KOMPAS, Selasa, 27 Januari 2009 01:28 WIB
Judy Kurniawan mencelupkan ujung Turbidity Meter ke dalam air keruh kecoklatan di tepi Sungai Keduang yang melintas di Dusun Dungbandung, Desa Gemawang, Kecamatan Ngadirojo, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah. Angka di layar menunjukkan 0,47 ppt (part per thousand) untuk tingkat sedimentasi.
Anggota staf GIS Spatial Planning di Environmental Services Program (ESP) Jateng-Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) itu lantas mengambil air dan memasukkan ke botol kecil, lalu membanding-bandingkan dengan beberapa botol berisi air lainnya. ”Tingkat suspensi 96,8 mtu. Suspensi artinya yang tidak bisa larut,” tukas Judy, Sabtu (13/12) sore. Sebelumnya, ia melakukan hal serupa di Waduk Gajahmungkur dan memperoleh hasil tingkat sedimentasi 0,29 ppt dan suspensi 61,9 mtu. Kedua hasil menampakkan tingkat PH (asam basa) yang sama, yakni 7,7. Cuaca sehari itu tidak hujan sama sekali.
Menurut Judy, ambang batas sedimentasi adalah 0,5 ppt dan ambang batas tingkat suspensi 100 mtu, dan PH 7. Sebulan yang lalu, Judy melakukan hal serupa tepat setelah hujan reda di Kabupaten Wonogiri. Ia memperoleh hasil tingkat sedimentasi 2.600 ppt di hulu, 1.000 ppt di tengah, dan 600 ppt di hilir. ”Ini artinya, kerusakan di sub-DAS Keduang parah sehingga tingkat sedimentasi besar. Air hujan langsung mengalir ke sungai membawa serta tanah,” kata Judy.
Pengendali banjir
Sub-daerah aliran sungai (DAS) Keduang menjadi hulu DAS Bengawan Solo. DAS Bengawan Solo memiliki Waduk Gajahmungkur yang berfungsi sebagai pengendali banjir dan pembangkit listrik tenaga air (PLTA). Data the Network of River Asian Basin Organization (>small 2small 0<) menyebutkan, setiap tahun sub-DAS Keduang menyumbang sedimentasi terbesar, yakni 1.218.580 meter kubik dari total 3.178.510 meter kubik yang bersumber dari lima sub-DAS besar dan beberapa sub-DAS kecil lainnya pada DAS Bengawan Solo. Sedimentasi dan erosi dari sub-DAS Keduang menyebabkan pendangkalan dan memperpendek usia waduk.
Di dekat Judy melakukan tes sedimentasi di Sungai Keduang, tampak sebuah jembatan besar jebol akibat diterjang banjir akhir Desember 2007. Kala itu, banjir dan longsor melanda berbagai daerah di sepanjang aliran Bengawan Solo. Dari tepi Sungai Keduang tampak sebuah bukit yang tutupan lahannya hanya 10 persen. Kondisi perbukitan lainnya tidak jauh berbeda. ”Top soil (humus) di bukit-bukit sini yang semula dua meter, sekarang hanya satu meter. Di bawahnya lapisan batuan beku. Kondisi ini yang menyebabkan sedimentasi besar,” kata Judy.
Judy menunjuk perbukitan di atas sub-DAS Keduang di Kecamatan Slogohimo yang banyak ditanami sayuran. Warga bukan tidak menyadari kondisi ini. Kepala Dusun Dungbandung Suparjo mengatakan, bencana longsor dan banjir akhir 2007 sedikit banyak menggugah kesadaran warga untuk menjaga lingkungan. ”Tidur kami jadi tidak tenang jika hujan deras. Sebenarnya sebagian lahan kami sudah ditanami tanaman keras. Tetapi, mengapa masih terjadi bencana,” kata Suparjo.
Bantuan pohon penghijauan dari dinas terkait, menurut seorang warga, Teguh Wiyono, hendaknya diiringi dengan pembinaan warga. ”Percuma saja diberi pohon kalau orangnya tidak dibina. Tindakan apa yang seharusnya kami lakukan,” katanya.
Sebagai salah satu upaya, Teguh bersama 25 warga lainnya kini mengikuti sekolah lapangan yang diselenggarakan ESP. Di sini, mereka mengidentifikasi masalah lingkungan yang dihadapi untuk bersama-sama mencari solusi. ”Saat kemarau sulit air, di musim hujan terjadi longsor,” kata Teguh.
Koordinator Regional Environmental Services Program Jawa Tengah-DIY Nanang Budiyanto mengatakan, pihaknya membina empat desa untuk menumbuhkan keterlibatan masyarakat pada konservasi lingkungan yang berkesinambungan. (EKI)
Judy Kurniawan mencelupkan ujung Turbidity Meter ke dalam air keruh kecoklatan di tepi Sungai Keduang yang melintas di Dusun Dungbandung, Desa Gemawang, Kecamatan Ngadirojo, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah. Angka di layar menunjukkan 0,47 ppt (part per thousand) untuk tingkat sedimentasi.
Anggota staf GIS Spatial Planning di Environmental Services Program (ESP) Jateng-Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) itu lantas mengambil air dan memasukkan ke botol kecil, lalu membanding-bandingkan dengan beberapa botol berisi air lainnya. ”Tingkat suspensi 96,8 mtu. Suspensi artinya yang tidak bisa larut,” tukas Judy, Sabtu (13/12) sore. Sebelumnya, ia melakukan hal serupa di Waduk Gajahmungkur dan memperoleh hasil tingkat sedimentasi 0,29 ppt dan suspensi 61,9 mtu. Kedua hasil menampakkan tingkat PH (asam basa) yang sama, yakni 7,7. Cuaca sehari itu tidak hujan sama sekali.
Menurut Judy, ambang batas sedimentasi adalah 0,5 ppt dan ambang batas tingkat suspensi 100 mtu, dan PH 7. Sebulan yang lalu, Judy melakukan hal serupa tepat setelah hujan reda di Kabupaten Wonogiri. Ia memperoleh hasil tingkat sedimentasi 2.600 ppt di hulu, 1.000 ppt di tengah, dan 600 ppt di hilir. ”Ini artinya, kerusakan di sub-DAS Keduang parah sehingga tingkat sedimentasi besar. Air hujan langsung mengalir ke sungai membawa serta tanah,” kata Judy.
Pengendali banjir
Sub-daerah aliran sungai (DAS) Keduang menjadi hulu DAS Bengawan Solo. DAS Bengawan Solo memiliki Waduk Gajahmungkur yang berfungsi sebagai pengendali banjir dan pembangkit listrik tenaga air (PLTA). Data the Network of River Asian Basin Organization (>small 2
Di dekat Judy melakukan tes sedimentasi di Sungai Keduang, tampak sebuah jembatan besar jebol akibat diterjang banjir akhir Desember 2007. Kala itu, banjir dan longsor melanda berbagai daerah di sepanjang aliran Bengawan Solo. Dari tepi Sungai Keduang tampak sebuah bukit yang tutupan lahannya hanya 10 persen. Kondisi perbukitan lainnya tidak jauh berbeda. ”Top soil (humus) di bukit-bukit sini yang semula dua meter, sekarang hanya satu meter. Di bawahnya lapisan batuan beku. Kondisi ini yang menyebabkan sedimentasi besar,” kata Judy.
Judy menunjuk perbukitan di atas sub-DAS Keduang di Kecamatan Slogohimo yang banyak ditanami sayuran. Warga bukan tidak menyadari kondisi ini. Kepala Dusun Dungbandung Suparjo mengatakan, bencana longsor dan banjir akhir 2007 sedikit banyak menggugah kesadaran warga untuk menjaga lingkungan. ”Tidur kami jadi tidak tenang jika hujan deras. Sebenarnya sebagian lahan kami sudah ditanami tanaman keras. Tetapi, mengapa masih terjadi bencana,” kata Suparjo.
Bantuan pohon penghijauan dari dinas terkait, menurut seorang warga, Teguh Wiyono, hendaknya diiringi dengan pembinaan warga. ”Percuma saja diberi pohon kalau orangnya tidak dibina. Tindakan apa yang seharusnya kami lakukan,” katanya.
Sebagai salah satu upaya, Teguh bersama 25 warga lainnya kini mengikuti sekolah lapangan yang diselenggarakan ESP. Di sini, mereka mengidentifikasi masalah lingkungan yang dihadapi untuk bersama-sama mencari solusi. ”Saat kemarau sulit air, di musim hujan terjadi longsor,” kata Teguh.
Koordinator Regional Environmental Services Program Jawa Tengah-DIY Nanang Budiyanto mengatakan, pihaknya membina empat desa untuk menumbuhkan keterlibatan masyarakat pada konservasi lingkungan yang berkesinambungan. (EKI)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar