KOMPAS, Jumat, 13 Februari 2009 10:23 WIB
Sabdani (41) harap-harap cemas ketika hujan turun di persawahannya di Suranenggala Lor, Kecamatan Suranenggala, Kabupaten Cirebon, seperti Kamis (12/2). Ia memang berharap hujan turun dan bisa membuat tanamannya tumbuh, tetapi cemas hujan akan menimbulkan banjir seperti yang terjadi pada tahun-tahun sebelumnya.
Limpahan air menjadi persoalan bagi sawahnya setiap tahun. Tahun lalu, ia terpaksa menanami ulang 0,7 hektar sawahnya karena terendam banjir lebih dari seminggu. Padahal, sebagian tanaman itu sudah dipupuk dan disemprot pestisida. Modal Rp 1 juta terpaksa melayang. Dua tahun sebelumnya, ia bahkan gagal panen karena sawahnya terendam banjir. Baru sekarang saja ia bisa merasa tenang karena banjir tidak terjadi hingga pertengahan Februari.
Tidak hanya Sabdani, Casman (34), buruh tani dari Desa Kali- anyar, Kecamatan Krangkeng, Kabupaten Indramayu, pun merasa khawatir saat hujan tiba. Tahun lalu, hampir dua bulan ia tidak bisa bekerja karena persawahan di desanya terendam banjir.
Daerah pesisir di Cirebon dan Indramayu memang menjadi langganan banjir setiap tahun. Di Desa Karanganyar, Kecamatan Kandanghaur, banjir bahkan selalu masuk ke rumah warga. Ironisnya, ketika musim kemarau tiba, desa-desa di pesisir itu kering tak kebagian air. Kemarau tahun lalu, PDAM di Kecamatan Kapetakan bahkan tidak bisa melayani 4.000 pelanggan karena air di sungai Kumpulkuista, yang menjadi sumber air baku PDAM, kering. Warga Desa Bungko lor pun harus berebut air suplai PDAM untuk persediaan air minum. Rawan bencana
Kekeringan tak hanya melanda wilayah utara. Di wilayah timur Cirebon, seperti Kecamatan Mundu, kekeringan juga terjadi. Padahal, di Mundu sudah ada Situ Patok, situ yang mengairi persawahan di sekitarnya.
Muhammad Derajat, staf Unit Pelayanan Teknis Dinas Pertanian Perkebunan, Peternakan, dan Kehutanan Kabupaten Cirebon, mengatakan, fungsi Situ Patok kini menurun. Jika 20 tahun lalu air dari situ itu masih bisa mengairi daerah Mundu, Astanajapura, dan Greget, bahkan menjadi pemasok air di perkebunan tebu di Sindanglaut, Cirebon, kini air Situ Patok tak cukup untuk wilayah Mundu saja.
Kepala Bidang Evaluasi Potensi Bencana Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral Gatot Sudradjat mengatakan, pesisir utara memang rawan bencana banjir dan kekeringan. Itu disebabkan berkurangnya fungsi serapan air di daerah hulu. Agar bencana bisa diminimalisasi, perbaikan dari hulu hingga hilir harus segera dilakukan secara serius.
Pengerukan sungai untuk mencegah banjir di hilir, menurut dia, tidak efektif selama perbaikan di hulu tidak dilakukan. Dana untuk pembangunan infrastruktur guna mencegah bencana, kata Enggar Tiasto Lukita, anggota DPR Komisi V, juga terbatas.
Jika penanggulangan bencana masih dilakukan parsial, mungkin bencana kekeringan dan kebanjiran tidak akan bisa terselesaikan dengan tuntas. Banjir dan kekeringan akan tetap menjadi langganan, bahkan mungkin kian parah. Produksi pertanian bisa jadi menurun. Kalau sudah begitu, yang menderita tidak hanya petani dan warga pesisir yang terkena bencana. Semua warga pun akan ikut terkena imbasnya. (Siwi Yunita Cahyaningrum)
Sabdani (41) harap-harap cemas ketika hujan turun di persawahannya di Suranenggala Lor, Kecamatan Suranenggala, Kabupaten Cirebon, seperti Kamis (12/2). Ia memang berharap hujan turun dan bisa membuat tanamannya tumbuh, tetapi cemas hujan akan menimbulkan banjir seperti yang terjadi pada tahun-tahun sebelumnya.
Limpahan air menjadi persoalan bagi sawahnya setiap tahun. Tahun lalu, ia terpaksa menanami ulang 0,7 hektar sawahnya karena terendam banjir lebih dari seminggu. Padahal, sebagian tanaman itu sudah dipupuk dan disemprot pestisida. Modal Rp 1 juta terpaksa melayang. Dua tahun sebelumnya, ia bahkan gagal panen karena sawahnya terendam banjir. Baru sekarang saja ia bisa merasa tenang karena banjir tidak terjadi hingga pertengahan Februari.
Tidak hanya Sabdani, Casman (34), buruh tani dari Desa Kali- anyar, Kecamatan Krangkeng, Kabupaten Indramayu, pun merasa khawatir saat hujan tiba. Tahun lalu, hampir dua bulan ia tidak bisa bekerja karena persawahan di desanya terendam banjir.
Daerah pesisir di Cirebon dan Indramayu memang menjadi langganan banjir setiap tahun. Di Desa Karanganyar, Kecamatan Kandanghaur, banjir bahkan selalu masuk ke rumah warga. Ironisnya, ketika musim kemarau tiba, desa-desa di pesisir itu kering tak kebagian air. Kemarau tahun lalu, PDAM di Kecamatan Kapetakan bahkan tidak bisa melayani 4.000 pelanggan karena air di sungai Kumpulkuista, yang menjadi sumber air baku PDAM, kering. Warga Desa Bungko lor pun harus berebut air suplai PDAM untuk persediaan air minum. Rawan bencana
Kekeringan tak hanya melanda wilayah utara. Di wilayah timur Cirebon, seperti Kecamatan Mundu, kekeringan juga terjadi. Padahal, di Mundu sudah ada Situ Patok, situ yang mengairi persawahan di sekitarnya.
Muhammad Derajat, staf Unit Pelayanan Teknis Dinas Pertanian Perkebunan, Peternakan, dan Kehutanan Kabupaten Cirebon, mengatakan, fungsi Situ Patok kini menurun. Jika 20 tahun lalu air dari situ itu masih bisa mengairi daerah Mundu, Astanajapura, dan Greget, bahkan menjadi pemasok air di perkebunan tebu di Sindanglaut, Cirebon, kini air Situ Patok tak cukup untuk wilayah Mundu saja.
Kepala Bidang Evaluasi Potensi Bencana Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral Gatot Sudradjat mengatakan, pesisir utara memang rawan bencana banjir dan kekeringan. Itu disebabkan berkurangnya fungsi serapan air di daerah hulu. Agar bencana bisa diminimalisasi, perbaikan dari hulu hingga hilir harus segera dilakukan secara serius.
Pengerukan sungai untuk mencegah banjir di hilir, menurut dia, tidak efektif selama perbaikan di hulu tidak dilakukan. Dana untuk pembangunan infrastruktur guna mencegah bencana, kata Enggar Tiasto Lukita, anggota DPR Komisi V, juga terbatas.
Jika penanggulangan bencana masih dilakukan parsial, mungkin bencana kekeringan dan kebanjiran tidak akan bisa terselesaikan dengan tuntas. Banjir dan kekeringan akan tetap menjadi langganan, bahkan mungkin kian parah. Produksi pertanian bisa jadi menurun. Kalau sudah begitu, yang menderita tidak hanya petani dan warga pesisir yang terkena bencana. Semua warga pun akan ikut terkena imbasnya. (Siwi Yunita Cahyaningrum)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar