KOMPAS, Senin, 16 Februari 2009 00:37 WIB Oleh: Agustinus Handoko
Ketika ratusan bangunan di Teluk Palabuhanratu dan pesisir selatan Sukabumi rusak akibat hantaman gelombang besar, Mei 2007, permukiman penduduk di pesisir selatan Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, tetap aman kendati gelombang yang sama besarnya juga menghantam wilayah itu.
Gumuk pasir yang terbentuk di sempadan pantai telah menyelamatkan penduduk dari dampak hantaman gelombang besar.
Kendati telah menyelamatkan penduduk, gumuk pasir yang membentang sepanjang 63,1 kilometer dari Kecamatan Cidaun di sebelah timur dan Kecamatan Bojongterong di barat tetap dibiarkan telantar.
Ancaman pengikisan gumuk oleh aliran sungai dan gerusan air laut tak ada yang memedulikan. Gumuk pasir itu hanya ditumbuhi semak belukar dan tanaman perdu.
Melihat keadaan tersebut, Asep Samudra (39) tergerak untuk menanami gumuk pasir dan sempadan pantai di pesisir selatan Cianjur. Juli 2008, Asep memulai menanami gumuk pasir dan sempadan pantai itu, mulai dari Kecamatan Sindangbarang yang berada di tengah-tengah garis pantai menuju ke arah Cidaun.
”Awalnya banyak orang yang berpikir saya kurang kerjaan sehingga mencari-cari pekerjaan. Untuk apa menanami lahan pantai, buang-buang uang saja,” katanya.
Namun, Asep tak patah arang oleh cibiran orang terkait upayanya menanami gumuk pasir tersebut. Dia terus menanami lahan telantar itu sampai sepanjang 15 kilometer dari tempatnya semula.
Jarak antara pohon 5 meter hingga 10 meter. Di ruas tertentu, penanaman dilakukan hingga dua baris karena lebarnya gumuk pasir. Jumlah pohon yang sudah ditanam tak kurang dari 2.000 batang, yang dibeli Asep dari pusat pembibitan.
Menjaga gumuk
Ketika ditanya berapa uang yang sudah dikeluarkannya untuk penanaman kawasan pesisir itu, Asep enggan mengungkapkannya. ”Tak perlu disebutkan nilai uangnya. Saya hanya ingin melihat pesisir selatan Cianjur hijau yang berarti sekaligus menjaga gumuk pasir yang telah menyelamatkan kami,” ujar Asep yang adalah warga asli Cidaun.
Asep kemudian berbagi pengalaman kenapa dia memilih pohon ketapang untuk menghijaukan pantai. ”Dulu pernah ada gerakan reboisasi oleh pemerintah dengan menggunakan tanaman bakau, tetapi gagal karena lahannya kering. Ternyata bakau hanya cocok untuk rawa pantai,” kata Asep.
Belajar dari kegagalan reboisasi pemerintah itu, Asep kemudian mulai mencari tahu apa tanaman yang paling cocok untuk gumuk pasir yang berkarakter lahan kering.
Dia kemudian menemukan pohon-pohon ketapang yang tumbuh kokoh di suatu kawasan pantai di Jabar. Dari hasil penelitiannya, pohon ketapang memang yang paling cocok di lahan pasir kering. Pohon ketapang bisa tumbuh rimbun dan memiliki perakaran sangat kuat sehingga mampu menahan erosi di muara sungai dan abrasi di sempadan pantai.
”Saya tidak pernah berpikir muluk-muluk, hanya punya keinginan untuk menyelamatkan gumuk pasir dan membuat pesisir selatan teduh. Siapa tahu, potensi keindahan panorama akan dilirik setelah pesisir teduh. Ini yang saya pikir bisa saya lakukan untuk generasi setelah saya,” ungkap Asep.
Berselang tiga bulan sejak memulai penanaman, pohon ketapang di Sindangbarang sudah setinggi orang dewasa. Keberadaan tanaman berdaun lebar itu juga makin menonjol dibandingkan dengan belukar dan tumbuhan perdu lainnya.
Pasir besi
Hal itu cukup memberi jawaban bagi banyak orang yang mencibir upaya Asep. Sebagian warga pesisir mulai bersimpati dengan gerakan yang dipelopori oleh Asep. Apalagi, pada saat yang bersamaan sebagian warga sedang dhinggapi demam penggalian pasir besi di lahan pantai.
Mereka menampung pasir besi yang terbawa ombak meskipun tidak menggali gumuk pasir. Namun, jika tak diawasi, bisa-bisa gumuk pasir juga menjadi sasaran. Untuk itu, Asep yang mulai mendapat dukungan dari nelayan dan banyak warga itu juga mendekati para penambang untuk memberi penjelasan soal pentingnya menjaga lingkungan.
”Mereka mengerti dan bahkan bersedia menyisihkan Rp 1.000 per meter kubik pasir besi yang mereka peroleh untuk mendukung gerakan penanaman lahan pantai. Sempadan pantai yang sudah ditanami menjadi tanggung jawab para penambang. Jika pohon sampai mati, mereka bersedia tidak melakukan penambangan selama tiga bulan,” kata Asep.
Selama ini, para penambang memang belum memperoleh hasil kajian yang menyatakan bahwa kegiatan para penambang itu bisa merusak lingkungan. ”Kalau memang sudah ada kajian, mereka bersedia berhenti,” kata Asep.
Setelah berhasil menggulirkan gerakan penghijauan pesisir selatan Cianjur, Asep berani memasang target untuk bisa mengajak lebih banyak orang lagi sehingga pesisir pantai selatan Cianjur sepanjang 63,1 kilometer seluruhnya bisa dihijaukan.
Film Sharkwater Extinction
4 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar