KOMPAS, Senin, 2 Maret 2009 13:11 WIB
Bandung - Degradasi lingkungan yang dipicu tingginya laju konversi lahan di wilayah aliran sungai mengakibatkan rusaknya fungsi hidrologis di sebagian besar daerah di Jawa Barat. Selain mempertinggi potensi konflik penggunaan air di masyarakat, kondisi ini semakin memicu bencana besar yang nyata, yaitu banjir dan kekeringan.
Hal itu diungkapkan ahli pengelolaan sumber daya air dan konservasi dari Institut Teknologi Bandung Prof Arwin Sabar di sela-sela acara pengukuhannya sebagai guru besar, Jumat (27/2) di Balai Pertemuan Ilmiah ITB. Ia menyampaikan orasi berjudul Perubahan Iklim, Konversi Lahan, Ancaman Banjir, dan Kekeringan di Kawasan Terbangun.
Ia menunjukkan, berdasarkan studi di DAS Ciliwung hulu di wilayah Bogor, Puncak dan Cianjur, laju konversi lahan di kawasan ini terus meningkat dalam 30 tahun terakhir. Dari 20,87 persen pada 1990-an, kini luas lahan hutan tinggal 8,67 persen. Adapun luas lahan permukiman meningkat dari 8,1 persen menjadi 38,01 persen.
Kondisi tidak jauh berbeda terjadi di DAS Cikapundung hulu. Akibat tingginya laju konversi lahan di wilayah Mintakat, Lembang, laju air limpasan di DAS ini meningkat signifikan selama 90 tahun terakhir, yaitu dari koefisien 0,13 menjadi 0,3. Air yang gagal diserap ke tanah menjadi berkurang separuhnya.
"Kalau kondisi ini dibiarkan, akan terjadi kekeringan yang dahsyat," kata Ketua Kelompok Keahlian Teknologi Pengelolaan Lingkungan ITB ini. Berdasarkan studinya, kerusakan DAS mengakibatkan penurunan produksi di pembangkit listrik tenaga air, khususnya di PLTA Bengkok. "Setelah 15 tahun dipakai, debit air turun 67 persen. Akibatnya, umur proyeksi PLTA ini pun akan semakin berkurang," ujarnya.
Konversi lahan yang membabi-buta ini memicu perubahan iklim lokal. Akibatnya, suhu permukaan rata-rata semakin naik. Kondisi ini ikut memicu terciptanya awan-awan konveksi atau hujan besar secara ekstrem. Potensi banjir pun semakin besar. Menurut dia, daerah yang paling terancam banjir adalah wilayah pesisir utara. Sebab, selain ancaman kenaikan permukaan laut sebesar 0,575 cm per tahun setiap tahun, wilayah pantura juga mengalami laju penurunan permukaan air tanah secara masif.
Masyarakat antagonis
"Sekarang ini kan tengah terjadi antagonisme. Populasi manusia semakin bertambah, tetapi sebaliknya sumber-sumber air alami justru dirusak. Mending kalau perusakan itu diimbangi dengan membaiknya ekonomi masyarakat. Kenyataannya kan tidak demikian," ungkap Arwin. Jalan terbaik, ujarnya, memgembangkan sistem drainase berwawasan lingkungan yang mempertahankan kemampuan resap lahan secara alamiah. Selain penghijauan dan penghentian konversi lahan di DAS, pembuatan sumur resapan dan waduk bisa menjadi pilihan penanganan teknis yang tepat.
Bandung - Degradasi lingkungan yang dipicu tingginya laju konversi lahan di wilayah aliran sungai mengakibatkan rusaknya fungsi hidrologis di sebagian besar daerah di Jawa Barat. Selain mempertinggi potensi konflik penggunaan air di masyarakat, kondisi ini semakin memicu bencana besar yang nyata, yaitu banjir dan kekeringan.
Hal itu diungkapkan ahli pengelolaan sumber daya air dan konservasi dari Institut Teknologi Bandung Prof Arwin Sabar di sela-sela acara pengukuhannya sebagai guru besar, Jumat (27/2) di Balai Pertemuan Ilmiah ITB. Ia menyampaikan orasi berjudul Perubahan Iklim, Konversi Lahan, Ancaman Banjir, dan Kekeringan di Kawasan Terbangun.
Ia menunjukkan, berdasarkan studi di DAS Ciliwung hulu di wilayah Bogor, Puncak dan Cianjur, laju konversi lahan di kawasan ini terus meningkat dalam 30 tahun terakhir. Dari 20,87 persen pada 1990-an, kini luas lahan hutan tinggal 8,67 persen. Adapun luas lahan permukiman meningkat dari 8,1 persen menjadi 38,01 persen.
Kondisi tidak jauh berbeda terjadi di DAS Cikapundung hulu. Akibat tingginya laju konversi lahan di wilayah Mintakat, Lembang, laju air limpasan di DAS ini meningkat signifikan selama 90 tahun terakhir, yaitu dari koefisien 0,13 menjadi 0,3. Air yang gagal diserap ke tanah menjadi berkurang separuhnya.
"Kalau kondisi ini dibiarkan, akan terjadi kekeringan yang dahsyat," kata Ketua Kelompok Keahlian Teknologi Pengelolaan Lingkungan ITB ini. Berdasarkan studinya, kerusakan DAS mengakibatkan penurunan produksi di pembangkit listrik tenaga air, khususnya di PLTA Bengkok. "Setelah 15 tahun dipakai, debit air turun 67 persen. Akibatnya, umur proyeksi PLTA ini pun akan semakin berkurang," ujarnya.
Konversi lahan yang membabi-buta ini memicu perubahan iklim lokal. Akibatnya, suhu permukaan rata-rata semakin naik. Kondisi ini ikut memicu terciptanya awan-awan konveksi atau hujan besar secara ekstrem. Potensi banjir pun semakin besar. Menurut dia, daerah yang paling terancam banjir adalah wilayah pesisir utara. Sebab, selain ancaman kenaikan permukaan laut sebesar 0,575 cm per tahun setiap tahun, wilayah pantura juga mengalami laju penurunan permukaan air tanah secara masif.
Masyarakat antagonis
"Sekarang ini kan tengah terjadi antagonisme. Populasi manusia semakin bertambah, tetapi sebaliknya sumber-sumber air alami justru dirusak. Mending kalau perusakan itu diimbangi dengan membaiknya ekonomi masyarakat. Kenyataannya kan tidak demikian," ungkap Arwin. Jalan terbaik, ujarnya, memgembangkan sistem drainase berwawasan lingkungan yang mempertahankan kemampuan resap lahan secara alamiah. Selain penghijauan dan penghentian konversi lahan di DAS, pembuatan sumur resapan dan waduk bisa menjadi pilihan penanganan teknis yang tepat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar