Kamis, 19 Februari 2009

Lingkungan - Dari Tanah Kembali ke Tanah

KOMPAS, Kamis, 19 Februari 2009 10:45 WIB Oleh:Oleh Antony Lee
Udara sejuk dan gemerisik daun pinus membuat suasana syahdu di tapal batas Kawasan Balai Taman Nasional Gunung Merbabu di Desa Tajuk, Getasan. Rabu (18/2) siang itu ada "pemakaman" pohon-pohon pinus.


Belasan orang hadir pada prosesi "pemakaman" di Desa Tajuk, Getasan, Kabupaten Semarang, Dari wajah mereka tergambar sepercik penyesalan dan harapan.

Sebuah lubang sedalam 1,5 meter dengan lebar 2,0 meter sudah terisi potongan-potongan batang pinus. Di tepiannya ada beberapa potong lagi yang siap dilemparkan. Tidak lama kemudian, setelah warga berdatangan dan petugas Balai Taman Nasional Gunung (BTNG) Merbabu tiba, potongan demi potongan pohon pinus dimasukkan ke dalam lubang galian.

Mereka lalu menimbun lubang itu. Entah sekadar bergurau atau bagian dari haru biru prosesi itu, di gundukan tanah bekas "pemakaman" pohon itu bertaburan beberapa helai kembang. Mereka menancapkan ranting pohon di kiri dan kanan lubang.

"Biarkan pohon pinus itu kembali ke tanah. Semoga pohon itu dapat terurai dan menjadi hara bagi tanah, menyuburkan pohon lainnya," ujar Kepala BTNG Merbabu Untung Suprapto usai prosesi Pengembalian Pohon Tumbang ke Habitat.

Lubang itu berisi tiga pohon pinus yang sudah dipotong-potong. Angin kencang yang menerpa kawasan itu awal Februari lalu menyebabkan 508 pohon pinus di BNTG Merbabu tumbang. Sebanyak 433 pohon di antaranya berada di Getasan.

Menurut Untung, sesuai dengan aturan, semua hasil di daerah konservasi, yakni ranting atau satwa, tidak boleh dibawa keluar dari kawasan. Oleh karena itu, pohon-pohon yang tumbang tersebut harus dimusnahkan. Bisa saja membakar pohon itu, tetapi sangat riskan karena dapat menyebabkan kebakaran hutan. Penanaman kembali pohon ini adalah upaya untuk mencegah perambahan.

"Masyarakat dapat mengawasi. Kayu ini tidak ada yang dibawa keluar dengan alasan apa pun, termasuk untuk alasan diamankan. Kalau begitu caranya kelak kayu besar-besar itu disulap dari omahe pak Untung," katanya sambil tertawa.

Meski tidak terlalu dalam dipendam, pengelola BTNG Merbabu percaya warga tidak akan menggali potongan pohon itu. "Tujuannya untuk menghindari kerusakan hutan. Kami paham," kata Teguh (32), Kepala Dusun Gedong, Desa Tajuk.

Camat Getasan Heru Purwantoro mengatakan, penanaman pohon yang tumbang merupakan salah satu pembeda dengan saat kawasan ini masih dikelola Perum Perhutani. Saat ini, meski pohon tersebut tumbang dengan sendirinya, warga sama sekali dilarang mengambil pohon tersebut.

Ketua Forum Rembuk Merbabu Kabupaten Semarang Suyono sempat berbincang dengan warga yang tinggal perbatasan kawasan BTNG Merbabu. Menurut dia, kemiringan tanah di gunung ini mencapai 45 derajat sehingga sangat rawan longsor. Warga harus betul-betul menjaga keberadaan pohon, termasuk menanam pohon.

Menurut dia, banjir yang melanda Kota Semarang dan sekitarnya tidak terlepas dari laju air di daerah hulu. Pohon-pohon habis sehingga air tidak terserap.

"Jangan sembarangan menebang atau ambil kayu karena mengira tidak terkena dampaknya. Hutan gunung gundul berarti air tidak terserap, tanah akan longsor, warga sekitar yang pertama kali kena imbasnya dapat terkubur," katanya.

Tidak ada komentar: