Di Sumsel, 8.333 Ha Hutan Hilang Setiap Bulan
Selasa, 10 Maret 2009 05:55 WIB
JAMBI, KOMPAS — Hampir 100.000 hektar areal hutan produksi yang menjadi habitat harimau sumatera di Kabupaten Muaro Jambi, Provinsi Jambi, telah dirusak perambah dan pembalak liar. Kondisi itu yang menyebabkan maraknya konflik antara harimau dan manusia dua bulan terakhir ini.
Hunian harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) di Muaro Jambi adalah hutan produksi hak pengusahaan hutan (HPH) Putra Duta seluas 35.000 hektar (ha) dan eks HPH Rimba Karya Indah (RKI) sekitar 50.000 ha. Hanya dua tempat itulah yang masih cocok untuk harimau mencari makanan dan berkembang
biak karena hutan di sekitarnya telah menjadi hutan tanaman industri (HTI) dan perkebunan sawit.
Taman Nasional Berbak yang tak jauh dari lokasi itu juga kurang memungkinkan menjadi hunian harimau karena kondisinya yang penuh rawa.
”Hunian harimau hanya tinggal hutan produksi, tetapi sudah rusak karena marak perambahan dan pembalakan oleh manusia. Harimau juga tidak bisa pindah
karena telah dikepung HTI dan perkebunan sawit. Harimau terjepit di sekitar hutan produksi itu,” tutur Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam Jambi
Didy Wurjanto, Senin (9/3).
Didy memastikan, meningkatnya konflik antara harimau dan manusia, yang mengakibatkan sembilan orang meninggal diterkam selama sebulan ini, disebabkan
perusakan hutan. Kepal Subdinas Perencanaan Dina Kehutanan Provinsi Jambi Daru Pratomo mengemukakan, areal eks HPH Putra Duta dan RKI paling rawan dirambah dan dibalak karena tidak ada penjagaan ketat di dua lokasi itu.
Izin HPH untuk RKI telah dicabut tiga tahun lalu. Saat ini ada dua perusahaan yang sedang mengajukan pemanfaatan hutan produksi itu menjadi HTI, yaituPT Pesona Belantara dan PT Rimbun Persada. Sementara Putra Duta yang masih mengantongi izin HPH tidak memanfaatkan hutan seluas 35.000 hektar.
Serangan harimau di wilayah perbatasan Jambi dan Sumatera Selatan, kata Manajer Pengembangan Sumber Daya Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumsel Hadi Jatmiko, merupakan gambaran fenomena gunung es permasalahan kerusakan hutan di dua provinsi bertetangga itu. Walhi Sumsel mencatat, kerusakan hutan di Sumsel sekitar 8.333 ha per bulan.
”Tiga tahun ini kerusakan hutan di Sumsel 100.000 hektar atau setiap bulan 8.333 hektar. Saat ini luas hutan Sumsel tinggal 1,21 juta hektar. Dalam 10 tahun, jika terus seperti ini, hutan di Sumsel bakal habis,” kata Hadi di Palembang, Senin.
Hadi menyebutkan, kerusakan hutan disebabkan alih fungsi lahan dari hutan alam menjadi perkebunan, terutama kelapa sawit dan karet. Masalah lain adalah penebangan hutan secara liar. Hingga saat ini pemerintah pusat dan daerah juga masih terus mengeluarkan izin pengelolaan hutan kepada perusahaan swasta.
Di lokasi terbunuhnya sembilan warga oleh harimau di perbatasan Jambi dan Sumsel terdapat empat perusahaan yang membabat hutan. Setiap hari puluhan truk keluar-masuk hutan mengangkut kayu.
Selasa, 10 Maret 2009 05:55 WIB
JAMBI, KOMPAS — Hampir 100.000 hektar areal hutan produksi yang menjadi habitat harimau sumatera di Kabupaten Muaro Jambi, Provinsi Jambi, telah dirusak perambah dan pembalak liar. Kondisi itu yang menyebabkan maraknya konflik antara harimau dan manusia dua bulan terakhir ini.
Hunian harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) di Muaro Jambi adalah hutan produksi hak pengusahaan hutan (HPH) Putra Duta seluas 35.000 hektar (ha) dan eks HPH Rimba Karya Indah (RKI) sekitar 50.000 ha. Hanya dua tempat itulah yang masih cocok untuk harimau mencari makanan dan berkembang
biak karena hutan di sekitarnya telah menjadi hutan tanaman industri (HTI) dan perkebunan sawit.
Taman Nasional Berbak yang tak jauh dari lokasi itu juga kurang memungkinkan menjadi hunian harimau karena kondisinya yang penuh rawa.
”Hunian harimau hanya tinggal hutan produksi, tetapi sudah rusak karena marak perambahan dan pembalakan oleh manusia. Harimau juga tidak bisa pindah
karena telah dikepung HTI dan perkebunan sawit. Harimau terjepit di sekitar hutan produksi itu,” tutur Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam Jambi
Didy Wurjanto, Senin (9/3).
Didy memastikan, meningkatnya konflik antara harimau dan manusia, yang mengakibatkan sembilan orang meninggal diterkam selama sebulan ini, disebabkan
perusakan hutan. Kepal Subdinas Perencanaan Dina Kehutanan Provinsi Jambi Daru Pratomo mengemukakan, areal eks HPH Putra Duta dan RKI paling rawan dirambah dan dibalak karena tidak ada penjagaan ketat di dua lokasi itu.
Izin HPH untuk RKI telah dicabut tiga tahun lalu. Saat ini ada dua perusahaan yang sedang mengajukan pemanfaatan hutan produksi itu menjadi HTI, yaituPT Pesona Belantara dan PT Rimbun Persada. Sementara Putra Duta yang masih mengantongi izin HPH tidak memanfaatkan hutan seluas 35.000 hektar.
Serangan harimau di wilayah perbatasan Jambi dan Sumatera Selatan, kata Manajer Pengembangan Sumber Daya Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumsel Hadi Jatmiko, merupakan gambaran fenomena gunung es permasalahan kerusakan hutan di dua provinsi bertetangga itu. Walhi Sumsel mencatat, kerusakan hutan di Sumsel sekitar 8.333 ha per bulan.
”Tiga tahun ini kerusakan hutan di Sumsel 100.000 hektar atau setiap bulan 8.333 hektar. Saat ini luas hutan Sumsel tinggal 1,21 juta hektar. Dalam 10 tahun, jika terus seperti ini, hutan di Sumsel bakal habis,” kata Hadi di Palembang, Senin.
Hadi menyebutkan, kerusakan hutan disebabkan alih fungsi lahan dari hutan alam menjadi perkebunan, terutama kelapa sawit dan karet. Masalah lain adalah penebangan hutan secara liar. Hingga saat ini pemerintah pusat dan daerah juga masih terus mengeluarkan izin pengelolaan hutan kepada perusahaan swasta.
Di lokasi terbunuhnya sembilan warga oleh harimau di perbatasan Jambi dan Sumsel terdapat empat perusahaan yang membabat hutan. Setiap hari puluhan truk keluar-masuk hutan mengangkut kayu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar