KOMPAS, Rabu, 4 Maret 2009 03:55 WIB Oleh: Cokorda Yudistira
Sampah masih menjadi persoalan pelik bagi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, terutama menyangkut tempat pembuangannya. Sementara timbunan sampah di tempat pembuangan akhir sampah Bantar Gebang sudah mencapai ketinggian kritis.
Lebih dari 10 juta ton sampah sudah ditimbun di areal TPA milik Pemprov DKI Jakarta yang berlokasi di Kecamatan Bantar Gebang, Kota Bekasi, Jawa Barat. Setiap harinya, tidak kurang dari 6.000 ton sampah baru dibuang ke TPA Bantar Gebang.
Tanpa penanganan dan pengelolaan yang baik, lahan TPA Bantar Gebang yang saat ini seluas 110 hektar lebih itu dikhawatirkan tidak akan mampu menampung sampah lagi dari DKI Jakarta. Selain itu, risiko kebakaran dan longsor di TPA Bantar Gebang setiap waktu terus mengancam.
Di sisi lain, penggunaan lahan di tiga kelurahan di Kecamatan Bantar Gebang, Kota Bekasi, yakni Kelurahan Cikiwul, Kelurahan Ciketing Udik, dan Kelurahan Sumur Batu, sebagai TPA bukan tanpa batu sandungan. Penolakan warga dan ancaman penutupan berkali-kali mewarnai perjalanan beroperasinya lahan penampungan sampah raksasa.
Dalam buku Malapetaka Sampah (cetakan pertama November 2004), Bagong Suyoto menyebut, sampah di TPA Bantar Gebang tidak semata persoalan bau busuk dan limbah. Namun, di balik itu, persoalan sampah di TPA Bantar Gebang sarat kepentingan.
”Bisa dipastikan setiap menjelang berakhirnya masa PKS (perjanjian kerja sama) TPA Bantar Gebang akan muncul gugatan dan polemik,” kata Bagong, yang juga Ketua Koalisi Lembaga Swadaya Masyarakat untuk Persampahan Nasional.
Seperti yang terjadi pada Desember 2008. Jalan masuk TPA Bantar Gebang dipagar betis oleh ratusan orang dari Desa Taman Rahayu, Kecamatan Setu, Kabupaten Bekasi. Mereka menuntut kompensasi dampak sampah TPA. Selama 20 tahun lebih TPA Bantar Gebang dioperasikan, warga desa mengaku belum pernah menikmati dana pemberdayaan masyarakat yang berasal dari pembagian hasil pungutan sampah.
Teknologi
Setelah hampir 20 tahun TPA Bantar Gebang difungsikan, Pemprov DKI Jakarta pada Desember 2008 meneken kontrak investasi untuk industrialisasi di TPA Bantar Gebang. Nilai investasi yang ditanamkan pengelola baru di TPA Bantar Gebang mencapai Rp 700 miliar. ”Ini kontrak jangka panjang,” kata Kepala Dinas Kebersihan DKI Jakarta Eko Bharuna.
Selain menggandeng investor untuk mengelola TPA Bantar Gebang, Pemprov DKI Jakarta juga meneruskan rencana membangun sarana pengolahan sampah berupa intermediate treatment facility (ITF) di wilayah Ibu Kota. ”Itu adalah komitmen untuk menjalankan amanat Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah,” ujar Eko.
Pengelola baru di TPA Bantar Gebang adalah PT Godang Tua Jaya (GTJ). PT GTJ adalah ”pemain lama” dalam bisnis sampah. PT GTJ akan mengelola TPA Bantar Gebang hingga 15 tahun ke depan atau sampai tahun 2023. PT GTJ menggandeng PT Navigat Organic Energy Indonesia (NOEI) dan Sindicatum Capital Carbon serta Organic International Limited untuk mengelola TPA Bantar Gebang.
PT GTJ dikenal sebagai produsen pupuk organik (kompos) yang berbahan baku sampah pasar dan salah satu subkontraktor di TPA Bantar Gebang ketika TPA Bantar Gebang masih dikelola PT Patriot Bekasi Bangkit (PBB). PT NOEI memiliki pengalaman mengolah sampah menjadi sumber energi listrik di Instalasi Pengelolaan Sampah Terpadu (IPST) Sarbagita di TPA Suwung, Denpasar, Bali.
Ditemui awal Februari lalu, Direktur PT GTJ Douglas J Manurung mengatakan, mereka akan menerapkan teknologi sanitary landfill yang benar dan penerapan proses 3R, yaitu reduce, reuse, recycle (pengurangan, penggunaan ulang, dan pengolahan ulang), serta pengomposan untuk sampah di TPA Bantar Gebang.
Dalam rencana PT GTJ, sedikitnya ada empat jenis fasilitas pengelolaan sampah akan dibangun secara bertahap di TPA Bantar Gebang mulai tahun 2009. Rencana tersebut meliputi pembangunan fasilitas pengolahan sampah dengan teknologi Galfad (gasification, landfill, and anaerobic digestion), fasilitas daur ulang sampah plastik, fasilitas pengolahan gas metana, dan fasilitas pembangkit listrik.
Dengan menerapkan teknologi yang tepat, kata Douglas, masa pakai lahan TPA Bantar Gebang dapat diperpanjang hingga belasan tahun lagi. Selain itu, sampah di Bantar Gebang juga akan menghasilkan keuntungan ganda yang bernilai ekonomis, antara lain bahan baku pupuk organik (kompos), bahan baku produk daur ulang, dan sumber energi listrik.
Penerapan teknologi dalam pengelolaan TPA sudah dijalankan Pemkot Bekasi di TPA Sumur Batu sejak tahun lalu. Pemkot Bekasi menggandeng PT Gikoko Kogyo Indonesia untuk mengelola gas metana hasil pembusukan sampah TPA Sumur Batu dengan teknologi pembakaran gas (landfill gas flaring/LGF).
Menyusul itu, Pemkot Bekasi dibantu Ditjen Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum membangun pusat pengolahan sampah dengan sistem 3R di sekitar TPA Sumur Batu.
Menurut Bagong, penerapan teknologi dan masuknya industri ke TPA Bantar Gebang akan menempatkan TPA Bantar Gebang sebagai pusat industri daur ulang, pusat industri kompos, dan pusat sumber energi listrik.
”Bahkan, TPA Bantar Gebang dapat menjadi pusat pelatihan dan pusat pengembangan pertanian serta kawasan ekowisata," kata Bagong.
Sampah masih menjadi persoalan pelik bagi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, terutama menyangkut tempat pembuangannya. Sementara timbunan sampah di tempat pembuangan akhir sampah Bantar Gebang sudah mencapai ketinggian kritis.
Lebih dari 10 juta ton sampah sudah ditimbun di areal TPA milik Pemprov DKI Jakarta yang berlokasi di Kecamatan Bantar Gebang, Kota Bekasi, Jawa Barat. Setiap harinya, tidak kurang dari 6.000 ton sampah baru dibuang ke TPA Bantar Gebang.
Tanpa penanganan dan pengelolaan yang baik, lahan TPA Bantar Gebang yang saat ini seluas 110 hektar lebih itu dikhawatirkan tidak akan mampu menampung sampah lagi dari DKI Jakarta. Selain itu, risiko kebakaran dan longsor di TPA Bantar Gebang setiap waktu terus mengancam.
Di sisi lain, penggunaan lahan di tiga kelurahan di Kecamatan Bantar Gebang, Kota Bekasi, yakni Kelurahan Cikiwul, Kelurahan Ciketing Udik, dan Kelurahan Sumur Batu, sebagai TPA bukan tanpa batu sandungan. Penolakan warga dan ancaman penutupan berkali-kali mewarnai perjalanan beroperasinya lahan penampungan sampah raksasa.
Dalam buku Malapetaka Sampah (cetakan pertama November 2004), Bagong Suyoto menyebut, sampah di TPA Bantar Gebang tidak semata persoalan bau busuk dan limbah. Namun, di balik itu, persoalan sampah di TPA Bantar Gebang sarat kepentingan.
”Bisa dipastikan setiap menjelang berakhirnya masa PKS (perjanjian kerja sama) TPA Bantar Gebang akan muncul gugatan dan polemik,” kata Bagong, yang juga Ketua Koalisi Lembaga Swadaya Masyarakat untuk Persampahan Nasional.
Seperti yang terjadi pada Desember 2008. Jalan masuk TPA Bantar Gebang dipagar betis oleh ratusan orang dari Desa Taman Rahayu, Kecamatan Setu, Kabupaten Bekasi. Mereka menuntut kompensasi dampak sampah TPA. Selama 20 tahun lebih TPA Bantar Gebang dioperasikan, warga desa mengaku belum pernah menikmati dana pemberdayaan masyarakat yang berasal dari pembagian hasil pungutan sampah.
Teknologi
Setelah hampir 20 tahun TPA Bantar Gebang difungsikan, Pemprov DKI Jakarta pada Desember 2008 meneken kontrak investasi untuk industrialisasi di TPA Bantar Gebang. Nilai investasi yang ditanamkan pengelola baru di TPA Bantar Gebang mencapai Rp 700 miliar. ”Ini kontrak jangka panjang,” kata Kepala Dinas Kebersihan DKI Jakarta Eko Bharuna.
Selain menggandeng investor untuk mengelola TPA Bantar Gebang, Pemprov DKI Jakarta juga meneruskan rencana membangun sarana pengolahan sampah berupa intermediate treatment facility (ITF) di wilayah Ibu Kota. ”Itu adalah komitmen untuk menjalankan amanat Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah,” ujar Eko.
Pengelola baru di TPA Bantar Gebang adalah PT Godang Tua Jaya (GTJ). PT GTJ adalah ”pemain lama” dalam bisnis sampah. PT GTJ akan mengelola TPA Bantar Gebang hingga 15 tahun ke depan atau sampai tahun 2023. PT GTJ menggandeng PT Navigat Organic Energy Indonesia (NOEI) dan Sindicatum Capital Carbon serta Organic International Limited untuk mengelola TPA Bantar Gebang.
PT GTJ dikenal sebagai produsen pupuk organik (kompos) yang berbahan baku sampah pasar dan salah satu subkontraktor di TPA Bantar Gebang ketika TPA Bantar Gebang masih dikelola PT Patriot Bekasi Bangkit (PBB). PT NOEI memiliki pengalaman mengolah sampah menjadi sumber energi listrik di Instalasi Pengelolaan Sampah Terpadu (IPST) Sarbagita di TPA Suwung, Denpasar, Bali.
Ditemui awal Februari lalu, Direktur PT GTJ Douglas J Manurung mengatakan, mereka akan menerapkan teknologi sanitary landfill yang benar dan penerapan proses 3R, yaitu reduce, reuse, recycle (pengurangan, penggunaan ulang, dan pengolahan ulang), serta pengomposan untuk sampah di TPA Bantar Gebang.
Dalam rencana PT GTJ, sedikitnya ada empat jenis fasilitas pengelolaan sampah akan dibangun secara bertahap di TPA Bantar Gebang mulai tahun 2009. Rencana tersebut meliputi pembangunan fasilitas pengolahan sampah dengan teknologi Galfad (gasification, landfill, and anaerobic digestion), fasilitas daur ulang sampah plastik, fasilitas pengolahan gas metana, dan fasilitas pembangkit listrik.
Dengan menerapkan teknologi yang tepat, kata Douglas, masa pakai lahan TPA Bantar Gebang dapat diperpanjang hingga belasan tahun lagi. Selain itu, sampah di Bantar Gebang juga akan menghasilkan keuntungan ganda yang bernilai ekonomis, antara lain bahan baku pupuk organik (kompos), bahan baku produk daur ulang, dan sumber energi listrik.
Penerapan teknologi dalam pengelolaan TPA sudah dijalankan Pemkot Bekasi di TPA Sumur Batu sejak tahun lalu. Pemkot Bekasi menggandeng PT Gikoko Kogyo Indonesia untuk mengelola gas metana hasil pembusukan sampah TPA Sumur Batu dengan teknologi pembakaran gas (landfill gas flaring/LGF).
Menyusul itu, Pemkot Bekasi dibantu Ditjen Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum membangun pusat pengolahan sampah dengan sistem 3R di sekitar TPA Sumur Batu.
Menurut Bagong, penerapan teknologi dan masuknya industri ke TPA Bantar Gebang akan menempatkan TPA Bantar Gebang sebagai pusat industri daur ulang, pusat industri kompos, dan pusat sumber energi listrik.
”Bahkan, TPA Bantar Gebang dapat menjadi pusat pelatihan dan pusat pengembangan pertanian serta kawasan ekowisata," kata Bagong.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar