KOMPAS, Selasa, 27 Januari 2009 01:28 WIB Oleh: AGUNG SETYAHADI
Burung-burung air (waterfowl) di Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai (TNRAW) merupakan salah satu keindahan alam yang menarik untuk wisata pengamatan burung. Kelestarian TNRAW harus dijaga karena menjadi habitat berbagai satwa liar dan pengontrol siklus air.
Kepak sayap dan ceracau puluhan burung bangau yang terkejut oleh kemunculan manusia memecah kesunyian Rawa Aopa. Burung-burung air itu berpindah ke gerumbul pandan yang lebih jauh sambil mengamati laju perahu yang dikayuh perlahan menyusuri air rawa yang berkilat-kilat memantulkan sinar matahari.
Makkarate (58) dan Ansar (28) terus mendayung sampan yang kami tumpangi. Gerumbul-gerumbul totele (pandan rawa) dan rumput gelagah yang tumbuh menumpang gumpalan-gumpalan gambut membentuk jalur-jalur air seperti jalan raya. Di ujung jalur yang kami susuri, rumput setinggi satu meter menutup jalan. Makkarate dengan yakin mengarahkan haluan perahu menembus pembatas alam itu. Ternyata di baliknya terdapat lagi jalur yang terbuka.
Lelaki kurus berkulit gelap terpanggang matahari itu menjelajahi Rawa Aopa sejak 1977. Ia menempuh perjalanan panjang dari Sengkang, Sulawesi Selatan, ke Rawa Aopa di Sulawesi Tenggara untuk menjadi nelayan. Seluk beluk jalur Rawa Aopa sudah di luar kepala, termasuk lokasi yang banyak burung. Jika tidak hafal jalur, rawa berair gelap itu bisa menyesatkan karena banyak sekali alur-alur air.
Di sepanjang perjalanan, pemandangan dimanjakan oleh hamparan bunga-bunga teratai putih yang mulai mekar. Di bagian rawa yang dalam, bunga teratai merah seukuran piring makan mulai merekah. Warna-warna cerah bunga teratai kontras dengan air rawa yang datar, gelap, dan mistis.
Di tengah rawa itu, kita tercerabut dari hiruk pikuk kehidupan. Alam membisu, menyisakan kesunyian abadi yang sangat menenteramkan. Burung- burung pun lebih banyak membisu. Kadang-kadang desis angin merobek kesunyian rawa seluas 30.000 hektar itu.
Semakin ke tengah rawa, burung-burung air (waterfowl) semakin banyak. Bangau-bangau putih mematung sambil mengamati air, berharap ada ikan yang mendekat. Puluhan itik air berlarian di atas kulit air, mengejar gerombolan ikan. Langkah kaki itik-itik air itu menyebabkan deretan cipratan air di belakangnya, sungguh indah.
Di sebuah ceruk ilalang yang ditumbuhi teratai, sepasang burung sedang asyik bercengkrama. Mereka bersanding dan sesekali saling mematuk pelan kepala pasanganya, mirip dua sejoli yang sedang kasmaran.
Drama kehidupan burung- burung air di Rawa Aopa mudah diamati dibandingkan di hutan hujan tropis. Ruang terbuka yang begitu luas dan cahaya yang berlimpah di tengah rawa memudahkan pengamatan. Bahkan, tanpa menggunakan binokuler maupun monokuler, burung-burung air masih jelas teramati karena ukuran tubuhnya besar.
Penggemar fotografi juga lebih leluasa mengabadikan drama kehidupan burung di Rawa Aopa. Berbekal lensa dengan panjang fokal 200 milimeter pun sudah memadai. Idealnya, menggunakan lensa 300 milimeter. Selain jarak pengamatan yang relatif dekat, ukuran burung air rata-rata besar.
Rawa Aopa menjadi habitat berbagai jenis burung air yang eksotis. Universitas Leeds dari Inggris bekerja sama dengan Symbiose Birdwatcher Club dari Universitas Indonesia, pada 2004, mencatat 155 jenis burung di Rawa Aopa, 37 jenis di antaranya endemik Sulawesi.
Pengamat burung bisa membawa buku panduan pengenalan burung-burung air yang disusun oleh Balai Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai (TNRAW). Beberapa burung yang dicantumkan beserta gambar antara lain cekakak sungai (Halcyon chloris), cekakak merah (Halcyon coromanda), itik gunung (Anas superciliosa), Belibis kembang (Dendrocygna arquata), dan pecuk-ular asia (Anhinga melanogaster).
Ada juga burung cangak laut (Ardea sumatrana), blekok sawah (Ardeola speciosa), kuntul kerbau (Bubulcus ibis), kuntul besar (Egretta alba), kuntul perak (Egretta intermedia), kuntul karang (Egretta sacra), bangau hitam (Ciconia episcopus).
Jika beruntung, si cantik aroweli atau bangau bluwok (Mycteria cinerea) bisa dijumpai di Rawa Aopa. Burung yang langsing dan berbulu putih ini panjangnya mencapai satu meter. Pada masa berbiak, kulit muka merah, menambah anggun burung yang dilindungi dan terancam punah ini.
Setelah puas berkeliling sebagian kecil rawa yang luasnya 30.000 ha itu, kita bisa beristirahat di Pulau Harapan II. Pulau kecil ini bertanah padat dan ditumbuhi pohon-pohon keras, berbeda dengan gundukan-gundukan gambut yang lembek dan hanya ditumbuhi pandan serta rumput.
Deretan bukit
Bentang rawa yang luas, dikurung deretan bukit, bisa diamati dari atas menara pengamatan di Pulau Harapan II. Dari ketinggian 25 meter terlihat perahu-perahu nelayan yang sedang menebar jaring. Di anjungan pulau, beberapa sampan sandar menunggu empunya istirahat di teduhan pohon kelapa.
Sembari istirahat di Pulau Harapan II, kita bisa menikmati ikan hasil tangkapan nelayan, Rp 10.000-Rp 15.000 per tusuk isi lima ikan. Para nelayan juga bersedia membakarkan ikan gabus atau mujair untuk kita nikmati. Hmm... gurih dan lezat.
Rawa Aopa bisa ditempuh 1,5-2 jam menggunakan mobil pribadi atau kendaraan umum dari Kendari, ibu kota Sulawesi Tenggara. Jika menyewa mobil biayanya sekitar Rp 500.000 per hari, di luar bahan bakar. Biaya bisa lebih ringan jika ditanggung bersama teman-teman seperjalanan.
Perjalanan sebaiknya disesuaikan dengan waktu burung-burung keluar mencari makan, pagi pukul 06.00-09.00 WITA atau sore sekitar pukul 16.00-18.00 WITA. Perjalanan darat berakhir di Kantor Seksi Pengelolaan TNRAW Wilayah I Desa Pewutaa, Kecamatan Angata, Kabupaten Konawe Selatan.
Di kantor ini, kita melapor terlebih dahulu dan memperoleh panduan dari petugas TNRAW. Kita juga bisa dicarikan perahu katinting untuk menelusuri rawa dengan biaya sekitar Rp 150.000-Rp 250.000 sekali jalan. Bagi yang kurang yakin dengan kestabilan sampan, sebaiknya menggunakan dua sampan yang diikat menjadi satu supaya lebih stabil.
Sebelum menelusuri rawa, sebaiknya menggunakan lotion pelindung kulit dari sinar matahari. Cuaca yang terik menyebabkan kulit mudah terbakar, terutama yang berkulit sensitif. Jangan lupa mengenakan topi untuk melindungi sengatan langsung sinar matahari. Juga minuman penghilang dehidrasi supaya pengamatan burung lebih nyaman.
Kepak sayap dan ceracau puluhan burung bangau yang terkejut oleh kemunculan manusia memecah kesunyian Rawa Aopa. Burung-burung air itu berpindah ke gerumbul pandan yang lebih jauh sambil mengamati laju perahu yang dikayuh perlahan menyusuri air rawa yang berkilat-kilat memantulkan sinar matahari.
Makkarate (58) dan Ansar (28) terus mendayung sampan yang kami tumpangi. Gerumbul-gerumbul totele (pandan rawa) dan rumput gelagah yang tumbuh menumpang gumpalan-gumpalan gambut membentuk jalur-jalur air seperti jalan raya. Di ujung jalur yang kami susuri, rumput setinggi satu meter menutup jalan. Makkarate dengan yakin mengarahkan haluan perahu menembus pembatas alam itu. Ternyata di baliknya terdapat lagi jalur yang terbuka.
Lelaki kurus berkulit gelap terpanggang matahari itu menjelajahi Rawa Aopa sejak 1977. Ia menempuh perjalanan panjang dari Sengkang, Sulawesi Selatan, ke Rawa Aopa di Sulawesi Tenggara untuk menjadi nelayan. Seluk beluk jalur Rawa Aopa sudah di luar kepala, termasuk lokasi yang banyak burung. Jika tidak hafal jalur, rawa berair gelap itu bisa menyesatkan karena banyak sekali alur-alur air.
Di sepanjang perjalanan, pemandangan dimanjakan oleh hamparan bunga-bunga teratai putih yang mulai mekar. Di bagian rawa yang dalam, bunga teratai merah seukuran piring makan mulai merekah. Warna-warna cerah bunga teratai kontras dengan air rawa yang datar, gelap, dan mistis.
Di tengah rawa itu, kita tercerabut dari hiruk pikuk kehidupan. Alam membisu, menyisakan kesunyian abadi yang sangat menenteramkan. Burung- burung pun lebih banyak membisu. Kadang-kadang desis angin merobek kesunyian rawa seluas 30.000 hektar itu.
Semakin ke tengah rawa, burung-burung air (waterfowl) semakin banyak. Bangau-bangau putih mematung sambil mengamati air, berharap ada ikan yang mendekat. Puluhan itik air berlarian di atas kulit air, mengejar gerombolan ikan. Langkah kaki itik-itik air itu menyebabkan deretan cipratan air di belakangnya, sungguh indah.
Di sebuah ceruk ilalang yang ditumbuhi teratai, sepasang burung sedang asyik bercengkrama. Mereka bersanding dan sesekali saling mematuk pelan kepala pasanganya, mirip dua sejoli yang sedang kasmaran.
Drama kehidupan burung- burung air di Rawa Aopa mudah diamati dibandingkan di hutan hujan tropis. Ruang terbuka yang begitu luas dan cahaya yang berlimpah di tengah rawa memudahkan pengamatan. Bahkan, tanpa menggunakan binokuler maupun monokuler, burung-burung air masih jelas teramati karena ukuran tubuhnya besar.
Penggemar fotografi juga lebih leluasa mengabadikan drama kehidupan burung di Rawa Aopa. Berbekal lensa dengan panjang fokal 200 milimeter pun sudah memadai. Idealnya, menggunakan lensa 300 milimeter. Selain jarak pengamatan yang relatif dekat, ukuran burung air rata-rata besar.
Rawa Aopa menjadi habitat berbagai jenis burung air yang eksotis. Universitas Leeds dari Inggris bekerja sama dengan Symbiose Birdwatcher Club dari Universitas Indonesia, pada 2004, mencatat 155 jenis burung di Rawa Aopa, 37 jenis di antaranya endemik Sulawesi.
Pengamat burung bisa membawa buku panduan pengenalan burung-burung air yang disusun oleh Balai Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai (TNRAW). Beberapa burung yang dicantumkan beserta gambar antara lain cekakak sungai (Halcyon chloris), cekakak merah (Halcyon coromanda), itik gunung (Anas superciliosa), Belibis kembang (Dendrocygna arquata), dan pecuk-ular asia (Anhinga melanogaster).
Ada juga burung cangak laut (Ardea sumatrana), blekok sawah (Ardeola speciosa), kuntul kerbau (Bubulcus ibis), kuntul besar (Egretta alba), kuntul perak (Egretta intermedia), kuntul karang (Egretta sacra), bangau hitam (Ciconia episcopus).
Jika beruntung, si cantik aroweli atau bangau bluwok (Mycteria cinerea) bisa dijumpai di Rawa Aopa. Burung yang langsing dan berbulu putih ini panjangnya mencapai satu meter. Pada masa berbiak, kulit muka merah, menambah anggun burung yang dilindungi dan terancam punah ini.
Setelah puas berkeliling sebagian kecil rawa yang luasnya 30.000 ha itu, kita bisa beristirahat di Pulau Harapan II. Pulau kecil ini bertanah padat dan ditumbuhi pohon-pohon keras, berbeda dengan gundukan-gundukan gambut yang lembek dan hanya ditumbuhi pandan serta rumput.
Deretan bukit
Bentang rawa yang luas, dikurung deretan bukit, bisa diamati dari atas menara pengamatan di Pulau Harapan II. Dari ketinggian 25 meter terlihat perahu-perahu nelayan yang sedang menebar jaring. Di anjungan pulau, beberapa sampan sandar menunggu empunya istirahat di teduhan pohon kelapa.
Sembari istirahat di Pulau Harapan II, kita bisa menikmati ikan hasil tangkapan nelayan, Rp 10.000-Rp 15.000 per tusuk isi lima ikan. Para nelayan juga bersedia membakarkan ikan gabus atau mujair untuk kita nikmati. Hmm... gurih dan lezat.
Rawa Aopa bisa ditempuh 1,5-2 jam menggunakan mobil pribadi atau kendaraan umum dari Kendari, ibu kota Sulawesi Tenggara. Jika menyewa mobil biayanya sekitar Rp 500.000 per hari, di luar bahan bakar. Biaya bisa lebih ringan jika ditanggung bersama teman-teman seperjalanan.
Perjalanan sebaiknya disesuaikan dengan waktu burung-burung keluar mencari makan, pagi pukul 06.00-09.00 WITA atau sore sekitar pukul 16.00-18.00 WITA. Perjalanan darat berakhir di Kantor Seksi Pengelolaan TNRAW Wilayah I Desa Pewutaa, Kecamatan Angata, Kabupaten Konawe Selatan.
Di kantor ini, kita melapor terlebih dahulu dan memperoleh panduan dari petugas TNRAW. Kita juga bisa dicarikan perahu katinting untuk menelusuri rawa dengan biaya sekitar Rp 150.000-Rp 250.000 sekali jalan. Bagi yang kurang yakin dengan kestabilan sampan, sebaiknya menggunakan dua sampan yang diikat menjadi satu supaya lebih stabil.
Sebelum menelusuri rawa, sebaiknya menggunakan lotion pelindung kulit dari sinar matahari. Cuaca yang terik menyebabkan kulit mudah terbakar, terutama yang berkulit sensitif. Jangan lupa mengenakan topi untuk melindungi sengatan langsung sinar matahari. Juga minuman penghilang dehidrasi supaya pengamatan burung lebih nyaman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar