KOMPAS, Jumat, 6 Maret 2009 04:56 WIB
Palembang - Program Corporate Social Responsibility atau CSR yang dilakukan perusahaan pertambangan, energi, perkebunan, dan kehutanan di Sumatera Selatan perlu dievaluasi mengingat masih terjadi perusakan lingkungan di Sumsel. Di samping itu, program CSR justru menimbulkan kesenjangan di antara masyarakat.
Menurut Manajer Advokasi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumsel Yuliusman, Kamis (5/3), berdasarkan penelitian Walhi Sumsel, program CSR di Kabupaten Musi Banyuasin justru menimbulkan banyak persoalan, seperti tidak meratanya bantuan untuk masyarakat.
Yuliusman mengatakan, konflik horizontal sering terjadi karena tidak jelasnya mekanisme dalam membagi bantuan kepada masyarakat. Masyarakat tidak tahu berapa sebenarnya jumlah bantuan yang diberikan perusahaan kepada mereka.
Yuliusman mengutarakan, kehadiran perusahaan tidak banyak mengubah nasib warga di sekitar lokasi perusahaan. Perusahaan tak merekrut masyarakat sekitar, bahkan masyarakat sekitar harus mengeluarkan uang sogokan supaya dapat diterima bekerja.
Menurut Yuliusman, persoalan korupsi juga kerap terjadi dalam penyaluran program CSR, misalnya pemberian bantuan bibit ikan yang jumlahnya tidak sesuai janji perusahaan. Manipulasi jumlah bantuan dapat dilakukan oleh perangkat desa.
”Program CSR yang diterapkan perusahaan merupakan agenda terselubung untuk menguasai dan menguras sumber daya alam,” kata Yuliusman.
Mengenai pertemuan antara Gubernur Sumsel Alex Noerdin dan pengusaha tentang persoalan lingkungan hari Rabu lalu di Griya Agung, kata Yuliusman, Gubernur tidak perlu melakukan silaturahim dengan pengusaha. Apalagi, kerusakan lingkungan di Sumsel sudah lama terjadi.
Dalam kesempatan itu, Gubernur meminta perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan, perkebunan, energi, dan kehutanan di Sumsel ikut menjaga kelestarian lingkungan.
Gubernur, kata Yuliusman, seharusnya melaksanakan penegakan hukum kepada perusahaan yang terbukti melakukan pelanggaran kemanusiaan dan perusakan lingkungan.
Palembang - Program Corporate Social Responsibility atau CSR yang dilakukan perusahaan pertambangan, energi, perkebunan, dan kehutanan di Sumatera Selatan perlu dievaluasi mengingat masih terjadi perusakan lingkungan di Sumsel. Di samping itu, program CSR justru menimbulkan kesenjangan di antara masyarakat.
Menurut Manajer Advokasi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumsel Yuliusman, Kamis (5/3), berdasarkan penelitian Walhi Sumsel, program CSR di Kabupaten Musi Banyuasin justru menimbulkan banyak persoalan, seperti tidak meratanya bantuan untuk masyarakat.
Yuliusman mengatakan, konflik horizontal sering terjadi karena tidak jelasnya mekanisme dalam membagi bantuan kepada masyarakat. Masyarakat tidak tahu berapa sebenarnya jumlah bantuan yang diberikan perusahaan kepada mereka.
Yuliusman mengutarakan, kehadiran perusahaan tidak banyak mengubah nasib warga di sekitar lokasi perusahaan. Perusahaan tak merekrut masyarakat sekitar, bahkan masyarakat sekitar harus mengeluarkan uang sogokan supaya dapat diterima bekerja.
Menurut Yuliusman, persoalan korupsi juga kerap terjadi dalam penyaluran program CSR, misalnya pemberian bantuan bibit ikan yang jumlahnya tidak sesuai janji perusahaan. Manipulasi jumlah bantuan dapat dilakukan oleh perangkat desa.
”Program CSR yang diterapkan perusahaan merupakan agenda terselubung untuk menguasai dan menguras sumber daya alam,” kata Yuliusman.
Mengenai pertemuan antara Gubernur Sumsel Alex Noerdin dan pengusaha tentang persoalan lingkungan hari Rabu lalu di Griya Agung, kata Yuliusman, Gubernur tidak perlu melakukan silaturahim dengan pengusaha. Apalagi, kerusakan lingkungan di Sumsel sudah lama terjadi.
Dalam kesempatan itu, Gubernur meminta perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan, perkebunan, energi, dan kehutanan di Sumsel ikut menjaga kelestarian lingkungan.
Gubernur, kata Yuliusman, seharusnya melaksanakan penegakan hukum kepada perusahaan yang terbukti melakukan pelanggaran kemanusiaan dan perusakan lingkungan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar