KOMPAS, Rabu, 4 Februari 2009 00:53 WIB
Jakarta - Gerakan rehabilitasi lahan dan hutan atau Gerhan yang pernah dicanangkan pada tahun 2003 perlu kembali dilaksanakan dengan mengacu pada konsep awal yang melibatkan semua komponen masyarakat.
Gerakan yang bertujuan untuk mereboisasi hutan itu, ungkap Sugeng Tri Utomo, Deputi Pencegahan dan Kesiapsiagaan Bencana Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Selasa (3/2), awalnya melibatkan semua komponen masyarakat.
”Namun, beberapa tahun terakhir kegiatan itu berubah menjadi bersifat proyek dengan melibatkan pemborong,” ujarnya.
Pada awalnya Gerhan melibatkan personel TNI yang memimpin para relawan dari masyarakat. ”Satu tentara mengomandoi 10 volunter,” ujar Sugeng. Departemen Kehutanan menyiapkan bibit tanaman keras.
Mereka dikerahkan untuk menanami kawasan dan lahan yang gundul untuk mengatasi bencana banjir dan longsor. Tanpa adanya liputan vegetasi di daerah perbukitan, tidak ada fungsi penahan air dan peresapan air hujan ke tanah sehingga air akan langsung meluncur ke hilir dan menimbulkan banjir bandang.
Kerap terjadi
Beberapa tahun terakhir ini, kata Sugeng, yang mendalami ilmu tanah di Universitas Gadjah Mada, bencana tersebut kenyataannya kerap kali terjadi setiap kali musim hujan, terutama di kawasan daerah aliran sungai di berbagai daerah, karena hutan di bagian hulu telah dibabat habis.
Pada tahap pertama Gerhan, kata Sugeng, yang sejak 2000 bergabung di Bakornas PB—kini BNPB—penanaman kembali kawasan atau lahan ditargetkan mencapai 3000 hektar selama lima tahun.
”Setelah lima tahun berjalan, saat ini perlu dipertanyakan persentase keberhasilannya,” ujar Sugeng yang pernah bergabung di Bappenas dalam pengembangan kawasan timur Indonesia dan di BPPT dalam pengembangan sumber daya lahan.
Saat ini luas lahan kritis setiap tahun bertambah hingga 50.000 hektar per tahun, sedangkan kemampuan reboisasi hutan dan lahan hanya 3.000 sampai 5.000 hektar per tahun.
Oleh karena itu, untuk mencegah berlanjutnya kerusakan hutan dan meningkatnya ancaman banjir dan longsor, menurut Sugeng, dalam Gerhan perlu kebijakan ”tangan besi” untuk menggerakkan massa dan melaksanakan penegakan hukum terhadap kasus perusakan kawasan hutan. (YUN)
Jakarta - Gerakan rehabilitasi lahan dan hutan atau Gerhan yang pernah dicanangkan pada tahun 2003 perlu kembali dilaksanakan dengan mengacu pada konsep awal yang melibatkan semua komponen masyarakat.
Gerakan yang bertujuan untuk mereboisasi hutan itu, ungkap Sugeng Tri Utomo, Deputi Pencegahan dan Kesiapsiagaan Bencana Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Selasa (3/2), awalnya melibatkan semua komponen masyarakat.
”Namun, beberapa tahun terakhir kegiatan itu berubah menjadi bersifat proyek dengan melibatkan pemborong,” ujarnya.
Pada awalnya Gerhan melibatkan personel TNI yang memimpin para relawan dari masyarakat. ”Satu tentara mengomandoi 10 volunter,” ujar Sugeng. Departemen Kehutanan menyiapkan bibit tanaman keras.
Mereka dikerahkan untuk menanami kawasan dan lahan yang gundul untuk mengatasi bencana banjir dan longsor. Tanpa adanya liputan vegetasi di daerah perbukitan, tidak ada fungsi penahan air dan peresapan air hujan ke tanah sehingga air akan langsung meluncur ke hilir dan menimbulkan banjir bandang.
Kerap terjadi
Beberapa tahun terakhir ini, kata Sugeng, yang mendalami ilmu tanah di Universitas Gadjah Mada, bencana tersebut kenyataannya kerap kali terjadi setiap kali musim hujan, terutama di kawasan daerah aliran sungai di berbagai daerah, karena hutan di bagian hulu telah dibabat habis.
Pada tahap pertama Gerhan, kata Sugeng, yang sejak 2000 bergabung di Bakornas PB—kini BNPB—penanaman kembali kawasan atau lahan ditargetkan mencapai 3000 hektar selama lima tahun.
”Setelah lima tahun berjalan, saat ini perlu dipertanyakan persentase keberhasilannya,” ujar Sugeng yang pernah bergabung di Bappenas dalam pengembangan kawasan timur Indonesia dan di BPPT dalam pengembangan sumber daya lahan.
Saat ini luas lahan kritis setiap tahun bertambah hingga 50.000 hektar per tahun, sedangkan kemampuan reboisasi hutan dan lahan hanya 3.000 sampai 5.000 hektar per tahun.
Oleh karena itu, untuk mencegah berlanjutnya kerusakan hutan dan meningkatnya ancaman banjir dan longsor, menurut Sugeng, dalam Gerhan perlu kebijakan ”tangan besi” untuk menggerakkan massa dan melaksanakan penegakan hukum terhadap kasus perusakan kawasan hutan. (YUN)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar