KOMPAS, Sabtu, 7 Februari 2009 00:53 WIB
Jakarta - Organisasi Indonesia Toxics-Free Network meminta pemerintah meratifikasi Konvensi Stockholm sebelum April 2009. Dewan Perwakilan Rakyat diharap mendukung langkah itu.
Ratifikasi membuka peluang baik bantuan teknis dan pendanaan bagi infrastruktur Indonesia yang bebas dari bahan beracun. ”Lihat urgensi, jangan unsur politisnya,” kata Koordinator ITFN Yuyun Ismawati di sela-sela lokakarya ”Capacity Building Global Chemical Safety Management and Stockholm Convention on POPs” bagi masyarakat sipil di Jakarta, Jumat (6/2).
Pada pertemuan pemerintah dengan Komisi VII DPR, Rabu lalu, muncul usulan ratifikasi setelah Juli 2009. Alasannya, ratifikasi akan diklaim keberhasilan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, salah satu calon presiden.
Sebanyak 12 jenis polutan organik yang persisten (POPs) jadi target penghapusan negara peratifikasi Konvensi Stockholm. Bahan itu terdapat di dalam pestisida (8 jenis), bahan industri (2), dan hasil pembakaran suhu tinggi (2).
Rossana Dewi, pemerhati penggunaan pestisida, mengatakan, larangan bahan kimia berbahaya dalam pestisida sangat mendesak. Pemerintah telah melarang jenis-jenis POPs, tetapi pengawasan di lapangan lemah.
”Bahan kimia seperti DDT masih ditemukan di lingkungan, baik yang masih dipakai maupun sisanya di tanah,” kata Rossana.
Fertilitas hingga janin
Bahan kimia POPs dapat tertransfer ke tubuh manusia dan berakumulasi. Caranya, masuk melalui pernapasan, pori-pori kulit, dan asupan makanan.
Penelitian menunjukkan, akumulasi POPs mengganggu kesuburan perempuan, mengurangi sperma pria, dan mengganggu pertumbuhan janin melalui plasenta. Bahaya lain, bersifat memicu berbagai jenis kanker.
”Karakter POPs larut di lemak daripada air. Sebisa mungkin hindari konsumsi lemak,” kata pengajar pada Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM), Sri Noegrohoati. Bagi penyuka daging ayam, disarankan mengonsumsi bagian dada.
Bukan hanya pada makanan, kandungan POPs juga terdapat di bahan mainan anak-anak, kemasan makanan, alat-alat elektronik, dot bayi, hingga botol-botol minuman. ”Ini isu kesehatan dan lingkungan, bukan politik saja,” kata Yuyun. (GSA)
Jakarta - Organisasi Indonesia Toxics-Free Network meminta pemerintah meratifikasi Konvensi Stockholm sebelum April 2009. Dewan Perwakilan Rakyat diharap mendukung langkah itu.
Ratifikasi membuka peluang baik bantuan teknis dan pendanaan bagi infrastruktur Indonesia yang bebas dari bahan beracun. ”Lihat urgensi, jangan unsur politisnya,” kata Koordinator ITFN Yuyun Ismawati di sela-sela lokakarya ”Capacity Building Global Chemical Safety Management and Stockholm Convention on POPs” bagi masyarakat sipil di Jakarta, Jumat (6/2).
Pada pertemuan pemerintah dengan Komisi VII DPR, Rabu lalu, muncul usulan ratifikasi setelah Juli 2009. Alasannya, ratifikasi akan diklaim keberhasilan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, salah satu calon presiden.
Sebanyak 12 jenis polutan organik yang persisten (POPs) jadi target penghapusan negara peratifikasi Konvensi Stockholm. Bahan itu terdapat di dalam pestisida (8 jenis), bahan industri (2), dan hasil pembakaran suhu tinggi (2).
Rossana Dewi, pemerhati penggunaan pestisida, mengatakan, larangan bahan kimia berbahaya dalam pestisida sangat mendesak. Pemerintah telah melarang jenis-jenis POPs, tetapi pengawasan di lapangan lemah.
”Bahan kimia seperti DDT masih ditemukan di lingkungan, baik yang masih dipakai maupun sisanya di tanah,” kata Rossana.
Fertilitas hingga janin
Bahan kimia POPs dapat tertransfer ke tubuh manusia dan berakumulasi. Caranya, masuk melalui pernapasan, pori-pori kulit, dan asupan makanan.
Penelitian menunjukkan, akumulasi POPs mengganggu kesuburan perempuan, mengurangi sperma pria, dan mengganggu pertumbuhan janin melalui plasenta. Bahaya lain, bersifat memicu berbagai jenis kanker.
”Karakter POPs larut di lemak daripada air. Sebisa mungkin hindari konsumsi lemak,” kata pengajar pada Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM), Sri Noegrohoati. Bagi penyuka daging ayam, disarankan mengonsumsi bagian dada.
Bukan hanya pada makanan, kandungan POPs juga terdapat di bahan mainan anak-anak, kemasan makanan, alat-alat elektronik, dot bayi, hingga botol-botol minuman. ”Ini isu kesehatan dan lingkungan, bukan politik saja,” kata Yuyun. (GSA)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar