KMPAS, Selasa, 27 Januari 2009 01:29 WIB
Gerbang Plawangan yang merupakan pintu pertemuan air sungai yang bermuara di Segara Anakan dengan laut lepas kini kian sempit dan dangkal, Senin ( 15/ 12).
Penangkapan hiu dan lompatan lumba-lumba merupakan pemandangan paling disukai Kuswadi (30), warga Desa Majingklak, Kecamatan Kalipucang, Ciamis, Jawa Barat, kala mengarungi Laguna Segara Anakan di waktu kecil, sekitar 23 tahun silam. Kini, jangankan hiu dan lumba-lumba, ikan teri dan kepiting laut pun nyaris tak ada di laguna terbesar di Jawa itu. Bahkan, riwayat laguna nyaris tinggal hikayat.
Segara Anakan kini tak lebih sebagai bentangan tanah-tanah timbul di utara Pulau Nusakambangan. Sedimentasi besar-besaran telah mengubah bentang alam kawasan ini. Luasan laguna kini tak lebih dari 500 hektar, atau seperenam dari luas laguna tersebut pada 1984 yang kala itu 3.270 ha (data dari Departemen Pekerjaan Umum). Itu pun 70 persen adalah perairan dangkal yang kedalamannya 50 sentimeter sampai 100 cm.
”Mungkin 10 tahun lagi saya tak menjadi nelayan lagi di sini karena laguna ini hilang. Berarti, saya harus siap-siap bekerja di daratan. Lihat saja, semuanya sudah jadi pulau. Padahal, lima tahun lalu saja belum parah kayak gini,” tutur Kuswadi getir, pertengahan Desember lalu.
Kekhawatiran itu barangkali mewakili kegundahan semua warga di sekitar laguna tersebut. Puluhan tahun mereka berharap ada penanganan terhadap sedimentasi di laguna, tetapi puluhan tahun pula nyaris tak ada langkah konkret dan signifikan untuk mengatasi masalah tersebut.
Solusi yang ada selama ini baru sebatas pertarungan konsep dan argumentasi. Beberapa konsep ditawarkan, mulai dari pembuatan tanggul di sisi kanan dan kiri Sungai Citanduy, pembuatan area penampung, pembiaran Segara Anakan sebagai daratan, hingga penyudetan Sungai Citanduy.
Kenyataannya, konsep-konsep tersebut hanya macan kertas. Memang, sejumlah instansi terkait sudah melakukan beberapa langkah penyelamatan itu, mulai dari pengerukan sampai pembuatan daerah tangkapan di hulu. Namun, upaya itu serasa berjalan bagaikan deret hitung dibanding laju sedimentasi Citanduy, Cimeneng, dan Cibereum yang kian tak terkendali.
Antara tahun 2000 dan 2005, tiga kali Segara Anakan dikeruk, yaitu di titik Plawangan, selatan Desa Karanganyar, dan dekat muara. Namun, hasil pengerukan nyaris tak berbekas. Plawangan yang merupakan gerbang pertemuan sungai dengan laut selatan bahkan kini nyaris tertutup sedimentasi.
Debit air
Pengamatan Kompas, kedalaman Plawangan hanya satu sampai lima meter. Padahal, saat ini musim hujan dan debit air Cintaduy sedang besar-besarnya. Pada musim kemarau, perairan dangkal tersebut menjadi lumpur timbul. Pintu di Kabuyutan, 300 meter utara gerbang Plawangan, menyempit dari 500 meter menjadi 150 meter.
Menurut warga sekitar Laguna, laju penyempitan dan pendangkalan di Plawangan itu makin cepat dalam empat tahun terakhir. Kondisi tersebut menimbulkan dampak sangat besar bagi degradasi lingkungan di Segara Anakan. Kini, nyaris tak ada lagi ikan yang memijahkan telur di Segara Anakan karena kesulitan masuk ke darat.
Lumpur sungai juga tak dapat langsung meluncur ke laut lepas karena tertahan tumpukan sedimentasi. Gelombang laut di celah Plawangan semakin besar karena tertahan sedimentasi pula sehingga mempersulit nelayan melaut ke lepas pantai.
Dampak terbesar adalah laju sedimentasi di kawasan laguna kian cepat. Bekas pengerukan lumpur di dekat Desa Karanganyar kini tak ada lagi. Kawasan tersebut justru terus tumbuh menjadi lahan timbul. Bila hujan deras di hulu tiba, air masih menggenang, tetapi dengan kedalaman 50 cm.
”Di sini sudah dikeruk tiga kali. Tiap pengerukan, dulu, sampai 750.000 meter kubik pada tahun 2003. Sekarang lihat saja, sudah dangkal lagi,” ujar Suripto (45), warga Desa Karanganyar, Kecamatan Kampung Laut, Cilacap, Jawa Tengah.
Dampak besar lainnya adalah nyaris punahnya biota laut dan air payau di laguna ini. Sejak lima tahun terakhir, tak ada nelayan yang berburu ikan di laguna. Padahal, pada tahun 1980-an sampai 1990-an, hampir semua jenis ikan dapat ditangkap di laguna ini, mulai dari kerapu merah, cumi-cumi, gurita, bawal putih, kakap putih, layur, pari, sotong, sidat, hingga ikan hiu.
Ikan-ikan itu tak lagi menyambangi laguna ini karena desakan sedimentasi, hilangnya terumbu karang yang tertutup lumpur, dan rusaknya mangrove.
Hutan mangrove di wilayah itu kini tinggal 8.359 ha. Itu pun data tahun 2003. Padahal, tahun 1974 masih 15.551 ha. ”Berkurangnya luasan mangrove itu akibat pembalakan liar oleh warga di Segara Anakan maupun dari luar kawasan itu,” kata Kepala Badan Pengelola Kawasan Segara Anakan (BPKSA) Cilacap Supriyanto. Dengan sulitnya pengendalian pembalakan mangrove, luasan hutan mangrove di kawasan ini sekarang diperkirakan jauh berkurang lagi.
Punahnya biota laut itu menjadi tekanan ekonomi yang sangat besar bagi 14.000 lebih warga di Kampung Laut dan Majingklak. Mereka tak lagi dapat menggantungkan diri hidup dari laguna. Sebagian nelayan yang mempunyai cukup modal memilih melaut ke laut lepas. Sebagian lainnya bercocok tanam di lahan timbul. Akan tetapi, bercocok tanam bukan hal yang mudah bagi mereka. Secara turun-temurun, mereka tak pernah mewarisi tradisi bertani. Akibatnya, hasil pertanian mereka tak produktif.
Ada pula warga yang nekat bercocok tanam di Pulau Nusakambangan. Hal itu mengancam kelestarian lingkungan dan ketersediaan air di pulau tersebut yang selama ini menjadi sumber utama air bersih warga Kampung Laut dan Majingklak.
Sedimentasi
Di sisi lain, sedimentasi kian tahun tak pernah surut. Bahkan, diyakini makin besar seiring kian rusaknya hutan dan hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Citanduy, Cimeneng, dan Cibereum—tiga sungai besar yang bermuara ke laguna.
Supriyanto mengungkapkan, pada tahun 1984 luas Laguna Segara Anakan mencapai 2.906 ha. Pada tahun 1994 atau 10 tahun kemudian menyusut 1.331 ha menjadi 1.575 ha. Luasan tersebut kembali turun pada tahun 2005 atau 11 tahun kemudian menjadi 834 ha. Artinya, dalam kurun waktu 21 tahun, terjadi penyusutan luasan laguna 2.072 ha atau 98,6 ha per tahun.
Akan tetapi, dengan total sedimentasi yang masuk dari tiga sungai, yaitu Citanduy, Cimeneng, dan Cikawung yang mencapai lima juta meter kubik per tahun, diperkirakan luasan laguna saat ini kian menyempit lagi. Apalagi data laju sedimentasi itu dibuat tahun 1994.
Sebagai ilustrasi, menurut warga di laguna ini, sebelum tahun 2000-an, bila di hulu Citanduy hujan deras, seminggu kemudian banjir baru dirasakan di muara. Namun, kini, bila kawasan hulu Cintaduy hujan deras pada pagi hari, sorenya banjir langsung terjadi di muara dan membawa lumpur beribu-ribu meter kubik.
Terkait kerusakan di DAS, kata Supriyanto, BPKSA bekerja sama dengan Pemerintah Kabupaten Cilacap, Pemprov Jateng, dan sejumlah kabupaten di wilayah DAS membuat daerah resapan serta tangkapan air. Penghijauan pun juga mulai dilakukan dengan menanam tanaman keras di pinggir sungai.
Sayangnya, gerakan tersebut jauh dari masif. Langkah lebih komprehensif tak kunjung dilakukan. Rencana penyudetan Sungai Citanduy yang diyakini sebagai solusi besar pun mengambang. Kekhawatiran konflik antarwarga di sekitar Segara Anakan dengan nelayan di Pangandaran lebih mengemuka.
Deputi Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Bidang Kependudukan, Kesehatan, dan Lingkungan Hidup Emil Agustiono menandaskan, masalah di kawasan Segara Anakan adalah masalah nasional.
Dia berharap semua pihak mau duduk bersama dan menyelesaikan masalah Segara Anakan dengan kepala dingin. Penyelamatan lingkungan demi kemaslahatan manusia dan kehidupan hayati lainnya harus menjadi titik tolak utama.
”Karena itu, penyelesaiannya harus bersama-sama, melibatkan semua instansi, wilayah, dan mitra kerja. Kami akan segera rapat koordinasi untuk mengatasi masalah ini,” tutur dia.Langkah konkret pemerintah dan semua pihak terkait tentunya sangat ditunggu realisasinya. Langkah konkret yang bukan sekadar proyek sesaat, tetapi tepat sasaran. (M Burhanudin)
Penangkapan hiu dan lompatan lumba-lumba merupakan pemandangan paling disukai Kuswadi (30), warga Desa Majingklak, Kecamatan Kalipucang, Ciamis, Jawa Barat, kala mengarungi Laguna Segara Anakan di waktu kecil, sekitar 23 tahun silam. Kini, jangankan hiu dan lumba-lumba, ikan teri dan kepiting laut pun nyaris tak ada di laguna terbesar di Jawa itu. Bahkan, riwayat laguna nyaris tinggal hikayat.
Segara Anakan kini tak lebih sebagai bentangan tanah-tanah timbul di utara Pulau Nusakambangan. Sedimentasi besar-besaran telah mengubah bentang alam kawasan ini. Luasan laguna kini tak lebih dari 500 hektar, atau seperenam dari luas laguna tersebut pada 1984 yang kala itu 3.270 ha (data dari Departemen Pekerjaan Umum). Itu pun 70 persen adalah perairan dangkal yang kedalamannya 50 sentimeter sampai 100 cm.
”Mungkin 10 tahun lagi saya tak menjadi nelayan lagi di sini karena laguna ini hilang. Berarti, saya harus siap-siap bekerja di daratan. Lihat saja, semuanya sudah jadi pulau. Padahal, lima tahun lalu saja belum parah kayak gini,” tutur Kuswadi getir, pertengahan Desember lalu.
Kekhawatiran itu barangkali mewakili kegundahan semua warga di sekitar laguna tersebut. Puluhan tahun mereka berharap ada penanganan terhadap sedimentasi di laguna, tetapi puluhan tahun pula nyaris tak ada langkah konkret dan signifikan untuk mengatasi masalah tersebut.
Solusi yang ada selama ini baru sebatas pertarungan konsep dan argumentasi. Beberapa konsep ditawarkan, mulai dari pembuatan tanggul di sisi kanan dan kiri Sungai Citanduy, pembuatan area penampung, pembiaran Segara Anakan sebagai daratan, hingga penyudetan Sungai Citanduy.
Kenyataannya, konsep-konsep tersebut hanya macan kertas. Memang, sejumlah instansi terkait sudah melakukan beberapa langkah penyelamatan itu, mulai dari pengerukan sampai pembuatan daerah tangkapan di hulu. Namun, upaya itu serasa berjalan bagaikan deret hitung dibanding laju sedimentasi Citanduy, Cimeneng, dan Cibereum yang kian tak terkendali.
Antara tahun 2000 dan 2005, tiga kali Segara Anakan dikeruk, yaitu di titik Plawangan, selatan Desa Karanganyar, dan dekat muara. Namun, hasil pengerukan nyaris tak berbekas. Plawangan yang merupakan gerbang pertemuan sungai dengan laut selatan bahkan kini nyaris tertutup sedimentasi.
Debit air
Pengamatan Kompas, kedalaman Plawangan hanya satu sampai lima meter. Padahal, saat ini musim hujan dan debit air Cintaduy sedang besar-besarnya. Pada musim kemarau, perairan dangkal tersebut menjadi lumpur timbul. Pintu di Kabuyutan, 300 meter utara gerbang Plawangan, menyempit dari 500 meter menjadi 150 meter.
Menurut warga sekitar Laguna, laju penyempitan dan pendangkalan di Plawangan itu makin cepat dalam empat tahun terakhir. Kondisi tersebut menimbulkan dampak sangat besar bagi degradasi lingkungan di Segara Anakan. Kini, nyaris tak ada lagi ikan yang memijahkan telur di Segara Anakan karena kesulitan masuk ke darat.
Lumpur sungai juga tak dapat langsung meluncur ke laut lepas karena tertahan tumpukan sedimentasi. Gelombang laut di celah Plawangan semakin besar karena tertahan sedimentasi pula sehingga mempersulit nelayan melaut ke lepas pantai.
Dampak terbesar adalah laju sedimentasi di kawasan laguna kian cepat. Bekas pengerukan lumpur di dekat Desa Karanganyar kini tak ada lagi. Kawasan tersebut justru terus tumbuh menjadi lahan timbul. Bila hujan deras di hulu tiba, air masih menggenang, tetapi dengan kedalaman 50 cm.
”Di sini sudah dikeruk tiga kali. Tiap pengerukan, dulu, sampai 750.000 meter kubik pada tahun 2003. Sekarang lihat saja, sudah dangkal lagi,” ujar Suripto (45), warga Desa Karanganyar, Kecamatan Kampung Laut, Cilacap, Jawa Tengah.
Dampak besar lainnya adalah nyaris punahnya biota laut dan air payau di laguna ini. Sejak lima tahun terakhir, tak ada nelayan yang berburu ikan di laguna. Padahal, pada tahun 1980-an sampai 1990-an, hampir semua jenis ikan dapat ditangkap di laguna ini, mulai dari kerapu merah, cumi-cumi, gurita, bawal putih, kakap putih, layur, pari, sotong, sidat, hingga ikan hiu.
Ikan-ikan itu tak lagi menyambangi laguna ini karena desakan sedimentasi, hilangnya terumbu karang yang tertutup lumpur, dan rusaknya mangrove.
Hutan mangrove di wilayah itu kini tinggal 8.359 ha. Itu pun data tahun 2003. Padahal, tahun 1974 masih 15.551 ha. ”Berkurangnya luasan mangrove itu akibat pembalakan liar oleh warga di Segara Anakan maupun dari luar kawasan itu,” kata Kepala Badan Pengelola Kawasan Segara Anakan (BPKSA) Cilacap Supriyanto. Dengan sulitnya pengendalian pembalakan mangrove, luasan hutan mangrove di kawasan ini sekarang diperkirakan jauh berkurang lagi.
Punahnya biota laut itu menjadi tekanan ekonomi yang sangat besar bagi 14.000 lebih warga di Kampung Laut dan Majingklak. Mereka tak lagi dapat menggantungkan diri hidup dari laguna. Sebagian nelayan yang mempunyai cukup modal memilih melaut ke laut lepas. Sebagian lainnya bercocok tanam di lahan timbul. Akan tetapi, bercocok tanam bukan hal yang mudah bagi mereka. Secara turun-temurun, mereka tak pernah mewarisi tradisi bertani. Akibatnya, hasil pertanian mereka tak produktif.
Ada pula warga yang nekat bercocok tanam di Pulau Nusakambangan. Hal itu mengancam kelestarian lingkungan dan ketersediaan air di pulau tersebut yang selama ini menjadi sumber utama air bersih warga Kampung Laut dan Majingklak.
Sedimentasi
Di sisi lain, sedimentasi kian tahun tak pernah surut. Bahkan, diyakini makin besar seiring kian rusaknya hutan dan hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Citanduy, Cimeneng, dan Cibereum—tiga sungai besar yang bermuara ke laguna.
Supriyanto mengungkapkan, pada tahun 1984 luas Laguna Segara Anakan mencapai 2.906 ha. Pada tahun 1994 atau 10 tahun kemudian menyusut 1.331 ha menjadi 1.575 ha. Luasan tersebut kembali turun pada tahun 2005 atau 11 tahun kemudian menjadi 834 ha. Artinya, dalam kurun waktu 21 tahun, terjadi penyusutan luasan laguna 2.072 ha atau 98,6 ha per tahun.
Akan tetapi, dengan total sedimentasi yang masuk dari tiga sungai, yaitu Citanduy, Cimeneng, dan Cikawung yang mencapai lima juta meter kubik per tahun, diperkirakan luasan laguna saat ini kian menyempit lagi. Apalagi data laju sedimentasi itu dibuat tahun 1994.
Sebagai ilustrasi, menurut warga di laguna ini, sebelum tahun 2000-an, bila di hulu Citanduy hujan deras, seminggu kemudian banjir baru dirasakan di muara. Namun, kini, bila kawasan hulu Cintaduy hujan deras pada pagi hari, sorenya banjir langsung terjadi di muara dan membawa lumpur beribu-ribu meter kubik.
Terkait kerusakan di DAS, kata Supriyanto, BPKSA bekerja sama dengan Pemerintah Kabupaten Cilacap, Pemprov Jateng, dan sejumlah kabupaten di wilayah DAS membuat daerah resapan serta tangkapan air. Penghijauan pun juga mulai dilakukan dengan menanam tanaman keras di pinggir sungai.
Sayangnya, gerakan tersebut jauh dari masif. Langkah lebih komprehensif tak kunjung dilakukan. Rencana penyudetan Sungai Citanduy yang diyakini sebagai solusi besar pun mengambang. Kekhawatiran konflik antarwarga di sekitar Segara Anakan dengan nelayan di Pangandaran lebih mengemuka.
Deputi Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Bidang Kependudukan, Kesehatan, dan Lingkungan Hidup Emil Agustiono menandaskan, masalah di kawasan Segara Anakan adalah masalah nasional.
Dia berharap semua pihak mau duduk bersama dan menyelesaikan masalah Segara Anakan dengan kepala dingin. Penyelamatan lingkungan demi kemaslahatan manusia dan kehidupan hayati lainnya harus menjadi titik tolak utama.
”Karena itu, penyelesaiannya harus bersama-sama, melibatkan semua instansi, wilayah, dan mitra kerja. Kami akan segera rapat koordinasi untuk mengatasi masalah ini,” tutur dia.Langkah konkret pemerintah dan semua pihak terkait tentunya sangat ditunggu realisasinya. Langkah konkret yang bukan sekadar proyek sesaat, tetapi tepat sasaran. (M Burhanudin)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar