KOMPAS, Kamis, 12 Februari 2009 01:15 WIB Oleh: YUNI IKAWATI
Kekayaan spesies terumbu karang, ikan, dan biota laut lainnya tampak berlimpah di Perairan Alor, Nusa Tenggara Timur, pada Mei 2007. Segitiga Terumbu Karang yang disebut juga sebagai "Amazon of the Seas" mencakup wilayah perairan tengah dan timur Indonesia, Timor Leste, Filipina, Sabah-Malaysia, Papua Niugini, dan Kepulauan Salomon diperkirakan dihuni sekitar 3.000 spesies ikan.
Sumber kehidupan manusia masa depan terpendam di laut. Namun, harta karun itu—berupa berbagai jenis biota laut—sebagai bahan baku pangan, obat-obatan, dan kosmetik mulai terancam kehidupannya. Hal itu disebabkan terumbu karang—rumah mereka—terus dirusak dan dihancurkan.
Tingginya tingkat perkembangbiakan makhluk di laut itu tergantung dari kelestarian terumbu karang yang bukan hanya jadi tempat tinggalnya, tetapi juga sumber pakan dan lahan untuk berpijah.
Rumah-rumah ikan itu tidak terbangun di sembarang tempat, tetapi di laut dangkal yang bersuhu hangat di pesisir—dekat pulau. Itulah yang menyebabkan kawasan di Asia Tenggara—yang disebut juga Benua Maritim— menjadi kawasan terumbu karang terluas.
”Kerajaan ikan” ini yang disebut Segitiga Terumbu Karang mencakup kawasan yang luas di perairan tengah dan timur Indonesia, Timor Leste, Filipina, Sabah-Malaysia, Papua Niugini, dan Kepulauan Solomon di Samudra Pasifik.
Segitiga Terumbu Karang ini karena menjadi episenter kehidupan laut yang memiliki keragaman jenis biota laut yang tinggi disebut juga ”Amazon of the Seas”. Terumbu karang di kawasan ini mencakup 53 persen terumbu karang dunia
Di beberapa areal di Segitiga Terumbu Karang, seperti di perairan Raja Ampat, Maluku Utara, terdapat lebih dari 600 spesies koral atau lebih dari 75 persen spesies yang dikenal di dunia.
Di terumbu karang yang tersebar perairan di enam negara itu juga dihuni sekitar 3.000 spesies ikan, serta memiliki hutan mangrove yang paling luas di dunia. Segitiga Terumbu Karang juga menjadi tempat bertelur dan berkembang biaknya ikan tuna dalam jumlah yang terbesar di dunia. Tuna merupakan komoditas perikanan yang tergolong paling diminati di dunia.
Ancaman meningkat
Sayangnya Segitiga Terumbu Karang mulai terancam kelestariannya karena berbagai masalah pencemaran, dan cara penangkapan ikan yang merusak terumbu karang, misalnya dengan menggunakan bom dan racun. Saat ini data Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) menyebutkan terumbu karang yang masih dalam kondisi sangat baik tinggal 6,2 persen.
Belakangan ini diketahui kenaikan suhu muka laut yang menyebabkan gangguan cuaca, dan perubahan iklim akibat pemanasan global, juga mengancam kelangsungan hidup terumbu karang. Keberadaan koral juga mendapat tekanan ekonomi masyarakat pesisir yang umumnya miskin.
Penelitian yang dilakukan peneliti LIPI beberapa waktu lalu menyebutkan, kerusakan terumbu karang terbesar disebabkan oleh penangkapan ikan dengan menggunakan bom ikan. ”Penelitian menunjukkan, bahan peledak 0,5 kilogram bila diledakkan pada dasar terumbu karang menyebabkan matinya ikan yang berada sampai radius 10 meter dari pusat ledakan. Adapun terumbu karang yang hancur sama sekali sampai radius tiga meter dari pusat ledakan,” ujar Suharsono, Kepala Pusat Penelitian Oseanologi LIPI. Ledakan bom tidak hanya menghancurkan terumbu karang, tetapi juga berdampak buruk bagi usaha perikanan, pelestarian lingkungan, dan pariwisata.
Berbagai masalah itu menyebabkan Indonesia yang memiliki areal terumbu karang sekitar 60.000 kilometer persegi yang semestinya dapat diraih keuntungan 4,2 miliar dollar AS per tahun dari hasil ikan dan pemanfaatan sumber biota laut bernilai ekonomis lainnya. Namun, menurut data dari Departemen Kelautan dan Perikanan, yang terjadi justru sebaliknya. Pada tahun 2000 kerugian yang ditanggung mencapai 12 juta dollar AS atau lebih dari Rp 84 miliar per tahun akibat kerusakan terumbu karang.
Kerusakan itu juga menghilangkan peluang ekonomi dari hasil perikanan, turisme, dan fungsi terumbu karang sebagai penahan ombak yang bernilai paling sedikit 70.000 dollar AS per kilometer persegi. Kondisi terumbu karang di Indonesia yang baik memiliki nilai wisata selam 3.000 hingga 500.000 dollar AS per kilometer persegi.
Selain itu, terumbu karang tepian yang berperan menetralisasi kekuatan angin dan gelombang keberadaannya diperkirakan dapat menghemat biaya 25.000-550.000 dollar AS untuk perlindungan pantai dari erosi.
Sebaliknya jika terumbu karang rusak, diperlukan dana besar untuk pemulihannya dan memakan waktu lama hingga 50 tahun. ”Tingkat pemulihannya pun tidak 100 persen. Pasti ada spesies yang hilang permanen,” kata Suharsono.
Kampanye penyelamatan
Hal inilah yang mendorong Indonesia pada tahun 2000 mencanangkan kampanye rehabilitasi dan pengelolaan terumbu karang dengan slogan ”Selamatkan Terumbu Karang-Sekarang!” Program itu dilaksanakan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) bekerja sama dengan Departemen Kelautan dan Perikanan serta mendapat bantuan teknis dari The Johns Hopkins University, AS.
Melalui kampanye itu diharapkan kesadaran masyarakat dan pemerintah terhadap arti penting dan nilai strategis terumbu karang di Indonesia meningkat. Program yang dipersiapkan sejak tahun 1995 dan direncanakan akan berlanjut hingga 2013, sayangnya belakangan ini melemah gaungnya.
Isu penyelamatan terumbu karang, menurut Sekretaris Panitia World Ocean Conference 2009 dan Coral Triangle Initiative Summit, Indroyono Susilo, akan diangkat kembali agar menjadi perhatian dunia.
Hal ini, kata Indroyono yang juga Ketua ISOI (Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia), terkait dengan ancaman yang kian besar terhadap kelestariannya karena dampak perubahan iklim, berupa kenaikan suhu muka laut dan kenaikan permukaan air laut. Pertemuan CTI ini akan berlangsung di Manado, Sulut, pada 15 Mei mendatang.
Dalam pertemuan terdahulu, ujar Indroyono yang juga menjabat Sekretaris Menko Kesra, dari beberapa negara berhasil dihimpun dana hibah 250 juta dollar AS untuk menyelamatkan terumbu karang di Segitiga Terumbu Karang.
Namun untuk memperoleh dana itu, ujarnya, tiap negara yang berada di kawasan itu perlu menyusun program yang jelas dalam upaya penyelamatan terumbu karang yang menjadi warisan dunia yang sangat berharga itu. Indonesia harus memegang peranan besar dalam hal ini.
Kekayaan spesies terumbu karang, ikan, dan biota laut lainnya tampak berlimpah di Perairan Alor, Nusa Tenggara Timur, pada Mei 2007. Segitiga Terumbu Karang yang disebut juga sebagai "Amazon of the Seas" mencakup wilayah perairan tengah dan timur Indonesia, Timor Leste, Filipina, Sabah-Malaysia, Papua Niugini, dan Kepulauan Salomon diperkirakan dihuni sekitar 3.000 spesies ikan.
Sumber kehidupan manusia masa depan terpendam di laut. Namun, harta karun itu—berupa berbagai jenis biota laut—sebagai bahan baku pangan, obat-obatan, dan kosmetik mulai terancam kehidupannya. Hal itu disebabkan terumbu karang—rumah mereka—terus dirusak dan dihancurkan.
Tingginya tingkat perkembangbiakan makhluk di laut itu tergantung dari kelestarian terumbu karang yang bukan hanya jadi tempat tinggalnya, tetapi juga sumber pakan dan lahan untuk berpijah.
Rumah-rumah ikan itu tidak terbangun di sembarang tempat, tetapi di laut dangkal yang bersuhu hangat di pesisir—dekat pulau. Itulah yang menyebabkan kawasan di Asia Tenggara—yang disebut juga Benua Maritim— menjadi kawasan terumbu karang terluas.
”Kerajaan ikan” ini yang disebut Segitiga Terumbu Karang mencakup kawasan yang luas di perairan tengah dan timur Indonesia, Timor Leste, Filipina, Sabah-Malaysia, Papua Niugini, dan Kepulauan Solomon di Samudra Pasifik.
Segitiga Terumbu Karang ini karena menjadi episenter kehidupan laut yang memiliki keragaman jenis biota laut yang tinggi disebut juga ”Amazon of the Seas”. Terumbu karang di kawasan ini mencakup 53 persen terumbu karang dunia
Di beberapa areal di Segitiga Terumbu Karang, seperti di perairan Raja Ampat, Maluku Utara, terdapat lebih dari 600 spesies koral atau lebih dari 75 persen spesies yang dikenal di dunia.
Di terumbu karang yang tersebar perairan di enam negara itu juga dihuni sekitar 3.000 spesies ikan, serta memiliki hutan mangrove yang paling luas di dunia. Segitiga Terumbu Karang juga menjadi tempat bertelur dan berkembang biaknya ikan tuna dalam jumlah yang terbesar di dunia. Tuna merupakan komoditas perikanan yang tergolong paling diminati di dunia.
Ancaman meningkat
Sayangnya Segitiga Terumbu Karang mulai terancam kelestariannya karena berbagai masalah pencemaran, dan cara penangkapan ikan yang merusak terumbu karang, misalnya dengan menggunakan bom dan racun. Saat ini data Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) menyebutkan terumbu karang yang masih dalam kondisi sangat baik tinggal 6,2 persen.
Belakangan ini diketahui kenaikan suhu muka laut yang menyebabkan gangguan cuaca, dan perubahan iklim akibat pemanasan global, juga mengancam kelangsungan hidup terumbu karang. Keberadaan koral juga mendapat tekanan ekonomi masyarakat pesisir yang umumnya miskin.
Penelitian yang dilakukan peneliti LIPI beberapa waktu lalu menyebutkan, kerusakan terumbu karang terbesar disebabkan oleh penangkapan ikan dengan menggunakan bom ikan. ”Penelitian menunjukkan, bahan peledak 0,5 kilogram bila diledakkan pada dasar terumbu karang menyebabkan matinya ikan yang berada sampai radius 10 meter dari pusat ledakan. Adapun terumbu karang yang hancur sama sekali sampai radius tiga meter dari pusat ledakan,” ujar Suharsono, Kepala Pusat Penelitian Oseanologi LIPI. Ledakan bom tidak hanya menghancurkan terumbu karang, tetapi juga berdampak buruk bagi usaha perikanan, pelestarian lingkungan, dan pariwisata.
Berbagai masalah itu menyebabkan Indonesia yang memiliki areal terumbu karang sekitar 60.000 kilometer persegi yang semestinya dapat diraih keuntungan 4,2 miliar dollar AS per tahun dari hasil ikan dan pemanfaatan sumber biota laut bernilai ekonomis lainnya. Namun, menurut data dari Departemen Kelautan dan Perikanan, yang terjadi justru sebaliknya. Pada tahun 2000 kerugian yang ditanggung mencapai 12 juta dollar AS atau lebih dari Rp 84 miliar per tahun akibat kerusakan terumbu karang.
Kerusakan itu juga menghilangkan peluang ekonomi dari hasil perikanan, turisme, dan fungsi terumbu karang sebagai penahan ombak yang bernilai paling sedikit 70.000 dollar AS per kilometer persegi. Kondisi terumbu karang di Indonesia yang baik memiliki nilai wisata selam 3.000 hingga 500.000 dollar AS per kilometer persegi.
Selain itu, terumbu karang tepian yang berperan menetralisasi kekuatan angin dan gelombang keberadaannya diperkirakan dapat menghemat biaya 25.000-550.000 dollar AS untuk perlindungan pantai dari erosi.
Sebaliknya jika terumbu karang rusak, diperlukan dana besar untuk pemulihannya dan memakan waktu lama hingga 50 tahun. ”Tingkat pemulihannya pun tidak 100 persen. Pasti ada spesies yang hilang permanen,” kata Suharsono.
Kampanye penyelamatan
Hal inilah yang mendorong Indonesia pada tahun 2000 mencanangkan kampanye rehabilitasi dan pengelolaan terumbu karang dengan slogan ”Selamatkan Terumbu Karang-Sekarang!” Program itu dilaksanakan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) bekerja sama dengan Departemen Kelautan dan Perikanan serta mendapat bantuan teknis dari The Johns Hopkins University, AS.
Melalui kampanye itu diharapkan kesadaran masyarakat dan pemerintah terhadap arti penting dan nilai strategis terumbu karang di Indonesia meningkat. Program yang dipersiapkan sejak tahun 1995 dan direncanakan akan berlanjut hingga 2013, sayangnya belakangan ini melemah gaungnya.
Isu penyelamatan terumbu karang, menurut Sekretaris Panitia World Ocean Conference 2009 dan Coral Triangle Initiative Summit, Indroyono Susilo, akan diangkat kembali agar menjadi perhatian dunia.
Hal ini, kata Indroyono yang juga Ketua ISOI (Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia), terkait dengan ancaman yang kian besar terhadap kelestariannya karena dampak perubahan iklim, berupa kenaikan suhu muka laut dan kenaikan permukaan air laut. Pertemuan CTI ini akan berlangsung di Manado, Sulut, pada 15 Mei mendatang.
Dalam pertemuan terdahulu, ujar Indroyono yang juga menjabat Sekretaris Menko Kesra, dari beberapa negara berhasil dihimpun dana hibah 250 juta dollar AS untuk menyelamatkan terumbu karang di Segitiga Terumbu Karang.
Namun untuk memperoleh dana itu, ujarnya, tiap negara yang berada di kawasan itu perlu menyusun program yang jelas dalam upaya penyelamatan terumbu karang yang menjadi warisan dunia yang sangat berharga itu. Indonesia harus memegang peranan besar dalam hal ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar