kamis, 29 Januari 2009 00:38 WIB
Medan - Sumatera Utara mengusulkan perubahan kawasan hutan menjadi nonhutan seluas 522.000 hektar. Usulan ini bagian dari revisi Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 44 Tahun 2005 tentang penunjukan kawasan hutan di Sumatera Utara.


Menurut Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara JB Siringoringo, sebenarnya dalam proses revisi SK Menteri Kehutanan No 44/2005, kabupaten/kota di Sumut mengusulkan perubahan kawasan hutan menjadi nonhutan hingga 1,4 juta hektar dari total kawasan hutan di Sumut, sesuai dengan SK Menhut, seluas 3,735 juta hektar.

”Namun, berdasarkan pembahasan beberapa kali, yang menurut kami layak untuk diusulkan berubah dari kawasan hutan menjadi nonhutan hanya sekitar 522.000 hektar. Itu pun terserah pemerintah pusat akan mengizinkan perubahan tersebut atau tidak,” ujar Siringoringo di Medan, Rabu (28/1).

Jika pemerintah pusat menyetujui usulan revisi penunjukan kawasan hutan di Sumut, provinsi ini hanya akan memiliki sekitar 3,2 juta hektar kawasan hutan. ”Kawasan hutan yang kami usulkan berubah menjadi nonhutan tersebut sekarang kondisinya memang sudah bukan lagi hutan. Kebanyakan telah berubah menjadi permukiman hingga perkebunan milik masyarakat,” kata Siringoringo.

Di Sumut, menurut Siringoringo, hutan produksi seluas 1,4 juta hektar, sekitar 40.000 hektar di antaranya sudah diusulkan berubah menjadi hutan produksi konversi (HPK), antara lain karena permintaan daerah otonom hasil pemekaran.

Kawasan konservasi

Di luar usulan perubahan kawasan hutan, ungkap Siringoringo, terdapat empat kawasan konservasi di Sumut yang kondisinya rusak, bahkan di antaranya rusak sangat parah. Empat kawasan konservasi di Sumut yang kondisinya rusak adalah Suaka Margasatwa Langkat Timur Laut Karang Gading, Taman Wisata Alam Holiday Resort Labuhan Batu, Suaka Margasatwa Dolok Surungan di Tapanuli Utara dan Labuhan Batu, serta Suaka Margasatwa Barumun Tengah.

Kondisi kerusakan ini, menurut Siringoringo, diperparah dengan tindakan pemerintah daerah yang justru memperparah kerusakan.

Dia mencontohkan, Suaka Margasatwa Barumun Tengah semakin rusak setelah Pemerintah Kabupaten Tapanuli Selatan membangun jalan memotong kawasan konservasi tersebut.

”Sebenarnya ini jelas-jelas sebuah pelanggaran terhadap Undang-Undang Kehutanan. Oleh karena itu, kami meminta aparat penegak hukum segera menindaklanjutinya,” katanya. (BIL)

Readmore »»

pendanaan iklim - Tahun 2009 Diharapkan Ada Data Mitigasi

Kamis, 29 Januari 2009 01:07 WIB
Jakarta, Kompas - Figur lengkap rencana mitigasi (pencegahan) perubahan iklim di Indonesia diharapkan tersedia sebelum akhir tahun 2009. Data itu berisi potensi kegiatan, sektor pemangku proyek, hingga kebutuhan dana secara nasional.


Meskipun pemerintah meyakini Indonesia rentan dampak perubahan iklim, hingga kini belum ada kajian nasional penanggulangannya. ”Kami berharap ada figur cukup jelas mengenai data mitigasi pada tahun ini juga,” kata Ketua Kelompok Kerja Pendanaan Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) Ismid Hadad di Jakarta, Rabu (28/1).

Harapan itu digantungkan pada proyek National Economic, Environment, and Development Study (NEEDS) for Climate Change kerja sama DNPI dengan Konvensi Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC). Selama 8 bulan, tim mengkaji data-data sekunder.

Setidaknya, ada tiga rencana utama, yakni akses pendanaan dan ketersediaannya, identifikasi manajemen pendanaan dan mekanisme operasionalisasinya, serta peningkatan kesadaran.

Menurut Ketua Tim Analisis NEEDS Agus P Sari, hasil kajian berupa laporan, kajian, rencana kerja, dan proyek. Fokus kerja tim pada mitigasi, bukan rencana adaptasi perubahan iklim.

Ismid mengatakan, Indonesia berharap pada NEEDS. ”Akan ketahuan perkiraan potensi pendanaan di dalam dan di luar negeri. Itu penting untuk negosiasi di luar negeri,” katanya.

Pengumpul dana

Ismid mengatakan, harapan lain program NEEDS adalah adanya lembaga pengumpul dana. Rencana telah dibahas, tapi belum ada kepastian pengelola dananya. Seluruh kajian tim NEEDS diperlukan bagi pendanaan mitigasi perubahan iklim. Calon pendonor selama ini mencari jalan sendiri untuk cari proyek.

Direktur Program Iklim dan Energi WWF Indonesia Fitrian Ardiansyah mengatakan, program NEEDS mendatangkan harapan keberadaan perhitungan potensi, prioritas, dan peluang program mitigasi berikut pendanaannya. ”Figur rencana aksi yang detail dibutuhkan pendonor. Mereka butuh keyakinan sebelum bertindak,” katanya. Tanpa rencana jelas, usulan proyek sulit mendapat bantuan.

Akhir 2008, Brasil dapat hibah sektor kehutanan dari Pemerintah Norwegia 100 juta dollar AS. ”Indonesia dapat sekitar 3 juta dollar AS,” kata Fitrian. (GSA)

Readmore »»

Lingkungan - 70 Persen Perairan Indonesia Rusak

KOMPAS, Kamis, 29 Januari 2009 01:06 WIB
Pontianak - Dari total luas wilayah perairan Indonesia yang berkisar 5,7 juta kilometer persegi, hanya 1,8 juta kilometer persegi atau 30 persen yang kondisinya masih baik. Sisanya, seluas 3,9 juta kilometer persegi, sekitar 70 persen, rusak ringan hingga rusak berat.


”Kerusakan antara lain disebabkan penggunaan bom ikan oleh nelayan saat menangkap ikan, tertutup sampah, serta gejala alam seperti gempa dan tsunami,” kata Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi, Selasa (27/1), seusai meresmikan Balai Pengelolaan Sumber Daya Pesisir Laut (BPSPL) Pontianak, Kalimantan Barat.

Freddy sekaligus meresmikan BPSPL Makassar dan Denpasar, Loka Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut Sorong, serta Loka Kawasan Konservasi Perairan Nasional Pekanbaru. Hadir dalam peresmian tersebut yaitu Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Taufiq Effendi dan Wakil Gubernur (Wagub) Kalbar Christiandy Sanjaya.

Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) Syamsul Maarif mengungkapkan, kerusakan tersebar di seluruh perairan Indonesia dan yang terbanyak di wilayah Indonesia bagian barat.

Wagub Kalbar Christiandy juga menyadari, pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan yang cenderung merusak ekosistem masih terjadi di Kalbar. Dengan pembentukan lembaga BPSPL Pontianak, ia berharap terbangun sinergi dan kerja sama untuk menjaga kelestarian sumber daya kelautan yang ada sehingga kerusakan di masa yang akan datang bisa dikurangi.

Menurut Syamsul, DKP memiliki target rehabilitasi kawasan laut seluas 10 juta hektar pada tahun 2010 serta 20 juta hektar pada 2020. Hingga awal 2009, realisasi rehabilitasi kawasan laut sudah mencapai 9,2 juta hektar.

DKP memiliki anggaran sekitar Rp 50 miliar untuk rehabilitasi terumbu karang yang rusak. Anggaran itu didukung dengan dana pemberdayaan masyarakat pesisir yang besarnya mencapai Rp 100 miliar-Rp 200 miliar. ”Upaya rehabilitasi terumbu karang tidak akan berhasil jika tidak didukung penyadaran dan pemberdayaan masyarakat,” ujarnya. (WHY)

Readmore »»

Kebijakan Lingkungan - Inkonsistensi Itu Mesti Diakhiri

KOMPAS, Kamis, 29 Januari 2009 01:06 WIB Brigitta Isworo L.
Penanganan adaptasi dan mitigasi terkait perubahan iklim hingga kini belum jelas terbaca. Berita terakhir cukup positif dengan terjalinnya kerja sama antara Dewan Nasional Perubahan Iklim dan Konvensi Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim.


Kerja sama yang dicanangkan melalui lokakarya NEEDS (National Economic, Environment, and Development Study) pada Selasa (27/1) baru meliputi program-program untuk mitigasi. Itu pun baru dalam tahap identifikasi.

Ketika pemerintah masih berkutat melakukan identifikasi, para nelayan di pesisir sudah ”menganggur”, tak dapat melaut akibat gelombang tinggi yang meningkat frekuensinya.

Sementara itu, muncul laporan terakhir bahwa dari total luas wilayah perairan Indonesia, yaitu sekitar 5,7 juta kilometer persegi (km2), hanya 1,8 juta km 2 atau 30 persen yang kondisinya baik. Adapun sisanya dalam kondisi rusak ringan hingga rusak berat.

Selain nelayan, petani juga semakin sering menjadi manusia urban karena tanahnya tak dapat lagi ditanami sebab musim kering semakin panjang durasinya.

Sementara itu, di Kalimantan dan Nusa Tenggara serta Papua, semakin banyak masyarakat adat yang kehilangan mata pencarian akibat turunnya berbagai izin untuk perusahaan ekstraktif guna mengeksploitasi sumber daya alam. Surat-surat dari pemerintah pusat dan daerah itu telah memutus akses mereka terhadap hutan yang bergenerasi telah memberi kehidupan kepada mereka.

Kebijakan demi kebijakan di bidang perikanan dan kehutanan justru tidak ramah lingkungan. Tidak mendukung upaya menekan dampak perubahan iklim.

Ironisnya, beberapa peraturan justru muncul ketika pemerintah berjanji kepada dunia internasional untuk menjaga hutannya. Sebab, Indonesia sebagai salah satu dari lima negara pemilik hutan terluas berpotensi untuk berperan sebagai penyerap gas rumah kaca (GRK).

Wilayah perairan berupa lautan yang sedemikian luas, 60 persen dari luas seluruh wilayah Indonesia, juga telah diakui para ilmuwan, memiliki kemampuan menyerap karbon dioksida, senyawa gas yang menjadi standar ekuivalen GRK.

Laporan 2008

Pada awal bulan ini, Indonesian Civil Society Forum for Climate Justice (CSF) dengan Ketua Umum Nur Hidayati menyampaikan pandangannya atas upaya-upaya penanggulangan perubahan iklim sepanjang 2008 yang bertajuk ”Jalan Terjal Menuju Keadilan Iklim”. Mereka menyebut, kebijakan nasional dan penanggulangan perubahan iklim merupakan sebuah inkonsistensi berkelanjutan.

Momentum Desember 2007, ketika Bali, Indonesia, menjadi panggung Konferensi PBB untuk Perubahan Iklim (UNCCC) telah dilepaskan begitu saja oleh pemerintah.

Kerangka kebijakan pemerintah bahkan sampai sekarang tetap tidak jelas kecuali dibentuknya DNPI, Juli tahun lalu.

Yang terbit justru Peraturan Pemerintah No 2/2008 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan untuk Kepentingan Pembangunan di Luar Kegiatan Kehutanan yang berlaku pada Departemen Kehutanan.

Kebijakan ini secara luas membuka hutan bagi pengusaha pertambangan, sementara uang yang didapat setara dengan Rp 120-Rp 300 per meter persegi!! (Kompas, 20/2/2008).

”Sekarang semua tingkatan pemerintah bisa memberi izin untuk perusahaan pertambangan,” gugat Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Siti Maemunah pada pemaparan evaluasi CSF tersebut.

Di bidang kelautan, ketika gelombang tinggi semakin sering, pemerintah justru mengeluarkan Keputusan Menteri No 6/2008 yang isinya antara lain membolehkan kapal pukat harimau (trawl) beroperasi lagi. Padahal, sudah jelas bahwa pukat harimau pernah dilarang karena terbukti merusak terumbu karang, bertentangan dengan prinsip-prinsip keberlanjutan, dan berpotensi memicu konflik sosial.

Sementara itu, Rencana Aksi Nasional Menghadapi Perubahan Iklim (RAN-Mapi) yang diterbitkan pemerintah ternyata memang tidak memiliki kekuatan yang mengikat. Selalu ditegaskan bahwa DNPI bersifat koordinatif terhadap semua departemen baik teknis atau pemegang kebijakan.

Tanpa ada keterikatan, amat terbuka kesempatan bagi setiap departemen untuk mengeluarkan peraturan atau kebijakan yang amat kontraproduktif terhadap upaya adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim.

”Sense of crisis”

Persoalan yang mendasar dari semua urusan adaptasi dan mitigasi adalah tidak terasa adanya sense of crisis dalam menyikapi fenomena perubahan iklim.

Padahal, ketika Indonesia belum mampu ”menjual mahal” potensinya—yaitu bisa memberi kontribusi besar dalam menahan laju pemanasan global—sekurangnya, di dalam negeri sendiri pemerintah dapat menunjukkan secara nyata niatan mengurangi dampak perubahan iklim.

Sikap pemerintah yang menganggap perubahan iklim adalah suatu fenomena yang sifatnya kritis dan mengancam keberlangsungan kehidupan tidak pernah tampak. Hal paling sederhana adalah isu perubahan iklim dimasukkan dalam kurikulum pendidikan secara sistematis.

Sampai kapan kita bisa menanggung semua perilaku pemerintah ini? Yang serba tidak konsisten dalam isu perubahan iklim dan lingkungan? Ketika pemerintahan ini berhenti berkuasa, pada saat itulah rakyat akan menuai semua bencana akibat diabaikannya langkah adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.

Demi mengakhiri segala kebijakan yang inkonsisten tersebut, (mungkin) sudah saatnya masyarakat mendesak pribadi-pribadi yang mengajukan diri sebagai calon presiden (saat ini sudah banyak yang antre) untuk membuat janji: ketersediaan sumber daya alam akan dijaga secara ketat dan konsisten.

Yang dibutuhkan saat ini adalah Presiden yang tidak hanya berorientasi pada pendapatan negara, tetapi yang peduli pada isu keberlanjutan ekosistem demi mendukung kehidupan rakyatnya. Yang lebih penting lagi, dia mampu ”menjual mahal” Indonesia karena sebenarnyalah Indonesia amat kaya....

Readmore »»

Selama 2008 Terjadi 27 Kasus Konflik Gajah

KOMPAS, Rabu, 28 Januari 2009 00:55 WIB
Bengkulu, Kompas - Selama tahun 2008 terjadi 27 kasus konflik gajah sumatera (Elephas maximus sumatrae) di Bengkulu karena semakin terdesak dan menyempitnya habitat satwa liar tersebut. Gajah terdesak akibat pembukaan hutan menjadi lahan perkebunan.


Koordinator Tim Mitigasi Konflik dan Monitoring Gajah (MKMG)—sebuah lembaga kerja sama Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) dengan Flora Fauna International (FFI) Indonesia, Andri mengatakan, pemicu konflik adalah pembukaan kawasan hutan yang selama ini menjadi wilayah jelajah dari gajah sumatera.

”Gajah memiliki sifat unik dibandingkan dengan binatang lain yang rutin mendatangi wilayah jelajahnya meskipun sudah berubah fungsi menjadi kebun masyarakat,” katanya.

Menurut dia, kerugian akibat konflik tersebut mencapai Rp 300 juta meskipun tidak ada korban jiwa di pihak masyarakat.

”Selama tahun 2008 tidak ada korban jiwa dan tidak ada gajah yang mati, tetapi hanya kerugian tanaman yang dimakan atau dirusak gajah dan pondok yang roboh,” ujarnya.

Dalam melakukan mitigasi atau pencegahan sebelum terjadi konflik, menurut Andri, pihaknya sudah membuat sejumlah strategi serta sarana dan prasarana, seperti pembuatan menara pantau, pagar sirene yang berfungsi menimbulkan bunyi-bunyian dan meriam karbit dari besi, serta menanam serai di pinggir kebun karena tanaman tersebut tidak disukai gajah.

Ia mengatakan, kasus konflik terbanyak terjadi di Desa Dusun Pulau, Kecamatan Sungai Rumbai, Kabupaten Mukomuko, yang berjarak 2 kilometer dari Pusat Latihan Gajah (PLG) Seblat di Kecamatan Putri Hijau.

”Selain di Desa Tunggang dan Sukamerindu karena perladangan ini sebelumnya termasuk jelajah gajah. Makanya, lebih sering terjadi konflik karena kawanan gajah rutin mendatangi wilayah ini,” katanya.

Andri berharap pemerintah dan semua pihak membahas solusi untuk meminimalisasi konflik gajah untuk kehidupan manusia dan gajah. (ANTARA/BOY)

Readmore »»

Survei - Kualitas Hidup di Jakarta Urutan Ke-7

KOMPAS, Rabu, 28 Januari 2009 00:41 WIB
JAKARTA, KOMPAS - Tingkat kualitas hidup di Jakarta berada di urutan ketujuh dari 26 kota di Indonesia yang disurvei oleh lembaga internasional Mercer.


Dari Survei Kualitas Hidup di Indonesia selama bulan Juli-Agustus 2008 terungkap bahwa Jakarta berada di urutan ketujuh, di bawah Bandung, Surabaya, Yogyakarta, Denpasar, Makassar, dan Palembang. Kota-kota ini disurvei dan dibandingkan dengan Jakarta sebagai kota basis.

”Riset dan survei Mercer ini mengacu pada perkiraan dan evaluasi dari beberapa faktor penting penentu kualitas hidup, seperti lingkungan politik dan sosial, ekonomi, lingkungan sosio-kultural, medis dan kesehatan, layanan umum dan transportasi, rekreasi, barang-barang kebutuhan, tempat tinggal, dan lingkungan alam,” kata Information Product Solutions Business Leader of PT Mercer Indonesia Mutiarawaty Thaher, Selasa (27/1).

Meskipun di Jakarta banyak terdapat pusat perbelanjaan dan tempat hiburan serta apartemen mewah, kualitas hidup di Jakarta lebih buruk dibandingkan dengan enam kota lainnya di Indonesia.

Polusi dan kemacetan

”Penyebabnya adalah sistem transportasi yang buruk, kemacetan lalu lintas, polusi udara, dan maraknya kejahatan di jalan. Sejumlah daerah di Jakarta, dan akses ke pusat kota dan bandara, juga sering kebanjiran pada musim hujan,” ungkap Mutiarawaty.

Dalam survei Mercer, Bandung menjadi kota paling nyaman dengan kualitas hidup terbaik, sedangkan Jayapura berada di urutan ke-25 dan menjadi kota yang paling tidak nyaman di Indonesia.

Kualitas hidup di Jakarta berada di atas kota Semarang, Bogor, Medan, Padang, Cirebon, Samarinda, Manado, Tangerang, Jambi, Bekasi, Batam, Balikpapan, Pontianak, Bandar Lampung, Mataram, Pekanbaru, Banjarmasin, Cilegon, dan Jayapura.

Dalam Survei Kualitas Hidup Global yang dilakukan pada awal tahun 2008, Jakarta berada di urutan ke-146 dengan skor 63,7 (dibandingkan dengan New York sebagai kota basis). Dalam survei global itu, Jakarta berada di bawah beberapa kota di kawasan Asia Tenggara seperti Singapura, Kuala Lumpur, Bangkok, dan Manila, tetapi berada di atas Ho Chi Minh City dan Hanoi di Vietnam. (KSP)

Readmore »»

Kalau Pohon Bisa Menangis...

KOMPAS, Rabu, 28 Januari 2009 00:40 WIB
Ribuan pohon peneduh berusia puluhan tahun adalah salah satu kekayaan Kota Medan. Sayang, kekayaan itu tak terpelihara baik akhir-akhir ini. Apalagi menjelang pemilu tahun ini, pohon-pohon itu makin merana.


Paku-paku menancap di batang pohon-pohon itu. Di sisi lain, tali-temali menjeratnya. Warga bak tak peduli saat menempel atribut partai, gambar calon anggota legislatif, atau gambar calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Semakin mendekati pelaksanaan pemilu legislatif, semakin banyak gambar terpasang.
Jika sebelumnya pada satu batang pohon hanya ada satu- dua gambar/tanda gambar, kini bisa lima hingga sepuluh gambar. Hampir tak ada pohon yang dibiarkan menganggur, tak tertempel gambar. Bahkan, pohon yang batangnya masih berdiameter kurang dari lima sentimeter pun diganduli beragam atribut.
”Kalau bisa menangis, pasti pohon-pohon itu sudah bercucuran air mata,” komentar Kepala Seksi Operasional Reklame Dinas Pertamanan Kota Medan Baharudin, pekan lalu di Medan, Sumatera Utara.
Semrawutnya kota akibat atribut partai yang tertempel di mana-mana membuat Baharudin mengeluh. Hutan kota dan taman kota yang luasnya semakin minim tak lagi terlihat hijau. Kini semua tampak warna-warni, tapi semrawut. Pohon tak lagi berfungsi sebagai peneduh, tapi papan reklame gratis.
”Warga kota belum sadar akan estetika kota. Rasa kepemilikan terhadap fasilitas publik, terutama pohon peneduh, belum ada,” keluh Baharudin.
Tanggal 22 Januari lalu Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Medan, Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Medan, Dinas Pertamanan, dan Satpol PP kembali membersihkan atribut partai dan gambar calon anggota legislatif yang dipasang sembarangan, setelah tahun lalu mereka melakukan hal serupa. Pembersihan dilakukan di jalan protokol dan taman kota, termasuk yang tertempel di pohon peneduh.
Tim mengaku tidak sanggup jika harus membersihkan semua atribut yang terpasang di pohon hingga ke pelosok kota. ”Bisa-bisa ini jadi kegiatan rutin kami,” tutur anggota KPU Kota Medan, Pandapotan Tamba. ”KPU masih disibukkan persiapan pemilu yang menumpuk. Anggaran pembersihan pun tidak ada,” tambahnya.
35.000 atribut
Panwaslu Kota Medan menyatakan, sedikitnya ada 35.000 atribut partai yang memenuhi kota akhir-akhir ini. Sebanyak 28.000 di antaranya melanggar ketentuan—terutama karena ditancapkan di pohon peneduh dan fasilitas publik.
Dalam kaitan itu, anggota DPD Parlindungan Purba, yang atributnya ikut diangkut KPU karena dipasang di taman kota, minta maaf. ”Ini karena yang memasang tidak tahu ketentuan pemasangan. Kalau mau memasang di papan reklame, mahal,” ujar Parlindungan.
Sebenarnya pemerintah kota sudah menyediakan sekitar 23 lokasi pemasangan atribut kampanye gratis. Namun, menurut Baharudin, baru empat dari 37 partai yang memanfaatkan fasilitas tersebut. Beberapa orang mengatakan tidak memasang di panggung yang disediakan karena letaknya kurang strategis.
Meskipun peraturan KPU Nomor 19/2008 menyatakan pemerintah dapat mencabut atribut partai yang melanggar aturan tanpa pemberitahuan terlebih dahulu, Baharudin mengaku tak bisa melakukan pencabutan atribut tanpa Panwaslu dan KPU. Sebab, petugas takut dengan orang-orang partai.
Dalam penertiban tanggal 22 Januari lalu, misalnya, bahkan ada petugas yang mencoba mempertahankan gambar calon anggota legislatif atau calon anggota DPD. Entah karena pendukung, entah karena gambar itu gambar kerabatnya.
Tampaknya masih banyak yang berpendapat, daripada ribut, lebih baik diam saja meskipun kota semrawut dan pohon peneduh terancam mati. (WSI)

Readmore »»

Tokyo

KOMPAS, Rabu, 28 Januari 2009, 00:29 Wib
Bersiaplah membaca puisi setiap memasuki toilet umum yang ada di Jepang. Japan Toilet Labo, sebuah lembaga yang mengupayakan hemat kertas toilet sebagai bagian dari upaya memerangi pemanasan global, Senin (26/1), akan memasang puisi tepat di hadapan setiap pemakai toilet umum. Isi puisi tersebut
menekankan perlunya menghemat kertas toilet. Puisi itu dipasang sejajar dengan mata orang dewasa yang sedang menggunakan toilet. Pemakaian kertas toilet di Jepang meningkat 20 persen belakangan ini. ”Kertas (toilet) akan jumpa Anda hanya untuk sebuah momen,” demikian penggalan puisi. Puisi ini akan dipasang pada 1.000 toilet umum di seluruh Jepang. ”Kami bertanya kepada diri sendiri apa yang bisa kami lakukan untuk lingkungan dengan toilet,” ujar Ryusuke Nagahara dari Japan Toilet Labo. Penggunaan kertas toilet yang terus meningkat di seluruh Jepang kemungkinan juga karena jumlah toilet umum yang semakin meningkat. ”Soalnya gratis,” ujar seorang pejabat pemerintah. ”Kalau di rumah, orang bisa menghemat kertas toilet karena berarti menekan pengeluaran mereka,” ujarnya.

Readmore »»

PEMANASAN GLOBAL - Butuh 350 Miliar Euro untuk Tahan Laju hingga 2 Derajat Celsius

Rabu, 28 Januari 2009 00:33 WIB
BRUSSELS, Selasa - Upaya dunia memerangi pemanasan global membutuhkan dana sekitar 350 miliar euro per tahun. Dana sebesar itu diperlukan untuk mempertahankan kenaikan suhu bumi di bawah 2 derajat Celsius hingga tahun 2030. Demikian paparan dari perusahaan konsultan McKinsey, Senin (26/1) di Brussels, Belgia.


”Dunia mampu mengurangi emisi gas rumah kaca hingga 70 persen pada tahun 2030,” bunyi salah satu kesimpulan dari paparan tersebut. Namun, itu hanya bisa tercapai bila, ”Harus sesegera mungkin dilakukan aksi lintas sektor secara global.”

Kisaran biaya tersebut, yaitu 200 miliar euro-350 miliar euro per tahun saat ini. Jumlah ini ekuivalen dengan 1 persen pendapatan domestik bruto secara global pada tahun 2030. McKinsey menambahkan, estimasi tersebut adalah berdasarkan asumsi yang optimistis.

Investasi total yang dibutuhkan untuk membatasi kenaikan suhu bumi global akan meningkat dari tahun ke tahun seiring dengan bertambahnya populasi dan ekspansi ekonomi global. Menurut Per-Anders Enkvist, salah satu penyusun laporan tersebut, jumlah investasi dapat mencapai 810 miliar euro pada 2030.

Laporan McKinsey mendesak dilakukannya aksi segera. ”Penundaan setiap tahun akan menambah tantangan, bukan hanya karena emisi yang terus meningkat, melainkan karena akan menyebabkan ekonomi biaya tinggi untuk karbon,” tulisnya.

Akhir tahun 2009 akan dilakukan pertemuan internasional yang dikoordinasi Konvensi Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) guna menetapkan kesepakatan internasional yang baru tentang bagaimana mengurangi emisi gas rumah kaca dan menahan pemanasan global sampai 2 derajat Celsius. Aksi itu untuk menghindari kerusakan lingkungan yang tak dapat dikembalikan lagi (irreversible environmental damages)

Uni Eropa akan memimpin pertemuan akhir tahun di Kopenhagen, Denmark. Semua negara anggotanya yang berjumlah 27 telah sepakat memotong emisi karbon dioksida sebanyak 20 persen. (AP/isw)

Readmore »»

penghijauan - "Pak, Datang dan Lihatlah Langsung..."

KOMPAS, Selasa, 27 Januari 2009 01:07 WIB

Warga desa asal Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, berunjuk rasa di depan Kantor Departemen Kehutanan Jakarta, Kamis (22/1). Mereka memprotes penebangan hutan yang masih lestari untuk Gerakan Rehabilitasi Lahan (Gerhan).


Kerumunan kecil itu bisa jadi tak berarti bagi pelintas jalan di sekitar Gedung Departemen Kehutanan, Kamis pekan lalu. Penarik perhatian barangkali adalah tujuh lelaki berbaju adat Nusa Tenggara Timur tanpa alas kaki.

Mereka bukan preman sewaan. Namun, utusan masyarakat adat pemangku hutan Besipae di Kecamatan Amanuban Selatan, Timor Tengah Selatan (TTS), NTT. Akhir tahun 2008, hutan adat seluas 400 hektar, gantungan hidup warga, gundul dibabat dan dibakar massa atas nama proyek Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Gerhan).

Salah satu warga, Rison Taopan, mengatakan, masyarakat adat di sekitar hutan telah melaporkan kasus itu ke polisi dan pemerintah kabupaten, provinsi, dan DPRD. Bukannya solusi, yang ada adalah saling mencari kambing hitam.

”Kami datang ke gedung mewah ini hanya satu tujuan, ada komitmen Dephut menyelesaikan masalah,” kata Rison didampingi Marthen Tanono, ketika ditemui perwakilan Dephut. Organisasi lingkungan Walhi mendampingi mereka.

Kepala Pusat Informasi Kehutanan Dephut Masyhud sempat meminta warga memberikan nama dan identitas orang yang terlibat pembabatan. Namun, ditolak dan warga meminta Dephut serius dengan membentuk semacam tim pencari fakta.

Kepada warga, Masyhud berjanji akan segera memberi jawaban. Ia menyebut para pembabat sebagai ”oknum”.

”Gerhan tidak merusak hutan, tetapi justru membuka akses warga untuk turut mengelola hutan. Kalau ada pembabatan, pasti oknum,” kata dia. Sejumlah aktivis LSM menyeletuk, ”Meskipun sampai ratusan hektar?”

Pemerintah terlibat

Informasi warga, pembabatan hutan di Desa Pollo dan Linamnutu, Amanuban Selatan, TTS, melibatkan pemerintah daerah. Dua proyek Gerhan sebelumnya, hutan di Desa Mio (2003) dan Oe’ekam (2006) juga dibabat dan dibakar sebelum ditanami.

Dua tahun dipelihara, sebagian besar tanaman Gerhan mati, berganti semak berduri. Tegakan pohon asam, kayu merah, kabesak, kapok hutan, dan bambu musnah. Begitu pun satwa liar.

Berkaca pada pengalaman itu, masyarakat adat di Desa Pollo dan Linamnutu menolak proyek itu. Apa daya, hutan terus dibabat dan dibakar. Kini, hamparan luas menyisakan kehancuran dan kegersangan. Panas dan tandus.

Dulu, satu pohon asam dapat menghasilkan sekitar Rp 500.000 sekali panen. Setahun tiga kali panen. ”Sekarang tak ada lagi,” kata Benyamin Selan, seorang petani.

Sawah mengering

Akibat pembabatan, mata air yang menghidupkan 50 hektar sawah padi pun mati tahun 2007. Mata air di beberapa tempat muncul pada tahun 1999, ketika hutan masih baik. ”Saya tidak bisa bertani lagi. Beternak juga susah,” kata Marthen Tanono, pemilik lima hektar sawah. Begitu pun Paulus Selan, pemilik sawah satu hektar.

Tak tahan dengan kebuntuan, warga sepakat mengutus perwakilan ke Jakarta. Berbekal uang saku hasil iuran warga Rp 3,5 juta, lima orang tiba di Surabaya menumpang kapal barang bertarif Rp 300.000 per orang.

Lima hari mereka tempuh mengarungi laut. Di Surabaya, mereka bertemu Walhi dan difasilitasi ke Jakarta.

”Negara harus bertanggung jawab atas nasib mereka. Perjuangan mereka luar biasa,” kata Manajer Regional Bali-Nusa Tenggara Eksekutif Nasional Walhi I Wayan Suardana.

Kepada Masyhud, warga menyampaikan harapan mereka. ”Kami undang Pak Menteri untuk tinggal bersama kami satu atau dua hari. Silakan rasakan langsung apa yang kami alami,” kata Rison.(GSA)

Readmore »»

Rabu, 28 Januari 2009

Perdagangan Karbon Harus Segera Diatur

KOMPAS, Selasa, 27 Januari 2009 01:30 WIB
Jambi Sudah Hitung Potensi Hutan yang Hasilkan Karbon
Masyarakat di Desa Guguk, Sungai Manau, Merangin, Jambi, masih selalu menjaga dan mengelola hutan adat mereka seluas 690 hektar. Dari hasil penghitungan, cadangan karbon yang dihasilkan desa ini mencapai 261 ton atau Rp 19 miliar per tahun.

Jambi, Kompas - Daerah mendesak supaya pemerintah pusat segera mengeluarkan mekanisme perdagangan karbon. Pasalnya, saat ini telah banyak makelar karbon yang datang menawarkan jasa mencari pembeli karbon ke pemerintah daerah.

”Pemerintah daerah sudah sangat ingin merealisasikan kerja sama perdagangan karbon karena berharap mendapat keuntungan dari situ. Tetapi, sampai sekarang belum ada mekanisme yang mengaturnya,” ujar Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jambi Budidaya, Jumat (23/1).

Menurut Budidaya, Jambi telah menandatangani prakarsa kerja sama perdagangan karbon dengan broker dari Australia. Penandatanganan dilakukan akhir tahun lalu oleh Gubernur dan semua bupati. Akan tetapi, tambahnya, prakarsa tersebut tidak dapat dilanjutkan hingga kini karena belum ada mekanisme detail mengenai perdagangannya. ”Daerah perlu secepatnya mendapat pemahaman mengenai jumlah dana yang dibagi untuk pusat dan daerah, juga persentase hasil perdagangan untuk broker,” ujarnya.

Pihaknya meminta ada legalitas dari pusat atas broker-broker yang datang ke daerah. ”Saat ini banyak broker datang ke daerah untuk menawarkan kerja sama. Kami khawatir begitu saja melakukan kerja sama sekarang, ternyata ada masalah di kemudian hari,” lanjutnya.

Hutan adat

Saat ini, Jambi mulai merealisasikan perhitungan potensi cadangan karbon di Hutan Adat Desa Guguk, Kecamatan Sungai Manau, Kabupaten Merangin, dengan metodologi kaji cepat cadangan karbon (RaCSA). Dari studi, cadangan karbon Hutan Adat Desa Guguk diketahui sebesar 261,25 ton per hektar. Jika dijual dengan asumsi 10 dollar AS per ton karbon, Desa Adat Guguk yang memiliki luas 690 ha itu bisa menghasilkan 1,8 juta dollar AS atau sekitar Rp 19 miliar.

Menurut Direktur Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, Rakhmat Hidayat, metode penghitungan karbon ini sangat penting untuk menentukan nilai yang akan diterima masyarakat. Metode ini berbeda dengan yang dikembangkan broker karbon, yang tidak akomodatif terhadap kondisi lokal.

”Broker punya banyak kepentingan dalam transaksi karbon sehingga masyarakat adat perlu tahu untuk menghitung sendiri potensi karbonnya,” kata Rakhmat.

Dengan mengetahui perhitungan karbon, masyarakat dapat mengetahui nilai yang mereka akan terima. Ia melanjutkan, hutan ke depan tidak lagi dipandang sebagai sumber kayu semata, yang akibat pemanfaatannya juga menimbulkan kerusakan hutan. Dengan memelihara hutan, dapat memberi manfaat ekonomi yang nilainya jauh lebih besar tanpa menimbulkan kerusakan lingkungan. (ITA)

Readmore »»

Estetika Kota - Blora Galakkan Gerakan "Pohon Bersih Reklame"

KOMPAS, Kamis, 22 Januari 2009 10:16 WIB
BLORA - Pemerintah Kabupaten Blora menggalakkan gerakan "Pohon Bersih Reklame". Sebagai gebrakan pertama,

Pemerintah Kabupaten Blora menertibkan 3.728 reklame dan 13 alat peraga kampanye yang dipasang di sepanjang turus dan trotoar Jalan Raya Blora - Kunduran.
Kepala Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Blora Heru Sutopo, Rabu (21/1) di Blora, mengatakan, masih ada sekitar 4.872 reklame di pohon dari 8.600 reklame. Data itu merupakan hasil survei petugas Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Blora di jalan kabupaten, kecamatan, dan desa.
Reklame-reklame itu tidak berizin atau liar. Selain merugikan daerah, reklame-reklame itu merusak pohon karena pemasangannya menggunakan paku.
"Taruhlah tarif reklame itu Rp 15.000 setahun. Kalau yang ditertibkan sebanyak 3.728 buah, pemerintah daerah merugi Rp 55,92 juta per tahun," kata Heru.
Sekretaris Daerah Kabupaten Blora Bambang Sulistya mencanangkan gerakan itu selama sepekan. Targetnya adalah membersihkan seluruh pohon di Blora dari reklame.
Dasar kegiatan itu adalah Peraturan Bupati Blora Nomor 43 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Reklame. Ketentuan itu ditindaklanjuti dengan Surat Sekda Kabupaten Blora Nomor 660.1/4478 tanggal 15 Oktober 2008 tentang Imbauan Pelarangan Pemasangan Reklame di Pohon.
Secara terpisah, Ketua Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Kabupaten Blora Wahono mengatakan, Panwaslu juga melarang partai politik atau calon anggota legislatif memasang alat peraga di pohon. Larangan itu diatur dalam Surat Nomor 089/Panwaslu-Blora/XII/2008 tanggal 8 Januari 2009 tentang Penertiban Alat Peraga Kampanye.
Panwaslu Kabupaten Blora telah mencopot 8.638 alat peraga kampanye. Sekitar 25 persen dari jumlah itu dipasang di pohon menggunakan paku.
Panwaslu Kabupaten Magelang juga melarang pemasangan alat peraga kampanye di pohon. Panwaslu telah mencopot ratusan alat peraga kampanye yang dipasang di pohon. (HEN/egi)Semarang Tindakan parpol dan caleg mengiklankan diri sebetulnya sah-sah saja karena tidak ada aturan yang melarangnya. Namun, pemasangan spanduk, poster, dan benda-benda iklan lainnya dianggap telah menyalahi aturan. Dalam peraturan daerah tentang reklame terdapat ketentuan menyangkut tempat-tempat yang boleh dipasangi reklame dan yang dilarang.
Dalam perda Kota Semarang misalnya, pemerintah membolehkan pemasangan iklan di trotoar, median jalan, fasilitas umum lainnya seperti telepon umum, bis surat, dan wc umum. Namun, pemerintah melarang iklan dipasang di pohon-pohon penghijauan atau pelindung jalan, taman-taman kota, rambu lalu lintas, tiang listrik, dan lingkungan sekolah serta tempat ibadah.

Readmore »»

Ekspedisi Kompas Ciliwung 2009 - Benteng Terakhir Pertahanan Ciliwung

Senin, 19 Januari 2009 01:41 WIB Oleh Esther Lince Napitupulu

Telaga Saat terletak di perkebunan teh di Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua, Bogor, Jawa Barat, Sabtu (17/1). Selain menjadi sumber air bagi warga kawasan Puncak, telaga dan sungai di kawasan tersebut juga merupakan sumber air Sungai Ciliwung.


Cacu (65), Ketua RT 02/06, Kampung Cibulao, Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, mewakili semua warganya, Minggu (18/1) bersungguh-sungguh mengatakan, mereka tidak berani lagi menebang pohon dari hutan yang mulai rusak sejak tahun 1987-an.

"Pohon yang semakin jarang terlihat di telaga air karena penebangan liar mengkhawatirkan warga. Awalnya, karena takut ditangkap polisi hutan, tetapi sekarang karena warga takut kesulitan mengalirkan air dari telaga ke rumah-rumah," ujar Cacu.

Kerusakan hutan di sekitar Telaga Saat dan Telaga Gayonggong, yang merupakan daerah penyimpan air dan mengalirkannya ke Sungai Ciliwung melalui sungai bawah tanah, menyebabkan kualitas kedua telaga ini menurun.

Kini, Cagar Alam Telaga Warna memang tidak sepenuhnya bebas dari perambahan. Sewaktu harga minyak tanah naik tahun 2005, Cagar Alam Telaga Warna sempat dirambah penduduk di sekitar kawasan dengan mengambil ranting kayu.

Tekanan biaya hidup dan kondisi ekonomi yang serba sulit membuat masyarakat mencari jalan pintas untuk mendapatkan kayu bakar.

Namun, kesadaran masyarakat untuk menjaga hutan perlahan pulih tatkala penduduk dihadapkan pada pilihan kerusakan hutan yang mengancam erosi dan longsor di hunian mereka. Apalagi, kerusakan di kawasan penyangga cagar alam dan telaga yang merupakan puncak keseimbangan ekosistem kini terus berlanjut.

Saat musim kemarau, air dari Telaga Gayonggong yang dialirkan melalui pipa ke rumah warga terhenti karena kedalaman air bisa turun hingga 2-3 meter. Adapun Telaga Saat tidak lagi dipakai warga karena tercemar buangan limbah dari villa dan wisatawan yang datang.

"Tidak banyak yang bisa diperbuat warga. Sebab, warga di sini untuk hidup saja sudah sulit. Paling, kami mulai terlibat dengan penghijauan hutan yang mulai dilakukan pemerintah," ujar Cacu.

Pada kawasan penyangga Cagar Alam Telaga Warna, sekitar 70 persen areal berbatasan dengan lahan Perum Perhutani, 25 persen areal perkebunan rakyat, dan lima persen merupakan tanah hak milik. Alih fungsi kawasan, di antaranya untuk kebun kopi, memicu laju erosi.

Hutan seluas 496 hektar yang melingkupi wilayah Kabupaten Cianjur dan Bogor di Provinsi Jawa Barat itu adalah salah satu sumber mata air Ciliwung dengan keseimbangan ekosistem yang masih lestari. "Di hutan ini, beberapa satwa endemik Jawa Barat masih bisa ditemukan, seperti Owa Jawa (Hylobathes moloch) dan Surili (Presbytis comata)," tutur Siswoyo, Kepala Resor Taman Wisata Alam (TWA) Telaga Warna Bogor, yang juga mengurusi Cagar Alam Telaga Warna.

Pria yang baru menjabat selama dua bulan itu takjub bahwa hutan yang luasnya tidak seberapa itu masih dapat ditemukan jejak spesies khas dan dilindungi. Owa Jawa di kawasan itu diperkirakan sebanyak enam ekor dan Surili 13 ekor. Dalam satu bulan terakhir, pihaknya bahkan menemukan sarang Elang Jawa (Spizaetus bartelsi) dan jejak cakar macan tutul (Panthera pardus melas) yang saat ini populasinya terancam punah.

Hutan dengan ketinggian 1.400-1.884 meter di atas permukaan laut itu memiliki 11 anak sungai yang bermuara ke daerah aliran sungai (DAS) Ciliwung. Di cagar alam itu, terdapat tidak kurang dari 106 spesies fauna, di mana 15 satwa di antaranya tergolong endemik dan dilindungi.

Adapun potensi flora sedikitnya berjumlah 212 jenis, meliputi tanaman obat, tanaman hias, tumbuhan aromatik, tumbuhan bahan baku kerajinan, bahan minuman, maupun tumbuhan penghasil bahan warna.

Cagar Alam Telaga Warna itu berbatasan dengan TWA Telaga Warna di Kabupaten Bogor, kawasan penampung air tertinggi di Bogor yang juga memasok sumber air ke Ciliwung. Luas telaga itu 7.156 meter persegi dengan kedalaman mencapai 15 meter.

"Berdasarkan hasil penelitian mahasiswa Universitas Indonesia beberapa waktu lalu, Telaga Warna masih banyak didatangi spesies capung. Spesies ini merupakan salah satu indikator bahwa kualitas air telaga tergolong baik. Ini tidak akan terjadi jika kawasan cagar alam dan telaga alam rusak," kata Siswoyo.

Ancaman kerusakan

Perambahan kawasan juga berlangsung di Taman Nasional Gede Pangrango (TNGP). Di kawasan TNGP, dari areal seluas 7.000 hektar yang merupakan eks hutan produksi Perum Perhutani, hampir separuh arealnya digarap oleh masyarakat untuk perkebunan sayur, dan kebun kopi. Hal itu mengakibatkan berkurangnya resapan air dan mempercepat laju erosi.

Total luas TNGP saat ini 21.975 hektar. Banyak mata air dari kawasan TNGP juga menyumbang air bagi DAS Ciliwung. Di kawasan itu, terdapat satwa yang dilindungi, di antaranya macan tutul dan elang Jawa. Kerusakan yang terjadi di dalam kawasan TN adalah ancaman bagi bertahannya keanekaragaman hayati.(LKT/MUK/ONG/MZW

Readmore »»

Lingkungan - Lagi, 25 Ton Ikan Keramba Mati

KOMPAS, Sabtu, 17 Januari 2009 01:17 WIB
Padang - Dalam tiga hari terakhir, sekitar 25 ton ikan keramba di Danau Maninjau, Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam, mati. Kematian ikan disebabkan oleh keracunan pakan ikan serta kemungkinan belerang dari dasar danau.


Awal Januari lalu tercatat 13.413 ton ikan keramba di Maninjau mati dalam waktu 10 hari. Penyebab kematian ikan saat itu lantaran pencemaran air danau.
Pencemaran air terjadi karena tingginya kandungan nitrogen yang dipengaruhi terutama oleh endapan pakan ikan di dasar danau.

Camat Tanjung Raya Kurniawan Syahputra, Jumat (16/1), mengatakan, kejadian kali ini merupakan kelanjutan dari kejadian awal bulan lalu.
Kematian ikan kali ini dipicu dengan angin besar yang terjadi hari Rabu lalu.
”Angin kencang itu membuat residu pakan ikan kembali naik dan meracuni ikan keramba. Nagari Maninjau, yang dulu belum terkena imbas keracunan air danau, kini sudah ada ikan yang mati,” kata Kurniawan.
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Agam Rusdi Lubis mengatakan, hingga Jumat siang belum ada laporan kualitas air Danau Maninjau. Laporan kualitas air danau ini diperlukan untuk menganalisis penyebab kematian ikan.
Dugaan sementara, kematian ikan disebabkan oleh keracunan pakan ikan dari dasar danau serta kemungkinan belerang dari dasar danau yang naik.

Dihentikan
Pemerintah Kabupaten Agam, menurut Rusdi, sudah meminta peternak ikan untuk menghentikan penebaran bibit ikan di keramba, setidaknya dalam dua bulan mendatang, hingga kualitas air kembali membaik.
Selain itu, Pemkab Agam juga akan mengatur daerah di danau yang diperkenankan untuk budidaya ikan keramba. Budidaya ikan keramba akan diutamakan untuk masyarakat yang tinggal di sekeliling danau.
Pemerintah juga menggunakan analisis ahli untuk menentukan jumlah pakan yang dibutuhkan dalam satu keramba agar tidak banyak pakan yang terbuang.
Sistem keramba bertingkat juga akan dikaji untuk mengurangi pakan ikan yang terbuang ke dasar danau. ”Pengaturan itu diharapkan bisa menghindari terulangnya kejadian serupa ini pada masa datang,” kata Rusdi.

Telah dibersihkan
Sementara itu, seberat 13.413 ton ikan yang mati awal bulan lalu telah dibersihkan dari danau. Camat Kurniawan mengatakan, pembersihan bangkai ikan memakan waktu sekitar sepekan.
”Semua bangkai ikan dikubur di tujuh titik. Setiap titik dibuat dengan kedalaman 2 meter hingga 3 meter dan lebar 4 meter sampai 5 meter,” kata Kurniawan Syahputra.
Kematian ikan awal tahun ini menyebabkan kerugian masyarakat hingga lebih dari Rp 134 miliar. (ART)

Readmore »»

Kamis, 22 Januari 2009

Pencinta Lingkungan dari Condet

KOMPAS Selasa, 20 Januari 2009 01:15 WIB Oleh M CLARA WRESTI
Dulu, Condet, Jakarta Timur, terkenal akan salak dan dukunya. Kini, kawasan itu dikenal sebagai kawasan yang padat, macet, menjadi pusatnya rumah kos dan penampungan tenaga kerja. Istilah Betawi-nya, semek atau semerawut.


Keputusan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menjadikan Condet sebagai kawasan cagar budaya tahun 1974, ternyata justru mendorong daerah itu kehilangan jati diri sebagai cagar budaya.
Ketika itu, kawasan Condet yang hijau, kantong orang Betawi, dan buah-buahannya yang beragam, memang pantas menjadi pertimbangan pemerintah sebagai cagar budaya. Pemerintah lalu mencegah pembangunan di kawasan ini dengan menerapkan koefisien dasar ruang 80:20. Ruang terbuka hijau 80 persen, sedangkan ruang yang boleh dibangun 20 persen saja.
”Akibatnya harga tanah menjadi murah karena untuk mendapatkan IMB (izin mendirikan bangunan) susah sekali. Orang luar kawasan Condet lalu berduyun-duyun datang,” kata Abdul Kodir, tukang ojek yang peduli pada lingkungan di Condet.
Lelaki yang biasa disapa Diding ini prihatin dengan kondisi Condet belakangan ini, apalagi Sungai Ciliwung yang melintas di kawasan ini juga parah kondisinya. Sampah plastik yang dibuang ke sungai setiap hari bertumpuk di pinggir sungai membuat kawasan Condet semakin kumuh dan tak sehat.
”Ketika saya masih kecil, setiap kali malam takbiran, warga kampung Condet Balekambang melakukan tradisi mandi dan mencuci bersama di sungai. Dengan kondisi sungai yang sakit seperti ini, tradisi itu pun hilang,” ceritanya.
Kawasan Condet telah berkembang menjadi tempat hunian yang padat. Beragam pohon buah-buahan asli Jakarta, yang hingga tahun 1990-an masih memenuhi kawasan ini, makin tersingkir ke pinggir sungai. Di pinggir sungai pun saat banjir melanda, pohon-pohon tersebut tergerus.
Hilangnya pohon salak dan buah-buahan khas Jakarta membuat sarjana pertanian ini merasa khawatir. Dia lalu mengumpulkan satu per satu bibit dan ditanam di halaman rumahnya. Ia tak tertarik bekerja di lapangan kerja formal. Diding justru berkeliling kampung, mencari sesuatu yang khas Condet dan masih bisa diselamatkan. Ia telah mengumpulkan 10 jenis salak yang dulu ada di Condet.
Tak masuk akal
Apa yang dilakukan Diding itu dinilai tak masuk akal oleh orangtuanya, HM Amin (almarhum) dan Hj Sunayah (70-an). Keduanya ingin putra mereka kerja kantoran, apalagi Diding mengantongi ijazah sarjana. Namun, dia malah terjun mengurus tanaman dan membersihkan Sungai Ciliwung. Sesekali, kalau butuh uang, Diding menjadi tukang ojek.
Ia juga mengajak anak-anak di kampungnya belajar tentang tanaman. Tanaman yang mulai langka dia perkenalkan kepada anak-anak. Mereka diajari menanam, merawat tanaman, membersihkan lingkungan, dan mengambil sampah yang menyangkut di sungai.
”Di buku pelajaran mereka diajarkan biji monokotil dan dikotil. Tetapi, biji berkeping tunggal seperti apa? Mereka tak tahu. Nah, di sini mereka tahu seperti apa biji monokotil, contohnya salak, sedangkan yang dikotil seperti nangka,” ujar Diding yang mendirikan Komunitas Ciliwung Condet.
Para murid itu juga dikenalkan pada ekosistem dan hewan yang ada di lingkungannya. Di Condet setidaknya ditemukan 35 jenis burung dan tujuh jenis kelelawar. Ini belum termasuk berbagai jenis ikan dan hewan-hewan kecil lain.
”Namun, ekosistem di Condet banyak yang sudah rusak dan berubah. Dulu, jenis ikan di Sungai Ciliwung banyak sekali, antara lain ada ikan berot, gabus, baung, keting, lele, mas, mase, tawes, lempalung, senggal, julung-julung, sisik melik, dan lopis. Tetapi sekarang, Sungai Ciliwung didominasi ikan sapu-sapu,” kata Diding.
Keberadaan ikan sapu-sapu, yang juga melahap telur-telur ikan jenis lain, membuat ikan jenis lain tersingkir dan hilang. Maka, di aliran Sungai Ciliwung dari kawasan Pasar Rebo hingga ke hilir, dikuasai oleh ikan sapu-sapu. Ikan ini juga merusak dinding sungai karena mereka membuat liang di pinggir sungai. Akibatnya, dinding sungai mudah longsor.
Ikan sapu-sapu itu banyak dijaring warga di sekitar sungai untuk diambil dagingnya. Mereka menjual daging ikan itu dengan harga sekitar Rp 8.000 per kilogram untuk dijadikan penganan berbahan dasar ikan.
”Memperlihatkan pada anak-anak apa yang terjadi di sungai, dari yang tadinya ada, lalu hilang. Dari yang tadinya tidak ada, sekarang menjadi ada. Ini tentu menjadi pelajaran yang berharga,” katanya.
Diskusi
Murid Diding berjumlah sekitar 20 orang. Mereka adalah siswa SD dan SMP di sekitar Condet. Mereka boleh datang kapan saja untuk berdiskusi tentang tanaman dan sungai.
”Dengan menanamkan kecintaan terhadap lingkungan kepada anak-anak, mereka bisa menjadi duta kampanye untuk lingkungan bagi orang-orang di dekatnya,” kata Diding berharap.
Koleksi tanaman Diding sekarang sudah ribuan jenis. Dari salak dengan beragam varietasnya, duku, kemang, sukun, kapuk, melinjo, pucung (kluwek), sampai jengkol. Selain itu, dia masih mempunyai 4.000 bibit salak siap tanam yang tidak tahu akan dia apakan.
”Inginnya, saya tanam di sini, tetapi saya tidak punya lahan lagi. Ini saja saya memakai lahan tetangga di pinggir sungai,” kata Diding yang mengelola lahan seluas 2 hektar itu.
Tetangganya bersedia lahannya dikelola Diding karena lahan itu selalu bersih. ”Kalau lingkungan bersih, warga jadi enggan buang sampah, berarti ini ada yang punya. Tetapi, kalau lahan didiamkan saja, warga tidak merasa bersalah membuang sampah di sungai,” kata anak ketujuh dari 10 bersaudara ini.
Diding mengakui, sampah yang tersangkut di pohon dia bersihkan bersama anak-anak didiknya, lalu dibuang kembali ke sungai. Dia tahu, apa yang dilakukan itu salah. Namun, tak mungkin sampah itu dibuang ke tempat penampungan warga karena jumlahnya sangat banyak. Selain itu, ia juga tak mempunyai alat untuk mengangkut sampah dari sungai lalu naik ke permukiman warga.
Persoalan Condet dari masalah peruntukan lahan, sampah di sungai, hingga ekosistem yang berubah, menjadi keprihatinan buat Diding. Dia berharap, jika semakin banyak orang yang peduli pada lingkungan, ekosistem setempat akan semakin baik, sehat, dan bermanfaat bagi semua penghuninya.

Readmore »»

Pemanasan Regional di Eropa

KOMPAS Senin, 19 Januari 2009 00:31 WIB

Kabut di Eropa telah berkurang dalam tiga dekade terakhir. Sebuah kajian yang diterbitkan hari Minggu (18/1) menyebutkan, hal itu menunjukkan kecenderungan adanya pemanasan regional dan secara ironis mungkin bisa dihubungkan dengan kualitas udara yang lebih baik. Pada periode 1978-2006, suhu di beberapa bagian Eropa meningkat di atas rata-rata daratan global, dengan peningkatan yang mencolok di bagian utara, tengah, dan timur benua itu. Sebanyak 20 persen dari pemanasan Eropa pada periode itu bisa dilihat dari berkurangnya kabut yang mencerminkan radiasi matahari.

Readmore »»

Hutan - 6.090 Hektar Lahan Masih Kritis

KOMPAS Sabtu, 17 Januari 2009 02:10 WIB
MAGETAN - Sebanyak 6.090 hektar lahan di delapan kecamatan di Kabupaten Magetan, Jawa Timur, termasuk kritis. Hal itu terjadi karena

alih fungsi hutan menjadi lahan pertanian, perumahan, dan infrastruktur.
Lahan kritis itu berada di Kecamatan Plaosan, Panekan, Poncol, Parang, Lembeyan, Kawedanan, Ngariboyo, dan Magetan. Sejumlah lahan kritis juga ditetapkan sebagai kawasan rawan longsor, seperti di Poncol, Plaosan, dan Panekan.
Kepala Subdinas Kehutanan, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Magetan Subagjo Djumantoro, Jumat (16/1), mengatakan, deforestasi hutan rakyat (di luar hutan milik Kesatuan Pemangkuan Hutan Lawu) terjadi karena desakan kebutuhan rakyat terhadap pangan, papan, serta infrastruktur seperti jalan dan fasilitas umum lain.
Tahun 2003, luas lahan kritis di Magetan 13.360 hektar. Selama 2003-2007, Pemkab Magetan mereboisasi 6.950 hektar. Tahun 2008, mereboisasi 320 hektar dengan pohon jati, mahoni, mindi, durian, alpukat, dan rambutan.
Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Magetan Tirsan Yusuf menyatakan, reboisasi sangat penting untuk mencegah longsor serta mengubah lahan kritis menjadi areal tangkapan air lagi. Untuk itu, partisipasi warga menjadi penting.
Sementara itu, tingkat degradasi hutan di Sumatera Selatan mencapai 100.000 hektar per tahun akibat pembalakan hutan dan alih fungsi hutan menjadi hutan tanaman industri maupun perkebunan kelapa sawit.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumsel memperkirakan, akhir 2008 luas hutan di Sumsel tinggal 1.129.000 hektar dari total luas hutan 3.777.457 hektar.
Menurut Direktur Eksekutif Walhi Sumsel Anwar Sadat, kerusakan hutan menyebabkan daya serap daerah aliran sungai saat hujan berkurang sehingga menyebabkan banjir. Berdasarkan catatan Walhi Sumsel, kerusakan hutan di Sumsel nomor dua terparah di Sumatera setelah Riau.
Kepala Dinas Kehutanan Sumatera Utara James Budiman Siringoringo menyatakan, pihaknya menolak pemutihan kawasan hutan seluas 700.000 hektar. Upaya mengeluarkan status hutan terhadap lahan itu berpotensi merusak kawasan yang masih terjaga. Sebaliknya, pemutihan dianggap perlu oleh pemerintah kabupaten dan kota yang sebagian besar wilayahnya terdiri dari hutan.

Readmore »»