Rabu, 08 April 2009

Fenomena - Satu Minamata Sudah Cukup

KOMPAS, Rabu, 8 April 2009 03:22 WIB Oleh: GESIT ARIYANTO

Warga di kawasan Fukuro, Kota Minamata, Jepang, memilah-milah sampah warga sebelum dibawa ke pengolahan sampah pemerintah, beberapa waktu lalu. Sampah rumah tangga dibagi dalam 22 jenis untuk menjamin pengelolaan yang lebih baik.

Suhu di bawah sepuluh derajat celsius pertengahan Februari 2009 menerpa kawasan Fukuro, Kota Minamata, Jepang. Rasa dingin yang menusuk tulang tak menyurutkan langkah Hiroko Koshitake (38) menuju tempat pemilahan sampah kering.

Sambil menggendong anak lelakinya, Seita (1), ia berbaur dengan warga permukiman di tepi pantai itu.

Sore itu adalah waktu bagi warga Fukuro memilah sampah kering sebelum diangkut truk sampah pemerintah. Ada kabel bekas, kipas angin, botol kaca, kaleng minuman, hingga mainan anak.

Tak ada sampah organik, seperti sisa sayuran. Tak ada pula kertas koran atau kardus bekas.

Kardus dan sisa sayuran organik ditinggalnya di rumah. ”Kertas dan kardus diambil di rumah pada waktu yang berbeda,” kata Koshitake. Ia membawa pulang kardus pembungkus lampu neon setelah isinya ia buang di tempat pemilahan sampah (domi).

Truk sampah datang sebulan sekali di tiap domi pada waktu para warga memilah sampah ke dalam keranjang khusus. Sesuai konsensus warga Minamata pada tahun 1992, setelah cukup dibagi tiga jenis, sampah kemudian dipilah ke dalam 22 jenis!

Dan, konsensus itu dipatuhi warga. Sulit dibayangkan.

Tak hanya warga kota, penduduk desa pun memilah sampah. Brosur-brosur berisi informasi pengelompokan sampah ke dalam 22 jenis tertempel di papan pengumuman, termasuk di rumah Shimoda Koyoshi (69), warga desa pegunungan Okawa, dua jam bermobil dari kota.

Kini, Minamata memiliki 300 domi di 26 distrik (kecamatan). Setiap domi dikelola 50 keluarga yang secara rutin memilah-milah sampah bersama.

Sampah yang dipilah diangkut ke pusat pengolahan sampah padat. Di sana, botol-botol dipisahkan berdasarkan warnanya, kaleng minuman dipisahkan berdasarkan bahannya. Dan, tutup botol harus dipisah.

”Lampu neon dan baterai kami kirim ke tempat pengolahan sampah berbahaya dan beracun di Hokkaido. Jenis itu mengandung merkuri yang berbahaya,” kata Direktur Pengolahan Sampah Padat Minamata Norihiro Honda.

Sejak kecil

Pengajaran untuk memilah sampah ke dalam 22 jenis di Minamata sudah dimulai sejak kanak-kanak. Di sekolah dasar (SD), pengenalan kian intens.

Di SD Daiichi, misalnya, ada ”skuadron lingkungan” dan ”komite ISO” dengan tugas khusus memantau kebersihan sekolah, termasuk memilah sampah. Siswa dibiasakan menghargai air bersih, listrik, dan kebersihan.

Caranya, cukup segelas air untuk menggosok gigi seusai makan bersama, hemat air saat mencuci, dan menggunakan lampu penerang seperlunya. Menyapu dan mengepel lantai juga mereka kerjakan.

Di SD negeri dengan 690 siswa itu tak ada satu pun petugas kebersihan. ”Anak-anak melakukannya sendiri,” kata Kepala Sekolah SD Daiichi Koji Morita.

Sekolah itu merupakan salah satu penerima ISO 14001 dari pemerintah untuk standar pengelolaan lingkungan. Tidak hanya SD Daiichi, SD lain juga menerapkan sistem ISO 14001.

Wali Kota Minamata Katsuragi Miyamoto kepada sejumlah wartawan dari sebelas negara yang diundang Japan International Cooperation Agency (JICA) mengatakan, pemilahan sampah sebagai komitmen menghargai lingkungan adalah konsensus warga. ”Kami bertekad menjadi kota model dalam pengelolaan lingkungan,” kata mantan guru itu.

Sejarah kelam

Menurut Miyamoto, komitmen menjaga lingkungan erat dengan sejarah kelam kota Minamata. Nama Minamata identik dengan penyakit perusak sistem saraf pusat manusia akibat kandungan metil merkuri di dalam tubuh.

”Penyakit Minamata”, yang kasus pertamanya diakui pemerintah pada 1 Mei 1956, membunuh 1.629 orang dari 2.268 korban. Hingga Juli 2007, tercatat 10.353 orang berobat rutin.

Penyakit itu dipicu kandungan logam berat yang masuk ke tubuh melalui ikan dan kerang dari Teluk Minamata yang mereka konsumsi. Chisso Corporation, produsen pupuk kimia pengguna karbit, produsen petrokimia dan plastik, menjadi tersangka pencemar.

Antara tahun 1932-1968 Chisso diperkirakan membuang metil merkuri ke Teluk Minamata sebanyak 27 ton. Butuh perjuangan keras dan panjang. Akhirnya jutaan dollar AS pun dikeluarkan Chisso.

Selain dampak fisik, penyakit Minamata juga memutus ikatan sosial. Di satu sisi, korban menuntut tanggung jawab Chisso, di sisi lain karyawan Chisso terganggu. Diskriminasi muncul, seperti saat melamar pekerjaan atau pasangan hidup. Tak sedikit orang menyembunyikan identitas, menghindari penolakan.

”Kami harus bekerja keras mengubah situasi. Dari kemalangan menjadi contoh yang baik,” katanya. Stigma negatif Minamata di seantero dunia membuat pemerintah kota dan warga bekerja keras dua kali lipat. Itu sebabnya mereka memasang standar tinggi kebersihan. Sejarah mengajarkan betapa vitalnya lingkungan dan kesehatan.

Menatap ke depan

Tahun 1977-1990, pemerintah menggagas Proyek Pencegahan Polusi. Proyek itu berongkos 48,5 miliar yen (setara Rp 4,8 triliun dengan kurs 1 yen>Rp 100). Di antaranya untuk mereklamasi pantai Teluk Minamata seluas 58 hektar, yang kini menjadi Eco-park.

Di atas lahan dengan ikon Monumen Peringatan Korban Penyakit Minamata itu digelar peringatan tahunan setiap 1 Mei. Semua warga hadir. ”Kami berusaha memulihkan ikatan kekeluargaan yang renggang. Ini sangat penting,” kata anggota staf Dinas Lingkungan Hidup dan Kesejahteraan Kota Minamata, Shinya Osaki. Salah satunya dengan mengembangkan kegiatan bersama (yorokai) seperti di Desa Okawa, Minamata.

Namun, kompensasi tak mengubah apa pun. Warga meminta Chisso ditutup. ”Saya tak bisa menerima ulah Chisso,” kata Shinobu Sakamoto (50-an) terbata. Ia didiagnosa celebral palsy, penyakit gangguan kontrol terhadap fungsi gerak akibat gangguan otak saat berkembang, yang dikaitkan dengan akumulasi logam berat dalam tubuh.

Wali Kota Minamata Katsuragi Miyamoto mengaku memahami derita warga. Ia sulit menjawab, kenapa pemerintah menghentikan investigasi. Ia mengaku fokus bekerja untuk memastikan keselamatan warga Minamata di masa depan.

Misinya, menjadikan kota Minamata sebagai tempat belajar kelas dunia, betapa jasa lingkungan tak bisa ditukar apa pun. Satu Minamata sudah lebih dari cukup.

Tidak ada komentar: