KOMPAS, Kamis, 2 April 2009 03:28 WIB Oleh: Eny Prihtiyani
Sehari-hari Edy Gunarto bergelut dengan kulit kacang. Kulit kacang itu dia masukkan ke dalam sebuah drum besar lalu dibakarnya selama sekitar dua jam. Agar cepat dingin, arang kulit kacang itu kemudian dijemur. Setelah dihancurkan hingga menyerupai tepung, adonan itu diaduk dengan lem kanji. Proses terakhir adalah mencetaknya menjadi briket siap pakai.
Warga Dusun Plebengan, Desa Sidomulyo, Kecamatan Bambanglipuro, Bantul, DI Yogyakarta, ini menggeluti usaha itu setidaknya sejak lima tahun terakhir. Briket produksinya itu sudah dipasarkan ke berbagai kota, seperti Surabaya dan Jakarta. Sebagian besar pelanggannya adalah kalangan industri rumah tangga.
Gagasan membuat briket kulit kacang muncul ketika Edy menghadapi banyaknya sampah kulit kacang di daerahnya. Sampah itu dibiarkan berserakan di pinggir jalan atau dibuang begitu saja di kebun-kebun. Di rumahnya sendiri, sampah kulit kacang juga tidak kalah banyaknya. Apalagi istrinya adalah pengepul kacang tanah.
”Bila panen tiba, banyak petani yang menjual kacang kepada istri saya. Setelah dikupas, oleh istri saya lalu dijual kepada pedagang pasar tradisional, terutama di Beringharjo. Jadi, sampah kulit kacang di rumah selalu menumpuk,” katanya.
Sampah kulit kacang itu makin menumpuk ketika Edy berhasil membuat alat pengupas kacang dengan kapasitas 2 kuintal per hari. Alat itu terus dia sempurnakan hingga kapasitasnya mencapai 1,5 ton per hari. Alat itu dibuatnya setelah mengamati alat perontok padi karena prinsip kerjanya hampir sama.
”Dengan bantuan alat pengupas, kacang tanah yang tertampung semakin banyak. Tidak hanya dari petani di Bantul, tetapi juga dari wilayah Gunung Kidul dan Kulon Progo. Itu membuat usaha istri saya berkembang pesat. Dampak lainnya, ya semakin menumpuknya sampah kulit kacang di rumah kami,” ujarnya.
Awalnya Edy hanya menjual sampah kulit kacang itu kepada para perajin tahu seharga Rp 30.000-Rp 35.000 per truk. Oleh perajin, kulit kacang dipakai sebagai bahan bakar mengolah tahu.
Setelah mendapat informasi dari berbagai sumber, seperti buku dan pelatihan tentang pembuatan briket, dia pun tertarik membuat briket kulit kacang. ”Saat itu yang diperkenalkan adalah pembuatan briket dari serbuk gergaji. Namun, karena bahan bakunya di tempat saya sulit dan yang tersedia kulit kacang, ya saya coba saja,” cerita Edy.
Eksperimen
Selama masa eksperimen, Edy masih mencampur kulit kacang dengan serbuk gergaji. Dia khawatir, kalau semua bahan bakunya dari kulit kacang, briketnya tidak bisa sempurna. Lambat laun dia mulai meninggalkan serbuk gergaji dan hanya menggunakan kulit kacang.
Keuletan dan ketelatenan Edy melakukan eksperimen membawanya pada satu kesimpulan, yakni briket bisa dibuat dari semua jenis limbah organik. Selain kulit kacang, briket juga bisa dibuat dari bahan baku seperti cangkang jarak, tempurung kelapa, dan tongkol jagung.
Sekarang, bila stok kulit kacang tengah menipis, Edy beralih pada bahan baku yang lain. ”Karena di daerah sini terkenal sebagai sentra kacang, stok kulit kacang praktis selalu tersedia meskipun pada masa-masa tertentu stok kulit kacang kadang memang agak berkurang. Dalam kondisi seperti ini, biasanya saya beralih ke tongkol jagung,” katanya.
Dalam sehari Edy bisa memproduksi sekitar 70 kilogram briket. Setiap 1 kg briket membutuhkan sekitar 2 kg kulit kacang. Jadi, dalam sehari kebutuhan bahan bakunya mencapai 180 kg kulit kacang.
Selain memanfaatkan sampah kulit kacang milik sendiri, Edy juga membeli dari petani seharga Rp 50 per kg. Briket kemudian dia jual Rp 2.500 per kg. Edy menjualnya dalam bentuk kemasan 2 kg.
”Produksinya memang belum terlalu tinggi, padahal permintaannya cukup banyak. Salah satu kendalanya adalah peralatan yang kami gunakan sebagian besar masih tradisional. Kalau saja ada investor yang tertarik, mungkin usaha ini bisa dikembangkan lebih maksimal mengingat potensi sampah organik di sini sangat besar,” ujar Edy.
Sederhana
Semua peralatan yang dipakai Edy memang tergolong sederhana. Ia memodifikasi semuanya sendiri. Latar belakang pendidikan teknik mesin semasa belajar di STM 2 Jetis Bantul ternyata cukup membantu.
Misalnya, untuk mesin pengaduk molen briket, dia membuat sendiri dengan meniru prinsip kerja mesin buatan pabrik. Untuk membuat alat itu, ia menghabiskan sekitar Rp 2 juta, sementara jika membeli di pabrik bisa sampai Rp 5 juta. Untuk mencetak briket, Edy juga memanfaatkan alat cetakan genteng yang sudah dia modifikasi.
Untuk memanfaatkan briket, konsumen tinggal membeli tungku yang terbuat dari tanah liat seharga sekitar Rp 10.000. ”Sebelumnya memang belum ada perajin gerabah yang membuat tungku untuk briket. Ketika itu yang ada tungku dari besi seharga Rp 150.000. Setelah saya bicarakan dengan para perajin, mereka lalu memproduksi tungku gerabah sehingga konsumen tidak kesulitan mendapatkannya,” kata Edy.
Untuk menyalakan briket di tungku gerabah tidaklah susah. Caranya, briket ditaruh di lubang di atas tungku lalu dinyalakan dari atas. Menyalakannya pun tidak sesulit briket batu bara. Untuk menyalakan api, orang bisa menggunakan bantuan secuil kain atau kertas.
Keuletan Edy dalam mengembangkan usahanya ternyata mendapat respons positif. November tahun lalu dia berhasil menggondol juara pertama tingkat nasional kategori pengembangan entrepreneurship yang diselenggarakan oleh Universitas Indonesia bekerja sama dengan Citi Peka.
Penghargaan itu membuat Edy semakin bersemangat. Atas prestasinya tersebut, dia mendapat hadiah Rp 11 juta. Rencananya uang itu akan dimanfaatkan untuk mengembangkan usaha.
Dia yakin, usahanya akan semakin berkembang mengingat ketersediaan minyak tanah bersubsidi semakin langka. Di wilayah Kota Yogyakarta dan Sleman, misalnya, minyak tanah bersubsidi sudah ditarik, sedangkan di kawasan Bantul kemungkinan hanya sampai Desember mendatang.
”Tanpa subsidi, harga minyak tanah bisa Rp 8.000 per liter. Jadi mungkin akan semakin banyak masyarakat yang beralih pada bahan bakar alternatif,” kata Edy.
Menurut dia, briket buatannya mirip dengan briket batu bara. Setiap 1 kg briket bisa menghasilkan panas hingga sekitar dua jam.
Menggunakan briket untuk bahan bakar memasak juga terhitung lebih irit dibandingkan dengan memakai minyak tanah. Untuk keperluan memasak nasi, sayur, dan lauk, jika menggunakan kompor minyak tanah bisa menghabiskan sekitar satu liter minyak yang harganya sekitar Rp 8.000 (harga nonsubsidi). Jika memakai briket, hanya mengeluarkan uang Rp 2.500.
Selain lebih irit, briket kulit kacang juga tidak menimbulkan asap dan jelaga sehingga tidak mengotori dinding dan peralatan memasak, kata Edy.
Sehari-hari Edy Gunarto bergelut dengan kulit kacang. Kulit kacang itu dia masukkan ke dalam sebuah drum besar lalu dibakarnya selama sekitar dua jam. Agar cepat dingin, arang kulit kacang itu kemudian dijemur. Setelah dihancurkan hingga menyerupai tepung, adonan itu diaduk dengan lem kanji. Proses terakhir adalah mencetaknya menjadi briket siap pakai.
Warga Dusun Plebengan, Desa Sidomulyo, Kecamatan Bambanglipuro, Bantul, DI Yogyakarta, ini menggeluti usaha itu setidaknya sejak lima tahun terakhir. Briket produksinya itu sudah dipasarkan ke berbagai kota, seperti Surabaya dan Jakarta. Sebagian besar pelanggannya adalah kalangan industri rumah tangga.
Gagasan membuat briket kulit kacang muncul ketika Edy menghadapi banyaknya sampah kulit kacang di daerahnya. Sampah itu dibiarkan berserakan di pinggir jalan atau dibuang begitu saja di kebun-kebun. Di rumahnya sendiri, sampah kulit kacang juga tidak kalah banyaknya. Apalagi istrinya adalah pengepul kacang tanah.
”Bila panen tiba, banyak petani yang menjual kacang kepada istri saya. Setelah dikupas, oleh istri saya lalu dijual kepada pedagang pasar tradisional, terutama di Beringharjo. Jadi, sampah kulit kacang di rumah selalu menumpuk,” katanya.
Sampah kulit kacang itu makin menumpuk ketika Edy berhasil membuat alat pengupas kacang dengan kapasitas 2 kuintal per hari. Alat itu terus dia sempurnakan hingga kapasitasnya mencapai 1,5 ton per hari. Alat itu dibuatnya setelah mengamati alat perontok padi karena prinsip kerjanya hampir sama.
”Dengan bantuan alat pengupas, kacang tanah yang tertampung semakin banyak. Tidak hanya dari petani di Bantul, tetapi juga dari wilayah Gunung Kidul dan Kulon Progo. Itu membuat usaha istri saya berkembang pesat. Dampak lainnya, ya semakin menumpuknya sampah kulit kacang di rumah kami,” ujarnya.
Awalnya Edy hanya menjual sampah kulit kacang itu kepada para perajin tahu seharga Rp 30.000-Rp 35.000 per truk. Oleh perajin, kulit kacang dipakai sebagai bahan bakar mengolah tahu.
Setelah mendapat informasi dari berbagai sumber, seperti buku dan pelatihan tentang pembuatan briket, dia pun tertarik membuat briket kulit kacang. ”Saat itu yang diperkenalkan adalah pembuatan briket dari serbuk gergaji. Namun, karena bahan bakunya di tempat saya sulit dan yang tersedia kulit kacang, ya saya coba saja,” cerita Edy.
Eksperimen
Selama masa eksperimen, Edy masih mencampur kulit kacang dengan serbuk gergaji. Dia khawatir, kalau semua bahan bakunya dari kulit kacang, briketnya tidak bisa sempurna. Lambat laun dia mulai meninggalkan serbuk gergaji dan hanya menggunakan kulit kacang.
Keuletan dan ketelatenan Edy melakukan eksperimen membawanya pada satu kesimpulan, yakni briket bisa dibuat dari semua jenis limbah organik. Selain kulit kacang, briket juga bisa dibuat dari bahan baku seperti cangkang jarak, tempurung kelapa, dan tongkol jagung.
Sekarang, bila stok kulit kacang tengah menipis, Edy beralih pada bahan baku yang lain. ”Karena di daerah sini terkenal sebagai sentra kacang, stok kulit kacang praktis selalu tersedia meskipun pada masa-masa tertentu stok kulit kacang kadang memang agak berkurang. Dalam kondisi seperti ini, biasanya saya beralih ke tongkol jagung,” katanya.
Dalam sehari Edy bisa memproduksi sekitar 70 kilogram briket. Setiap 1 kg briket membutuhkan sekitar 2 kg kulit kacang. Jadi, dalam sehari kebutuhan bahan bakunya mencapai 180 kg kulit kacang.
Selain memanfaatkan sampah kulit kacang milik sendiri, Edy juga membeli dari petani seharga Rp 50 per kg. Briket kemudian dia jual Rp 2.500 per kg. Edy menjualnya dalam bentuk kemasan 2 kg.
”Produksinya memang belum terlalu tinggi, padahal permintaannya cukup banyak. Salah satu kendalanya adalah peralatan yang kami gunakan sebagian besar masih tradisional. Kalau saja ada investor yang tertarik, mungkin usaha ini bisa dikembangkan lebih maksimal mengingat potensi sampah organik di sini sangat besar,” ujar Edy.
Sederhana
Semua peralatan yang dipakai Edy memang tergolong sederhana. Ia memodifikasi semuanya sendiri. Latar belakang pendidikan teknik mesin semasa belajar di STM 2 Jetis Bantul ternyata cukup membantu.
Misalnya, untuk mesin pengaduk molen briket, dia membuat sendiri dengan meniru prinsip kerja mesin buatan pabrik. Untuk membuat alat itu, ia menghabiskan sekitar Rp 2 juta, sementara jika membeli di pabrik bisa sampai Rp 5 juta. Untuk mencetak briket, Edy juga memanfaatkan alat cetakan genteng yang sudah dia modifikasi.
Untuk memanfaatkan briket, konsumen tinggal membeli tungku yang terbuat dari tanah liat seharga sekitar Rp 10.000. ”Sebelumnya memang belum ada perajin gerabah yang membuat tungku untuk briket. Ketika itu yang ada tungku dari besi seharga Rp 150.000. Setelah saya bicarakan dengan para perajin, mereka lalu memproduksi tungku gerabah sehingga konsumen tidak kesulitan mendapatkannya,” kata Edy.
Untuk menyalakan briket di tungku gerabah tidaklah susah. Caranya, briket ditaruh di lubang di atas tungku lalu dinyalakan dari atas. Menyalakannya pun tidak sesulit briket batu bara. Untuk menyalakan api, orang bisa menggunakan bantuan secuil kain atau kertas.
Keuletan Edy dalam mengembangkan usahanya ternyata mendapat respons positif. November tahun lalu dia berhasil menggondol juara pertama tingkat nasional kategori pengembangan entrepreneurship yang diselenggarakan oleh Universitas Indonesia bekerja sama dengan Citi Peka.
Penghargaan itu membuat Edy semakin bersemangat. Atas prestasinya tersebut, dia mendapat hadiah Rp 11 juta. Rencananya uang itu akan dimanfaatkan untuk mengembangkan usaha.
Dia yakin, usahanya akan semakin berkembang mengingat ketersediaan minyak tanah bersubsidi semakin langka. Di wilayah Kota Yogyakarta dan Sleman, misalnya, minyak tanah bersubsidi sudah ditarik, sedangkan di kawasan Bantul kemungkinan hanya sampai Desember mendatang.
”Tanpa subsidi, harga minyak tanah bisa Rp 8.000 per liter. Jadi mungkin akan semakin banyak masyarakat yang beralih pada bahan bakar alternatif,” kata Edy.
Menurut dia, briket buatannya mirip dengan briket batu bara. Setiap 1 kg briket bisa menghasilkan panas hingga sekitar dua jam.
Menggunakan briket untuk bahan bakar memasak juga terhitung lebih irit dibandingkan dengan memakai minyak tanah. Untuk keperluan memasak nasi, sayur, dan lauk, jika menggunakan kompor minyak tanah bisa menghabiskan sekitar satu liter minyak yang harganya sekitar Rp 8.000 (harga nonsubsidi). Jika memakai briket, hanya mengeluarkan uang Rp 2.500.
Selain lebih irit, briket kulit kacang juga tidak menimbulkan asap dan jelaga sehingga tidak mengotori dinding dan peralatan memasak, kata Edy.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar