KOMPAS, Rabu, 11 Februari 2009 01:50 WIB
PASURUAN - Luas hutan di kawasan hilir daerah aliran Sungai Brantas berkurang 63 persen selama delapan tahun terakhir. Itu disebabkan konversi lahan terutama untuk permukiman yang mekar 89,5 persen.
Menurut Menteri Negara Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar, hal itu harus menjadi perhatian semua pemangku kepentingan. Degradasi luas hutan tidak saja harus dihentikan, tetapi juga harus dikonservasi.
”Saya minta semua pemangku kepentingan tegas menegakkan hukum lingkungan. Jika ada yang membuka areal hutan yang terlarang, secepatnya diberi peringatan agar tidak makin banyak orang membuka areal hutan,” kata Rachmat saat meninjau Taman Wisata Alam di Tretes, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, Selasa (10/2).
Deputi Bidang Komunikasi Lingkungan dan Pemberdayaan Masyarakat KLH Henry Bastaman mengatakan, sebagian besar areal hutan terkonversi menjadi kawasan permukiman dan kebun campuran. Konversi paling signifikan terjadi pada permukiman. Jika tahun 2000 luas permukiman 13.696 hektar, tahun 2008 luasnya 25.961 hektar. Luas kebun campuran tahun 2000 7.934 hektar, sementara tahun 2008 luasnya 13.784 hektar.
Sungai Brantas, dengan panjang 320 kilometer, adalah sungai terpanjang kedua di Pulau Jawa setelah Bengawan Solo. Sungai yang bermata air di Kota Batu itu mengalir melalui Malang, Blitar, Tulungagung, Kediri, Jombang, dan Mojokerto.
Dari Jambi dilaporkan, pengusaha hutan tanaman industri belum serius melaksanakan pengelolaan hutan lestari. Padahal, itu sudah menjadi tuntutan pasar internasional.
Hal ini dikemukakan pakar pengelolaan hutan yang juga asisten pimpinan tim Indonesia Forest Law Enforcement, Governance and Trade (FLEGT) Support Project Juha Anttila dan spesialis pengelolaan hutan Oniranto Adi Fajari pada hari Selasa.
Pengelolaan hutan lestari ialah sistem pengelolaan yang menjamin keberlanjutan fungsi dan manfaat sumber daya hutan dengan memerhatikan fungsi ekonomi, sosial, dan lingkungan secara seimbang.
Menurut Juha, pasar dunia menuntut produk kayu yang bersertifikasi. Produsen harus menjamin telah memerhatikan aspek pengelolaan hutan lestari dalam menghasilkan kayu yang mereka pasarkan serta bukan kayu curian. (LAS/ITA)
PASURUAN - Luas hutan di kawasan hilir daerah aliran Sungai Brantas berkurang 63 persen selama delapan tahun terakhir. Itu disebabkan konversi lahan terutama untuk permukiman yang mekar 89,5 persen.
Menurut Menteri Negara Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar, hal itu harus menjadi perhatian semua pemangku kepentingan. Degradasi luas hutan tidak saja harus dihentikan, tetapi juga harus dikonservasi.
”Saya minta semua pemangku kepentingan tegas menegakkan hukum lingkungan. Jika ada yang membuka areal hutan yang terlarang, secepatnya diberi peringatan agar tidak makin banyak orang membuka areal hutan,” kata Rachmat saat meninjau Taman Wisata Alam di Tretes, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, Selasa (10/2).
Deputi Bidang Komunikasi Lingkungan dan Pemberdayaan Masyarakat KLH Henry Bastaman mengatakan, sebagian besar areal hutan terkonversi menjadi kawasan permukiman dan kebun campuran. Konversi paling signifikan terjadi pada permukiman. Jika tahun 2000 luas permukiman 13.696 hektar, tahun 2008 luasnya 25.961 hektar. Luas kebun campuran tahun 2000 7.934 hektar, sementara tahun 2008 luasnya 13.784 hektar.
Sungai Brantas, dengan panjang 320 kilometer, adalah sungai terpanjang kedua di Pulau Jawa setelah Bengawan Solo. Sungai yang bermata air di Kota Batu itu mengalir melalui Malang, Blitar, Tulungagung, Kediri, Jombang, dan Mojokerto.
Dari Jambi dilaporkan, pengusaha hutan tanaman industri belum serius melaksanakan pengelolaan hutan lestari. Padahal, itu sudah menjadi tuntutan pasar internasional.
Hal ini dikemukakan pakar pengelolaan hutan yang juga asisten pimpinan tim Indonesia Forest Law Enforcement, Governance and Trade (FLEGT) Support Project Juha Anttila dan spesialis pengelolaan hutan Oniranto Adi Fajari pada hari Selasa.
Pengelolaan hutan lestari ialah sistem pengelolaan yang menjamin keberlanjutan fungsi dan manfaat sumber daya hutan dengan memerhatikan fungsi ekonomi, sosial, dan lingkungan secara seimbang.
Menurut Juha, pasar dunia menuntut produk kayu yang bersertifikasi. Produsen harus menjamin telah memerhatikan aspek pengelolaan hutan lestari dalam menghasilkan kayu yang mereka pasarkan serta bukan kayu curian. (LAS/ITA)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar