Minggu, 15 Februari 2009

Bencana di Hilir Makin Parah

Penanganan Masalah DAS Masih Parsial
KOMPAS, Jumat, 13 Februari 2009 10:22 WIB
Cirebon - Bencana banjir pada musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau di bagian hilir, termasuk Indramayu dan Cirebon, bertambah parah setiap tahun. Degradasi daerah resapan air di hulu dan perubahan cuaca menjadi faktor utama yang menyebabkan bencana tersebut.


Lingkungan yang memburuk dirasakan langsung oleh warga di hilir. Ahmad Kosasih, Kepala Desa Luwung, Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon, Selasa (10/2), mengatakan, desanya selalu kekurangan air pada musim kemarau. Petani terpaksa menggunakan pompa untuk menyedot air guna mengairi sawahnya yang kering pada musim kemarau. Padahal, 20 tahun lalu, sawah di desanya tidak pernah kekurangan air. Air di sumber mata air Situ Patok bahkan bisa mengairi empat kecamatan di Cirebon.

Pada musim hujan, banjir hampir selalu menggenangi sebagian besar desa di Kecamatan Gegesik, Kapetakan, Gunungjati, dan Suranenggala. Penanaman ulang sudah menjadi hal lumrah bagi Sabdani, petani yang mengolah lahan padi dan kacang seluas 0,7 hektar di Suranenggala Lor, Kecamatan Suranenggala, Kabupaten Cirebon. Hanya tahun ini persawahannya tidak terendam karena hujan tidak terjadi setiap hari.

Kepala Bidang Evaluasi Potensi Bencana Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral Gatot Sudradjat, Kamis (12/2), mengatakan, kasus banjir mengalami peningkatan selama satu dekade ini. Di Jawa Barat, genangan air meluas hingga mencapai 40.000 hektar, termasuk di Bekasi, Indramayu, dan Cirebon. Padahal, 10 tahun lalu diperkirakan genangan air masih setengahnya.

Gatot mengakui, kondisi lingkungan kini mulai terdegradasi. Fungsi penyerapan daerah aliran sungai (DAS) di 20 sungai di Jabar berkurang, termasuk Sungai Cisanggarung dan Cimanuk. Akibatnya, pendangkalan sungai di hilir terus terjadi. Air hujan yang seharusnya terserap langsung terbuang. Pihaknya mencatat, persentase air hujan yang terserap di tanah kini hanya 20-30 persen. Adapun sisanya langsung mengalir ke hilir (run-off). Kondisinya kini jauh berbeda dibandingkan dengan 30 tahun lalu dengan persentase run-off hanya 50 persen.

Kondisi hulu di Kuningan dan Majalengka, menurut Kepala Taman Nasional Gunung Ciremai Muhtadin Nafari, juga perlu perbaikan. Setidaknya sekitar 3.500 hektar lahan di Gunung Ciremai perlu dihijaukan lagi. Lahan itu merupakan lahan bekas kebakaran hutan. Muhtadin mengatakan, area itu kini mulai ditanami dengan tanaman Gerakan Rehabilitasi Penanaman Hutan dan Lahan (Gerhan), tetapi hasilnya baru bisa dilihat 8-10 tahun ke depan. Sebenarnya, menurut dia, tanaman Gerhan tidak diperbolehkan ditanam di wilayah taman nasional karena seharusnya dibiarkan tumbuh sendiri. Masih parsial

Kepala Badan Koordinasi Pemerintah dan Pembangunan Wilayah III Cirebon Ano Sutrisno mengatakan, perbaikan lingkungan harus segera dilakukan tidak hanya di hulu, tetapi juga di hilir. Meski demikian, ia mengatakan, penanganannya masih parsial. "Saat ini daerah mengatasi persoalannya masing-masing. Kuningan dan Majalengka dengan longsornya, Indramayu dan Cirebon dengan banjir dan kekeringannya. Perlu gerakan sinergi untuk mengatasi persoalan-persoalan itu," ujarnya.

Perbaikan DAS Cimanuk dan Cisanggarung pun tidak bisa dilakukan oleh satu kabupaten, tetapi semua kabupaten mulai dari Cirebon hingga Garut. Campur tangan Pemerintah Provinsi Jawa Barat, bahkan pemerintah pusat, diperlukan dalam hal ini untuk bisa menyinergikan hubungan antardaerah. (NIT)

Tidak ada komentar: