Rabu, 08 April 2009

LINGKUNGAN - Yang Cocok Memang Energi Alternatif

KOMPAS, Kamis, 9 April 2009 03:37 WIB
Menyandang tugas sebagai produsen minyak nasional, Pertamina sadar benar bahwa mereka disorot sebagai salah satu penyebab rusaknya lingkungan. Kerusakan yang diakibatkan kegiatan eksploitasi dan eksplorasi minyak dan gas bumi memang masif sifatnya.


Aktivitas pertambangan tersebut antara lain menghasilkan emisi karbon yang merupakan ”penjahat” bagi isu pemanasan global. Gas rumah kaca yang disetarakan dengan emisi karbon dioksida adalah penyebab pemanasan global. Jika suhu bumi ini terus meningkat, tak lama akan terjadi perubahan iklim.

Kesadaran tersebut, ditambah dengan pemahaman bahwa suatu hari nanti, setidaknya 40-50 tahun lagi, cadangan minyak bumi nasional mulai habis, mendorong Pertamina melalui tanggung jawab sosial terhadap masyarakat (CSR) mulai melakukan usaha bersama masyarakat untuk memproduksi energi alternatif.

Rudi Sastiawan, Manajer CSR Pertamina, Senin (6/4), dalam perbincangan dengan Kompas mengungkapkan, ”Kami disebut sebagai pencemar nomor satu di Indonesia. Oleh karena itu, CSR kami dititikberatkan pada persoalan besar pelestarian alam. Ini bisa berupa kegiatan di bidang pendidikan, kesehatan, infrastruktur untuk pelestarian alam, dan sarana umum.”

Energi dari jarak

Program besar yang dilakukan sekarang adalah mengembangkan pemanfaatan jarak sebagai alternatif energi dan sekaligus manfaat-manfaat lain dari produk turunannya.

Berlokasi di Purwodadi, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, Pertamina sekarang menyediakan 3.300 hektar tanah yang ditanami pohon jarak, digarap oleh 2.900 petani, dan ditanami 3,3 juta pohon jarak. Di sana dibangun untuk pabrik dan penyediaan bibit jarak di tanah seluas sekitar 4.000 m².

Biji jarak bisa diperas untuk dijadikan minyak pengganti minyak tanah dan bisa juga dijadikan sabun. ”Sabun jarak ini ramah lingkungan,” tutur Rudi. Bulan Agustus tahun ini direncanakan pabrik di lokasi tersebut selesai dibangun.

Akan tetapi, Rudi menyadari, jika jarak hanya diproduksi sebagai minyak, ”Jelas tidak ekonomis,” katanya, karena minyak dari bahan bakar fosil saat ini masih disubsidi oleh pemerintah sehingga harga minyak jarak tidak bisa bersaing.

Oleh karena itu, saat ini di kawasan itu juga dibangun infrastruktur untuk produksi dan pemanfaatan produk turunan dari jarak.

Sampai ke kulitnya pun jarak masih bermanfaat, yaitu untuk biogas.

Minyak jarak dicampur dengan etanol atau metanol juga bisa menjadi biodiesel. ”Ini baru bisa kalau minyak diesel tidak disubsidi,” ujarnya menambahkan.

Hasil biodiesel ini sudah dicoba pada genset. Menurut Halim Fathoni, konsultan dalam program jarak, pada proyek program Desa Mandiri Energi tersebut, jika produksi semuanya berjalan, petani pada akhirnya tidak akan dirugikan karena jarak bisa dihargai hingga di atas Rp 1.500 per kilogram. Harga jarak pernah jatuh hingga Rp 700 per per kg.

”Kini kami sedang membangun kolam ikan karena salah satu produk turunan jarak adalah pelet makanan ikan. Kami juga membangun kandang ternak (sapi dan kambing) karena ampas jarak bisa dicampur dengan makanan ternak yang produknya lebih murah dari makanan ternak tanpa campuran,” ujar Rudi menambahkan.

Sebelum dijadikan pakan, racun pada jarak terlebih dulu dikeluarkan. ”Racunnya bisa untuk pestisida,” ujar Halim fathoni.

Perlu fokus

Namun, saat ini CSR Pertamina yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden masih berjalan berdampingan dengan Program Kemitraan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dengan Usaha Kecil dan Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) yang berjalan atas dasar Peraturan Menteri Negara BUMN No.: Per-05/MBU/2007 tanggal 27 April 2007.

Ironisnya, dana CSR amat kecil jika dibandingkan dengan anggaran PKBL yang mencapai 30 persen laba perusahaan. Tahun 2007 keuntungan PT Pertamina mencapai Rp 24,59 triliun, sedangkan tahun 2006 laba yang dibukukan Rp 19 triliun (Kompas, 28/6/2008). Sementara itu, anggaran CSR Pertamina baru Rp 120 miliar—sekitar Rp 10 miliar-Rp 15 miliar digunakan mengembangkan program jarak di Purwodadi.

Tujuan akhir dari CSR yang sekarang dijalankan, terutama seperti yang dijalankan di Purwodadi, adalah menurunkan penggunaan bahan bakar fosil karena sekarang produk Pertamina adalah bahan bakar fosil yang suatu kali akan habis.

Yang pasti, CSR Pertamina, menurut Rudi, sudah seharusnya fokus pada upaya penemuan teknologi tepat guna yang hemat pemakaian bahan bakar fosil, serta upaya penemuan dan produksi energi alternatif.

Rudi menegaskan, ”Di masa depan, CSR Pertamina akan terus berupaya menciptakan program-program berwawasan lingkungan berkelanjutan. Bisa saja kegiatannya dalam bentuk program pendidikan, usaha kecil menengah, dan membangun lingkungan hijau. Tetapi, dia kembali lagi pada jati diri Pertamina yang berkiprah di minyak dan gas bumi.”

”Mestinya CSR Pertamina itu fokus saja pada energi alternatif. Itu sangat cocok dengan bidang usaha Pertamina. Dana pun bisa dikerahkan ke sana sehingga Pertamina akan tetap menjadi produsen energi, tetapi kali ini energi alternatif yang tidak merusak lingkungan dan bermanfaat secara ekonomis bagi masyarakat sekitar lokasi operasi kami,” ujarnya.

Tidak ada komentar: