KOMPAS, Rabu, 4 Februari 2009 00:16 WIB Oleh NINOK LEKSONO
Hari-hari ini, salah satu berita yang menonjol adalah bencana banjir. Bengawan Solo yang meluap merendam kota-kota yang dilaluinya di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Inilah fenomena yang sebenarnya telah ada bersama kita sejak bertahun-tahun silam.
Dari pengalaman ini, salah satu hal yang melegakan adalah bahwa sebenarnya musim masih berjalan normal-normal saja, ditandai oleh meningkatnya curah hujan pada bulan Januari dan Februari. Yang bisa dicermati lebih lanjut mungkin intensitas hujan itu sendiri, yang diyakini terkait dengan munculnya gejala perubahan iklim akibat pemanasan global.
Pengalaman manusia dengan air secara umum bisa dibagi dalam dua ekstrem. Yang pertama adalah masa kerepotan karena dihantam oleh air dalam jumlah besar, apakah itu dalam wujud air bah, banjir besar, atau hantaman gelombang besar tsunami seperti yang terjadi di Aceh akhir tahun 2004. Yang kedua adalah masa kesusahan akibat kelangkaan air, seperti saat muncul gejala El Nino tahun 1982 yang menyebabkan musim kemarau panjang.
Ke depan, kedua ekstrem itu pula yang akan terus mewarnai kehidupan di Bumi. Di satu sisi, manusia akan mendapat kelebihan air akibat pemanasan global yang akan melelehkan es di kutub dan di puncak gunung. Laporan terakhir menyebutkan, sebagian selimut es di Pegunungan Himalaya dan Tibet akan lenyap pada tahun 2100 dengan tingkat pelelehan yang ada sekarang ini, dan itu akan memberi air bagi 2 miliar penduduk dunia.
Pada sisi lain, laporan yang terbaru juga menyebutkan bahwa manusia akan dilanda kelangkaan air parah karena air disebut akan bangkrut, tidak ada lagi. Tentunya di sini yang dimaksud adalah air yang bisa digunakan untuk keperluan sehari-hari dan bisa diperoleh secara ekonomis.
Dari Davos
Laporan baru yang dimaksud disampaikan Jumat di Forum Ekonomi Dunia (WEF) yang berlangsung di Davos, Swiss, 28 Januari–1 Februari 2009. Penyebab kebangkrutan air adalah tingginya kebutuhan seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dunia. Kelangkaan air ini, dalam 20 tahun mendatang, akan menyebabkan hilangnya tanaman pangan sebanyak yang bisa dihasilkan oleh India dan Amerika Serikat.
Ini tentu memprihatinkan karena justru dalam beberapa tahun ke depan kebutuhan pangan akan melonjak drastis. Menurut laporan yang dimuat kantor berita AFP ini, di masa depan dunia tidak akan bisa lagi mengelola air dengan cara yang sama seperti pada masa lalu.
Yang bisa jadi berbeda adalah persepsi mengenai harga air. Laporan dari Davos menyebut di sejumlah tempat di dunia air dijual terlalu murah dan banyak yang dihambur-hamburkan. Padahal, mungkin warga di sekitar Tanjung Priok menganggap air yang mereka beli sekarang ini pun sudah mahal.
Akibat dijual murah dan digunakan berlebihan, di banyak tempat selama sekitar 50 tahun terakhir ini terjadi bubble (gelembung) air—meminjam istilah ekonomi—dan dikhawatirkan akan diikuti dengan kebangkrutan.
Penggunaan air dalam jumlah besar terjadi untuk proses pembangkitan energi. Di AS proses ini membutuhkan air 39 persen dari semua air yang digunakan di negeri adidaya ini, sementara di Uni Eropa 31 persen. Padahal, jumlah air yang dikonsumsi hanya 3 persen.
Kebutuhan energi juga akan terus naik, demikian pula kebutuhan air. Hal ini membuat air yang diarahkan untuk pertanian akan berkurang.
Sungai mengering
Kalau di atas disinggung tentang melelehnya gletser Himalaya, bagian lain Laporan WEF ini juga menyebutkan, sekitar 70 sungai besar di dunia diperkirakan akan mengering total karena airnya disedot untuk irigasi dan reservoir.
Karena semakin langka, dalam dua dekade mendatang air akan dijadikan obyek investasi, yang bahkan mungkin nilainya lebih baik dibandingkan minyak.
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Ban Kimoon berpendapat, masalah air bersifat luas dan sistemik, dan karena itu penanggulangannya pun harus luas dan sistemik.
Kalangan usaha pun sepandangan bahwa dengan pengelolaan seperti yang ada sekarang ini, air bisa lebih cepat habis dibandingkan bahan bakar. Untuk mencegahnya, dibutuhkan kerja sama luas antara pemerintah, industri, akademik, dan pemangku kepentingan di seluruh dunia, ujar pimpinan PepsiCo Inc, perusahaan AS yang usahanya menggunakan air dalam jumlah besar.
Dicerna lebih jauh
Situasi yang dihadapi umat manusia berkaitan dengan air boleh jadi memang membingungkan karena di satu sisi dihadapkan pada ancaman perendaman wilayah pesisir akibat pemanasan global, tetapi pada sisi lain juga kelangkaan air.
Di kolom ini (27/11/2007) diangkat kekhawatiran Aliansi Negara Kepulauan Kecil saat mengadakan pertemuan puncak di ibu kota Maladewa, Male. Negara-negara yang perekonomiannya banyak bersandar pada turisme dan perikanan mengantisipasi datangnya ancaman naiknya permukaan air laut akibat melelehnya tudung es kutub.
Sejauh ini naiknya suhu udara sebesar 0,6 derajat celsius selama abad kemarin telah membuat permukaan air laut naik sekitar 20 cm. Namun, kalau es Greenland meleleh, lebih dahsyatlah akibatnya. Kenaikan sampai lebih dari 1 meter amat mungkin, bahkan kalau es Greenland meleleh total, kenaikan muka air laut bisa mencapai 7 meter! (NG News, 3/2/2009)
Baik ancaman kebanjiran maupun kelangkaan air akan sama-sama menyeramkan. Selama proses itu berlangsung, bisa kita bayangkan ketegangan sosial-ekonomi yang terjadi. Misalnya saja potensi terjadinya konflik akibat rebutan sumber air, atau tekanan ekonomi yang meningkat karena orang harus mengeluarkan dana besar untuk mendapatkan air.
Kita berharap seruan kerja sama berbagai pihak tanpa mengulur waktu mulai dari sekarang masih bisa mengurangi dampak kesengsaraan potensial yang dimunculkan oleh kedua permasalahan ekstrem yang ditimbulkan oleh air ini. Adanya kajian lebih serius yang diikuti oleh kebijakan konkret merupakan wujud kepedulian nyata.
Film Sharkwater Extinction
4 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar