Selasa, 31 Maret 2009

Hanya Hutan Sakit yang Tersisa

KOMPAS, Rabu, 1 April 2009 03:59 WIB
Palembang - Menteri Kehutanan Malam Sambat Kaban mengutarakan, pada awalnya sektor kehutanan di Indonesia menjadi primadona devisa di luar sektor migas. Namun, kondisi ini hanya berlangsung selama satu dekade dan yang tersisa hanyalah hutan alam yang rusak dan sakit.


”Kondisi ini ditandai dengan munculnya berbagai masalah lingkungan, bangkrutnya industri kehutanan, dan timbul konflik dengan masyarakat lokal,” ujar Kaban dalam acara penyerahan SK penetapan areal kerja hutan desa pertama di Indonesia yang dilaksanakan di Dusun Lubuk Beringin, Kecamatan Bathin III Ulu, Kabupaten Bungo Jambi, sesuai siaran pers Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, Selasa (31/3).

Sejak dibukanya kesempatan pengusahaan hutan oleh para pemodal pada era 1980-an, sektor kehutanan menjadi incaran pemodal besar. Hutan Indonesia dikotak-kotak dengan dibebani HPH, HTI serta hak guna usaha untuk perkebunan yang semuanya berada di hutan alam.

Menurut Kaban, meski sektor kehutanan sempat menjadi penyumbang terbesar devisa, dampak ekonomi belum dirasakan masyarakat sekitar. Pencurian kayu, perambahan dan pembakaran lahan menandakan bahwa sektor kehutanan belum membangun ekonomi masyarakat.

”Masyarakat di sekitar pantai miskin, masyarakat di sekitar tambang miskin, masyarakat di sekitar hutan miskin, ini berarti ada yang keliru dalam mengelola sumber daya alam. Ini yang harus kita perbaiki,” ujar Kaban.

Menurut dia, masyarakat di sekitar hutan harus menjadi pelaku utama dan berada di lini terdepan sehingga hutan bisa menjadi sumber kemakmuran. Perubahan paradigma ini ditandai dengan adanya regulasi di bidang kehutanan.

Readmore »»

Senin, 30 Maret 2009

Walhi Sumsel Desak Penyelamatan Rawa

KOMPAS, Selasa, 31 Maret 2009 04:10 WIB
Palembang - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia atau Walhi Sumatera Selatan mendesak Pemerintah Kota Palembang agar menjadikan kawasan rawa di Palembang sebagai daerah konservasi yang dilindungi. Hal itu perlu dilakukan agar musibah jebolnya tanggul Situ Gintung, Tangerang Selatan, tidak terjadi di Palembang.


Menurut Manajer Pengembangan Sumber Daya Organisasi Walhi Sumsel Hadi Jatmiko, Senin (30/3), dalam siaran persnya, musibah Situ Gintung menjadi pelajaran bagi daerah lain, termasuk Sumsel. Kejadian bencana seperti di Situ Gintung juga bisa terjadi di Sumsel akibat rusaknya lingkungan hidup.

Hadi menjelaskan, Peraturan Daerah (Perda) Nomor 5 Tahun 2008 tentang Pembinaan dan Retribusi Pengendalian serta Pemanfaatan Rawa menyebabkan luas rawa di Palembang menyusut dari 200 kilometer persegi (54 persen luas Kota Palembang) menjadi 105 kilometer persegi atau tinggal 25 persen dari luas Kota Palembang.

”Contoh kawasan rawa yang dikonversi adalah sepanjang Jalan Sukarno-Hatta, Jalan R Sukamto, belakang lapangan golf Kenten, dan Perumnas Sako yang menjadi langganan banjir,” kata Hadi.

Menurut Hadi, kondisi ruang terbuka hijau, kolam retensi, dan anak sungai di Palembang terus mengalami penyusutan dan pendangkalan. Hal itu sebagai akibat banyaknya kawasan tersebut menjadi lokasi bisnis seperti terjadi di Kambang Iwak.

Hadi menambahkan, Walhi mendesak Pemerintah Kota Palembang agar mencabut perda itu dan segera menjadikan kawasan rawa sebagai daerah konservasi yang diatur dalam perda.

”Pemerintah Kota Palembang harus memindahkan segala bentuk kegiatan di ruang terbuka hijau dan menata kembali kolam retensi serta anak sungai di Palembang,” ujar Hadi.

Kerusakan DAS

Hadi juga mengatakan, kondisi daerah aliran sungai (DAS) di daerah hulu di Tebing Tinggi, Muara Kelingi, Muara Lakitan, Muara Enim, Ogan Komering Ulu Selatan, dan Musi Rawas terus mengalami kerusakan akibat penggundulan maupun alih fungsi hutan.

Kegiatan perambahan dan pertambangan telah menyebabkan sungai-sungai mengalami pendangkalan dan terjadi erosi.

Menurut Hadi, Pemerintah Provinsi Sumsel perlu menghentikan pemberian izin untuk usaha yang berada di DAS.

Readmore »»

Suhu Udara Naik

Kenaikan di Beberapa Kota di Atas Satu Derajat Celsius
KOMPAS, Selasa, 31 Maret 2009 03:30 WIB

Jakarta - Laju perubahan suhu udara kota-kota di
Indonesia menunjukkan kenaikan maksimum lebih dari 1 derajat celsius dalam 10 tahun. Dari analisis data iklim Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika yang diambil tahun 1983-2003, kenaikan suhu udara per sepuluh tahun ternyata 0,036 derajat celsius-1,383 derajat celsius.

Kenaikan suhu udara terendah tercatat di Kota Sibolga, Sumatera Utara, mencapai 0,036 derajat celsius dari rata-rata 31,52 derajat celsius. Adapun kenaikan suhu udara tertinggi tercatat di Kota Wamena, Papua, mencapai 1,38 derajat celsius dari rata-rata 25,97 derajat celsius. ”Data kenaikan temperatur itu tingkat kepercayaannya memang masih beragam,” kata Kepala Bidang Analisis Klimatologi dan Kualitas Udara BMKG Soetamto di Jakarta, Senin (30/3).
Alasannya, analisis data iklim itu belum memasukkan sistem Mann-Kendall, sebuah sistem untuk memperkuat kebenaran hasil analisis data bertahun-tahun. Meskipun begitu, secara umum tren kenaikan suhu diyakini memang terjadi.
”Meskipun belum dengan sistem Mann-Kendall, data iklim memang menunjukkan tren kenaikan,” kata Soetamto. Dari 16 kota yang dianalisis, kenaikan suhu dalam 10 tahun di enam kota/lokasi ternyata mencapai di atas 1 derajat celsius.
Lokasi itu adalah Pulau Bawean, Jawa Timur (1,15 derajat C); Waingapu, Nusa Tenggara Timur (1,11 derajat C); Kupang, NTT (1,35 derajat C); Jayapura (1,22 derajat C), Wamena (1,38 derajat C), dan Merauke (1,15 derajat C)—ketiganya di Provinsi Papua. Di antara 16 kota/lokasi tersebut, suhu kawasan Pulau Tarempa, Natuna, justru diketahui menurun sekitar -0,26 derajat celsius.
Soetamto tidak mengetahui penyebab penurunan suhu di Tarempa atau kenaikan suhu hingga di atas satu derajat di tiga kota di Papua. Penghitungan tersebut didasarkan atas seri data iklim.
Sangat tinggi
Kepala Laboratorium Klimatologi Departemen Geofisika dan Meteorologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor Rizaldi Boer mengatakan, kenaikan 1 derajat celsius dalam sepuluh tahun sangatlah tinggi. ”Harus dilihat dulu titik-titik pemantauannya dan sumber panasnya dari mana saja,” katanya.
Menurut Panel Ahli Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC), jika terjadi kenaikan suhu hingga 2 derajat celsius— dari suhu tahun 1990—pada tahun 2050 kondisi akan sangat sulit dikendalikan. Karena itu, satu-satunya jalan yang dapat dilakukan adalah harus memperlambat kenaikan suhu.
Menurut Rizaldi, kenaikan suhu udara tidak hanya disebabkan oleh sinar matahari atau kenaikan konsentrasi gas rumah kaca. Ada faktor aktivitas industri, transportasi, dan populasi.
Ketiganya faktor yang terkait dengan aktivitas manusia (antroposentris). Aktivitas industri sejak abad ke-16 selama ini diyakini sebagai pemicu awal emisi karbon—salah satu gas rumah kaca yang memerangkap panas bumi.
Berdasarkan hal itu, suhu di kawasan perkotaan dipastikan akan lebih cepat panas daripada daerah kawasan pinggiran atau kawasan dengan vegetasi rapat.
”Suhu rata-rata udara jadi minus, itu mungkin saja. Misalnya, ada penyerap panas seperti hutan di kawasan yang dulunya tidak ada hutannya,” katanya.
Dampak perubahan
Saat ini secara global diyakini, perubahan temperatur akan berdampak negatif pada banyak hal. Sejumlah penyakit akan mewabah dalam skala luas, cuaca semakin sulit diprediksi, intensitas badai dan puting beliung akan meningkat, terjadinya penggurunan, terjadi kenaikan permukaan laut, hingga munculnya ancaman ketahanan pangan akibat pola tanam yang berubah-ubah.
Saat ini musim kemarau di Indonesia semakin panjang, sedangkan musim hujan kian pendek. Namun, intensitas hujannya tinggi yang berakibat banyak kejadian banjir dan tanah longsor.
”Temperatur meningkat, dampak negatifnya banyak,” kata Rizaldi Boer.
Sektor pertanian kesulitan dengan iklim yang berubah. Musim tanam mengalami pergeseran. Ada yang bergeser maju, tetapi ada pula yang justru mundur. Peta pertanian kini sedang mengalami perubahan.
Ketersediaan air pada saat musim hujan (5 bulan) sebanyak 80 persen dari kebutuhan nasional, sedangkan pada saat kemarau (7 bulan) hanya 20 persen dari kebutuhan.
Keadaan itu diperburuk oleh kondisi irigasi dan daerah aliran sungai. Data Badan Penelitian dan Pembangunan Departemen Pertanian menunjukkan, sebesar 25 persen jaringan irigasi tidak berfungsi optimal.

Readmore »»

Menata Situ (Lebih) Ramah Lingkungan

KOMPAS, Senin, 30 Maret 2009 04:40 WIB Oleh: Nirwono Joga
Tragedi Situ Gintung memberikan pesan yang sangat jelas kepada kita: Jangan pernah mempermainkan alam!


Bencana dengan proses yang berjalan lambat, bencana merangkak (creeping disaster), justru sering kali menyebabkan orang mengabaikan gejalanya. Baru tersadar—itu pun kalau beruntung—ketika bencana sudah berada di tengah-tengah proses tanpa mengetahui kapan berawal dan berakhirnya bencana tersebut. Itulah yang tengah terjadi pada bencana Situ Gintung.

Lebih dari seratus tahun Situ Gintung berjasa menjadi sumber air kehidupan masyarakat, mengendalikan banjir, memberikan kesejukan iklim mikrokota, habitat satwa liar, dan sarana rekreasi air. Akan tetapi, aktivitas manusia yang tidak berkelanjutan menyebabkan penyempitan badan situ, seperti pengurukan tepian badan situ dan saluran pembuangan untuk jalur pejalan kaki (jogging track), permukiman, dan bangunan komersial, serta proses sedimentasi lumpur yang berakibat pendangkalan situ, dan penyempitan saluran pembuangan air limpahan.

Maka tak heran luas Situ Gintung sebesar 31 hektar (1933) menyusut menjadi 21,4 hektar (2008).

Penyusutan luas dan pendangkalan situ membawa konsekuensi kapasitas daya tampung air hujan mengecil, sementara efek pemanasan global dan anomali cuaca justru menyebabkan frekuensi dan curah hujan semakin besar. Penutupan dan penyempitan saluran air menyebabkan penyaluran limpahan air hujan tidak dapat berjalan cepat dan tanggul pun jebol.

Bagaimana nasib situ-situ di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek)? Setali tiga uang. Situ-situ kita tidak pernah dikelola dan dipelihara dengan baik. Dua ratus situ yang tersebar di Jabodetabek lebih dari 50 persennya dalam keadaan mengkhawatirkan, kurang terawat, konstruksi menua, tempat pembuangan sampah, serta menciut diuruk untuk jalan, permukiman dan bangunan komersial, dari luas keseluruhan 2.337,10 hektar tinggal 1.462, 78 hektar (2007).

Jakarta, Situ Rorotan, Situ Rawa Kendal, Situ Rawa Ulujami, dan Situ Penggilingan telah lenyap. Situ Lembang dan Situ Babakan saja yang berfungsi optimal.

Di Kabupaten Bogor, dari 94 situ telah berubah fungsi 13 situ dan menyusut dari 500,13 hektar menjadi 472,86 hektar. Di Kota Tangerang, dari 8 situ telah menyusut dari 270,30 hektar tinggal 130,40 hektar. Di Kabupaten Tangerang, dari 37 situ, ada 6 situ yang kritis dengan luas 1.065,05 hektar tersisa 686,7 hektar. Di Depok, situ-situ juga menyusut, seperti Situ Rawa Besar 13 hektar (28,34 hektar) dan Situ Citayam 12 hektar (27,25 hektar).

Sesuai dengan Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No 7/2004 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air, UU No 26/2007 tentang Penataan Ruang, dan Peraturan Menteri Dalam Negeri No 1/2007 tentang Penataan RTH Kawasan Perkotaan, pemerintah pusat (Departemen Pekerjaan Umum/PU) dan pemerintah daerah (Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota Se-Jabodetabek) harus segera menata ulang kawasan Situ Gintung dan menyelamatkan situ-situ yang masih tersisa.

Pemerintah daerah harus menghentikan kegiatan pembangunan yang telah menggusur atau menyusutkan situ, serta meninjau ulang surat perizinan pembangunan. Pengembang yang melanggar diwajibkan mengembalikan situ ke bentuk semula sehingga memiliki daya tampung ideal dan menghijaukan kawasan situ.

Departemen PU cepat merenovasi atau merekonstruksi tanggul dan dinding penahan tanah di sekeliling situ, serta melakukan pemeriksaan ulang secara keseluruhan dan berkala.

Laporan permohonan perbaikan tanggul situ di berbagai tempat dari masyarakat harus segera ditindaklanjuti dengan cepat dan tepat.

Situ sebagai daerah tangkapan air dikeruk lebih dalam (10 meter lebih) dan dikelilingi sabuk jalur hijau selebar 100-200 meter sebagai daerah limpahan air (buffer zone) dan didukung kolam-kolam penampung air sementara.

Kawasan hijau harus bebas dari bangunan apa pun. Situ dilengkapi dengan sejumlah titik saluran pembuangan air ke kolam penampungan dan sungai terdekat. Beri ruang jarak pengaman berupa jalur hijau bantaran sungai yang lebar yang berfungsi menampung limpahan air sungai, meredam banjir, dan habitat ekosistem tepian air.

Pembangunan, penataan, dan pengelolaan kawasan situ harus melibatkan partisipasi (peran serta) warga, merumuskan arah dan strategi pengembangan situ yang ramah lingkungan sebagai arena akselerasi transformasi sosial.

Meski memakan waktu dan daya tahan lama, upaya pemerintah daerah merehabilitasi situ harus diikuti sosialisasi mengajak warga untuk berpindah (relokasi) secara sukarela bergeser (bukan digusur) ke kawasan yang lebih aman dan ramah lingkungan.

Pemerintah daerah, pengembang, dan perancang kota bersama-sama membangun kawasan terpadu yang terencana matang, layak huni, dan berkelanjutan.

Kawasan dapat dilengkapi fasilitas hunian vertikal sistem marger sari, perpaduan berimbang 1:3:6 (1 hotel, 3 apartemen, 6 rusunami), pendidikan (sekolah, kursus, pelatihan), ibadah, perkantoran, dan pasar, pengolahan sampah ramah lingkungan, serta dekat jalur transportasi publik. Penghuni cukup berjalan kaki atau bersepeda ke tempat tujuan dalam kawasan, serta mengandalkan transportasi publik ke luar kawasan.

Perencanaan terpadu, komitmen, dan konsistensi dari pemerintah daerah dan DPRD merupakan kunci keberhasilan pelestarian situ yang ramah lingkungan. Jangan pernah abaikan alam.

NIRWONO JOGA Arsitek Lanskap

Readmore »»

20.900 Sepeda Ramaikan Sudirman-Thamrin

KOMPAS, Senin, 30 Maret 2009 04:42 WIB
Sebanyak 20.900 sepeda meramaikan hari bebas kendaraan bermotor (HBKB) di Jalan Sudirman-Thamrin, Minggu (29/3). Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo yang ikut bersepeda santai mengingatkan warga agar
melakukan efisiensi penggunaan bahan bakar mulai kawasan SCBD Sudirman-Bundaran Hotel Indonesia dan kembali ke Jalan Sudirman. Sementara itu Kepala Bidang Pengendalian Pencemaran dan Sanitasi Lingkungan BPLHD DKI Joni Tagor Harahap mengatakan, pihaknya menargetkan tahun ini sebanyak 100.000 kendaraan ikut uji emisi. Target ini akan terealisasi dengan menggelar operasi simpatik pada Mei mendatang. Tahun lalu, kata Harahap, dari 30.000 kendaraan yang diuji emisi, sebanyak 67 persen di antaranya masih mengeluarkan emisi melebihi ambang batas.

Readmore »»

Jumat, 27 Maret 2009

Daur Ulang Sampah Plastik di Lhokseumawe Dilirik

KOMPAS, Jumat, 27 Maret 2009 | 04:36 WIB
Lhokseumawe - Upaya daur ulang sampah plastik yang dilakukan Palapa Plastic Recycle Foundation, sebuah lembaga yang dibentuk masyarakat Lhokseumawe untuk mengatasi persoalan sampah plastik, kini mulai dilirik perusahaan pendaur ulang sampah plastik terbesar di dunia. Lembaga ini ditawari kesempatan mengekspor sampah plastik yang telah diolah.



Menurut Chairman Palapa Plastik Recycle Foundation (PPRF) Baharudin Sanian, yayasannya menampung berbagai sampah plastik yang dikumpulkan pemulung. Berbeda dengan agen barang bekas, yayasan ini, menurut Baharudin, memberdayakan pemulung dengan cara membantu mereka mengetahui nilai ekonomis sampah plastik. Jika sebelumnya pemulung menyerahkan sampah plastik berbagai jenis dalam bentuk aslinya, yayasan membantu pemulung memisahkan berbagai jenis sampah plastik tersebut sesuai unsur kimianya masing-masing.

”Dengan cara membagi semua jenis sampah plastik menurut unsur kimianya masing-masing, secara langsung membuat harga jual sampah plastik tersebut meningkat. Dulu ketika pemulung menyerahkan sampah plastik dalam bentuk utuh dan bercampur baur dihargai oleh agen pengumpul hanya Rp 1.000 per kilogram. Tetapi, ketika sampah plastik tersebut mulai dibagi dan dikelompokkan sesuai unsur kimianya, harganya meningkat berkali lipat,” ujar Baharudin.

Dia mencontohkan, satu botol minuman bisa terdiri atas dua jenis sampah plastik yang berbeda, botol dan tutupnya. Ketika keduanya dipisahkan dan digabungkan dengan jenis yang sama, harga sampah plastik tersebut bisa lebih mahal dibandingkan saat pemulung menjual botol dan tutupnya tak terpisah. ”Kami butuh waktu sampai dua tahun membuat pemulung tahu membedakan jenis-jenis sampah plastik,” ujar Baharadin.

PPRF kini memiliki sebuah tempat penampungan dan pabrik pengolahan sampah plastik. Pabrik ini berfungsi menggiling sampah-sampah plastik yang telah dipisahkan ke dalam berbagai jenis menjadi serpihan kecil atau plastic chips. ”Kalau dijual dalam bentuk plastic chips ini, harganya lebih mahal lagi,” kata Baharudin.

PPRF, menurut Baharudin, sempat dibantu lembaga donor yang datang ke Lhokseumawe pascatsunami. Dari lembaga donor inilah PPRF mendapatkan konsultasi bisnis dan dihubungkan dengan salah satu perusahaan pengolah sampah plastik terbesar di dunia yang berbasis di Hongkong, Fukutomi.

”Perwakilan Fukutomi telah datang ke Lhokseumawe dan tertarik dengan apa yang kami lakukan. Mereka meminta kami mengekspor sebesar dua kontainer sampah plastik yang telah digiling tersebut,” ujar Baharudin sembari mengatakan, dalam sebulan PPRF bisa menjual 150 ton sampah plastik yang telah diolah ke pabrik pengolahan.

Namun, upaya PPRF mengatasi persoalan sampah plastik ini tak sepenuhnya didukung Pemerintah Kota Lhokseumawe. Mereka malah meminta PPRF membantu pemkot menyediakan tempat sampah.

”Padahal, kami minta pemkot agar mau mendidik masyarakat, membuang sampah dengan memilah jenisnya,” ujar Public Outreach PPRF Surya Aslim.

Readmore »»

”Earth Hour” Sangat berarti meskipun Singkat

Kampanye memadamkan lampu dan peralatan elektronik yang tak terpakai, ”Earth Hour”, di Jakarta, Sabtu (28/3), sangat berarti sekalipun satu jam, pukul 20.30-21.30.

Perhitungan kasar WWF-Indonesia, satu jam itu berarti menghemat sekitar 300 megawatt, kapasitas yang dapat menerangi ratusan desa. Hingga kemarin, 17.585 orang menyatakan dukungannya melalui situs jejaring sosial Facebook. Berdasarkan data internasional, 2.848 kota di 84 negara akan bergabung dengan kampanye yang pertama kali dimulai di Sydney, Australia, 2007. Di Indonesia, Kota Jakarta-lah yang bergabung dengan mematikan sejumlah lampu penerangan di Monas, Balaikota, dan sejumlah patung besar. ”Lima puluhan gedung milik swasta akan mendukungnya,” kata Direktur Program Iklim dan Energi WWF-Indonesia Fitrian Ardiansyah di Jakarta kemarin.

Readmore »»

Kamis, 26 Maret 2009

"EARTH HOUR" DI HOLIDAY INN BANDUNG

KOMPAS, Rabu, 25 Maret 2009 | 12:57 WIB
Hotel Holiday Inn Bandung akan melakukan penghematan listrik pada 28 Maret 2009 sebagai penerapan semangat earth hour. Pada hari itu pukul 20.30-21.30 para tamu diimbau sedapat mungkin tidak menggunakan listrik.

General Manager Holiday Inn Bandung Rully Zulkarnain, Selasa (24/3) di Bandung, mengatakan, tamu tetap bisa menyalakan lampu, menonton televisi, dan sebagainya karena penghematan itu adalah imbauan, bukan instruksi. Hotel dengan 146 kamar tersebut akan mematikan lampu di ruang publik, paling tidak meredupkannya, kecuali untuk bagian-bagian penting demi keamanan, seperti lokasi parkir bawah tanah dan kolam renang. Di beberapa sudut hotel akan dipasang lilin. Rencananya pertunjukan seni tentang hemat energi akan digelar di pelataran parkir depan hotel.

Readmore »»

Onte Melawan Pembalakan Liar

KOMPAS, Rabu, 25 Maret 2009 04:32 WIB Oleh: Dwi As Setianingsih
Hutan yang tergerus pembalakan liar membuat pencinta alam kelahiran Kendari, Sulawesi Tenggara, Silverius Oscar Unggul, ”melawan”. Setelah kampanye dan advokasi yang dilakukan Onte, panggilannya, tak mempan membendung pembalakan liar, dia pun menggalang masyarakat membentuk community logging.


Awalnya, Onte ”hanyalah” mahasiswa pencinta alam biasa yang gemar naik-turun gunung untuk mengisi hari-hari kosongnya di Kampus Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo, Kendari. Hobi naik-turun gunungnya itu kemudian membuat Onte menemui kenyataan pahit, alam yang seharusnya lestari, rusak parah karena penggundulan hutan.

Prihatin dan tidak bisa duduk diam melihat fakta menyedihkan itu, Onte bersama teman-teman sesama pencinta alam membentuk Lembaga Swadaya Masyarakat Yascita (Yayasan Cinta Alam). Yascita dibentuk setelah Onte merampungkan kuliahnya pada tahun 1998. Dari sinilah dia mulai aktif melakukan investigasi terhadap kerusakan lingkungan hutan yang disebabkan oleh pembalakan liar.

”Banyak kasus pembalakan liar yang kemudian terkuak di Sultra,” ungkap Onte yang ditemui Jumat (20/3) di Jakarta dalam acara peluncuran Program Community Entrepreneurs British Council.

Salah satu contohnya, sebuah perusahaan hak pengusahaan hutan yang beroperasi di kawasan Konawe Selatan (Konsel) disinyalir turut andil dalam merusak lingkungan hutan di kawasan ini.

Sayangnya, tidak ada satu media pun yang mau memublikasikan temuan-temuan Yascita sehingga data yang mereka miliki hanya menjadi fakta tak berarti. Karena alasan itulah Onte bersama teman-temannya kemudian mendirikan Radio Swara Alam.

Namun, Swara Alam bukan radio seperti umumnya radio yang memiliki kantor besar dan sinyal pemancar kuat. ”Radio Swara Alam sering dikatakan radio kandang ayam karena ruang siarannya kecil seperti kandang ayam. Frekuensinya juga sering menghilang kalau ada angin keras,” kata Onte mengenang.

Namun, dia pantang mundur. Baginya yang terpenting adalah radio itu bisa menjadi media untuk menyampaikan hasil-hasil investigasi yang mereka lakukan.

”Radio itu juga kami gunakan untuk advokasi kepada masyarakat tentang fakta adanya pembalakan besar-besaran di hutan kita,” kata Onte.

Tak puas hanya mengandalkan stasiun radio, Onte lalu mendirikan stasiun televisi, TV Kendari, dengan hanya bermodal beberapa kamera. Tujuannya tentu saja agar jangkauan kampanye isu-isu lingkungan hidup yang mereka sebarkan, terutama soal pembalakan liar, bisa semakin luas.

Akan tetapi, meski mereka sudah habis-habisan berkampanye, hasilnya tetap ”jauh panggang dari api”. Pembalakan liar tetap terjadi, sekuat apa pun perlawanan yang dilakukan Onte bersama teman-temannya di Yascita.

”Dalam banyak kasus pembalakan liar, yang sering kali menjadi korban adalah rakyat kecil. Merekalah yang ditangkap karena pembalakan liar. Kalau di Papua, ya kepala adatnya. Akhirnya saya menyadari, kampanye saja tidak cukup,” katanya.

Tak sekadar kriminal

Pembalakan liar kemudian dipahami Onte tak hanya sebagai sebuah tindak kriminal terhadap hutan. ”Di dalamnya ada korupsi, pemerintahan yang lemah, kekerasan, konflik, kehilangan pendapatan, pemiskinan masyarakat hutan, dan tentu saja harga diri bangsa,” kata Onte.

Dia mencatat, banyak kayu hasil pembalakan liar dikirim ke negara tetangga, Malaysia dan Singapura. Bahkan juga dikirim ke China dengan dokumen palsu dari Malaysia.

Tahun 2005 kampanye melawan pembalakan liar ”secara keras” pun dia hentikan. Onte kemudian memulai kampanye dalam bentuk lain, yakni dengan membentuk community logging.

Masyarakat yang semula terpecah belah dengan cukong kayunya masing-masing dipersatukan dalam Koperasi Hutan Jaya Lestari Indonesia (KHJLI). Masyarakat Konsel diajak mengelola pohon jati dengan cara lestari kemudian hasilnya dijual melalui koperasi. Warga di Konsel umumnya memiliki lahan yang ditanami jati dengan jumlah mulai puluhan hingga ratusan pohon.

”Ini bukan perkara mudah, mengajak masyarakat yang sudah terbiasa terpecah belah dan dengan mudah mengambil kayu di hutan bergabung dengan koperasi. Mereka tak rela bila kayu yang mereka tanam sendiri diambil hasilnya oleh koperasi,” kata Onte.

Di sinilah letak perjuangan Onte. Bersama teman-teman, dia berjuang keras meyakinkan masyarakat bahwa menanam jati sendiri dengan pengelolaan lestari jauh lebih menguntungkan ketimbang menebang kayu di hutan dan hasilnya dijual kepada cukong. Apalagi bila kayu yang mereka hasilkan itu kayu bersertifikat.

Di sisi lain, dengan menanam sendiri, mereka tidak lagi turut andil dalam perusakan hutan. Selain mengelola kayu jati secara lestari, KHJLI juga menjalankan program tanam ulang 10 benih pohon baru untuk setiap pohon yang ditebang.

Kesepakatan anggota

Meski awalnya hanya 10 keluarga yang bersedia bergabung, lama-kelamaan kegigihan Onte berbuah manis. Ia berhasil membuktikan, koperasi yang dibidaninya bersama teman-teman, dan dikelola dengan cara dan resolusi konflik yang dibangun atas dasar kesepakatan anggota, mampu memenuhi semua persyaratan untuk mendapatkan sertifikat ekolabel internasional dari SmartWood of the Forest Stewardship Council.

”Karena sertifikat yang kami miliki itu satu-satunya di dunia yang diberikan kepada koperasi, permintaan kayu jati (dalam bentuk log) pun mengalir deras,” tutur Onte.

Setahun setelah koperasi berjalan, tiap anggota bisa mendapat penghasilan Rp 1.445.000 untuk setiap meter kubik kayu yang mereka jual. Penghasilan ini empat kali lipat lebih besar daripada pendapatan mereka sebelumnya.

”Sekarang, anggota koperasi sudah berjumlah sekitar 600 keluarga dengan jumlah pohon baru mencapai 2,2 juta,” kata Onte bangga.

Bahkan, para ibu rumah tangga yang dilibatkan dalam pembibitan berhasil menyediakan 5 juta pohon baru. Luasan lahan yang dikelola KHJLI kini mencapai 1.500 hektar. Segala susah payah membangun perlawanan terhadap pembalakan liar seakan terbayar sudah.

Namun, Onte tak mau diam sampai di sini. ”Saya masih berharap ada industri yang mau menerima kayu dari masyarakat Konsel dalam bentuk setengah jadi sehingga nilai tambahnya meningkat. Jadi, kami bisa tunjukan kepada masyarakat, pengelolaan hutan bukan hanya diproduksi, tetapi juga pada industri,” katanya.

Ia pun berharap dibukanya pasar lokal agar produk masyarakat bisa masuk, terutama di masa krisis global kini.

”Saya juga ingin bentuk koperasi seperti ini bisa ditiru di berbagai tempat di Tanah Air untuk melawan pembalakan liar,” kata Onte.

Readmore »»

Kamis, 19 Maret 2009

JALUR HIJAU - Pemprov DKI Siapkan Penutupan 25 SPBU

KOMPAS, Kamis, 19 Maret 2009 03:37 WIB
Jakarta - Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menyiapkan penutupan 25 stasiun pengisian bahan bakar untuk umum atau SPBU yang melanggar peruntukan lahan. Sosialisasi penutupan kepada pemilik SPBU akan dilakukan pada April dan penutupan mulai dilakukan pada September.


Kepala Dinas Pertamanan dan Pemakaman DKI Jakarta Erry Basworo, Rabu (18/3), mengatakan, ke-25 SPBU itu berada di jalur hijau sehingga harus ditutup dan dibongkar. Lahan SPBU itu akan dikembalikan lagi ke fungsi semula untuk ruang terbuka hijau.

Menurut Erry, Pemprov sudah menyiapkan dana Rp 1,87 miliar atau Rp 75 juta untuk menutup setiap SPBU. Pemprov juga sudah menyiapkan tim hukum jika pemilik SPBU menggugat Pemprov ke pengadilan.

Setiap SPBU yang ditutup akan dibongkar sebagian dan disegel supaya tidak berfungsi. Pembongkaran SPBU yang sudah ditutup dan pembangunan kembali lahannya menjadi taman akan dilakukan pada 2009.

”DKI memiliki target memperluas ruang terbuka hijau sampai 13 persen dari luas wilayah. Lahan ruang terbuka hijau yang diserobot untuk aktivitas lain harus segera dikembalikan ke fungsi semula,” kata Erry.

Erry mengatakan, Pemprov akan memberikan ganti rugi atas tanah jika pemilik SPBU tidak memiliki surat kepemilikan lahan. Jika tidak memiliki bukti kepemilikan lahan, SPBU di jalur hijau akan ditutup tanpa ganti rugi.

Pada 2007, Dinas Pertamanan membongkar dua SPBU, yakni di Cilincing, Jakarta Utara, dan Jalan Wijaya, Jakarta Selatan, dengan dana sekitar Rp 200 juta. Pada 2008, rencana penutupan dan pembongkaran 27 SPBU batal dilaksanakan karena keterbatasan anggaran. Satu SPBU belum ditutup karena menggugat ke pengadilan sampai tingkat Mahkamah Agung.

Wakil Gubernur DKI Jakarta Prijanto mengatakan, Pemprov tidak akan memberikan perpanjangan izin bagi SPBU yang melanggar peruntukan lahan. Pemprov juga tidak akan ragu-ragu untuk menutup ke-25 SPBU itu meskipun sebagian pemiliknya adalah tokoh politik nasional.

”Kami tidak ingin terkena sanksi pidana lima tahun karena memberikan izin bangunan di ruang terbuka hijau,” kata Prijanto.

Ke-25 SPBU yang melanggar peruntukan lahan itu tersebar di lima wilayah se-Jakarta. Di Jakarta Pusat terdapat sembilan SPBU, Jakarta Selatan tujuh SPBU, Jakarta Barat empat SPBU, Jakarta Timur tiga SPBU, dan Jakarta Utara dua SPBU.

SPBU yang akan ditutup, antara lain, berada di Jalan Kwitang, Jalan Pakubuwono, Jalan Hayam Wuruk, Jalan Tanah Abang Timur, dan Jalan Yos Sudarso. Selain ke-25 SPBU itu, Dinas Pertamanan juga akan menutup sejumlah SPBU yang sudah habis masa izin operasionalnya.

Readmore »»

PERUBAHAN IKLIM - Memantau Kondisi Indonesia

Kamis, 19 Maret 2009 03:45 WIB
Pencemaran gas-gas rumah kaca tidak mengenal batas wilayah. Menjadi ”atap kaca” di atas ruang atmosfer yang memerangkap panas matahari, GRK berdampak negatif bagi bumi. Pemantauan efek pemanasan global kini diikuti dengan skenario perubahan lingkungan bumi. Indonesia berkontribusi dalam menyusun skenario tersebut. (YUNI IKAWATI)


Naiknya suhu permukaan bumi hingga mengubah pola iklim, melelehnya es di kutub hingga permukaan air laut naik, merupakan beberapa dari sederet efek buruk gas rumah kaca (GRK) yang menjadi perhatian dunia, karena dampaknya yang begitu memengaruhi kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya.

Perkiraan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) menyebutkan, jika suhu rata-rata permukaan bumi naik 1°-3,5°C pada tahun 2100, permukaan air laut naik antara 15-95 sentimeter. Dengan tingkat kenaikan 1 cm per tahun, pada 2050 kenaikannya mencapai 40 cm.

Kenaikan hampir 1 meter akan menenggelamkan 80 persen pantai di Jepang. Bagaimana dengan Indonesia?

Di negara maju, pemantauan sudah dilakukan 50 hingga 100 tahun silam sehingga tren kenaikan muka laut jelas terlihat, yaitu 3 milimeter per tahun.

Data pemantauan oleh stasiun pasang surut (pasut) di Indonesia masih relatif sedikit. Rekaman baru dilakukan 20 tahun terakhir. Itu pun terputus-putus, ujar Parluhutan Manurung, Kepala Bidang Medan Gaya Berat dan Pasang Surut Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional.

Hasil awal perhitungan di Indonesia menunjukkan kecenderungan naiknya muka laut 3-8 mm per tahun.

”Sejak 2007 sudah ada tujuh stasiun pasut dilengkapi GPS sehingga pada pengamatan pasut efek tektonik dan tanah lokal bisa dipisahkan dari efek pemanasan global,” ujar Parluhutan.

Pemantauan satelit

Kenaikan muka laut sejak 1984 diketahui terutama disebabkan oleh meningkatnya suhu global akibat meningkatnya kadar CO2 dan gas lain di atmosfer. Fenomena naiknya muka laut dipengaruhi secara dominan oleh pemuaian termal sehingga volume air laut bertambah. Selain itu, mencairnya es di kutub dan gletser juga berkontribusi terhadap kenaikan muka laut.

Pengukuran yang dilakukan selama ini jangkauannya terbatas di daerah sekitar pantai sehingga datanya hanya akurat untuk memprediksi perubahan kedudukan muka laut di perairan dangkal atau di sekitar pantai.

Sementara itu, Kosasih Prijatna dan timnya dari Kelompok Keilmuan Geodesi, Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan, ITB, melakukan studi awal perubahan muka laut di perairan Indonesia berdasarkan data satelit altimetri Topex (1992- 2002). Penelitian dilakukan di laut dangkal (Laut Jawa dan Laut Bangka), laut lepas (Samudra Hindia), dan laut dalam yang dikelilingi banyak pulau (laut di kepulauan Maluku dan Laut Banda).

Dengan satelit altimetri Topex/Poseidon yang diluncurkan tahun 1992 lewat kerja sama Amerika Serikat (NASA) dan Perancis (CNES) diperoleh informasi mengenai dinamika global secara cepat dan akurat. Dengan teknik satelit altimetri dimungkinkan untuk memantau variasi kedudukan muka laut dengan tingkat presisi yang tinggi dan cakupan lautan yang luas.

Satelit Topex/Poseidon memiliki sensor radar yang beroperasi secara simultan pada dua frekuensi sehingga dapat mereduksi efek bias ionosfer. Ketelitian pengukuran satelit altimetri sekitar 2 cm.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Cazenave, perubahan kedudukan muka laut rata-rata global menggunakan satelit altimetri Topex/Poseidon dan ERS-1 selama kurun waktu sekitar empat tahun (Januari 1993-Juli 1997) telah terjadi perubahan variasi muka laut global sekitar 1,4 mm ± 0,2 mm/ tahun yang kuat kemungkinan disebabkan oleh ekspansi termal.

Dampak Indonesia

Indonesia adalah negara kepulauan dengan mayoritas populasinya tersebar di sekitar wilayah pesisir. Kemungkinan dampak negatif yang dapat dirasakan langsung dari fenomena kenaikan muka laut di antaranya erosi garis pantai, penggenangan wilayah daratan, meningkatnya frekuensi dan intensitas banjir, meningkatnya dampak badai di daerah pesisir, salinisasi lapisan akuifer dan kerusakan ekosistem wilayah pesisir.

Meskipun demikian, sampai saat ini karakteristik serta perilaku dari fenomena naiknya muka laut di wilayah regional perairan Indonesia belum dipahami secara baik dan komprehensif. Dengan demikian, perilaku kedudukan muka laut, baik variasi temporal maupun spasialnya, di wilayah Indonesia merupakan salah satu informasi penting yang diperlukan untuk perencanaan dan pelaksanaan pembangunan suatu wilayah secara berkelanjutan.

Berdasarkan pemantauan satelit altimetri tersebut, selama 10 tahun di wilayah perairan Indonesia terlihat indikasi kenaikan muka laut dengan magnitude sekitar 8 mm per tahun.

Namun, faktor penyebabnya belum dapat diidentifikasi secara pasti. Untuk mengonfirmasikan efek pemanasan global terhadap kenaikan muka laut, diperlukan data lain seperti temperatur, salinitas, densitas, tekanan, model pasut lokal yang memperhitungkan efek topografi dasar laut dan lainnya.

Untuk pemodelan perubahan tinggi muka laut akibat perubahan iklim digunakan satelit altimetri Jason yang diluncurkan pada Desember 2001 dan misi GRACE pada Maret 2002.

Peluncuran dua satelit tersebut dapat membantu mengestimasi perubahan muka laut akibat land water dan ice mass, serta dapat melihat hubungan antara pengaruh suhu dan kenaikan muka laut.

Berdasarkan data terakhir dengan satelit Jason, ditemukan bahwa kenaikan rata-rata di Indonesia 5 mm-1 cm per tahun. Tinggi rendahnya kenaikan dipengaruhi topografi dan pola arus laut. Dilihat berdasarkan kawasan, kenaikan muka laut relatif lebih besar di kawasan timur Indonesia.

Kenaikan muka laut per tahun di perairan Papua 6-7 mm, Maluku 5 mm, Jawa 4-6 mm, dan di Sumatera 2-3 mm. ”Data tersebut perkiraan kasar. Untuk mengoreksinya dengan menghilangkan noise level diperlukan waktu hingga dua bulan ke depan,” kata Kosasih.

Safwan Hadi, peneliti dari Badan Riset Kelautan dan Perikanan DKP yang mendalami oseanografi pantai dari Universitas Hawaii, melakukan pemodelan kenaikan muka laut di pantai utara Jakarta berdasarkan data pasut sejak tahun 1925 hingga 2003.

Dengan menggunakan digital alleviation model dan data topografi, ia mendapatkan kenaikan rata-rata 5,7 mm per tahun di kawasan itu. Namun, ketinggian ini tidak seberapa dibandingkan dengan subsiden atau turunnya permukaan daratan.

Penelitian yang dilakukan Hasanuddin Z Abidin, Ketua Kelompok Keilmuan Geodesi ITB, menunjukkan terjadinya penurunan sekitar 12 cm per tahun. Hal ini yang akan memperbesar dampak daerah yang terlanda banjir saat musim hujan di daerah pantai Jakarta.

Readmore »»

Pengenalan Satwa - Mengajarkan Kepedulian Anak

KOMPAS, Senin, 16 Maret 2009 13:56 WIB
Yogyakarta - Sekitar 75 anak Dusun Goser, Kelurahan Sumberrahayu, Moyudan, Sleman, mengikuti kegiatan pengenalan satwa pada Minggu (15/3). Kegiatan ini bertujuan menumbuhkan kepedulian dan rasa sayang sejak dini kepada anak-anak.


Kegiatan bertema "The Children's of Heaven" ini diselenggarakan mahasiswa Kuliah Kerja Nyata Pembelajaran Pemberdayaan Masyarakat (KKN PPKM) Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) Universitas Gadjah Mada dan kelompok ibu-ibu Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Dusun Goser.

"Kegiatan ini pada dasarnya menumbuhkan rasa sayang pada binatang. Harapannya mereka nantinya peduli dan ikut melestarikan habitat binatang itu," kata Koordinator KKN PPKM Sub-unit Dusun Goser Eko Wahyu Saputra.

Anak-anak peserta kegiatan yang berusia kurang dari 12 tahun tersebut diajak melihat, menyentuh, dan bermain dengan sejumlah binatang anjing, kucing, biawak jawa, landak albino asli Madagaskar, belut, dan lima macam ular. "Saya belum berani pegang ular, tapi sudah tidak takut lagi melihatnya," kata pelajar kelas IV, Rifka Yuniken Sari (10).

Selain kegiatan pengenalan, acara diisi dengan penyuluhan tata cara hidup sehat dengan satwa. Dokter Hewan dari FKH UGM, Slamet Rahardjo, mengatakan, kebersihan adalah kunci utama untuk mencegah penularan penyakit menular dari binatang. "Sebagian besar penyakit dari binatang ditularkan lewat mulut. Untuk cegah penularan, cukup dengan mencuci bersih tangan dengan sabun, terutama sebelum makan," katanya.

Penularan juga perlu dicegah melalui pola makan yang sehat, yaitu dengan mengonsumsi daging yang benar-benar telah matang dimasak serta mencuci lalapan dengan air mengalir. "Ini sangat penting karena 80 persen penularan toksoplasma dari daging setengah matang dan lalapan," ujar Slamet.

Menurut Slamet, sejumlah penyakit yang berpotensi menular dari binatang ke manusia di antaranya toksoplasma yang ditularkan oleh kucing dan sapi serta brucellosis yang ditularkan oleh sapi. Kedua penyakit ini bisa mengakibatkan keguguran dan cacat pada janin.

Readmore »»

Selasa, 17 Maret 2009

Harimau Dititipkan

Tim Dokter Merawat Hewan Itu
KOMPAS, Senin, 16 Maret 2009 05:10 WIB
Petugas mengevakuasi harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae ) di Desa Manalu Purba, Kecamatan Parmonangan, Kabupaten Tapanuli Utara, Sabtu (14/3). Harimau yang bernama Danau ini dievakuasi tim gabungan BBKSDA dan sejumlah organisasi nonpemerintah dari jebakan yang dibuat warga.

Medan - Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Utara menitipkan harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) hasil jeratan warga ke Taman Hewan, Kota Pematang Siantar. Selama penitipan, tim dokter merawat harimau ini yang luka di bagian kaki depan.

”Kami menitipkan sementara di Taman Hewan Pematang Siantar. Di tempat ini harimau akan menjalani perawatan sampai di sembuh,” kata Kepala Seksi Perlindungan, Pengawetan, dan Perpetaan BBKSDA Sumut Olo Simbolon, Minggu (15/3) di Medan.

Harimau yang bernama Danau (sesuai dengan nama kampung tempat dia dijerat warga di Kabupaten Tapanuli Utara) dalam kondisi stres dan terluka. Dua kaki depan mengalami luka jerat serius dari tali rem sepeda motor. Luka terparah ada di bagian kaki kiri harimau karena sudah infeksi.

Sebelum dievakuasi dari jerat warga, tim evakuasi membius Danau untuk kemudian diangkut melalui perjalanan darat. Tim tiba di Taman Hewan, Pematang Siantar, Minggu pukul 01.30. Mereka yang mengevakuasi terdiri dari BBKSDA Sumut, Vesswic (perhimpunan dokter hewan satwa liar Sumatera), Sumatran Orangutan Conservation Programme (SOCP), dan Wildlife Conservation Society (WCS).

Danau merupakan harimau liar yang terjerat jebakan warga di Kecamatan Parmonangan, Kabupaten Tapanuli Utara, akhir pekan lalu. Warga sengaja menjeratnya karena belakangan sering menjumpai tapak harimau di dekat permukiman mereka. Sejumlah ternak warga mengalami luka akibat serangan harimau. Sebulan sebelumnya, seekor harimau lepas dari jerat warga tidak jauh dari lokasi ini. Belum dipastikan apakah harimau yang terjerat ini merupakan harimau yang lepas sebelumnya atau tidak.

Perawatan dokter

Selama di Taman Hewan, Danau menjalani perawatan dari tim dokter hewan setempat dan Vesswic Sumatera Utara. Tim dokter kembali membius ulang Danau untuk membersihkan luka hewan itu.

Dokter hewan Wiwin Winarni dari Taman Hewan mengatakan, luka kaki Danau terinfeksi. ”Lukanya perlu dibersihkan. Kami juga menginfusnya pada saat pengobatan,” ujarnya.

Readmore »»

Senin, 16 Maret 2009

Lingkungan - Kontroversi Laboratorium Limbah B3

KOMPAS, Senin, 16 Maret 2009 05:07 WIB
Jumat (27/2), sekitar pukul 08.00, Menteri Negara Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar meninjau lokasi penimbunan pasir besi (ferro sand) impor sebanyak 3.800 ton di Sagulung, Batam, Provinsi Kepulauan Riau.


Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan tim penyidik Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup (Menneg LH), pasir besi itu dinyatakan sebagai limbah bahan berbahaya dan beracun atau B3. ”Saya ingin pasir besi segera direekspor,” kata Rachmat.

Rachmat pun meminta penyidik dari Menneg LH mengusut pasir besi impor itu. Ia juga yakin kasus impor limbah sering kali terjadi di Batam. Dengan temuan limbah B3 itu, ia meminta kasus diusut agar ada efek jera bagi pelaku usaha yang diduga mengimpor limbah.

Saat meninjau lokasi, Rachmat juga melihat genangan air di sekitar lokasi. Genangan air berubah warna, yaitu kebiru-biruan. Ia juga mengkhawatirkan genangan air meresap ke dalam tanah dan mencemari lingkungan di sekitar.

Menurut Deputi Menneg LH Bidang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun dan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun Imam Hendargo Abu Ismoyo, genangan air yang berwarna itu diduga merupakan kandungan limbah yang dapat dilihat dengan kasatmata. Dari hasil pemeriksaan laboratorium yang dilakukan, kandungan limbah sudah melebihi ambang batas.

Asisten Deputi Urusan Penegakan Hukum Pidana dan Administrasi Menneg LH Himsar Sirait menjelaskan, barang yang diimpor itu memang disebutkan sebagai pasir besi. Namun, dari hasil penelitian laboratorium, barang yang diimpor itu merupakan residu dari proses kegiatan pembersihan kapal (sand blasting) atau dikenal juga dengan copper slag.

Akan tetapi, hasil penelitian terhadap pasir besi yang dilakukan tim penyidik dari Kantor Menneg LH yang menyatakan pasir besi itu limbah B3, langsung dibantah kuasa hukum PT Jace Octavia Mandiri (PT JOM) sebagai pengimpor pasir besi itu.

Kuasa hukum PT JOM, OC Kaligis, Jumat (27/2) petang, mengatakan, ada hasil uji laboratorium juga yang menyatakan, pasir besi itu bukan limbah B3. Menurut dia, laboratorium yang menyatakan pasir besi itu bukan limbah B3 berasal dari Laboratorium Uji Material Batan Serpong.

Selain itu, ada dokumen lain yang menunjukkan pasir besi yang diimpor dari Korea Selatan itu bukan limbah B3. Misalnya, sertifikat inspeksi dan analisis yang dikeluarkan PT Sucofindo. Dokumen lain dikeluarkan produsen pasir besi di Korsel, yaitu LS-Nikko Copper Inc.

Dengan adanya bantahan dari pihak PT JOM, berbagai pertanyaan pun muncul. Apakah hasil penelitian dari tim penyidik Kantor Menneg LH itu, salah? Atau, apakah hasil penelitian dari laboratorium uji material Batan Serpong yang diminta pihak PT JOM itu salah?

Jika pihak Kantor Menneg LH konsisten dengan hasil temuannya bahwa pasir besi itu merupakan limbah B3, kasus kemungkinan akan diusut, baik secara perdata maupun pidana. Dengan demikian, pihak pengadilanlah yang akan menentukan kebenaran material.

Jika pasir besi itu benar-benar merupakan limbah B3, sulit membayangkan betapa lemahnya pengawasan dari aparat Bea dan Cukai terhadap barang impor, termasuk limbah B3. Aparat BC hanya mengandalkan pemeriksaan dokumen, termasuk dokumen sertifikasi barang dari Sucofindo.(Ferry Santoso)

Readmore »»

Lingkungan - Kawasan Disinyalir Jadi Uji Coba REDD

KOMPAS, Senin, 16 Maret 2009 05:05 WIB
Medan - Sebanyak 20 kawasan hutan di seluruh Indonesia disinyalir menjadi kawasan uji coba pengurangan emisi dari degradasi dan deforestasi. Uji coba dilakukan sejumlah lembaga swadaya masyarakat juga korporasi.


Dewan Perubahan Iklim Nasional sampai saat ini masih menggodok skema perdagangan karbon di Indonesia.

”Kami mensinyalir ini pengaplingan (hutan) model baru,” tutur Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Sumatera Utara Syahrul Sagala, Sabtu (14/3). Proyek dilakukan di Sumatera, Kalimantan, dan Papua.

Dari 20 kawasan hutan itu, Wahli melihat ada tiga kawasan di Sumatera yang disinyalir menjadi proyek pengurangan emisi dari degradasi dan deforestasi (REDD). Ketiga kawasan itu adalah Hutan Ulu Massen di Nanggroe Aceh Darussalam, Ekosistem Leuser, dan kawasan Semenanjung Kampar di Riau. Sementara kawasan hutan yang potensial untuk perdagangan karbon ada di Kabupaten Mandailing Natal, Tapanuli Tengah, dan Dairi.

Tiga kabupaten itu masih menyisakan hutan perawan dari 32 kabupaten di Sumatera Utara mengingat laju degradasi hutan di Sumatera 1,08 juta hektar per tahun selama 2000 hingga 2006. Kawasan hutan kritis mencapai 434.767,22 hektar, agak kritis 1,5 juta hektar, dan sangat kritis 3,2 juta hektar.

Meskipun skema perdagangan karbon masih digodok, Walhi mengkhawatirkan akan muncul kegiatan yang semata-mata ”dagang” bukan bagian dari penyelamatan bumi untuk pemanasan global. ”Kami merekomendasikan supaya REDD menganut sistem dari bawah ke atas,” tutur Syahrul.

Selama ini, kata Syahrul, konsep REDD cenderung dari atas ke bawah. Masyarakat lokal tak dilibatkan di dalamnya. Masyarakat lokal, penjaga hutan dan masyarakat adat, bahkan tidak paham apa itu REDD. Sementara itu, muncul kecenderungan adanya pengusulan perubahan status kawasan hutan.

”Sangat disayangkan jika masyarakat lokal yang menjaga hutan bahkan tidak tahu karbon mereka didagangkan orang lain,” kata Syahrul. Di sisi lain, ada kecenderungan terjadi peningkatan perubahan atas kawasan hutan.

Sengketa

Wahli juga mensinyalir proyek REDD akan mengakibatkan sengketa atas tanah atau pembagian keuntungan seperti yang dimungkinkan terjadi pada kasus Hutan Ulu Masen di NAD. Walaupun mayoritas kawasan proyek digolongkan sebagai hutan negara, Dokumen Rancang Proyek mengakui bahwa kebanyakan mukim di kawasan proyek menanggap hutan tersebut sebagai hutan adat/hukum adat.

Proyek Ulu Masen dikembangkan dengan cepat sehingga sengketa yang sudah ada tentang hak atas tanah diduga akan diabaikan.

Readmore »»

LINGKUNGAN - Petugas Akan Tutup Sumur Bor

KOMPAS, Senin, 16 Maret 2009 03:41 WIB
Jakarta - Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah atau BPLHD Jakarta Barat akan menertibkan kembali usaha pencucian dan pencelupan jins di Kelurahan Sukabumi Selatan, Kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat, mulai Senin (16/3). Dalam serangkaian penertiban itu, petugas akan melakukan pengecoran terhadap sumur-sumur bor di kawasan industri tersebut.

”Sweeping akan disertai pengecoran sehingga para pengusaha tidak bisa akal-akalan lagi menggunakan air tanah,” papar Kepala BPLHD Jakarta Barat Yusiono Supalal, Minggu.

BPLHD Jakarta Barat mencatat, saat ini tinggal 45 dari 48 usaha pencucian dan pencelupan jins di kawasan itu yang masih tetap bertahan.

Setelah kesepakatan bulan Oktober tahun lalu, semua pelaku usaha langsung memasang saluran air PAM. Namun, beberapa di antaranya tetap menggunakan air tanah secara tersembunyi.

BPLHD Jakarta Barat juga mencatat, dari sebanyak 126 titik sumur bor yang ada, sebanyak 65 titik di antaranya masih tetap beroperasi.

Yusiono menjelaskan, penggunaan air tanah tidak bisa secara sembarangan karena telah diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 1998 tentang Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan.

Harus tunduk

Sementara itu, saat bersilaturahmi dengan warga di RW 01 Sukabumi Selatan, Minggu pagi, Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo menegaskan, pemilik usaha pencucian dan pencelupan jins harus segera menghentikan penggunaan air tanah sesuai kesepakatan yang telah dibuat dengan pemerintah kota setempat.

”Air tanah jangan disedot sampai habis-habisan, kasihan anak cucu kita nanti,” ujar Fauzi.

Penegasan itu disampaikan oleh Fauzi agar tidak terulang lagi kasus amblesnya tanah di wilayah Sukabumi Selatan akibat penyedotan air tanah. Sebelumnya sudah ada tanah ambles sedalam 1,3 meter di sekitar sebuah pabrik minuman beralkohol di Jalan Daan Mogot, Jakarta Barat.

Selain bertemu warga, Gubernur juga melakukan penanaman pohon mangga, sebagai pohon produktif, di permukiman warga dan menyempatkan diri meninjau program penanaman 13.000 pohon yang dilakukan warga di kawasan itu.

Desakan untuk mematuhi kesepakatan juga datang dari Sekretaris Komisi D DPRD DKI Fatih R Shidiq. ”Pemerintah Kota Jakarta Barat harus bertindak tegas dan memberi sanksi kepada pelaku usaha yang melanggar kesepakatan,” ujar Fathi.

Readmore »»

RESAPAN AIR - Taman Ayodia Mulai Dioperasikan

KOMPAS, Senin, 16 Maret 2009 03:37 WIB
Jakarta - Setelah menunggu selama lebih dari setahun, Taman Ayodia di Kramat Pela, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Minggu (15/3), diresmikan penggunaannya oleh Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo. Masyarakat menyebut taman seluas 7.500 meter persegi itu dengan nama Taman Istana Raja Rama.

”Pembangunan kembali taman ini untuk mengembalikan fungsi awal sebagai taman yang menjadi paru-paru kota dan daerah resapan air,” ujar Fauzi Bowo. Seusai peresmian, Gubernur menanam pohon ketapang kencana di taman itu.
Taman ini dilengkapi dengan dua unit air mancur, 22 unit lampu taman, 200 jenis pepohonan, dan jogging track.
Mengembalikan fungsi
Kepala Dinas Pertamanan dan Pemakaman DKI Jakarta Ery Basworo mengatakan, taman ini sebelumnya bernama Taman Empang Blok D sejak tahun 1948.
Pada tahun 1950-an, kawasan ini semakin dikenal warga lantaran berfungsi sebagai taman rekreasi. Namun, tahun 1960-an tempat ini mulai menjadi sentral penjualan bunga hias dan pusat penjualan ikan hias.
Pada Januari 2008, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan Pemerintah Kota Jakarta Selatan memutuskan mengembalikan fungsi awal dan keberadaan taman ini.
Terkait dengan rencana itu, pada Januari 2008, Pemprov DKI Jakarta dan Pemkot Jakarta Selatan menggusur pedagang bunga dan ikan hias di kawasan itu.
Pemprov DKI Jakarta menganggarkan Rp 1 miliar untuk mengubah taman itu menjadi ruang hijau yang indah. Taman ini dipilih untuk direvitalisasi sebagai salah satu ruang terbuka hijau.

Readmore »»

Minggu, 15 Maret 2009

BEDAH SAINS - Mengelola Sampah di Sekolah Jadi Rupiah

KOMPAS, Senin, 16 Maret 2009 04:00 WIB
Jakarta - Menanamkan kesadaran bahwa sampah bisa dikelola dan bernilai ekonomis bisa ditanamkan di sekolah.


”Budaya kita soal sampah masih berkonotasi bau dan tidak berguna. Ini harus diubah supaya pengelolaan sampah bisa lebih baik dan bermanfaat ke depannya,” kata Teti Suryati, pengajar muatan lokal Lingkungan Hidup SMAN 12 Jakarta, dalam acara bedah sains tingkat SMA se-Jabodetabek ”Mengubah Sampah Menjadi Sumber Rupiah” yang dilaksanakan Fakultas Biologi Universitas Nasional di Jakarta, Sabtu (14/3).

Menurut Teti, dari hitungan yang dilakukan Kelompok Ilmiah Remaja (KIR) SMAN 12 Jakarta, setiap siswa di sekolah menghasilkan sampah 0,10-015 liter per hari. Semakin besar jumlah siswa, produksi sampah di sekolah semakin banyak.

Sekolah ini mengambil langkah untuk mengajak siswa mengelola sampah dengan memanfaatkan sampah organik menjadi kompos dan sampah nonorganik menjadi barang lain yang berguna. Siswa dibagi dalam kelompok yang harus bertanggung jawab untuk mengelola sampah yang mereka produksi.

”Dengan mengajarkan pengelolaan sampah di sekolah kepada siswa, kesadaran untuk bisa memandang sampah sebagai barang yang masih bisa dimanfaatkan dan bernilai ekonomis bisa tumbuh,” ujarnya. Yang penting, siswa juga berkontribusi untuk mengurangi buangan sampah dari sekolah ini. Hanya sekitar 30 persen sampah yang dibuang ke tempat pembuangan sampah. ”Ini wujud kontribusi siswa untuk menjaga lingkungan hidup yang baik,” ujar Teti.

Apa yang dilakukan SMAN 12 Jakarta ini menjadi salah satu contoh sekolah yang mampu mengajarkan pengelolaan sampah yang melibatkan siswa. Bahkan, para siswa ditantang untuk menciptakan komposter atau alat pembuat kompos yang mudah untuk mengubah sampah organik menjadi kompos.

Hasmar Rusmendro, pengajar di Fakultas Biologi Universitas Pancasila, mengatakan, perlu sosialisasi paradigma baru tentang sampah yang gencar di tengah masyarakat. Tujuannya agar masyarakat bisa mengolah sampah yang selama ini dibuang begitu saja menjadi sesuatu yang berpotensi ekonomi, seperti kompos, pakan ternak, batako atau paving block, insektisida atau pestisida, hingga sumber biogas.

Tatang MS, Dekan Fakultas Biologi Universitas Nasional, mengatakan banyak hal yang bisa dilakukan untuk mengolah sampah dengan memanfaatkan ilmu Biologi. Untuk itu, penelitian harus terus dilakukan dan dikembangkan.

Readmore »»

Jumat, 13 Maret 2009

Bank Dunia Peduli Harimau

Jumlahnya Tinggal 250 Ekor
KOMPAS, Jumat, 13 Maret 2009 05:42 WIB

Medan - Bank Dunia membantu program penyelamatan harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae). Keterlibatan Bank Dunia ini dilakukan dalam bentuk program kegiatan penyelamatan. Bank Dunia juga bekerja sama dengan kalangan LSM.


”Kami ingin menjalin kerja sama dengan banyak pihak, termasuk organisasi nonpemerintah dan pemerintah lokal. Kerja sama ini diperlukan dalam rangka penyelamatan harimau yang hampir punah,” kata seorang perwakilan Bank Dunia, Mahendra Shrestha, Kamis (12/3), seusai pertemuan dengan pemangku kepentingan dari organisasi nonpemerintah dan unsur pemerintah di Kantor Yayasan Leuser Internasional, Medan.

Isu penyelamatan ini penting karena belakangan marak terjadi perdagangan organ harimau. Praktik ini terjadi antarnegara. Karena itu, perlu komitmen bersama untuk mengurangi perdagangan satwa liar ini. ”Bank Dunia menaruh perhatian dalam persoalan ini. Penyelamatan harimau merupakan isu penting. Jadi, investasi di sebuah negara tidak boleh semata-mata membangun tanpa memerhatikan persoalan lingkungan,” kata Mahendra.

Mahendra tidak bersedia menyebut nilai bantuan dalam bentuk uang. Bantuan Bank Dunia, katanya, dilakukan dengan memfasilitasi semua lembaga yang berkepentingan.

Selanjutnya, Bank Dunia akan bekerja sama dengan Forum Harimau Kita, yaitu sebuah lembaga yang terdiri dari 15 organisasi nonpemerintah dan instansi pemerintah.

Ketua Forum Harimau Kita Hariyo Tabah Wibisono mengatakan, keterlibatan Bank Dunia juga dilakukan di semua negara yang masih mempunyai populasi harimau.

Di Indonesia belum ada data terbaru tentang keberadaan harimau sumatera. Hariyo mengatakan, keberadaan harimau sumatera kini tersebar di 18 lokasi hutan di Pulau Sumatera. Sejauh ini Wildlife Conservation Society (WCS) telah memetakan keberadaan harimau itu di delapan lokasi.

”Untuk sementara, data kami menyebutkan jumlah harimau sumatera itu paling sedikit ada 250 ekor di delapan lokasi tadi. Data ini masih akan kami perbarui karena belum ada identifikasi jumlah di sepuluh lokasi lain,” tutur Hariyo.

Delapan lokasi yang sudah teridentifikasi ada harimau sumatera, di antaranya, adalah Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBS), Taman Nasional Way Kambas (TNWK), Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT), dan Taman Nasional Tesso Nillo (TNTN). Salah satu lokasi, yaitu Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL), disebut-sebut sebagai tempat populasi terbesar harimau sumatera saat ini.

Pertemuan dengan Bank Dunia ini juga dihadiri perwakilan dari Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Sumut. Kepala BBKSDA Sumut Djati Witjaksono Hadi mendukung penyelamatan ini. Pemerintah dalam hal ini lembaganya sudah menyiapkan langkah penyelamatan.

Readmore »»

Hari Bakti Rimbawan

KOMPAS, Jumat, 13 Maret 2009, 05:34 Wib
Dinas Kehutanan Sumatera Utara beserta unit pelaksana teknis bidang kehutanan memperingati Hari Bakti Rimbawan (yang jatuh pada 16 Maret) dengan menggelar aneka kegiatan lingkungan. Sejumlah kegiatan dilakukan, di antaranya
menanam 1.500 pohon di Kebun Binatang Medan dan membagi 2.500 batang pohon kepada masyarakat. Demikian siaran pers yang disampaikan Kepala Dinas Kehutanan Sumut James Budiman Siringoringo, Kamis (12/3) di Medan. Penanaman pohon untuk keperluan rehabilitasi salah satunya terealisasi dalam program Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan (Gerhan) dan Lahan. Gerhan di Sumut salah satunya dilakukan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA). Sejak tahun 2003 pelaksanaan program ini dilakukan di lahan seluas 1.526 hektar yang tersebar di sembilan kawasan taman wisata alam dan suaka margasatwa. Dari seluruh kawasan ini, hanya taman wisata alam Holliday Resort yang dinyatakan gagal karena persentase pertumbuhan tanaman tidak sampai 55 persen dari semua tanaman yang ditanam.

Readmore »»

Harimau - Gubernur Jambi Perintahkan Penangkapan

KOMPAS, Jumat, 13 Maret 2009 05:27 WIB
Jambi - Gubernur Jambi Zulkifli Nurdin menginstruksikan Balai Konservasi Sumber Daya Alam atau BKSDA untuk sesegera mungkin memasang perangkap guna menangkap harimau sumatera yang masih berkeliaran di dalam hutan di Jambi. Rencana tersebut langsung mengundang kecaman dari kalangan aktivis lingkungan.


”Penanganan terhadap harimau yang telah menewaskan korban manusia sudah jelas. Harimau harus ditangkap,” ujar Zulkifli, Kamis (12/3).

Menurut Zulkifli, kebijakan ini dilakukan karena undang-undang menyatakan bahwa harimau tidak boleh dibunuh sehingga diambil jalan keluar supaya harimau ditangkap saja.

Setelah ditangkap, harimau akan dimasukkan ke Kebun Binatang Taman Rimba, Kota Jambi, untuk dipelihara. Pihaknya berencana menganggarkan biaya pemeliharaan harimau dalam Anggaran Biaya Tambahan Provinsi Jambi.

”Akan kita cari dari sektor mana penganggaran tersebut dapat diambil,” ujarnya.

Bila tidak memungkinkan, pihaknya berencana menggandeng lembaga swadaya masyarakat untuk membantu biaya pemeliharaan satwa liar tersebut. ”Biaya pemeliharaan dan makan satu ekor harimau diperkirakan Rp 400.000 per bulan. Jika harimaunya ada empat, berarti kebutuhannya Rp 1,6 juta per bulan,” ujarnya.

Kepala BKSDA Jambi Didy Wurjanto mengatakan, pemasangan jerat tidak akan dilakukan selama harimau masih berada dalam teritorinya. Selama ini justru manusialah yang memasuki teritori harimau dan membalak serta merambah hutan. Tindakan manusia tersebut sebagai penyebab tindakan agresif harimau belakangan ini.

”Hanya jika harimau sudah memasuki wilayah permukiman masyarakat, kami baru akan mengamankan. Tetapi, selanjutnya harimau akan dilepas ke habitatnya kembali,” tutur Didy.

Artis yang juga aktivis lingkungan, Franky Sahilatua, yang berkunjung ke Jambi, Kamis, mengecam rencana tersebut. ”Manusia yang merusak hutan itulah yang seharusnya ditangkap. Ini, kok, malah harimau yang mau ditangkap. Harimau, kan, memang hidupnya di hutan,” tuturnya.

Direktur Eksekutif Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi Rakhmat Hidayat mengatakan, Gubernur semestinya tidak menginstruksikan penangkapan harimau dalam hutan. Rencana itu bertentangan dengan undang-undang mengenai konservasi.

Readmore »»

Kamis, 12 Maret 2009

Lingkungan - Petambak Liar Menggerogoti TWA Angke

KOMPAS, Jumat, 13 Maret 2009 03:45 WIB
Jakarta - Petambak liar masih terus membuka lahan dengan menggerogoti hutan bakau di kawasan Taman Wisata Alam Angke, Kamal Muara, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara. Selain membuka lahan dengan membabat pohon bakau, mereka juga mencabuti anakan bakau yang baru ditanam di kawasan itu.


Wakil Gubernur DKI Jakarta Prijanto seusai memimpin apel Hari Bhakti Kehutanan ke-26 di Taman Wisata Alam (TWA) Angke, Kamis (12/3), mengatakan, tindakan para petambak itu melanggar hukum.

”Jika terbukti, mereka kita tangkap dan diproses hukum,” kata Prijanto.

Apel yang diikuti sekitar 300 rimbawan, aktivis lingkungan, dan pegawai pemerintah tersebut bertemakan Menggalang Semangat Kebersamaan Rimbawan, Kita Sukseskan Kegiatan Penanaman Pohon Bakau ”One Man One Tree”. Hadir mendampingi Wakil Gubernur antara lain Wali Kota Jakarta Utara Bambang Sugiyono dan Camat Penjaringan Syahril Suwarno.

Pengelola TWA Angke, Murniwati Harahap, mengatakan, saat ini setidaknya masih ada sekitar 30 petambak yang membuka usaha tambak ikan bandeng di dalam kawasan TWA. ”Jumlah itu sebenarnya tidak terlalu banyak, tetapi amat mengganggu kawasan. Seharusnya mereka sudah tidak boleh di dalam kawasan, apalagi sampai membuka tambak,” katanya.

Murniwati mengatakan, sudah ada aturan, bahkan undang-undang, yang melarang okupasi lahan di dalam TWA atau kawasan konservasi. ”Seharusnya para petambak diusir ke luar kawasan. Namun, wewenang untuk melarang petambak ada pada pemerintah. Yang paling penting sebenarnya, tinggal ada atau tidak kemauan untuk menindaknya,” kata Murniwati.

Perbedaan pola

Jika tidak ada pelarangan atau tindakan hukum terhadap para petambak liar, usaha menanam dan menyisip anakan bakau oleh berbagai kalangan di kawasan itu akan sia-sia. ”Ada perbedaan di dalam usaha tambak ikan bandeng dan budidaya bakau,” kata Murniwati.

Menurut dia, ikan bandeng tidak memerlukan sirkulasi air, sedangkan tanaman bakau atau mangrove memerlukan sirkulasi air. ”Ikan tidak memerlukan lumpur, sedangkan bakau butuh lumpur untuk mengikat akarnya,” ujarnya.

Contoh-contoh itu diungkapnya untuk menunjukkan bahwa budidaya tambak ikan berseberangan dengan budidaya tanaman bakau. Jika ada usaha tambak udang, hampir pasti merusak tanaman, bahkan merusak ekosistem bakau.

Saat ini, kata Murniwati, luas kawasan TWA Angke mencapai 99,5 hektar dari luas semula 99,8 hektar. Areal seluas 3 hektar hilang akibat abrasi pantai. Sedangkan tegakan bakau mengisi lahan seluas 60 persen dari luas kawasan seluruhnya.

Anakan bakau yang baru ditanam sering tercabut akibat tersapu jaring tambak ikan milik warga yang umumnya pedagang. ”Sekarang yang diperlukan sebenarnya adalah penegakan hukum yang tegas terhadap para petambak,” kata Murniwati lagi.

Bambang Sugiyono mengatakan, mangrove juga mati akibat abrasi. Kegiatan pembudidayaan atau penanaman anakan bakau harus didahului dengan pembangunan tanggul pemecah ombak. Pekan lalu, ratusan warga dibantu sejumlah organisasi massa, aktivis lingkungan, dan pelajar telah menanam 2.600 anakan bakau.

Selain itu, untuk mendukung program penanaman pohon bakau di pesisir Jakarta Utara, Wali Kota berjanji akan segera menertibkan para petambak liar di kawasan TWA. ”Saya akan segera menertibkan para petambak liar di dalam kawasan TWA,” katanya.

Syahril Suwarno langsung merespons dengan menginstruksikan lurah di wilayah untuk menanam anakan bakau.

Readmore »»

Megah Mencetak Sawah di Kolong Timah

KOMPAS, Jumat, 13 Maret 2009 03:29 WIB Oleh: BENNY DWI KOESTANTO
Sudah lama ada anggapan bahwa lahan bekas tambang timah atau kolong di Kepulauan Bangka Belitung tidak bisa direhabilitasi, direklamasi, apalagi menghasilkan. Namun,
semua itu mentah di tangan Megah Hasan. Dengan tekun dan semangat luar biasa, pria asli Pangkal Pinang itu berhasil mencetak sawah di kolong timah.
Datanglah ke Kampung Jeruk, Pangkalan Baru, Bangka Tengah, 15 kilometer arah selatan kota Pangkal Pinang. Hamparan hijau petak-petak sawah yang sedang ditanami padi menjadi sebuah ”oase” di antara kolong-kolong timah, yakni kolam-kolam bekas galian dan gundukan tanah di sekelilingnya. Dua tahun lalu, kawasan itu mirip tempat ”jin buang anak”, tandus, sepi tak dijamah orang, dan merana setelah disedot bijih timahnya.
”Timah itu berkah bagi orang Bangka. Kita boleh menambangnya, karena itu memberi nafkah. Tapi, janganlah kita serakah untuk generasi kita semata. Penambangan membabi buta hanya meninggalkan nestapa bagi anak cucu kelak,” kata Megah di pondokan yang baru setengah selesai dibangun di lahan persawahannya, pekan lalu.
Pondokan itu berada di atas kolong terluas di kawasan itu. Di sinilah Megah terus memikirkan masa depan tanah kelahirannya, terutama fase ”apa lagi setelah masa jaya timah yang meninggalkan kerusakan lingkungan dahsyat di Bangka Belitung berakhir”. Terasa sulit membayangkan kenyataan lahan kritis di Bangka Belitung akibat pertambangan timah mencapai 1.600 hektar atau sekitar seperlima dari total wilayah kepulauan itu.
Selama ini upaya penyelamatan lingkungan lebih banyak dilakukan dengan reklamasi lahan, lalu ditanami aneka pepohonan. Namun, bagi Megah, pertanian lestari yang ditopang kegigihan menjadi salah satu jawabannya.
Dari lahan seluas 24 hektar, Megah mencetak seperempatnya menjadi lahan sawah dengan tanaman padi berbagai jenis dalam kurun waktu kurang dari dua tahun terakhir. Akhir tahun lalu ia mampu menghasilkan rata-rata 4-5 ton gabah kering per hektar lahan.
”Hasil itu tidak jelek, tapi juga belum berhasil. Pada sawah normal dengan irigasi lancar hasil rata-rata 8-9 ton gabah kering per hektar, sementara saya setengahnya. Cita-cita saya, masyarakat kepulauan ini tidak terlalu tergantung dari beras luar (pulau),” katanya.
Sekitar 200 meter dari pondokan Megah, di bagian depan lahan persawahan itu terdapat peternakan sapi pedaging dan sapi perah, serta lele dumbo. Ia mencoba mempraktikkan sistem pertanian terintegrasi. Namun, mencetak lahan sawah merupakan fase tersulit.
Pasalnya, tak ada irigasi teknis di sekitar kolong sawah Megah. Dia terpaksa menggunakan sumber air dari kolong-kolong yang ada. Tetapi, air kolong sangat rendah kandungan asamnya karena campuran timah dan logam-logam lain. Untuk menambah keasaman air, ia menanam eceng gondok di kolam-kolam tersebut.
Jika dirasa jumlahnya berlebihan, eceng gondok lalu diambil, dijemur, dan dijadikan pupuk kompos. Air dari kolong itulah yang digunakan mengairi sawah dengan cara dipompa. Sebelum untuk mengairi sawah, terlebih dulu air itu ditampung pada satu kolam khusus, dicampur air kencing sapi serta air dari kolam budidaya lele. Itulah mengapa ia tak menggunakan pupuk kimia pada tanaman padi di sawahnya.
Persoalan kedua adalah tanah. Gundukan-gundukan tanah harus diratakan. Untuk itu, Megah menggunakan ekskavator. Satu hektar lahan membutuhkan waktu dua hari, disusul seminggu untuk pencetakan sawah. Luas petakan tergantung selera, tetapi jangan terlalu luas agar air merata.
Langkah selanjutnya identifikasi tanah, terutama mengetahui ketebalan lapisan pasir. Kalau pasir terlalu tebal, air yang dialirkan tak tertampung karena meresap. Untuk menyiasati, ia menambahkan pupuk kandang dan kompos berupa jerami dan daun eceng gondok kering yang diaduk dengan traktor. Ia mendiamkan lahan itu beberapa pekan. Jika di atas tanah telah tumbuh ilalang, itu pertanda lahan siap dicetak menjadi sawah. Maka, tanah pun diaduk dan diolah kembali menjadi sawah.
Belajar dari Jepang
Upaya pencetakan sawah itu merupakan buah perjalanan Megah ke Kobe, Jepang. Hampir separuh perjalanan hidupnya dihabiskan di kota itu. Selepas SMA di Pangkal Pinang, ia merantau dan bekerja di perusahaan otomotif, hingga ia mampu mendirikan usaha berbasis otomotif pula. Ia menikah dengan gadis Jepang, dan menetap di Kobe dengan dua putranya.
Sejak menjadi petani di Bangka, otomatis ia tinggal sendiri di Pangkal Pinang. Dua bulan sekali ia menemui keluarganya di Kobe. Atau di kala liburan sekolah, keluarganya berkunjung ke Pangkal Pinang. Sementara bisnisnya tetap berjalan, dengan berkelakar ia mengaku mampu mengawasi usaha itu dari sawahnya di Kampung Jeruk. Di Bangka ia terdaftar sebagai komisaris salah satu perusahaan peleburan (smelter) timah swasta.
Ia memang hobi dan cinta bertani. Ia mulai bertani di Kobe sejak awal 1990-an, kala bersama dua teman membeli sepetak lahan sawah berukuran 1.000 meter di pinggiran kota. Ia bertani intensif di akhir pekan. Intensifikasi pertanian Jepang, katanya, sangat jelas. Lahan sempit dibayar lunas dengan hasil maksimal karena sistem pertanian yang maju dengan sistem bimbingan petugas lapangan pertanian secara simultan.
”Setiap petugas penyuluh di Jepang mempunyai kebun atau sawah percobaan sendiri. Mereka meneliti, beruji coba, dan dipraktikkan secara cermat. Coba bandingkan dengan penyuluh di sini,” katanya.
Praktik pertanian ala Negeri Sakura itulah yang diterapkannya di Kampung Jeruk. Hampir sehari penuh ia berada di sawah. Merenung dan berpikir di pondokan, lalu ke sawah lagi, begitu seterusnya. Tak jarang ia pergi ke sawah malam hari, sekadar melihat kondisi tanaman. Maka ia mampu menyebutkan berapa jenis hama, capung, hingga kupu di persawahan.
Salah satu hal menarik pada sistem pertanian Megah adalah jumlah petani. Untuk mengolah lahan seluas enam hektar itu, ia dibantu tiga karyawan. Katanya, pengaturan waktu dan jadwal pengerjaan lahan adalah kuncinya. Mereka bekerja profesional layaknya pekerja kantor, pukul 08.00-16.00 dengan istirahat satu jam per hari. Mereka digaji minimal Rp 1,25 juta per bulan. Mereka juga dibuatkan rumah tinggal di sekitar area persawahan, lengkap dengan listriknya.
Megah bangga dengan salah satu pencapaiannya ini. Pencetakan sawah menjadi bagian dari Bangka Goes Green, program corporate social responsibility PT Bangka Belitung Timah Sejahtera, konsorsium beberapa perusahaan smelter timah di Pangkal Pinang.
Namun ada hal yang menggelisahkannya, yakni bagaimana mengenalkan dan mengajak warga pemilik kolong mengikuti jejaknya. Sebab, butuh biaya tak sedikit untuk mencetak sawah. Ia telah menghabiskan Rp 600 juta untuk semua itu, di luar pembelian lahan.
”Tanpa bantuan pemerintah atau perusahaan swasta besar, pencetakan sawah sulit terealisasi dalam waktu singkat. Sudah saatnya pemerintah daerah di Bangka peduli lingkungan, demi generasi mendatang,” kata Megah.

Readmore »»

Manusia Itu Predatornya Harimau

KOMPAS, Selasa, 17-02-2009 Oleh: Rudy Badil & Agnes Sulistyawaty
Siapa tidak takut dan ngeri kalau bertemu, meski dari jauh, dengan harimau, sosok hewan buas berbulu loreng-loreng yang sudah terkenal sejak lama sebagai makhluk pemangsa segala makhluk hidup, trmasuk manusia. Satwa liar predator itu adalah harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae), semapt dijuluki "Sang Raja Hutan" atau di Sumbar diberi gelar "Datuak".

Readmore »»

Rabu, 11 Maret 2009

SATWA DILINDUNGI - BKSDA Lampung Terima Tiga Kucing Hutan

KOMPAS, Kamis, 12 Maret 2009 04:33 WIB
Bandar Lampung - Balai Konservasi Sumber Daya Alam Lampung menerima tiga kucing hutan (Felis bengalensis) dari seorang warga di Bandar Lampung. Kucing hutan yang tergolong satwa dilindungi tersebut akan segera dilepasliarkan di habitat aslinya di hutan Sumatera setelah dilakukan perawatan.


Wakil Koordinator Polisi Hutan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Lampung Haryanto, Rabu (11/3), mengatakan, tiga kucing hutan tersebut terdiri atas satu induk dan dua anak kucing. ”Sebetulnya anak kucing hutan itu ada tiga, tetapi yang satu mati,” ujarnya.

Kucing hutan tersebut ditemukan Muhidin, warga Jalan Urip Sumoharjo 222, Bandar Lampung, saat sedang bermain di rumah kawannya di daerah Sukabumi pada Senin (9/3). Kebetulan di dekat rumah kawannya tersebut terdapat kebun kosong.

”Saya melihat induk kucing itu sedang menyusui ketiga anaknya sekitar pukul 14.00. Saya ambil karena saya tahu itu kucing dilindungi,” ujar Muhidin.

Menurut Muhidin, kawannya yang bernama Budiono juga mengetahui bahwa ketiga kucing tersebut tergolong satwa dilindungi. Budiono menghubungi BKSDA Lampung dan melaporkan penemuan itu serta meminta BKSDA mengambil kucing hutan tersebut.

”Karena laporan tersebut, kami datang untuk mengambil induk kucing dan dua anak kucing temuan Muhidin,” ujar Haryanto.

Saat ditemukan, kondisi kucing tersebut sangat memprihatinkan. Induk dan anak kucing terlihat kurus dan kotor. Pada penyerahan hari Rabu, induk kucing mulai terlihat gemetaran karena dua hari belum mendapat makanan.

Suparlan, polisi hutan yang turut menerima kucing hutan tersebut, mengatakan, ketiga kucing yang masih hidup itu akan dibawa ke BKSDA Lampung untuk dirawat. Setelah pulih dan cukup kuat, ketiga kucing tersebut akan dilepasliarkan di habitat asli kucing hutan.

Menurut Haryanto, ada beberapa pilihan lokasi pelepasliaran di Lampung, di antaranya di kawasan hutan lindung Register 39 Batutegi, yang memang dikenal sebagai lokasi pelepasliaran satwa liar pascaperawatan dan pemulihan satwa-satwa dilindungi hasil razia atau tangkapan BKSDA Lampung. Selain itu, pelepasliaran juga bisa dilakukan di kawasan Taman Nasional Way Kambas (TNWK) atau Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS).

Kucing hutan merupakan satwa yang dilindungi pemerintah. Kucing hutan hidup dengan cara memangsa mamalia kecil, seperti burung atau hewan pengerat. Kucing hutan juga dikenal sebagai pemanjat pohon yang sangat lincah.

Readmore »»

Ancaman 2.000 Pulau Tenggelam Belum Ditunjang Data

KOMPAS, Kamis, 12 Maret 2009 04:53 WIB
Jakarta - Ancaman tenggelamnya 2.000 pulau pada 2030 menjadi urgensi Indonesia untuk meyakinkan pentingnya adaptasi dan mitigasi kelautan ke dalam agenda Konferensi Kelautan Dunia, 11-15 Mei 2009, di Manado, Sulawesi Utara. Namun, perkiraan itu sebetulnya belum ditunjang data topografi akurat.

”Angka 2.000 pulau yang diperkirakan akan tenggelam pada 2030 itu belum dilengkapi data lengkap sehingga angka tersebut masih diragukan,” kata guru besar Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian pada Institut Teknologi Bandung, Safwan Hadi, Rabu (11/3) di Bandung, Jawa Barat.

Penyebab pulau tenggelam, menurut Safwan, tidak bisa dipastikan hanya akibat perubahan iklim yang memengaruhi naiknya permukaan air laut. Namun, faktor penyebab dari aktivitas manusia jauh lebih penting yang memungkinkan terjadi percepatan tenggelamnya pulau-pulau.

Upaya pertambangan di daratan menyebabkan laju sedimentasi tinggi yang akhirnya menuju laut dan menaikkan permukaan air laut. Pertambangan di perairan berdampak pada kelangsungan pulau-pulau kecil terdekat.

”Melihat pengaruh aktivitas manusia di pertambangan seperti sekarang, pada 2030 pulau yang tenggelam bisa lebih dari 2.000 pulau. Namun, jumlah itu bisa kurang dari 2.000 pulau dan bergantung pada kebijakan ditempuh sekarang,” katanya.

Sekretaris Panitia Nasional Konferensi Kelautan Dunia Indroyono Soesilo mengatakan, ancaman pulau tenggelam sebagai dampak perubahan iklim menjadi salah satu agenda penting yang akan dibahas pada konferensi sedunia yang pertama kali itu. Indonesia sudah menyampaikan ilustrasi itu. ”Ancaman tenggelam lainnya terjadi di Jakarta pada 2050,” ujarnya.

Readmore »»

Perubahan Iklim - Selamatkan Pantai dan Pulau Kecil

Kamis, 12 Maret 2009 04:55 WIB Oleh: YUNI IKAWATI
Naiknya permukaan laut akibat pemanasan global telah merendam pantai di berbagai wilayah Indonesia, terutama di Paparan Sunda dan Paparan Sahul. Di Paparan Sunda ada Pulau Jawa yang perlu mendapat perhatian lebih karena pertimbangan ekologis dan ekonomis.


Gas-gas rumah kaca (GRK), terutama karbon dioksida yang terus teremisikan ke atmosfer tanpa henti bahkan terus merangkak naik sejak tiga abad lalu, telah menampakkan dampak buruknya secara nyata.

Beberapa negara kepulauan telah melaporkan kehilangan pulau-pulau kecilnya. Papua Niugini, misalnya, melaporkan ada tujuh pulaunya yang berada Provinsi Manus telah tenggelam. Adapun Kiribati telah kehilangan tiga pulaunya, sekitar 30 pulau lainnya juga mulai menghilang dari permukaan laut.

Kiribati bukan satu-satunya negara kecil yang tergabung dalam SIDS (Small Islands Development States) yang terancam hilang dari muka bumi ini. Diperkirakan dari 44 anggota SIDS, 14 negara di antaranya akan lenyap akibat naiknya permukaan laut.

Di Samudra Pasifik ancaman itu selain dihadapi Kiribati juga dialami Seychelles, Tuvalu, dan Palau. Adapun di Samudra Hindia ada Maladewa yang bahkan akan kehilangan seluruh pulaunya. Menghadapi ancaman hilangnya kedaulatan wilayahnya, belum lama ini Presiden Maladewa yang berpenduduk 369.000 jiwa menyatakan akan merelokasikan seluruh negeri itu dan mengharapkan uluran tangan negara lain untuk mereka menyewakan wilayahnya.

Sementara itu, nasib yang sedikit beruntung dialami Vanuatu yang didiami 212.000 penduduk. Negara ini masih memiliki lahan untuk merelokasi penduduknya yang tinggal di kawasan pesisir yang terendam.

Kerugian Indonesia

Di antara negara kepulauan di dunia, agaknya kerugian terbesar bakal dihadapi Indonesia, sebagai negara yang memiliki jumlah pulau terbanyak. Pada tahun 2030 potensi kehilangan pulaunya sudah mencapai sekitar 2.000 bila tidak ada program mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, urai Indroyono, Sekretaris Menko Kesra yang juga mantan Kepala Badan Riset Kelautan dan Perikanan DKP.

Saat ini belum diketahui berapa sesungguhnya jumlah pulau di Nusantara ini yang telah hilang karena dampak kenaikan permukaan laut. Namun, pengamatan Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) menunjukkan penciutan daerah pantai sudah terlihat di pulau-pulau yang berada di Paparan Sunda dan Paparan Sahul, ungkap Aris Poniman, Deputi Sumber Dasar Sumber Daya Alam Bakosurtanal.

Paparan Sunda meliputi pantai timur Pulau Sumatera, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Selatan serta pantai utara Pulau Jawa. Adapun Paparan Sahul berada di sekitar wilayah Papua. Penjelasan Aris didasari pada pemantauan pasang surut yang dilakukan Bakosurtanal di berbagai wilayah pantai Nusantara sejak 30 tahun terakhir.

Menghadapi ancaman hilangnya kawasan pantai dan pulau kecil yang kemungkinan akan terus berlanjut pada masa mendatang, Aris yang juga pengajar di IPB menyarankan penyusunan peta skala besar, yaitu 1:5.000 dan 1:1.000.

”Saat ini baru tiga kota besar, yaitu Jakarta, Semarang, dan Makassar, yang memiliki peta berskala tersebut,” ujarnya. Pada peta tampak detail wilayah pantai yang terbenam di tiga kota tersebut. Peta ini disusun Bakosurtanal bekerja sama dengan Japan International Cooperation Agency (JICA).

Selain itu, pembuatan peta skala besar juga dilaksanakan untuk wilayah barat Sumatera dan selatan Jawa-Bali-Nusa Tenggara. Hal ini terkait dengan pembangunan Sistem Peringatan Dini Tsunami (TEWS). Sementara itu, untuk wilayah timur Sumatera dan wilayah lain yang tergolong rawan genangan air laut akibat pemanasan global peta yang ada masih berskala kecil, sekitar 1:25.000.

”Pembuatan peta genangan perlu menjadi prioritas agar setiap daerah dapat melakukan langkah antisipasi dan adaptasi pada wilayah yang bakal tergenang dalam 5 hingga 20 tahun mendatang,” ujarnya.

Data spasial dan penginderaan jauh yang merekam dampak pemanasan global juga akan menjadi materi untuk pengambilan kebijakan di setiap instansi terkait pada waktu mendatang, urai Indroyono.

Skenario usia bumi

Tanpa perubahan pola konsumsi manusia dan perilaku manusia, serta tanpa upaya mereduksi emisi GRK untuk mengatasi pemanasan global, Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC) memperkirakan usia bumi tinggal seabad lagi.

Proyeksi itu berdasar tren kenaikan suhu udara hingga 4°C. Tingkat itu dapat tercapai bila emisi GRK terus bertambah dalam beberapa dekade ke depan karena tidak ditegakkannya kebijakan mitigasi perubahan iklim dan pola pembangunan ramah lingkungan.

Bila melihat data emisi GRK pada kurun waktu 1970-2004, emisi GRK naik 70 persen. Tingkat itu disumbangkan dari sektor energi yang mencapai peningkatan 145 persen.

Bila temperatur udara naik menjadi 4°C, dampaknya antara lain hilangnya 30 persen lahan basah, naiknya kasus penyakit akibat udara panas, banjir, dan kekeringan, mengakibatkan angka kematian naik drastis.

Ancaman itu, menurut IPCC, dapat dicegah dengan beberapa skenario untuk menurunkan GRK hingga tahun 2030. Skenario terbaiknya adalah menahan kenaikan suhu bumi hanya 2°C-2,4°C sampai 23 tahun ke depan. Untuk mencapai itu, konsentrasi GRK harus distabilkan pada kisaran 445-490 part per million (ppm).

Skenario lain menyebutkan, kenaikan dibatasi sekitar 3,2°C hingga 4°C pada kurun waktu yang sama, dengan menjaga jumlah GRK 590-710 ppm. Saat ini tingkat GRK telah melampaui itu semua. Tahun 2005 konsentrasi GRK 400-515 ppm.

Menurut IPCC, target itu bisa dicapai jika diterapkan kebijakan mitigasi perubahan iklim di tiap negara, yang harus diambil di sektor energi, transportasi, gedung, industri, pertanian, kehutanan, dan juga manajemen limbah.

Readmore »»

Kerusakan Hutan - Manusia Serakah, Harimau Pun Marah

KOMPAS, Kamis, 12 Maret 2009 05:03 WIB oleh: M Burhanudin
Dua bulan terakhir adalah masa yang menegangkan bagi warga Desa Muara Medak, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, dan warga Desa Sungai Gelam, Kecamatan Sungai Gelam, Kabupaten Muaro Jambi, Jambi.


Serangan harimau telah menewaskan sembilan orang di hutan dekat desa mereka. Rentetan peristiwa mengerikan yang tak pernah mereka alami sebelumnya.

Waktu sudah menunjukkan pukul 17.30. Tamat (40) pun mulai menghidupkan genset untuk penerangan rumahnya. Anak dan istrinya berada di dekatnya, bersiap-siap menutup pintu. Sejumlah tetangga juga berkumpul di situ.

Sejak dua bulan terakhir, saat petang tiba, mereka menghentikan aktivitas di luar rumah. Mereka menyalakan lampu dan menutup pintu rapat-rapat.

Semuanya itu terpaksa mereka lakukan sejak sembilan orang ditemukan tewas akibat serangan harimau di hutan dekat desa mereka. Mereka khawatir Si Raja Hutan keluar dari sarangnya yang sudah tercabik-cabik oleh tangan pembalak. ”Kami sendiri sebenarnya belum pernah melihat harimau itu. Kenyataannya, sudah ada yang mati karena terkaman. Dan, semuanya terjadi pada malam hari. Kami takut,” ujar Guntur (35), warga Desa Muara Medak.

Bila petang tiba, Desa Muara Medak terlihat seperti desa mati. Tak ada warga yang berani keluar rumah untuk bermain kartu domino bersama, misalnya.

Dari 50 keluarga yang pernah tinggal di desa tersebut, kini tinggal 20 keluarga. Yang lain mengungsi ke desa yang jauh dari hutan.

Pekerja kebun kelapa sawit dan karet yang biasanya pulang hingga larut malam kini sebagian besar memilih ikut mengungsi. Sesekali terlihat pembalak kayu yang nekat mengambil kayu.

Dari sembilan kasus terkaman harimau terhadap manusia, lima terjadi di hutan yang masuk wilayah Desa Muara Medak. Sisanya, dua kasus di Desa Sungai Gelam dan hutan dekat Kungpe Hilir, Muaro Jambi. Hutan tersebut berada di satu kawasan dan membentang seluas lebih dari 100.000 hektar di perbatasan Sumsel-Jambi.

Konflik harimau versus manusia juga terjadi di Nagari Durian Tinggi, Kecamatan Kapur IX, Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat. Tertangkapnya Syarfuddin (53) oleh aparat dari Markas Kepolisian Sektor Kapur IX, akhir Februari 2009, saat hendak menjual kulit dan tulang belulang harimau yang tewas diracuninya di hutan kepada pedagang, menguak fakta bahwa kerusakan hutan di Sumatera begitu luas cakupannya.

Berdasarkan laporan Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Harimau Sumatera yang dikeluarkan Departemen Kehutanan tahun 2007, mengutip data ekspor ilegal tulang harimau sumatera, jumlahnya mencapai 3.994 kilogram ke Korea Selatan pada kurun 1970-1993.

Di Desa Sungai Gelam, Jambi, selain hutan yang membentang, juga ada 42 sumur minyak dan sejumlah lapangan gas yang dikelola Pertamina. Tak salah bila desa itu disebut daerah kaya sumber daya alam.

Namun, kekayaannya tak berimbas pada kesejahteraan warga setempat. Penduduk desa itu umumnya tetap miskin dan terisolasi. Belum semua jalan beraspal, banyak sekali rumah tak beraliran listrik. Kondisi kian mengenaskan sejak jatuhnya harga sawit.

Kekayaan alam di desa itu dinikmati pengusaha, tauke, aparat, dan pembalak dari luar desa.

Sebagian besar warga yang tinggal di desa-desa tersebut adalah pendatang, khususnya transmigran dari Jawa Timur. Mereka datang dalam kurun 1990-2001. Umumnya mereka bekerja di perkebunan kelapa sawit dan karet milik perusahaan swasta. Ada pula warga yang mengolah lahan sendiri.

Desa-desa tersebut juga sering didatangi pencari kayu hutan atau pembuka lahan sawit dari luar daerah, seperti Jambi dan Palembang. Mereka bekerja secara perorangan. Ada pula yang bekerja untuk tauke. Ada yang tinggal di pinggir hutan dengan rumah bedeng, ada yang menumpang di rumah warga.

Jumlah mereka kian banyak sejak enam bulan lalu seiring dengan masuknya sebuah perseroan terbatas (PT) kayu lapis ke hutan.

Suryanto (46), tokoh Desa Sungai Medak, mengungkapkan, tiap hari sekitar 100 truk masuk keluar hutan untuk mengangkut kayu. Sebagian besar truk-truk itu terkait dengan PT tersebut.

Aktivitas PT tersebut mengundang pembalak liar ikut menjarah hutan. Mereka membabat lahan hutan konservasi di luar hutan tanaman industri yang dibabat PT tersebut. Ada pula orang-orang dari luar desa yang membuka ladang sawit dan karet di atas lahan bekas tebangan hutan. Mereka mengapling begitu saja lahan-lahan itu untuk kemudian ditanami kelapa sawit.

Sujianto Basir (46), Kepala Dusun Sungai Gelam, Desa Sungai Gelam, mengungkapkan, orang yang menanam lahan sawit di bekas lahan hutan ini adalah para tauke. Ada yang menjadikannya sebagai lahan sawit dan merawatnya, ada pula yang hanya menanaminya untuk dijual. Harganya cuma Rp 40 juta untuk 2 hektar lahan sawit meski tanpa sertifikat karena status lahannya tak jelas.

Menurut Suryanto, para penanam sawit cuma perlu izin dari warga setempat dan kepala desa, lalu mereka bisa mematok dan menanam. Tak sedikit dari mereka adalah aparat pemerintah. ”Mereka menanam begitu saja. Ada yang menanam sendiri, ada yang mempekerjakan orang lain,” kata Suryanto sambil menyebutkan luas hutan itu sejak enam tahun terakhir tinggal sepertiganya.

Pembabatan inilah yang merusak sarang harimau sumatera yang konon berada di Pal 18 hingga Pal 25 hutan Desa Muara Medak dan Muara Merang.

Pemimpin spiritual India, Mahatma Gandhi, pernah berucap, Bumi menyediakan cukup kebutuhan seluruh umat manusia, tetapi bukan untuk kerakusan. Barangkali, serangan harimau itu merupakan balasan setimpal atas kerakusan tersebut.

Readmore »»

Selasa, 10 Maret 2009

Hutan - Hutan Lindung Diajukan Jadi Tahura

KOMPAS, Rabu, 11 Maret 2009 05:15 WIB
Medan - Sekitar 20.000 hektar hutan lindung Register 15 di wilayah Kecamatan Batang Toru dan Kecamatan Marancar, Kabupaten Tapanuli Selatan, diusulkan menjadi taman hutan rakyat atau tahura.


Sumatra Deputy Program Conservation International (CI) Indonesia Erwin Perbatakusuma, Selasa (10/3), mengatakan, status hutan lindung hanya berfungsi mencegah longsor dan banjir. Namun, jika tahura, itu bisa menjadi hutan konservasi dan bisa dimanfaatkan manusia. ”Nilai konservasi lebih bisa masuk ke dalam tahura,” tutur Erwin. Selain itu, kata Erwin, agar hutan bisa lebih efektif dikelola.

Pekan lalu, draf perubahan hutan lindung menjadi tahura sudah diserahkan CI kepada Bupati Tapanuli Selatan Ongku Parmonangan Hasibuan di kantor Bupati Tapanuli Selatan. Ongku menyatakan masih akan mempelajari draf tersebut, tetapi berjanji segera menandatangani.

Ongku mengatakan, dirinya berminat memanfaatkan hutan untuk konservasi dan bisa menggunakan salah satu kawasan hutan untuk kawasan perburuan yang menarik bagi wisatawan.

Menurut Erwin, perubahan menjadi tahura akan memudahkan kabupaten bisa mengontrol hutannya.

”Jika kontrol dari pusat, justru menyulitkan dan banyak masalah yang terjadi. Ini juga bagian dari otonomi daerah,” tutur Erwin.

CI sendiri menyatakan kesiapan untuk mengawal perubahan status hutan itu sampai ke Menteri Kehutanan hingga betul-betul menjadi tahura.

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Utara Syahrul Sagala mengatakan, mengubah status kawasan baik saja, hanya perlu dilihat alasan di balik perubahan status. Walhi melihat banyak status hutan yang diubah akhir-akhir ini karena terkait dengan program pengurangan emisi atau reducing emissions from deforestation and forest degradation (REDD) dalam Konvensi Perubahan Iklim PBB (UNFCCC) di Bali tahun 2007.

Readmore »»

Penyelundupan Satwa Liar Digagalkan

KOMPAS, Rabu, 11 Maret 2009, 05:38 Wib
Rencana penyelundupan sejumlah satwa liar menggunakan pesawat komersial, Minggu (8/3), digagalkan petugas Bea dan Cukai Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, Tangerang.
Berbagai jenis satwa liar itu dikemas ke dalam empat koper dan tas yang meliputi 3 ekor kukang (Nycticebus coucang), 16 ekor burung beo (Gracula religiosa), 8 ekor burung punai, serta masing-masing seekor nuri merah kepala hitam (Lorius lory), kakatua maluku (Cacatua moluccensis), kakatua tanibar (Cacatua gofini), nuri hijau, nuri merah, dan kakatua putih (Cacatua alba). Petugas BC bekerja sama dengan Forum Satwa Liar Jakarta dalam upaya penggagalan oleh tiga tersangka berkebangsaan Arab Saudi yang hingga kini tidak ditahan atas jaminan pihak kedutaan negara itu. ”Pelaku penyelundupan harus ditindak tegas,” ujar Pramudya Harzani dari Jakarta Animal Aid Network yang tergabung dalam Forum Satwa Liar Jakarta.

Readmore »»

Limbah Tambang Terus Cemari Lautan

Isu Pemanasan Global Bisa Menyesatkan
KOMPAS, Rabu, 11 Maret 2009 04:50 WIB

Jakarta - Menjelang penyelenggaraan Konferensi Kelautan Dunia pada 11-15 Mei 2009 di Manado, Sulawesi Utara, Indonesia belum menunjukkan konsistensinya menjaga lingkungan kelautan. Aktivitas pertambangan tetap mencemari lautan.


Sedikitnya sampai saat ini masih terdapat 340.000 ton limbah tambang yang terbuang ke laut dan mencemarinya hanya dari dua perusahaan asing terbesar yang beroperasi di wilayah Papua dan Nusa Tenggara Barat.

”Dengan penyelenggaraan WOC (Konferensi Kelautan Dunia), masalah mendasar untuk menjaga lingkungan kelautan dari aspek pencemaran limbah tambang di Indonesia sendiri masih terabaikan. Euforia perubahan iklim membuat tersesat dan menjadikannya sebagai pencarian sumber dana baru atau skema finansial yang baru,” kata Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang, Siti Maemunah, Selasa (10/3) di Jakarta.

Menurut Maemunah, substansi perusakan lingkungan kelautan akibat operasional tambang di Indonesia masih ditutupi. Tanpa ketegasan Indonesia, penyelenggaraan WOC diragukan akan mampu menyentuh substansi.

”Utang kerusakan ekologis kelautan oleh kegiatan pertambangan dari negara-negara lain tersebut tidak akan sebanding dengan dana-dana hibah asing untuk program rehabilitasi kelautan kita,” kata Maemunah.

Usulan konkret yang perlu disampaikan, menurut Maemunah, seperti yang pernah dihasilkan dalam Konferensi Internasional Pembuangan Tailing ke Laut di Manado pada 23-30 April 2001. Pada konferensi yang dihadiri delegasi 15 negara tersebut diserukan komitmen untuk menjaga kelestarian kelautan dengan menolak pembuangan limbah tambang sampai ke laut.

”Perusahaan pertambangan selalu menyatakan limbah tambang secara teknis sudah ditangani di darat. Namun, pada kenyataannya laut tetap menjadi tempat sampah bagi pertambangan karena limbah terhanyut oleh air hujan,” kata Maemunah.

Pencemaran dibahas

Secara terpisah, Sekretaris Panitia Nasional WOC Indroyono Soesilo mengatakan, dari 32 sesi simposium pada penyelenggaraan WOC nanti, tentu akan dibahas aspek pencemaran laut dari kegiatan pertambangan.

Akan tetapi, fokus pada tema besar penyelenggaraan WOC akan tetap pada aspek peran dan pengaruh kelautan terhadap perubahan iklim.

”Ada empat hal yang ingin diraih dari penyelenggaraan WOC ini,” kata Indroyono.

Keempat hal tersebut meliputi pembahasan kesepakatan tentang peran kelautan terhadap perubahan iklim global, dampak perubahan iklim global terhadap kelautan, program adaptasi dan mitigasi menghadapi perubahan iklim global, serta menggalang kerja sama internasional untuk mengatasi perubahan iklim global.

”Kesepakatan tersebut yang akan dituangkan ke dalam Manado Ocean Declaration. Kegiatan pertambangan terkait dengan perubahan iklim dan kelautan sehingga masalah ini tetap akan dibahas,” kata Indroyono.

Tambang dihentikan

Sementara itu, Maemunah mengatakan, bulan April 2009 ada kebijakan pemerintah atas desakan berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM) untuk menghentikan kegiatan tiga perusahaan tambang yang mencemari laut di Waigeo, Kepulauan Raja Ampat, Papua. Perairan tersebut dikenal sebagai kawasan terkaya biodiversitasnya sedunia.

”Meski penambangan dihentikan, pemulihan ekosistem tidak akan mudah,” ujar Maemunah.

Dia juga menyebutkan, era otonomi daerah berimplikasi pada distribusi kewenangan yang tidak berpihak bagi lingkungan kelautan. Izin usaha penambangan di berbagai wilayah provinsi dan kabupaten atau kota cenderung bertambah.

Readmore »»

Hutan Hilang 142 Ha

Potensi Perdagangan Karbon Sangat Tinggi
KOMPAS, Selasa, 10 Maret 2009 04:07 WIB

Padangsidimpuan - Kawasan hutan Batang Toru yang meliputi tiga kabupaten terus mengalami degradasi. Conservation International mencatat sejak tahun 2000 setiap tahun diperkirakan 142 hektar tutupan kawasan hutan Batang Toru hilang.


Musnahnya hutan di Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan, dan Tapanuli Tengah terjadi karena perambahan hutan, perluasan lahan pertanian, penebangan liar, penambangan emas, dan pembangunan infrastruktur.

Pantauan satelit yang dilakukan Conservation International (CI) pada tahun 2007 menunjukkan kerusakan lima tahun terakhir dari tahun 2003 hingga 2007 mencapai 1.300 hektar. Luas kerusakan lebih besar dibandingkan dengan Kota Sibolga yang luasnya hanya 1.100 hektar.

Jika diasumsikan kerusakan terus terjadi, pada tahun 2015, Batang Toru akan kehilangan 700 hingga 1.600 hektar, atau setara dengan 707.000 ton CO.

Regional Vice President CI Indonesia Jatna Supriyatna pekan lalu di Padangsidimpuan mengatakan, potensi karbon di Batang Toru sangat tinggi untuk menjadi bagian perdagangan karbon setelah Protokol Kyoto ditandatangani tahun 2012.

Dewan Perubahan Iklim Nasional, lanjut Jatna, sejauh ini masih menentukan berapa proporsi yang akan diterima masing-masing daerah terkait perdagangan karbon ini. Proporsi juga didasarkan status kawasan hutan.

Saat ini harga yang ditawarkan broker di tingkat internasional berkisar 2 dollar AS per ton. Namun, setelah Protokol Kyoto ditandatangani, harga diperkirakan akan meningkat pesat di atas 10 dollar AS per ton.

Menurut Jatna, para broker sudah mendatangi banyak daerah untuk melakukan perdagangan karbon agar saat 2012 ia bisa memperoleh keuntungan. Namun, risiko mereka pun besar karena harus tetap menjaga tutupan hutan.

”Dana yang masuk dalam perdagangan karbon itu adalah dana untuk menjaga hutan tetap lestari, bukan untuk yang lain,” tutur Jatna.

CI memperkirakan luas kawasan Batang Toru mempunyai potensi karbon 137 juta ton yang bisa dikonversi dalam nilai ekonomi senilai Rp 462 miliar.

Bupati Tapanuli Tengah Ongku Parmonangan Hasibuan mengaku tertarik dengan perdagangan karbon ini. Ia berharap langkah tersebut bisa menyejahterakan warganya dan terjaganya hutan.

Hutan Batang Toru juga menarik untuk kegiatan ekoturisme. Di kawasan hutan masih terdapat 380 orangutan sumatera, 67 jenis satwa mamalia, 287 jenis burung, 110 reptilia, dan 688 jenis tumbuhan.

Readmore »»