KOMPAS, Senin, 16 Februari 2009 00:58 WIB
Sumatera Selatan merupakan salah satu provinsi yang memiliki kekayaan alam berupa lahan gambut. Lahan gambut seluas 200.000 hektar dengan ketebalan 1-6 meter itu terletak di Kabupaten Musi Banyuasin.
Sayangnya, keberadaan lahan gambut selalu terancam kerusakan. Pada era hak pengelolaan hutan (HPH), kawasan tersebut rusak akibat penggundulan hutan. Sekarang, pada era reformasi terancam oleh proyek hutan tanaman industri (HTI) dan pembalakan liar.
Adiosyafri (32) bersama teman-temannya di organisasi Wahana Bumi Hijau Sumsel sejak tahun 2004 mencoba menyelamatkan lahan gambut Merang Kepayang di Kecamatan Bayung Lencir, Musi Banyuasin (Muba).
Menurut Adiosyafri, cara menyelamatkan lahan gambut yang paling efektif adalah dengan memberdayakan masyarakat sekitar yang sering melakukan pembalakan liar. Caranya adalah memberikan bantuan kredit lunak kepada masyarakat.
”Masyarakat yang ingin meminjam uang harus menanam pohon karet atau tanaman lain di lahan kritis maupun di pekarangan mereka,” kata ayah dari Kaisha (2) ini.
Adiosyafri mengungkapkan, dengan cara tersebut, banyak lahan kritis yang bisa diselamatkan. Upaya tersebut juga tidak memerlukan banyak modal karena bibit tanaman karet dapat diupayakan sendiri.
Menurut pria yang lahir di Muara Enim, 30 September 1976, itu, upaya lain menyelamatkan lahan gambut adalah mengajak masyarakat membuat tebat di sepanjang parit yang banyak terdapat di sekitar Sungai Merang dan Sungai Kepayang. Parit-parit yang jumlahnya sekitar 118 buah dengan panjang 3-5 kilometer itu dulu adalah jalan untuk menghanyutkan kayu hasil pembalakan hutan.
Tebat semipermanen itu terbuat dari kayu dan papan. Tujuan membuat tebat agar air yang mengalir di parit tidak cepat kering saat musim kemarau sebab tanah gambut sangat cepat menyerap air sehingga rawan terjadi kebakaran hutan. Panjang tebat bervariasi antara 5 kilometer dan 10 kilometer.
Adiosyafri menuturkan, saat ini masyarakat masih terbatas memelihara tebat yang sudah dibangun dan belum melakukan pembuatan tebat baru. Menurut Adiosyafri, membuat tebat tetap membutuhkan sokongan dana dari pihak luar.
Menurut alumnus Fakultas MIPA Universitas Sriwijaya tersebut, lahan gambut di Muba saat ini menghadapi ancaman kerusakan yang serius dengan adanya HTI dan pembalakan liar meskipun volumenya sudah berkurang. Proyek HTI itu selalu dimulai dengan melakukan pembersihan lahan dan akan melakukan penanaman ulang dengan tanaman yang dibutuhkan perusahaan tersebut di lokasi lahan gambut satu-satunya di Sumsel yang masih terjaga. (WAD
Sumatera Selatan merupakan salah satu provinsi yang memiliki kekayaan alam berupa lahan gambut. Lahan gambut seluas 200.000 hektar dengan ketebalan 1-6 meter itu terletak di Kabupaten Musi Banyuasin.
Sayangnya, keberadaan lahan gambut selalu terancam kerusakan. Pada era hak pengelolaan hutan (HPH), kawasan tersebut rusak akibat penggundulan hutan. Sekarang, pada era reformasi terancam oleh proyek hutan tanaman industri (HTI) dan pembalakan liar.
Adiosyafri (32) bersama teman-temannya di organisasi Wahana Bumi Hijau Sumsel sejak tahun 2004 mencoba menyelamatkan lahan gambut Merang Kepayang di Kecamatan Bayung Lencir, Musi Banyuasin (Muba).
Menurut Adiosyafri, cara menyelamatkan lahan gambut yang paling efektif adalah dengan memberdayakan masyarakat sekitar yang sering melakukan pembalakan liar. Caranya adalah memberikan bantuan kredit lunak kepada masyarakat.
”Masyarakat yang ingin meminjam uang harus menanam pohon karet atau tanaman lain di lahan kritis maupun di pekarangan mereka,” kata ayah dari Kaisha (2) ini.
Adiosyafri mengungkapkan, dengan cara tersebut, banyak lahan kritis yang bisa diselamatkan. Upaya tersebut juga tidak memerlukan banyak modal karena bibit tanaman karet dapat diupayakan sendiri.
Menurut pria yang lahir di Muara Enim, 30 September 1976, itu, upaya lain menyelamatkan lahan gambut adalah mengajak masyarakat membuat tebat di sepanjang parit yang banyak terdapat di sekitar Sungai Merang dan Sungai Kepayang. Parit-parit yang jumlahnya sekitar 118 buah dengan panjang 3-5 kilometer itu dulu adalah jalan untuk menghanyutkan kayu hasil pembalakan hutan.
Tebat semipermanen itu terbuat dari kayu dan papan. Tujuan membuat tebat agar air yang mengalir di parit tidak cepat kering saat musim kemarau sebab tanah gambut sangat cepat menyerap air sehingga rawan terjadi kebakaran hutan. Panjang tebat bervariasi antara 5 kilometer dan 10 kilometer.
Adiosyafri menuturkan, saat ini masyarakat masih terbatas memelihara tebat yang sudah dibangun dan belum melakukan pembuatan tebat baru. Menurut Adiosyafri, membuat tebat tetap membutuhkan sokongan dana dari pihak luar.
Menurut alumnus Fakultas MIPA Universitas Sriwijaya tersebut, lahan gambut di Muba saat ini menghadapi ancaman kerusakan yang serius dengan adanya HTI dan pembalakan liar meskipun volumenya sudah berkurang. Proyek HTI itu selalu dimulai dengan melakukan pembersihan lahan dan akan melakukan penanaman ulang dengan tanaman yang dibutuhkan perusahaan tersebut di lokasi lahan gambut satu-satunya di Sumsel yang masih terjaga. (WAD
Tidak ada komentar:
Posting Komentar