Selasa, 21 April 2009

Pakai "Styrofoam"? Ya Enggaklah...

KOMPAS, Selasa, 21 April 2009 03:24 WIB
Di antara keramaian bazar SD Pangudi Luhur, Jakarta, Sabtu (18/4) pagi, sejumlah bocah dengan poster anti-styrofoam yang dipasang pada bagian belakang tubuhnya mondar-mandir. Mereka menggalang tanda tangan di atas kain putih, yang intinya mendukung sekolahnya bebas dari styrofoam sebagai kemasan makanan.


Bocah-bocah itu siswa kelas VI SD yang lokasinya tak jauh dari kompleks Mal Pondok Indah, sementara poster-poster yang mereka kenakan merupakan karya siswa kelas V.

Setiap tahun, sekolah itu membiasakan lulusannya meninggalkan kenangan khusus. Tahun 2008, kakak kelas mereka meninggalkan tempat sampah nonorganik dan organik.

Kini, mereka ingin lebih dari itu. ”Kami ingin sekolah enggak pakai styrofoam lagi sebagai wadah makanan,” kata Matthew Waworuntu (12). ”Itu kan berbahaya bagi kesehatan,” tambah Amelia Rugun Sirait (11).

Pagi itu, tim kampanye meminta para orangtua siswa yang mengambil rapor semesteran dan teman-temannya tanda tangan di atas kain. Sebagian mencegat di lorong pintu masuk dan sebagian mondar-mandir di halaman.

Informasi bahaya styrofoam sebagai kemasan makanan mereka dapat dari orangtua dan internet. Meski belum bisa menjelaskan detail, anak-anak itu tahu dampak lingkungan dan kesehatan, dari tak bisa terurai di alam hingga memicu kanker (karsinogenik) akibat akumulasi zat kimia yang masuk ke dalam tubuh konsumen.

Zat kimia berbahaya styrofoam berpindah ke tubuh konsumen bersama dengan makanan. Perpindahan kian cepat dalam suhu panas, makanan berlemak tinggi, dan mengandung alkohol atau asam. Namun, bentuknya yang menarik, seperti menutupi risiko tadi. Konsumen kadang sulit menghindarinya. ”Kadang memang masih dapat juga,” kata Birgitta Anggitan Puspa (11).

Seperti siang itu, sejumlah stan makanan masih menyediakan styrofoam sebagai pembungkus sate, gudeg, dan es krim. ”Kami anggap sebagai tantangan,” kata Dety Kurniasih, salah satu guru yang aktif mendukung kampanye tersebut.

Di sekolah itu, baru satu warung yang dengan sadar meninggalkan styrofoam. Gantinya, mereka gunakan wadah berbahan plastik yang dapat dipakai ulang. Menurut Dety, model itulah yang diharapkan terwujud.

Diperkuat SK

Kampanye bocah-bocah itu sejalan dengan program sekolah. Direncanakan keluar surat keputusan (SK) kepala sekolah mendukung bebas styrofoam akhir tahun 2009.

”Kami mendahulukan dialog dan proses, tidak langsung mengeluarkan SK begitu saja. Ada sosialisasi kepada kelas dan guru tentang bahaya styrofoam,” kata Dety. Hingga kini, makan siang guru masih disediakan dengan pembungkus styrofoam.

Bulan Juli 2009, bersamaan acara perpisahan dan wisuda, secara simbolis akan diserahkan kemasan berbahan plastik sebagai pengganti styrofoam. Masing-masing warung di kantin diberi 25 kemasan plastik yang dapat dipakai ulang.

Di balik kampanye sadar kesehatan dan lingkungan ada orangtua siswa. Merekalah yang aktif mendorong sekolah agar berubah. ”Butuh waktu dan kemauan untuk menularkan kesadaran. Kami pakai momentum yang ada,” kata salah satu orangtua siswa yang juga aktivis lingkungan, Sandra Moniaga.

Gayung bersambut. Kampanye itu didukung Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia yang akan membawa tanda tangan mereka ke Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia, serta Badan Pengawas Obat dan Makanan. ”Sayang kalau tidak disuarakan,” kata Ilyani dari YLKI yang menyaksikan kampanye. Dia menilai konsumen masih menjadi pihak lemah. Meski tahu risikonya, mereka tak kuasa menolak.

Sementara itu, pemerintah tak tegas melindungi konsumen. Penggunaan styrofoam sebagai kemasan makanan ada ketentuannya, tetapi sering dilanggar.

Menunggu, tidak menyelesaikan masalah. Apa yang dilakukan siswa, orangtua, dan guru di SD Pangudi Luhur adalah inspirasi: berpikir sederhana dengan memulai dari sekitar kita.

Tidak ada komentar: