KOMPAS, Selasa, 3 Februari 2009 00:50 WIB
Kebun karet warga hasil pendampingan yang dilakukan World Vision Indonesia bekerja sama dengan Wahana Visi Indonesia di Kecamatan Balai Batangtarang, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Penanaman bibit unggul karet dimulai 2004. Sebanyak 156 keluarga mendapat bantuan 43.050 batang bibit unggul. Tanaman yang sudah berusia empat tahun sudah bisa disadap getahnya.
Terlalu banyak tokoh dan pejabat bicara kemiskinan dari dulu sampai sekarang. Lebih-lebih menjelang pemilihan umum. Kemiskinan itu memang sebuah kenyataan, tersuruk di desa-desa daerah pedalaman. Akan tetapi, kepedulian tentu tak sebatas wacana. Perlu dicermati apa akar persoalannya dan lalu bagaimana solusinya?
Menyadari persoalan kemiskinan akan berentet ke persoalan kurang gizi dan gizi buruk, angka tidak sekolah atau putus sekolah, maka masa depan bangsa adalah taruhannya. Pemerintah mungkin sudah berupaya keras untuk menanggulangi kemiskinan warganya, tetapi kadang tidak tuntas. Serba terbatas. Karena itu, tidak jarang yang menjadi perhatian hanya yang dekat, yang mudah terlihat, agar dinilai telah berbuat.
Masyarakat di daerah pedalaman? Bisa ditanya, apakah mereka pernah dikunjungi dan diketahui kondisinya oleh pemerintah daerah setempat? Jawabannya: Tidak pernah. Atau kalau pernah, dikunjungi sekali setahun. Begitulah kenyataan ketika Kompas berkunjung ke desa-desa di Kecamatan Sekayam, Kabupaten Sekadau dan Kecamatan Balai Batangtarang, Kabupaten Sanggau, Provinsi Kalimantan Barat, Desember lalu.
Soal kondisi hutan Kalimantan Barat yang rusak parah bukan isapan jempol. Mungkin ini salah satu akar persoalan kemiskinan itu. Karena itu, sejalan dengan semakin gencarnya negara-negara maju menyuarakan isu pemanasan global, Indonesia pun belakangan gencar menghijaukan kembali hutan-hutan dan lahan tidur.
”Untuk membantu pemerintah dan dunia mewujudkan hijaunya kembali hutan kita, World Vision Indonesia bekerja sama dengan Wahana Visi Indonesia Area Development Program (ADP) Sanggau sejak tahun 2002 memfasilitasi masyarakat pedalaman untuk membudidayakan karet,” kata Marketing Public Relation Manager World Vision Indonesia John Nelwan.
Berdasarkan hasil evaluasi World Vision Indonesia, ada beberapa kerentanan utama dalam masyarakat, yaitu pendidikan rendah, yang ditunjukkan 3,5 persen tidak bersekolah, sedangkan 41,8 persen hanya menempuh pendidikan sekolah dasar. Angka kematian anak bawah lima tahun (balita) 39 per 1.000, masih cukup tinggi. Di wilayah program, 12,05 persen keluarga hidup di bawah garis kemiskinan.
John Nelwan mengatakan, berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, hutan dibabat (sebagian kecil) oleh masyarakat untuk berladang lalu ditanami padi yang ditumpangsarikan dengan menanam karet varietas lokal yang kemudian ditinggalkan. Sistem pertanian masih tradisional.
”Dari situ timbul pemikiran bagaimana komoditas karet yang telah lama menjadi sumber pendapatan utama bagi masyarakat pedalaman bisa ditingkatkan. Dengan hasil yang baik, kesejahteraan meningkat. Mereka pada akhirnya akan mampu menyekolahkan anak-anaknya,” ujarnya menjelaskan.
Dibekali pelatihan
Kelompok-kelompok masyarakat di Kecamatan Tayan Hilir, Balai Batangtarang, dan Nanga Mahap mengakui mendapat pelatihan budidaya tanaman karet dan bantuan bibit karet unggul dari World Vision Indonesia sejak tahun 2002.
”Jika selama ini bertanam karet masih tradisional, pascapelatihan dari lembaga kemanusiaan World Vision Indonesia budidaya tanaman karet menjadi lebih baik,” kata Husein, petani karet di Kecamatan Balai Batangtarang, Kabupaten Sanggau.
Bermula dari 26 keluarga di Kecamatan Tayan Hilir (2002) dengan 11.650 batang karet yang ditanam, hingga tahun 2007 sudah 2.009 keluarga yang dilatih. Mereka tersebar di Kecamatan Tayan Hilir, Sekayam, Batangtarang, dan Nanga Mahap dengan jumlah karet yang ditanam 29.025 batang. Setiap keluarga memiliki sedikitnya satu hektar kebun karet unggul.
Menurut John Nelwan, World Vision Indonesia hanya mampu memberikan bibit untuk lahan seluas 0,5 hektar per keluarga atau sekitar 250 batang bibit karet unggul. Untuk kebutuhan bibit lainnya diharapkan dipenuhi oleh petani yang tergabung dalam Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) dengan cara mempraktikkan pelatihan, seperti melalui okulasi.
”Selain menumbuhkan kemandirian juga untuk menjaga kemurnian dan mutu bibit karet unggul tersebut. Bibit unggul, yaitu biji karet varietas PB260 untuk tegakan (batang bawah), didatangkan dari Pusat Penelitian Karet Sungai Putih Medan, Sumatera Utara,” kata Manager ADP Sanggau I Made Sukariata.
Selain berbagai pelatihan, dalam program itu World Vision Indonesia dan Wahana Visi Indonesia juga mengadakan pendampingan. Mereka telah mempunyai fasilitator untuk melakukan pembinaan di empat kecamatan wilayah layanan ADP Sanggau.
Penghasilan lumayan
Berdasarkan pengamatan di lokasi kebun karet masyarakat di Tayan Hilir, bibit karet yang ditanam tahun 2002 dan 2003 telah mencapai usia siap panen atau sadap. Tanaman karet usia empat tahun sudah dapat disadap.
”Hasil sadap 111 batang dapat menghasilkan 3,5 kilogram getah karet kering. Hasilnya lebih banyak dibandingkan dengan karet bukan bibit unggul yang setiap 214 batang yang disadap menghasilkan sekitar 3,5 kilogram getah karet kering,” kata Miki, seorang ibu yang ditemui ketika tengah memanen karet di Tayan Hilir.
Petani lainnya, Karim dan Aukar, menjelaskan, dari lahan seluas satu hektar (500 batang), lateks (karet) yang didapat 25-30 kg per pagi dengan lama pengerjaan 5 jam. Dengan asumsi rata-rata 25 kg dikalikan harga karet saat itu Rp 7.000 per kg, masyarakat setiap pagi memperoleh hasil Rp 175.000. Terdapat kenaikan sekitar 80 persen pendapatan masyarakat apabila dibandingkan dengan membudidayakan karet secara tradisional.
”Hasil dari cara tradisional 2-3 kg per pagi. Penorehan biasanya dilakukan pada pagi hari saja,” ungkap Karim.
I Made Sukariata menegaskan, dengan hasil bertanam karet, masyarakat miskin yang tadinya tidak bisa menyekolahkan anak, sejak tiga tahun terakhir telah terbukti mampu menyekolahkan anak. Tanaman karet telah menjadi andalan utama untuk menyekolahkan anak.
”Bahkan, bagi anak SLTA yang sekolahnya dekat perkampungan, sebelum sekolah jika masuk siang anak-anak menyadap karet dulu. Anak-anak yang sekolah harus meninggalkan kampung. Jika libur, mereka menoreh (menyadap) karet agar dapat biaya sekolah,” katanya.
Program pengembangan masyarakat jangka panjang (ADP) Sanggau di Kabupaten Sekadau dan Sanggau berakhir pada tahun 2011. Total populasi yang menjadi target program World Vision Indonesia adalah 75.022 orang di Sanggau dan 24.726 orang di Sekadau. Program mencakup bidang pendidikan, kesehatan, pembangunan prasarana dasar, pemberdayaan ekonomi masyarakat, serta pengorganisasian masyarakat untuk mengelola sumber daya dan meningkatkan kesejahteraan.
Pola World Vision Indonesia membantu masyarakat miskin di daerah-daerah pedalaman Kalimantan Barat (dan 722 desa lainnya di 123 kecamatan, 34 kabupaten, dan 9 provinsi lainnya di seluruh Indonesia) untuk memerangi kemiskinan dan meningkatkan kualitas hidup manusia. Walau sepi dari publikasi, hal itu patut dan pantas diapresiasi. (YURNALDI)
Terlalu banyak tokoh dan pejabat bicara kemiskinan dari dulu sampai sekarang. Lebih-lebih menjelang pemilihan umum. Kemiskinan itu memang sebuah kenyataan, tersuruk di desa-desa daerah pedalaman. Akan tetapi, kepedulian tentu tak sebatas wacana. Perlu dicermati apa akar persoalannya dan lalu bagaimana solusinya?
Menyadari persoalan kemiskinan akan berentet ke persoalan kurang gizi dan gizi buruk, angka tidak sekolah atau putus sekolah, maka masa depan bangsa adalah taruhannya. Pemerintah mungkin sudah berupaya keras untuk menanggulangi kemiskinan warganya, tetapi kadang tidak tuntas. Serba terbatas. Karena itu, tidak jarang yang menjadi perhatian hanya yang dekat, yang mudah terlihat, agar dinilai telah berbuat.
Masyarakat di daerah pedalaman? Bisa ditanya, apakah mereka pernah dikunjungi dan diketahui kondisinya oleh pemerintah daerah setempat? Jawabannya: Tidak pernah. Atau kalau pernah, dikunjungi sekali setahun. Begitulah kenyataan ketika Kompas berkunjung ke desa-desa di Kecamatan Sekayam, Kabupaten Sekadau dan Kecamatan Balai Batangtarang, Kabupaten Sanggau, Provinsi Kalimantan Barat, Desember lalu.
Soal kondisi hutan Kalimantan Barat yang rusak parah bukan isapan jempol. Mungkin ini salah satu akar persoalan kemiskinan itu. Karena itu, sejalan dengan semakin gencarnya negara-negara maju menyuarakan isu pemanasan global, Indonesia pun belakangan gencar menghijaukan kembali hutan-hutan dan lahan tidur.
”Untuk membantu pemerintah dan dunia mewujudkan hijaunya kembali hutan kita, World Vision Indonesia bekerja sama dengan Wahana Visi Indonesia Area Development Program (ADP) Sanggau sejak tahun 2002 memfasilitasi masyarakat pedalaman untuk membudidayakan karet,” kata Marketing Public Relation Manager World Vision Indonesia John Nelwan.
Berdasarkan hasil evaluasi World Vision Indonesia, ada beberapa kerentanan utama dalam masyarakat, yaitu pendidikan rendah, yang ditunjukkan 3,5 persen tidak bersekolah, sedangkan 41,8 persen hanya menempuh pendidikan sekolah dasar. Angka kematian anak bawah lima tahun (balita) 39 per 1.000, masih cukup tinggi. Di wilayah program, 12,05 persen keluarga hidup di bawah garis kemiskinan.
John Nelwan mengatakan, berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, hutan dibabat (sebagian kecil) oleh masyarakat untuk berladang lalu ditanami padi yang ditumpangsarikan dengan menanam karet varietas lokal yang kemudian ditinggalkan. Sistem pertanian masih tradisional.
”Dari situ timbul pemikiran bagaimana komoditas karet yang telah lama menjadi sumber pendapatan utama bagi masyarakat pedalaman bisa ditingkatkan. Dengan hasil yang baik, kesejahteraan meningkat. Mereka pada akhirnya akan mampu menyekolahkan anak-anaknya,” ujarnya menjelaskan.
Dibekali pelatihan
Kelompok-kelompok masyarakat di Kecamatan Tayan Hilir, Balai Batangtarang, dan Nanga Mahap mengakui mendapat pelatihan budidaya tanaman karet dan bantuan bibit karet unggul dari World Vision Indonesia sejak tahun 2002.
”Jika selama ini bertanam karet masih tradisional, pascapelatihan dari lembaga kemanusiaan World Vision Indonesia budidaya tanaman karet menjadi lebih baik,” kata Husein, petani karet di Kecamatan Balai Batangtarang, Kabupaten Sanggau.
Bermula dari 26 keluarga di Kecamatan Tayan Hilir (2002) dengan 11.650 batang karet yang ditanam, hingga tahun 2007 sudah 2.009 keluarga yang dilatih. Mereka tersebar di Kecamatan Tayan Hilir, Sekayam, Batangtarang, dan Nanga Mahap dengan jumlah karet yang ditanam 29.025 batang. Setiap keluarga memiliki sedikitnya satu hektar kebun karet unggul.
Menurut John Nelwan, World Vision Indonesia hanya mampu memberikan bibit untuk lahan seluas 0,5 hektar per keluarga atau sekitar 250 batang bibit karet unggul. Untuk kebutuhan bibit lainnya diharapkan dipenuhi oleh petani yang tergabung dalam Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) dengan cara mempraktikkan pelatihan, seperti melalui okulasi.
”Selain menumbuhkan kemandirian juga untuk menjaga kemurnian dan mutu bibit karet unggul tersebut. Bibit unggul, yaitu biji karet varietas PB260 untuk tegakan (batang bawah), didatangkan dari Pusat Penelitian Karet Sungai Putih Medan, Sumatera Utara,” kata Manager ADP Sanggau I Made Sukariata.
Selain berbagai pelatihan, dalam program itu World Vision Indonesia dan Wahana Visi Indonesia juga mengadakan pendampingan. Mereka telah mempunyai fasilitator untuk melakukan pembinaan di empat kecamatan wilayah layanan ADP Sanggau.
Penghasilan lumayan
Berdasarkan pengamatan di lokasi kebun karet masyarakat di Tayan Hilir, bibit karet yang ditanam tahun 2002 dan 2003 telah mencapai usia siap panen atau sadap. Tanaman karet usia empat tahun sudah dapat disadap.
”Hasil sadap 111 batang dapat menghasilkan 3,5 kilogram getah karet kering. Hasilnya lebih banyak dibandingkan dengan karet bukan bibit unggul yang setiap 214 batang yang disadap menghasilkan sekitar 3,5 kilogram getah karet kering,” kata Miki, seorang ibu yang ditemui ketika tengah memanen karet di Tayan Hilir.
Petani lainnya, Karim dan Aukar, menjelaskan, dari lahan seluas satu hektar (500 batang), lateks (karet) yang didapat 25-30 kg per pagi dengan lama pengerjaan 5 jam. Dengan asumsi rata-rata 25 kg dikalikan harga karet saat itu Rp 7.000 per kg, masyarakat setiap pagi memperoleh hasil Rp 175.000. Terdapat kenaikan sekitar 80 persen pendapatan masyarakat apabila dibandingkan dengan membudidayakan karet secara tradisional.
”Hasil dari cara tradisional 2-3 kg per pagi. Penorehan biasanya dilakukan pada pagi hari saja,” ungkap Karim.
I Made Sukariata menegaskan, dengan hasil bertanam karet, masyarakat miskin yang tadinya tidak bisa menyekolahkan anak, sejak tiga tahun terakhir telah terbukti mampu menyekolahkan anak. Tanaman karet telah menjadi andalan utama untuk menyekolahkan anak.
”Bahkan, bagi anak SLTA yang sekolahnya dekat perkampungan, sebelum sekolah jika masuk siang anak-anak menyadap karet dulu. Anak-anak yang sekolah harus meninggalkan kampung. Jika libur, mereka menoreh (menyadap) karet agar dapat biaya sekolah,” katanya.
Program pengembangan masyarakat jangka panjang (ADP) Sanggau di Kabupaten Sekadau dan Sanggau berakhir pada tahun 2011. Total populasi yang menjadi target program World Vision Indonesia adalah 75.022 orang di Sanggau dan 24.726 orang di Sekadau. Program mencakup bidang pendidikan, kesehatan, pembangunan prasarana dasar, pemberdayaan ekonomi masyarakat, serta pengorganisasian masyarakat untuk mengelola sumber daya dan meningkatkan kesejahteraan.
Pola World Vision Indonesia membantu masyarakat miskin di daerah-daerah pedalaman Kalimantan Barat (dan 722 desa lainnya di 123 kecamatan, 34 kabupaten, dan 9 provinsi lainnya di seluruh Indonesia) untuk memerangi kemiskinan dan meningkatkan kualitas hidup manusia. Walau sepi dari publikasi, hal itu patut dan pantas diapresiasi. (YURNALDI)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar