KOMPAS, Senin, 30 Maret 2009 04:40 WIB Oleh: Nirwono Joga
Tragedi Situ Gintung memberikan pesan yang sangat jelas kepada kita: Jangan pernah mempermainkan alam!
Bencana dengan proses yang berjalan lambat, bencana merangkak (creeping disaster), justru sering kali menyebabkan orang mengabaikan gejalanya. Baru tersadar—itu pun kalau beruntung—ketika bencana sudah berada di tengah-tengah proses tanpa mengetahui kapan berawal dan berakhirnya bencana tersebut. Itulah yang tengah terjadi pada bencana Situ Gintung.
Lebih dari seratus tahun Situ Gintung berjasa menjadi sumber air kehidupan masyarakat, mengendalikan banjir, memberikan kesejukan iklim mikrokota, habitat satwa liar, dan sarana rekreasi air. Akan tetapi, aktivitas manusia yang tidak berkelanjutan menyebabkan penyempitan badan situ, seperti pengurukan tepian badan situ dan saluran pembuangan untuk jalur pejalan kaki (jogging track), permukiman, dan bangunan komersial, serta proses sedimentasi lumpur yang berakibat pendangkalan situ, dan penyempitan saluran pembuangan air limpahan.
Maka tak heran luas Situ Gintung sebesar 31 hektar (1933) menyusut menjadi 21,4 hektar (2008).
Penyusutan luas dan pendangkalan situ membawa konsekuensi kapasitas daya tampung air hujan mengecil, sementara efek pemanasan global dan anomali cuaca justru menyebabkan frekuensi dan curah hujan semakin besar. Penutupan dan penyempitan saluran air menyebabkan penyaluran limpahan air hujan tidak dapat berjalan cepat dan tanggul pun jebol.
Bagaimana nasib situ-situ di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek)? Setali tiga uang. Situ-situ kita tidak pernah dikelola dan dipelihara dengan baik. Dua ratus situ yang tersebar di Jabodetabek lebih dari 50 persennya dalam keadaan mengkhawatirkan, kurang terawat, konstruksi menua, tempat pembuangan sampah, serta menciut diuruk untuk jalan, permukiman dan bangunan komersial, dari luas keseluruhan 2.337,10 hektar tinggal 1.462, 78 hektar (2007).
Jakarta, Situ Rorotan, Situ Rawa Kendal, Situ Rawa Ulujami, dan Situ Penggilingan telah lenyap. Situ Lembang dan Situ Babakan saja yang berfungsi optimal.
Di Kabupaten Bogor, dari 94 situ telah berubah fungsi 13 situ dan menyusut dari 500,13 hektar menjadi 472,86 hektar. Di Kota Tangerang, dari 8 situ telah menyusut dari 270,30 hektar tinggal 130,40 hektar. Di Kabupaten Tangerang, dari 37 situ, ada 6 situ yang kritis dengan luas 1.065,05 hektar tersisa 686,7 hektar. Di Depok, situ-situ juga menyusut, seperti Situ Rawa Besar 13 hektar (28,34 hektar) dan Situ Citayam 12 hektar (27,25 hektar).
Sesuai dengan Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No 7/2004 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air, UU No 26/2007 tentang Penataan Ruang, dan Peraturan Menteri Dalam Negeri No 1/2007 tentang Penataan RTH Kawasan Perkotaan, pemerintah pusat (Departemen Pekerjaan Umum/PU) dan pemerintah daerah (Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota Se-Jabodetabek) harus segera menata ulang kawasan Situ Gintung dan menyelamatkan situ-situ yang masih tersisa.
Pemerintah daerah harus menghentikan kegiatan pembangunan yang telah menggusur atau menyusutkan situ, serta meninjau ulang surat perizinan pembangunan. Pengembang yang melanggar diwajibkan mengembalikan situ ke bentuk semula sehingga memiliki daya tampung ideal dan menghijaukan kawasan situ.
Departemen PU cepat merenovasi atau merekonstruksi tanggul dan dinding penahan tanah di sekeliling situ, serta melakukan pemeriksaan ulang secara keseluruhan dan berkala.
Laporan permohonan perbaikan tanggul situ di berbagai tempat dari masyarakat harus segera ditindaklanjuti dengan cepat dan tepat.
Situ sebagai daerah tangkapan air dikeruk lebih dalam (10 meter lebih) dan dikelilingi sabuk jalur hijau selebar 100-200 meter sebagai daerah limpahan air (buffer zone) dan didukung kolam-kolam penampung air sementara.
Kawasan hijau harus bebas dari bangunan apa pun. Situ dilengkapi dengan sejumlah titik saluran pembuangan air ke kolam penampungan dan sungai terdekat. Beri ruang jarak pengaman berupa jalur hijau bantaran sungai yang lebar yang berfungsi menampung limpahan air sungai, meredam banjir, dan habitat ekosistem tepian air.
Pembangunan, penataan, dan pengelolaan kawasan situ harus melibatkan partisipasi (peran serta) warga, merumuskan arah dan strategi pengembangan situ yang ramah lingkungan sebagai arena akselerasi transformasi sosial.
Meski memakan waktu dan daya tahan lama, upaya pemerintah daerah merehabilitasi situ harus diikuti sosialisasi mengajak warga untuk berpindah (relokasi) secara sukarela bergeser (bukan digusur) ke kawasan yang lebih aman dan ramah lingkungan.
Pemerintah daerah, pengembang, dan perancang kota bersama-sama membangun kawasan terpadu yang terencana matang, layak huni, dan berkelanjutan.
Kawasan dapat dilengkapi fasilitas hunian vertikal sistem marger sari, perpaduan berimbang 1:3:6 (1 hotel, 3 apartemen, 6 rusunami), pendidikan (sekolah, kursus, pelatihan), ibadah, perkantoran, dan pasar, pengolahan sampah ramah lingkungan, serta dekat jalur transportasi publik. Penghuni cukup berjalan kaki atau bersepeda ke tempat tujuan dalam kawasan, serta mengandalkan transportasi publik ke luar kawasan.
Perencanaan terpadu, komitmen, dan konsistensi dari pemerintah daerah dan DPRD merupakan kunci keberhasilan pelestarian situ yang ramah lingkungan. Jangan pernah abaikan alam.
NIRWONO JOGA Arsitek Lanskap
Tragedi Situ Gintung memberikan pesan yang sangat jelas kepada kita: Jangan pernah mempermainkan alam!
Bencana dengan proses yang berjalan lambat, bencana merangkak (creeping disaster), justru sering kali menyebabkan orang mengabaikan gejalanya. Baru tersadar—itu pun kalau beruntung—ketika bencana sudah berada di tengah-tengah proses tanpa mengetahui kapan berawal dan berakhirnya bencana tersebut. Itulah yang tengah terjadi pada bencana Situ Gintung.
Lebih dari seratus tahun Situ Gintung berjasa menjadi sumber air kehidupan masyarakat, mengendalikan banjir, memberikan kesejukan iklim mikrokota, habitat satwa liar, dan sarana rekreasi air. Akan tetapi, aktivitas manusia yang tidak berkelanjutan menyebabkan penyempitan badan situ, seperti pengurukan tepian badan situ dan saluran pembuangan untuk jalur pejalan kaki (jogging track), permukiman, dan bangunan komersial, serta proses sedimentasi lumpur yang berakibat pendangkalan situ, dan penyempitan saluran pembuangan air limpahan.
Maka tak heran luas Situ Gintung sebesar 31 hektar (1933) menyusut menjadi 21,4 hektar (2008).
Penyusutan luas dan pendangkalan situ membawa konsekuensi kapasitas daya tampung air hujan mengecil, sementara efek pemanasan global dan anomali cuaca justru menyebabkan frekuensi dan curah hujan semakin besar. Penutupan dan penyempitan saluran air menyebabkan penyaluran limpahan air hujan tidak dapat berjalan cepat dan tanggul pun jebol.
Bagaimana nasib situ-situ di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek)? Setali tiga uang. Situ-situ kita tidak pernah dikelola dan dipelihara dengan baik. Dua ratus situ yang tersebar di Jabodetabek lebih dari 50 persennya dalam keadaan mengkhawatirkan, kurang terawat, konstruksi menua, tempat pembuangan sampah, serta menciut diuruk untuk jalan, permukiman dan bangunan komersial, dari luas keseluruhan 2.337,10 hektar tinggal 1.462, 78 hektar (2007).
Jakarta, Situ Rorotan, Situ Rawa Kendal, Situ Rawa Ulujami, dan Situ Penggilingan telah lenyap. Situ Lembang dan Situ Babakan saja yang berfungsi optimal.
Di Kabupaten Bogor, dari 94 situ telah berubah fungsi 13 situ dan menyusut dari 500,13 hektar menjadi 472,86 hektar. Di Kota Tangerang, dari 8 situ telah menyusut dari 270,30 hektar tinggal 130,40 hektar. Di Kabupaten Tangerang, dari 37 situ, ada 6 situ yang kritis dengan luas 1.065,05 hektar tersisa 686,7 hektar. Di Depok, situ-situ juga menyusut, seperti Situ Rawa Besar 13 hektar (28,34 hektar) dan Situ Citayam 12 hektar (27,25 hektar).
Sesuai dengan Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No 7/2004 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air, UU No 26/2007 tentang Penataan Ruang, dan Peraturan Menteri Dalam Negeri No 1/2007 tentang Penataan RTH Kawasan Perkotaan, pemerintah pusat (Departemen Pekerjaan Umum/PU) dan pemerintah daerah (Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota Se-Jabodetabek) harus segera menata ulang kawasan Situ Gintung dan menyelamatkan situ-situ yang masih tersisa.
Pemerintah daerah harus menghentikan kegiatan pembangunan yang telah menggusur atau menyusutkan situ, serta meninjau ulang surat perizinan pembangunan. Pengembang yang melanggar diwajibkan mengembalikan situ ke bentuk semula sehingga memiliki daya tampung ideal dan menghijaukan kawasan situ.
Departemen PU cepat merenovasi atau merekonstruksi tanggul dan dinding penahan tanah di sekeliling situ, serta melakukan pemeriksaan ulang secara keseluruhan dan berkala.
Laporan permohonan perbaikan tanggul situ di berbagai tempat dari masyarakat harus segera ditindaklanjuti dengan cepat dan tepat.
Situ sebagai daerah tangkapan air dikeruk lebih dalam (10 meter lebih) dan dikelilingi sabuk jalur hijau selebar 100-200 meter sebagai daerah limpahan air (buffer zone) dan didukung kolam-kolam penampung air sementara.
Kawasan hijau harus bebas dari bangunan apa pun. Situ dilengkapi dengan sejumlah titik saluran pembuangan air ke kolam penampungan dan sungai terdekat. Beri ruang jarak pengaman berupa jalur hijau bantaran sungai yang lebar yang berfungsi menampung limpahan air sungai, meredam banjir, dan habitat ekosistem tepian air.
Pembangunan, penataan, dan pengelolaan kawasan situ harus melibatkan partisipasi (peran serta) warga, merumuskan arah dan strategi pengembangan situ yang ramah lingkungan sebagai arena akselerasi transformasi sosial.
Meski memakan waktu dan daya tahan lama, upaya pemerintah daerah merehabilitasi situ harus diikuti sosialisasi mengajak warga untuk berpindah (relokasi) secara sukarela bergeser (bukan digusur) ke kawasan yang lebih aman dan ramah lingkungan.
Pemerintah daerah, pengembang, dan perancang kota bersama-sama membangun kawasan terpadu yang terencana matang, layak huni, dan berkelanjutan.
Kawasan dapat dilengkapi fasilitas hunian vertikal sistem marger sari, perpaduan berimbang 1:3:6 (1 hotel, 3 apartemen, 6 rusunami), pendidikan (sekolah, kursus, pelatihan), ibadah, perkantoran, dan pasar, pengolahan sampah ramah lingkungan, serta dekat jalur transportasi publik. Penghuni cukup berjalan kaki atau bersepeda ke tempat tujuan dalam kawasan, serta mengandalkan transportasi publik ke luar kawasan.
Perencanaan terpadu, komitmen, dan konsistensi dari pemerintah daerah dan DPRD merupakan kunci keberhasilan pelestarian situ yang ramah lingkungan. Jangan pernah abaikan alam.
NIRWONO JOGA Arsitek Lanskap
Tidak ada komentar:
Posting Komentar