KOMPAS, Jumat, 6 Februari 2009 00:43 WIB Oleh : YUNI IKAWATI
Tanah yang longsor di perbukitan dan rumah yang tergenang banjir di muara merupakan gejala rusaknya kawasan hulu yang menjadi reservoir alami penampung air hujan. Dengan memahami fungsi hutan di bukit lalu menjaganya tetap lestari, longsor dan banjir, serta kekeringan dapat diredam.
Tutupan hutan di wilayah pegunungan atau perbukitan merupakan bendung alam sekaligus bank sumber air tawar bagi kehidupan di sekitarnya. Air hujan yang jatuh di kawasan hulu yang berhutan lebat akan tertahan oleh humus dan perakarannya hingga meresap ke dalam tanah. Persentase penyerapan air hujan 75 persen-95 persen. Selebihnya, air mengalir ke dataran rendah atau hilir.
Apabila daerah hulu dan bagian tengah daerah aliran sungai (DAS) sudah berubah menjadi kawasan perkebunan dan pertanian, daya serap lahan menurun tinggal 50 persen-70 persen.
Lalu, bagaimana bila kawasan perbukitan berubah menjadi permukiman atau perkotaan? Yang terjadi adalah kebalikan dari daya serap hutan. Lahan terbuka di perbukitan menyerap air hujan 5 persen-25 persen, selebihnya meluncur ke dataran rendah dan muara sungai. Air hujan ini juga akan menggerus tanah permukaan di perbukitan hingga menjadi gersang.
Menurut Sugeng Tri Utomo, peneliti sumber daya lahan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) yang diperbantukan di Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), untuk menghasilkan satu sentimeter ketebalan tanah yang subur di kawasan perbukitan dari proses pelapukan bebatuan alam memerlukan waktu beberapa puluh tahun. Permukaan tanah subur tanpa tutupan hutan akan terkikis air hujan terbawa bersama banjir.
”Kondisi ini yang memicu naiknya intensitas banjir dan terjadinya krisis air di beberapa perkotaan di Pulau Jawa,” ujar Sugeng yang menjadi Deputi Pencegahan dan Kesiapsiagaan Bencana BNPB.
Semakin meningkatnya aktivitas pengambilan air bawah tanah oleh masyarakat, jika tidak diimbangi dengan peningkatan kemampuan peresapan aliran air permukaan ke dalam tanah, dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan lingkungan, seperti kian menurunnya muka air tanah yang banyak terjadi di wilayah perkotaan, terjadinya kelangkaan air tanah, dan intrusi air laut ke arah daratan, serta penurunan permukaan tanah.
Waduk resapan
Selain hutan yang berfungsi menahan air, diperlukan pula keberadaan sistem penahan berupa waduk resapan di bagian tengah DAS, dan situ di dataran rendah sebagai tempat parkir air hujan sehingga dapat tertahan di daratan, tidak terbuang ke laut. Air hujan yang tertampung itu menjadi sumber air tawar bagi kehidupan di daratan.
Menurut Kardono, pakar teknik lingkungan dari BPPT penelitian dan pengembangan waduk resapan, pernah dilakukan pada tahun 2003 oleh Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi serta BPPT bersama Departemen Pekerjaan Umum, Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Indonesia (UI), dan Masyarakat Air Indonesia (MAI). Obyek penelitiannya adalah waduk resapan yang berada di kawasan Kampus UI, Depok, Jawa Barat.
Dalam pengembangan waduk resapan itu, dilaksanakan serangkaian kegiatan riset yang meliputi desain waduk resapan, pemetaan topografi skala 1:1.000 di lokasi dengan menggunakan geopositioning system (GPS), pengukuran resistivitas lapisan tanah untuk menentukan lokasi yang berpotensi dikembangkan sebagai waduk resapan dengan menggunakan geolistrik dan georadar, serta simulasi model untuk mengukur laju infiltrasi waduk resapan.
Pada penelitian itu, mereka ingin melihat efektivitas bendung ini dalam mengatasi banjir dan kekeringan dengan mengukur tingkat peresapannya yang didasarkan pada kondisi topografi, geologi, serta geomorfologinya.
Hasilnya menunjukkan tingkat peresapan atau laju inflitrasi waduk resapan enam tahun lalu itu masih cukup tinggi.
Areal seluas sekitar 1,5 hektar mampu meresapkan aliran permukaan dengan laju infiltrasi 1.933 meter kubik per hari.
Laju inflitrasi ini bila dikonversikan dengan kebutuhan air akan setara dengan kebutuhan air bagi 32.213 penduduk pedesaan atau setara dengan kebutuhan air bagi 16.106 penduduk kota.
Penuhi pertanian
Jika dikaitkan dengan kebutuhan sektor pertanian atau sektor industri, daya tampung air waduk resapan ini mampu mencukupi kebutuhan areal pertanian seluas 41,4 hektar, atau kebutuhan air baku bagi kawasan industri seluas 30 ha hingga 41 ha. Waduk ini meresapkan air permukaan ke lapisan akuifer karena prinsip gravitasi.
Daya resapnya lebih baik dibandingkan dengan embung atau situ yang berfungsi sebagai tandon air. Hasil simulasi waduk resapan ini menunjukkan, kondisi optimal dicapai pada lapisan akuifer dalam yang memiliki kedalaman 6 meter-12 meter dengan tebal akuifer mencapai 28 meter-35 meter.
Dari hasil penelitian itu, mereka mendapat bukti bahwa waduk resapan dapat menjadi bagian dari upaya penanggulangan banjir dan sekaligus mengatasi kelangkaan air. Hal itu karena keberadaan waduk resapan dapat mengurangi banjir dengan memperkecil aliran air di permukaan dengan meresapkannya ke dalam tanah.
Situ pada lokasi tertentu juga dapat dikembangkan menjadi waduk resapan sehingga dapat berfungsi untuk mengurangi banjir, khsususnya banjir lokal. Selain itu, pengembangan waduk resapan di bagian hulu atau tengah DAS dapat mengurangi jumlah aliran permukaan masuk ke sungai sehingga mengurangi debit banjir dari sungai.
Pengembangan waduk resapan pada masa mendatang kian penting dengan semakin meningkatnya tuntutan perubahan tata guna lahan menjadi areal permukiman atau perkotaan maupun kawasan industri yang mengakibatkan terjadinya perubahan kemampuan tanah dalam meresapkan aliran permukaan
Tanah yang longsor di perbukitan dan rumah yang tergenang banjir di muara merupakan gejala rusaknya kawasan hulu yang menjadi reservoir alami penampung air hujan. Dengan memahami fungsi hutan di bukit lalu menjaganya tetap lestari, longsor dan banjir, serta kekeringan dapat diredam.
Tutupan hutan di wilayah pegunungan atau perbukitan merupakan bendung alam sekaligus bank sumber air tawar bagi kehidupan di sekitarnya. Air hujan yang jatuh di kawasan hulu yang berhutan lebat akan tertahan oleh humus dan perakarannya hingga meresap ke dalam tanah. Persentase penyerapan air hujan 75 persen-95 persen. Selebihnya, air mengalir ke dataran rendah atau hilir.
Apabila daerah hulu dan bagian tengah daerah aliran sungai (DAS) sudah berubah menjadi kawasan perkebunan dan pertanian, daya serap lahan menurun tinggal 50 persen-70 persen.
Lalu, bagaimana bila kawasan perbukitan berubah menjadi permukiman atau perkotaan? Yang terjadi adalah kebalikan dari daya serap hutan. Lahan terbuka di perbukitan menyerap air hujan 5 persen-25 persen, selebihnya meluncur ke dataran rendah dan muara sungai. Air hujan ini juga akan menggerus tanah permukaan di perbukitan hingga menjadi gersang.
Menurut Sugeng Tri Utomo, peneliti sumber daya lahan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) yang diperbantukan di Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), untuk menghasilkan satu sentimeter ketebalan tanah yang subur di kawasan perbukitan dari proses pelapukan bebatuan alam memerlukan waktu beberapa puluh tahun. Permukaan tanah subur tanpa tutupan hutan akan terkikis air hujan terbawa bersama banjir.
”Kondisi ini yang memicu naiknya intensitas banjir dan terjadinya krisis air di beberapa perkotaan di Pulau Jawa,” ujar Sugeng yang menjadi Deputi Pencegahan dan Kesiapsiagaan Bencana BNPB.
Semakin meningkatnya aktivitas pengambilan air bawah tanah oleh masyarakat, jika tidak diimbangi dengan peningkatan kemampuan peresapan aliran air permukaan ke dalam tanah, dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan lingkungan, seperti kian menurunnya muka air tanah yang banyak terjadi di wilayah perkotaan, terjadinya kelangkaan air tanah, dan intrusi air laut ke arah daratan, serta penurunan permukaan tanah.
Waduk resapan
Selain hutan yang berfungsi menahan air, diperlukan pula keberadaan sistem penahan berupa waduk resapan di bagian tengah DAS, dan situ di dataran rendah sebagai tempat parkir air hujan sehingga dapat tertahan di daratan, tidak terbuang ke laut. Air hujan yang tertampung itu menjadi sumber air tawar bagi kehidupan di daratan.
Menurut Kardono, pakar teknik lingkungan dari BPPT penelitian dan pengembangan waduk resapan, pernah dilakukan pada tahun 2003 oleh Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi serta BPPT bersama Departemen Pekerjaan Umum, Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Indonesia (UI), dan Masyarakat Air Indonesia (MAI). Obyek penelitiannya adalah waduk resapan yang berada di kawasan Kampus UI, Depok, Jawa Barat.
Dalam pengembangan waduk resapan itu, dilaksanakan serangkaian kegiatan riset yang meliputi desain waduk resapan, pemetaan topografi skala 1:1.000 di lokasi dengan menggunakan geopositioning system (GPS), pengukuran resistivitas lapisan tanah untuk menentukan lokasi yang berpotensi dikembangkan sebagai waduk resapan dengan menggunakan geolistrik dan georadar, serta simulasi model untuk mengukur laju infiltrasi waduk resapan.
Pada penelitian itu, mereka ingin melihat efektivitas bendung ini dalam mengatasi banjir dan kekeringan dengan mengukur tingkat peresapannya yang didasarkan pada kondisi topografi, geologi, serta geomorfologinya.
Hasilnya menunjukkan tingkat peresapan atau laju inflitrasi waduk resapan enam tahun lalu itu masih cukup tinggi.
Areal seluas sekitar 1,5 hektar mampu meresapkan aliran permukaan dengan laju infiltrasi 1.933 meter kubik per hari.
Laju inflitrasi ini bila dikonversikan dengan kebutuhan air akan setara dengan kebutuhan air bagi 32.213 penduduk pedesaan atau setara dengan kebutuhan air bagi 16.106 penduduk kota.
Penuhi pertanian
Jika dikaitkan dengan kebutuhan sektor pertanian atau sektor industri, daya tampung air waduk resapan ini mampu mencukupi kebutuhan areal pertanian seluas 41,4 hektar, atau kebutuhan air baku bagi kawasan industri seluas 30 ha hingga 41 ha. Waduk ini meresapkan air permukaan ke lapisan akuifer karena prinsip gravitasi.
Daya resapnya lebih baik dibandingkan dengan embung atau situ yang berfungsi sebagai tandon air. Hasil simulasi waduk resapan ini menunjukkan, kondisi optimal dicapai pada lapisan akuifer dalam yang memiliki kedalaman 6 meter-12 meter dengan tebal akuifer mencapai 28 meter-35 meter.
Dari hasil penelitian itu, mereka mendapat bukti bahwa waduk resapan dapat menjadi bagian dari upaya penanggulangan banjir dan sekaligus mengatasi kelangkaan air. Hal itu karena keberadaan waduk resapan dapat mengurangi banjir dengan memperkecil aliran air di permukaan dengan meresapkannya ke dalam tanah.
Situ pada lokasi tertentu juga dapat dikembangkan menjadi waduk resapan sehingga dapat berfungsi untuk mengurangi banjir, khsususnya banjir lokal. Selain itu, pengembangan waduk resapan di bagian hulu atau tengah DAS dapat mengurangi jumlah aliran permukaan masuk ke sungai sehingga mengurangi debit banjir dari sungai.
Pengembangan waduk resapan pada masa mendatang kian penting dengan semakin meningkatnya tuntutan perubahan tata guna lahan menjadi areal permukiman atau perkotaan maupun kawasan industri yang mengakibatkan terjadinya perubahan kemampuan tanah dalam meresapkan aliran permukaan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar