Menjadikan Hutan Konservasi Tidak Mudah
Rabu, 11 Februari 2009 11:20 WIB
Sukabumi, Kompas - Perbaikan kualitas lingkungan mutlak harus dimulai dari daerah hulu sungai. Daerah hulu yang terjaga akan memberikan manfaat bagi masyarakat di sepanjang daerah aliran sungai hingga hilir.
Untuk meningkatkan kualitas lingkungan, Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP) dan Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) memprioritaskan restorasi hutan. Kepala Balai TNGHS Bambang Supriyanto dan Kepala Balai Besar TNGP Bambang Sukmananto, yang dihubungi terpisah pada Selasa (10/2), menyatakan hal sama bahwa restorasi merupakan cara terbaik untuk meningkatkan kualitas lingkungan dari hulu sungai, daerah aliran sungai, hingga hilir.
Supriyanto mengatakan, daerah hulu yang tidak terjaga akan berpotensi membawa dampak negatif bagi masyarakat di sepanjang aliran sungai. Di kaki Gunung Halimun, banjir bandang pada awal 2008 yang menerjang Kecamatan Cisolok dan Kecamatan Cikakak, Kabupaten Sukabumi, disebabkan rendahnya kualitas hutan di daerah hulu. Demikian juga ketiga kemarau panjang terjadi, banyak warga kesulitan mendapatkan air bersih.
Data dari TNGHS menunjukkan, daerah dengan kualitas lingkungan rendah di Gunung Halimun, yang masuk wilayah Kabupaten Sukabumi, mencapai 2.600 hektar. "Lahan dengan kualitas lingkungan rendah terdiri dari lahan kosong, semak belukar, dan ladang," kata Supriyanto. Dari luas lahan itu, 923 hektar di antaranya merupakan ladang yang digarap masyarakat.
Lahan yang perlu direstorasi tersebut sebelumnya merupakan hutan produksi milik Perum Perhutani yang dikelola bersama masyarakat. "Ketika masih dikelola Perum Perhutani, orientasinya memang produksi. Namun, ketika sudah dipindahtangankan ke taman nasional, orientasinya berubah menjadi konservasi," ujarnya. Tidak mudah
Supriyanto mengatakan, untuk menjadikan lahan yang dikelola masyarakat menjadi hutan konservasi tidak mudah karena harus mengeluarkan dahulu masyarakat dari hutan. "Hampir tidak mungkin langsung mengusir masyarakat keluar hutan tanpa memberi solusi karena mereka pasti akan melawan dan ujung-ujungnya hutan konservasi yang sudah ada terancam," ungkapnya.
Senada dengan Supriyanto, Sukmananto mengakui, kini cara persuasif adalah cara paling aman untuk menjaga hutan sekaligus tetap memberikan pendapatan kepada masyarakat. "Hingga lima tahun mendatang, peladang masih bisa menggunakan lahan dengan syarat menjaga tegakan yang baru saja ditanam," kata Sukmananto.
Ketika tegakan sudah menghalangi cahaya matahari bagi tanaman semusim, para peladang sudah harus keluar karena lahan tidak bisa digunakan lagi untuk bercocok tanam. "Pemerintah sudah menyiapkan berbagai strategi untuk memberikan penghasilan bagi bekas peladang di lahan taman nasional," tuturnya. Beberapa di antaranya adalah peternakan domba dan budidaya lebah.
Diharapkan, ketika harus keluar dari hutan, para peladang itu sudah memiliki penghasilan sehingga tidak perlu lagi masuk ke hutan baik untuk mencuri kayu maupun membuka hutan untuk berladang. Sukmananto mengatakan, program penyiapan lapangan kerja bagi bekas peladang di kawasan taman nasional dibiayai dari anggaran pemerintah dan dana yang dikumpulkan dari adopsi pohon. Adopsi pohon di hutan TNGP merupakan konsep restorasi yang melibatkan masyarakat.
Masyarakat yang hendak mengadopsi pohon harus menyiapkan dana perawatan hingga pohon itu bisa hidup sendiri. Dana yang terkumpul digunakan untuk menyiapkan program ekonomi bagi masyarakat sekitar hutan setelah mereka tidak bisa lagi bercocok tanam. (aha)
Rabu, 11 Februari 2009 11:20 WIB
Sukabumi, Kompas - Perbaikan kualitas lingkungan mutlak harus dimulai dari daerah hulu sungai. Daerah hulu yang terjaga akan memberikan manfaat bagi masyarakat di sepanjang daerah aliran sungai hingga hilir.
Untuk meningkatkan kualitas lingkungan, Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP) dan Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) memprioritaskan restorasi hutan. Kepala Balai TNGHS Bambang Supriyanto dan Kepala Balai Besar TNGP Bambang Sukmananto, yang dihubungi terpisah pada Selasa (10/2), menyatakan hal sama bahwa restorasi merupakan cara terbaik untuk meningkatkan kualitas lingkungan dari hulu sungai, daerah aliran sungai, hingga hilir.
Supriyanto mengatakan, daerah hulu yang tidak terjaga akan berpotensi membawa dampak negatif bagi masyarakat di sepanjang aliran sungai. Di kaki Gunung Halimun, banjir bandang pada awal 2008 yang menerjang Kecamatan Cisolok dan Kecamatan Cikakak, Kabupaten Sukabumi, disebabkan rendahnya kualitas hutan di daerah hulu. Demikian juga ketiga kemarau panjang terjadi, banyak warga kesulitan mendapatkan air bersih.
Data dari TNGHS menunjukkan, daerah dengan kualitas lingkungan rendah di Gunung Halimun, yang masuk wilayah Kabupaten Sukabumi, mencapai 2.600 hektar. "Lahan dengan kualitas lingkungan rendah terdiri dari lahan kosong, semak belukar, dan ladang," kata Supriyanto. Dari luas lahan itu, 923 hektar di antaranya merupakan ladang yang digarap masyarakat.
Lahan yang perlu direstorasi tersebut sebelumnya merupakan hutan produksi milik Perum Perhutani yang dikelola bersama masyarakat. "Ketika masih dikelola Perum Perhutani, orientasinya memang produksi. Namun, ketika sudah dipindahtangankan ke taman nasional, orientasinya berubah menjadi konservasi," ujarnya. Tidak mudah
Supriyanto mengatakan, untuk menjadikan lahan yang dikelola masyarakat menjadi hutan konservasi tidak mudah karena harus mengeluarkan dahulu masyarakat dari hutan. "Hampir tidak mungkin langsung mengusir masyarakat keluar hutan tanpa memberi solusi karena mereka pasti akan melawan dan ujung-ujungnya hutan konservasi yang sudah ada terancam," ungkapnya.
Senada dengan Supriyanto, Sukmananto mengakui, kini cara persuasif adalah cara paling aman untuk menjaga hutan sekaligus tetap memberikan pendapatan kepada masyarakat. "Hingga lima tahun mendatang, peladang masih bisa menggunakan lahan dengan syarat menjaga tegakan yang baru saja ditanam," kata Sukmananto.
Ketika tegakan sudah menghalangi cahaya matahari bagi tanaman semusim, para peladang sudah harus keluar karena lahan tidak bisa digunakan lagi untuk bercocok tanam. "Pemerintah sudah menyiapkan berbagai strategi untuk memberikan penghasilan bagi bekas peladang di lahan taman nasional," tuturnya. Beberapa di antaranya adalah peternakan domba dan budidaya lebah.
Diharapkan, ketika harus keluar dari hutan, para peladang itu sudah memiliki penghasilan sehingga tidak perlu lagi masuk ke hutan baik untuk mencuri kayu maupun membuka hutan untuk berladang. Sukmananto mengatakan, program penyiapan lapangan kerja bagi bekas peladang di kawasan taman nasional dibiayai dari anggaran pemerintah dan dana yang dikumpulkan dari adopsi pohon. Adopsi pohon di hutan TNGP merupakan konsep restorasi yang melibatkan masyarakat.
Masyarakat yang hendak mengadopsi pohon harus menyiapkan dana perawatan hingga pohon itu bisa hidup sendiri. Dana yang terkumpul digunakan untuk menyiapkan program ekonomi bagi masyarakat sekitar hutan setelah mereka tidak bisa lagi bercocok tanam. (aha)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar