Kamis, 05 Maret 2009

Konservasi - Kumis Kucing untuk Menyelamatkan Hutan

KOMPAS, Kamis, 5 Maret 2009 04:16 WIB
Konservasi baru bisa berjalan jika ada manfaatnya buat masyarakat sekitar. Tak ada gunanya berteriak-teriak soal pentingnya konservasi jika manfaatnya tidak dapat dirasakan masyarakat. Itulah yang disadari betul pengelola Taman Nasional Gunung Gede Pangrango.


”Manfaat dalam ukuran masyarakat, termasuk di dalamnya secara ekonomi,” kata Kepala Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) Sumarto, di kantornya di Cibodas, Jawa Barat.

Selama ini ada sekitar 340 keluarga yang memanfaatkan lahan di sekitar hutan untuk berbagai jenis tanaman hortikultura serta sayur-mayur.

Pemanfaatan flora yang jauh lebih diharapkan sebenarnya dari produksi tanaman liar yang tumbuh di sela vegetasi dan bernilai ekonomis tinggi.

Setelah berdiskusi dan menjalin kerja sama dengan sejumlah kalangan, akhirnya dilakukan budi daya kumis kucing (Orthosiphon spp) yang bernilai tinggi. Tanaman ini secara tradisional dikenal berkhasiat menghilangkan reumatik, kencing manis, ginjal, batuk, encok, albuminuria, dan penyakit kelamin.

Ternyata, tanaman yang dikenal dengan nama remujung atau songot koneng ini pun laku diekspor. Harganya cukup tinggi, yakni kumis kucing kering sekitar 2,4 dollar AS per kilogram atau sekitar Rp 30.000 per kilogram. Ekspor perdana dilakukan ke Perancis.

”Dari permintaan 14 ton per bulan, kami baru sanggup melakukan pengiriman tujuh ton per bulan,” kata

Hendaru Djumantoro, salah seorang pendamping masyarakat di TNGGP.

Karena diuntungkan secara ekonomis dengan tanaman kumis kucing, masyarakat juga tidak tertarik untuk menebang kayu hutan atau membuka lahan baru guna tanaman holtikultura.

Beragam jenis flora lainnya, menurut Hendaru, juga berpotensi menjadi komoditas ekspor untuk menunjang produksi obat-obatan serta bahan-bahan kosmetik herbal. ”Ini menjadi tren bagi dunia, tetapi risetnya masih minim,” ujarnya.

Indonesia sebenarnya kaya akan berbagai jenis tanaman obat berkhasiat. Berbagai jenis tanaman paku atau pakis (Cyathea latebrosa, Cyathea contaminas, Cyathea tomentosa, Dicksonia blumei), getahnya memiliki manfaat sebagai obat luka gores.

Mikrohidro

TNGGP saat ini juga sedang mengembangkan pembangkit listrik tenaga mikrohidro dengan memanfaatkan aliran air yang melimpah di sekitar Gunung Gede Pangrango. Pada tahap awal, selokan kecil di depan Kantor TNGGP dimanfaatkan menjadi pembangkit listrik yang bisa menghasilkan listrik 2.000 watt dan akan ditingkatkan menjadi 15.000 watt. Masyarakat sekitar juga akan bisa menikmati manfaatnya karena tak perlu lagi mengandalkan listrik dari PLN.

”Secara tidak langsung, masyarakat juga diajak untuk melakukan konservasi agar air yang menjadi sumber tenaga listrik terus mengalir,” kata Agus Wiwianto dari Yayasan Bina Usaha Lingkungan (YBUL) yang menjadi rekanan pengoperasian turbin mikrohidro TNGGP.

Tidak ada komentar: