KOMPAS, Kamis, 9 April 2009 03:39 WIB Oleh: Brigitta Isworo
Kehidupan sejumlah binatang terancam punah. Lalu apa perlunya kita bercemas diri? Toh sekarang juga sudah banyak spesies yang punah, seperti lumba- lumba Sungai Yangtze dan dinosaurus.
Di luar itu, ada beberapa spesies fauna (hewan) yang bahkan kita tidak menyadarinya ternyata telah punah. Toh kita baik-baik saja. Kehidupan kita, manusia, terus berjalan.
Namun coba disimak apa yang dituliskan Michael Soulè, seorang ahli biologi di bidang konservasi dan evolusi yang juga pendiri Masyarakat Ahli Biologi Konservasi.
Dia menuliskan, ”Era milenium segera tamat. Bersamanya akan hilang pula hasil evolusi selama empat juta tahun dengan segala kekayaannya. Ya, sejumlah spesies akan selamat, terutama yang berukuran kecil, yang kuat, yang mampu bertahan di suatu tempat yang amat sangat kering dan terlalu dingin bagi kita untuk bertani atau menumbuhkan rumput. Kita mesti menghadapi fakta bahwa era Cenozoic, era mamalia yang kembali setelah punah akibat bencana besar (katastropi) telah berlalu, dan bahwa era Anthropozoic atau Catastrophozoic kini dimulai.” Yang dia maksudkan mungkin adalah semakin berjayanya spesies manusia.
Dengan punahnya sebagian spesies fauna, sebenarnya telah terjadi gangguan pada keseimbangan ekosistem. Rantai kehidupan tidaklah sesederhana kalimat, ”toh kita baik-baik saja dan masih hidup....” Planet Bumi dengan segenap ekosistem yang terdapat di dalamnya memiliki ketergantungan satu sama lain yang amat erat.
Apabila satu rantai makanan putus, keseimbangan akan terganggu. Hal itu akan mengganggu kesehatan ekosistem tersebut yang pada akhirnya dapat menyeret ekosistem (tetangganya) ke keadaan terganggu.
Contoh yang paling dekat dengan kita adalah serangan harimau di permukiman di daerah Jambi beberapa waktu lalu. Ketika harimau kehilangan habitatnya dan kehilangan mangsanya, hewan itu mulai merambah ke permukiman manusia.
Ancaman terhadap habitat hewan yang berupa penebangan hutan, pembakaran hutan, serta perubahan fungsi lahan yang antara lain menjadi sawah atau permukiman telah secara terus- menerus mengurangi luas habitat hewan-hewan tersebut.
Jenis ancaman bagi semua makhluk hidup kini bertambah, yaitu dengan terjadinya pemanasan global. Pemanasan global terjadi di seluruh permukaan Planet Bumi.
Proses pemanasan global tersebut memiliki dampak yang langsung terlihat, yaitu meningkatnya suhu di permukaan bumi, dan secara perlahan mengubah pola cuaca yang pada akhirnya dapat mengubah model iklim.
Jika tingkatan itu tercapai, semua habitat yang ada akan mengalami perubahan. Proses ke arah perubahan iklim ini terus berlangsung hingga pada suatu titik tertentu nanti, makhluk hidup, banyak spesies fauna, tak akan mampu lagi bertahan hidup pada kondisi habitat tersebut.
Hanya sebagian saja dari suatu spesies yang akan mampu bertahan dengan melakukan sejumlah adaptasi. Di sini kemudian berlakulah hukum Darwin, survival for the fittest, yang kuat atau mampu beradaptasilah yang menang atau selamat—demikian arti kasarnya.
Spesies mana yang akan punah? Yang akan punah pertama kali adalah fauna yang sensitif terhadap perubahan temperatur dan iklim. Fauna itu di antaranya terumbu karang yang mensyaratkan suhu laut sekitar 28° celsius akan mengalami pemutihan (coral bleaching) sebab terumbu karang amat sensitif terhadap perubahan temperatur. Selain terumbu karang, kodok juga disebut-sebut sebagai hewan yang rentan terhadap perubahan iklim dan kenaikan suhu. Hal serupa, akibat dari ancaman yang sama, bisa terjadi di berbagai belahan dunia terhadap beragam spesies baik hewan maupun tumbuhan yang ada.
Di seluruh dunia, saat ini hidup sekitar 8 juta spesies hewan yang masing-masing adalah unik (Time, 13/4). Jumlah itu belum ditambah dengan spesies-spesies lain yang belum ditemukan atau belum diberi nama—yang jumlahnya bisa mencapai ratusan hingga ribuan.
Spesies yang sekarang ada, beberapa di antaranya merupakan spesies yang endemik karena merupakan hasil evolusi dari suatu kondisi geografis dan lingkungan yang amat spesifik.
Dalam laporannya, Time menyoroti spesies di Madagaskar. Madagaskar yang terpisahkan dari India sekitar 80 juta tahun lalu mengalami isolasi.
Akibat dari isolasi tersebut, spesies satwa yang ada di pulau tersebut memiliki kekhasan pada sejarah evolusinya. Jalur evolusinya berjalan secara unik.
Oleh karena itu, di sana terdapat beberapa spesies satwa seperti fossa: binatang pemakan daging ini seperti kucing tetapi memiliki kelenturan tubuh seperti tupai, sementara sifatnya bak anjing hutan (Time, 13/4).
Lokasi lain yang memiliki karakter fauna dan flora yang spesifik antara lain kawasan Garis Wallacea yang memanjang dari utara ke selatan di Sulawesi.
Gelombang kepunahan
Dalam usia bumi yang terentang hingga lima juta tahun telah terjadi berbagai katastropi. Sebagian katastropi tersebut mengakibatkan gelombang kepunahan spesies fauna. Setidaknya telah terjadi lima kali gelombang kepunahan (extinction waves).
Gelombang kepunahan ini adalah gelombang pertama mulai sejak sebelumnya hingga 500 juta tahun lalu ditandai lenyapnya 50 persen hewan termasuk binatang laut sejenis kepiting.
Gelombang kedua yaitu pada zaman Devonian—345 juta tahun lalu, 30 persen jenis hewan punah juga sejumlah jenis ikan.
Gelombang ketiga dari Permian hingga 250 juta tahun lalu, 50 persen famili hewan (kategorisasi di atas spesies), 95 persen spesies hewan laut dan sejumlah amfibi serta pohon-pohon punah.
Gelombang keempat dari Triassic hingga 180 juta tahun lalu ditandai dengan 35 persen famili hewan, termasuk reptil dan binatang laut bertubuh lunak—yang ada sekarang semacam siput laut, teripang.
Pada gelombang kelima, cretaceous sampai 65 juta tahun lalu, dinosaurus dan binatang laut bertubuh lunak punah.
Sekarang, di abad ke-20 ini para ilmuwan menemukan bahwa isu terpenting pada masa ini adalah krisis kepunahan. Sepanjang tahun 1970-an para ahli konservasi dunia telah khawatir akan lenyapnya ribuan spesies serta hilangnya sejumlah ekosistem yang juga beragam di seluruh bagian dunia.
Hutan hujan tropis telah dibabat habis atau hancur dibakar. Gambut banyak dikeringkan airnya dan diubah menjadi perkebunan atau pertanian. Terumbu karang banyak yang mati tanpa tahu apa penyebab kematiannya. Cadangan ikan di laut juga berkurang secara signifikan. Gajah banyak dibantai, sementara kodok atau katak pun mulai menghilang tak terdengar nyanyiannya lagi. Bahkan, leviathan (sejenis paus raksasa) diburu baik di kawasan Antartika maupun di Arktik. Ancaman bagi mereka juga semakin menyempitnya luasan daratan es di kedua kutub bumi. Kini kita tinggal menunggu saat kepunahan mereka tiba.
Kepunahan spesies hewan selalu terkait dengan kehidupan kita karena kepunahan dapat dibaca sebagai: kualitas udara buruk, kualitas air yang buruk, lenyapnya spesies yang sebenarnya bisa bermanfaat bagi manusia misalnya untuk pengobatan. Jika kehidupan mereka punah, kepunahan manusia pun tinggal menunggu waktu....
Kehidupan sejumlah binatang terancam punah. Lalu apa perlunya kita bercemas diri? Toh sekarang juga sudah banyak spesies yang punah, seperti lumba- lumba Sungai Yangtze dan dinosaurus.
Di luar itu, ada beberapa spesies fauna (hewan) yang bahkan kita tidak menyadarinya ternyata telah punah. Toh kita baik-baik saja. Kehidupan kita, manusia, terus berjalan.
Namun coba disimak apa yang dituliskan Michael Soulè, seorang ahli biologi di bidang konservasi dan evolusi yang juga pendiri Masyarakat Ahli Biologi Konservasi.
Dia menuliskan, ”Era milenium segera tamat. Bersamanya akan hilang pula hasil evolusi selama empat juta tahun dengan segala kekayaannya. Ya, sejumlah spesies akan selamat, terutama yang berukuran kecil, yang kuat, yang mampu bertahan di suatu tempat yang amat sangat kering dan terlalu dingin bagi kita untuk bertani atau menumbuhkan rumput. Kita mesti menghadapi fakta bahwa era Cenozoic, era mamalia yang kembali setelah punah akibat bencana besar (katastropi) telah berlalu, dan bahwa era Anthropozoic atau Catastrophozoic kini dimulai.” Yang dia maksudkan mungkin adalah semakin berjayanya spesies manusia.
Dengan punahnya sebagian spesies fauna, sebenarnya telah terjadi gangguan pada keseimbangan ekosistem. Rantai kehidupan tidaklah sesederhana kalimat, ”toh kita baik-baik saja dan masih hidup....” Planet Bumi dengan segenap ekosistem yang terdapat di dalamnya memiliki ketergantungan satu sama lain yang amat erat.
Apabila satu rantai makanan putus, keseimbangan akan terganggu. Hal itu akan mengganggu kesehatan ekosistem tersebut yang pada akhirnya dapat menyeret ekosistem (tetangganya) ke keadaan terganggu.
Contoh yang paling dekat dengan kita adalah serangan harimau di permukiman di daerah Jambi beberapa waktu lalu. Ketika harimau kehilangan habitatnya dan kehilangan mangsanya, hewan itu mulai merambah ke permukiman manusia.
Ancaman terhadap habitat hewan yang berupa penebangan hutan, pembakaran hutan, serta perubahan fungsi lahan yang antara lain menjadi sawah atau permukiman telah secara terus- menerus mengurangi luas habitat hewan-hewan tersebut.
Jenis ancaman bagi semua makhluk hidup kini bertambah, yaitu dengan terjadinya pemanasan global. Pemanasan global terjadi di seluruh permukaan Planet Bumi.
Proses pemanasan global tersebut memiliki dampak yang langsung terlihat, yaitu meningkatnya suhu di permukaan bumi, dan secara perlahan mengubah pola cuaca yang pada akhirnya dapat mengubah model iklim.
Jika tingkatan itu tercapai, semua habitat yang ada akan mengalami perubahan. Proses ke arah perubahan iklim ini terus berlangsung hingga pada suatu titik tertentu nanti, makhluk hidup, banyak spesies fauna, tak akan mampu lagi bertahan hidup pada kondisi habitat tersebut.
Hanya sebagian saja dari suatu spesies yang akan mampu bertahan dengan melakukan sejumlah adaptasi. Di sini kemudian berlakulah hukum Darwin, survival for the fittest, yang kuat atau mampu beradaptasilah yang menang atau selamat—demikian arti kasarnya.
Spesies mana yang akan punah? Yang akan punah pertama kali adalah fauna yang sensitif terhadap perubahan temperatur dan iklim. Fauna itu di antaranya terumbu karang yang mensyaratkan suhu laut sekitar 28° celsius akan mengalami pemutihan (coral bleaching) sebab terumbu karang amat sensitif terhadap perubahan temperatur. Selain terumbu karang, kodok juga disebut-sebut sebagai hewan yang rentan terhadap perubahan iklim dan kenaikan suhu. Hal serupa, akibat dari ancaman yang sama, bisa terjadi di berbagai belahan dunia terhadap beragam spesies baik hewan maupun tumbuhan yang ada.
Di seluruh dunia, saat ini hidup sekitar 8 juta spesies hewan yang masing-masing adalah unik (Time, 13/4). Jumlah itu belum ditambah dengan spesies-spesies lain yang belum ditemukan atau belum diberi nama—yang jumlahnya bisa mencapai ratusan hingga ribuan.
Spesies yang sekarang ada, beberapa di antaranya merupakan spesies yang endemik karena merupakan hasil evolusi dari suatu kondisi geografis dan lingkungan yang amat spesifik.
Dalam laporannya, Time menyoroti spesies di Madagaskar. Madagaskar yang terpisahkan dari India sekitar 80 juta tahun lalu mengalami isolasi.
Akibat dari isolasi tersebut, spesies satwa yang ada di pulau tersebut memiliki kekhasan pada sejarah evolusinya. Jalur evolusinya berjalan secara unik.
Oleh karena itu, di sana terdapat beberapa spesies satwa seperti fossa: binatang pemakan daging ini seperti kucing tetapi memiliki kelenturan tubuh seperti tupai, sementara sifatnya bak anjing hutan (Time, 13/4).
Lokasi lain yang memiliki karakter fauna dan flora yang spesifik antara lain kawasan Garis Wallacea yang memanjang dari utara ke selatan di Sulawesi.
Gelombang kepunahan
Dalam usia bumi yang terentang hingga lima juta tahun telah terjadi berbagai katastropi. Sebagian katastropi tersebut mengakibatkan gelombang kepunahan spesies fauna. Setidaknya telah terjadi lima kali gelombang kepunahan (extinction waves).
Gelombang kepunahan ini adalah gelombang pertama mulai sejak sebelumnya hingga 500 juta tahun lalu ditandai lenyapnya 50 persen hewan termasuk binatang laut sejenis kepiting.
Gelombang kedua yaitu pada zaman Devonian—345 juta tahun lalu, 30 persen jenis hewan punah juga sejumlah jenis ikan.
Gelombang ketiga dari Permian hingga 250 juta tahun lalu, 50 persen famili hewan (kategorisasi di atas spesies), 95 persen spesies hewan laut dan sejumlah amfibi serta pohon-pohon punah.
Gelombang keempat dari Triassic hingga 180 juta tahun lalu ditandai dengan 35 persen famili hewan, termasuk reptil dan binatang laut bertubuh lunak—yang ada sekarang semacam siput laut, teripang.
Pada gelombang kelima, cretaceous sampai 65 juta tahun lalu, dinosaurus dan binatang laut bertubuh lunak punah.
Sekarang, di abad ke-20 ini para ilmuwan menemukan bahwa isu terpenting pada masa ini adalah krisis kepunahan. Sepanjang tahun 1970-an para ahli konservasi dunia telah khawatir akan lenyapnya ribuan spesies serta hilangnya sejumlah ekosistem yang juga beragam di seluruh bagian dunia.
Hutan hujan tropis telah dibabat habis atau hancur dibakar. Gambut banyak dikeringkan airnya dan diubah menjadi perkebunan atau pertanian. Terumbu karang banyak yang mati tanpa tahu apa penyebab kematiannya. Cadangan ikan di laut juga berkurang secara signifikan. Gajah banyak dibantai, sementara kodok atau katak pun mulai menghilang tak terdengar nyanyiannya lagi. Bahkan, leviathan (sejenis paus raksasa) diburu baik di kawasan Antartika maupun di Arktik. Ancaman bagi mereka juga semakin menyempitnya luasan daratan es di kedua kutub bumi. Kini kita tinggal menunggu saat kepunahan mereka tiba.
Kepunahan spesies hewan selalu terkait dengan kehidupan kita karena kepunahan dapat dibaca sebagai: kualitas udara buruk, kualitas air yang buruk, lenyapnya spesies yang sebenarnya bisa bermanfaat bagi manusia misalnya untuk pengobatan. Jika kehidupan mereka punah, kepunahan manusia pun tinggal menunggu waktu....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar