Kamis, 12 Maret 2009

Lingkungan - Petambak Liar Menggerogoti TWA Angke

KOMPAS, Jumat, 13 Maret 2009 03:45 WIB
Jakarta - Petambak liar masih terus membuka lahan dengan menggerogoti hutan bakau di kawasan Taman Wisata Alam Angke, Kamal Muara, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara. Selain membuka lahan dengan membabat pohon bakau, mereka juga mencabuti anakan bakau yang baru ditanam di kawasan itu.


Wakil Gubernur DKI Jakarta Prijanto seusai memimpin apel Hari Bhakti Kehutanan ke-26 di Taman Wisata Alam (TWA) Angke, Kamis (12/3), mengatakan, tindakan para petambak itu melanggar hukum.

”Jika terbukti, mereka kita tangkap dan diproses hukum,” kata Prijanto.

Apel yang diikuti sekitar 300 rimbawan, aktivis lingkungan, dan pegawai pemerintah tersebut bertemakan Menggalang Semangat Kebersamaan Rimbawan, Kita Sukseskan Kegiatan Penanaman Pohon Bakau ”One Man One Tree”. Hadir mendampingi Wakil Gubernur antara lain Wali Kota Jakarta Utara Bambang Sugiyono dan Camat Penjaringan Syahril Suwarno.

Pengelola TWA Angke, Murniwati Harahap, mengatakan, saat ini setidaknya masih ada sekitar 30 petambak yang membuka usaha tambak ikan bandeng di dalam kawasan TWA. ”Jumlah itu sebenarnya tidak terlalu banyak, tetapi amat mengganggu kawasan. Seharusnya mereka sudah tidak boleh di dalam kawasan, apalagi sampai membuka tambak,” katanya.

Murniwati mengatakan, sudah ada aturan, bahkan undang-undang, yang melarang okupasi lahan di dalam TWA atau kawasan konservasi. ”Seharusnya para petambak diusir ke luar kawasan. Namun, wewenang untuk melarang petambak ada pada pemerintah. Yang paling penting sebenarnya, tinggal ada atau tidak kemauan untuk menindaknya,” kata Murniwati.

Perbedaan pola

Jika tidak ada pelarangan atau tindakan hukum terhadap para petambak liar, usaha menanam dan menyisip anakan bakau oleh berbagai kalangan di kawasan itu akan sia-sia. ”Ada perbedaan di dalam usaha tambak ikan bandeng dan budidaya bakau,” kata Murniwati.

Menurut dia, ikan bandeng tidak memerlukan sirkulasi air, sedangkan tanaman bakau atau mangrove memerlukan sirkulasi air. ”Ikan tidak memerlukan lumpur, sedangkan bakau butuh lumpur untuk mengikat akarnya,” ujarnya.

Contoh-contoh itu diungkapnya untuk menunjukkan bahwa budidaya tambak ikan berseberangan dengan budidaya tanaman bakau. Jika ada usaha tambak udang, hampir pasti merusak tanaman, bahkan merusak ekosistem bakau.

Saat ini, kata Murniwati, luas kawasan TWA Angke mencapai 99,5 hektar dari luas semula 99,8 hektar. Areal seluas 3 hektar hilang akibat abrasi pantai. Sedangkan tegakan bakau mengisi lahan seluas 60 persen dari luas kawasan seluruhnya.

Anakan bakau yang baru ditanam sering tercabut akibat tersapu jaring tambak ikan milik warga yang umumnya pedagang. ”Sekarang yang diperlukan sebenarnya adalah penegakan hukum yang tegas terhadap para petambak,” kata Murniwati lagi.

Bambang Sugiyono mengatakan, mangrove juga mati akibat abrasi. Kegiatan pembudidayaan atau penanaman anakan bakau harus didahului dengan pembangunan tanggul pemecah ombak. Pekan lalu, ratusan warga dibantu sejumlah organisasi massa, aktivis lingkungan, dan pelajar telah menanam 2.600 anakan bakau.

Selain itu, untuk mendukung program penanaman pohon bakau di pesisir Jakarta Utara, Wali Kota berjanji akan segera menertibkan para petambak liar di kawasan TWA. ”Saya akan segera menertibkan para petambak liar di dalam kawasan TWA,” katanya.

Syahril Suwarno langsung merespons dengan menginstruksikan lurah di wilayah untuk menanam anakan bakau.

Tidak ada komentar: