Jumat, 27 Februari 2009

Pembiasaan Harian

KOMPAS, 28 Februari 2009
Sebelum memulai pelajaran di kelas, pelajar SDN Benhil 12 Pagi, Jakarta, mengikuti kegiatan Pembiasaan Lingkungan, yaitu membersihkan kebun tanaman hias, tanaman obat, dan kolam ikan milik bersama, Rabu (25/2). Kegiatan rutin setiap pagi ini berlaku bagi seluruh murid agar mempunyai tanggung jawab, cinta lingkungan, dan rasa memiliki.

Readmore »»

KONFLIK LINGKUNGAN - Usut Kematian Harimau

KOMPAS, Sabtu, 28 Februari 2009 00:58 WIB
Pekanbaru - Menteri Kehutanan MS Kaban minta Kepolisian Daerah Riau mengusut kematian empat ekor harimau di Kabupaten Indragiri Hilir, Riau. Warga tidak boleh membalas dendam dengan membunuh hewan langka itu meski rugi akibat ternak mati dimangsa harimau.

”Harimau memiliki habitat yang jelas. Masyarakat yang mendesak keberadaan hewan itu dengan berbagai alasan. Saya meminta Polri menghukum warga yang menjerat harimau,” ujar Kaban di Pekanbaru, Jumat (27/2).
Dua pekan terakhir empat ekor harimau mati dijerat warga di Kecamatan Pelangiran dan Gaung, Kabupaten Indragiri Hilir. Di Pelangiran, dua harimau dibunuh karena makan ternak warga. Di Gaung, harimau mati dijerat setelah menyerang penjaga kebun, Toni dan Mamat.
Menurut Kaban, warga yang di pinggiran hutan semestinya sadar bahwa areal permukiman mereka merupakan daerah lintasan harimau. Harimau yang keluar dari hutan pasti dipicu oleh kondisi ketiadaan makanan.
”Kalau ada harimau makan ternak, semestinya diberitahukan kepada petugas kehutanan,” kata Kaban. Ia menyatakan, kehutanan di Riau bermasalah akibat belum ada rencana tata ruang dan wilayah yang jelas.
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Walhi Riau Johny Setiawan Mundung mengatakan, kematian empat ekor harimau selama dua pekan menunjukkan ketidakmampuan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau mengantisipasi konflik harimau dan manusia.
”BBKSDA Riau memiliki peta penyebaran harimau. Semestinya disosialisasikan ke masyarakat bahwa permukiman mereka berada di lintasan harimau sehingga ada aturan main yang jelas kalau terjadi konflik,” kata Mundung.
Di Aceh, dalam dua tahun terakhir, sedikitnya delapan orang tewas diterkam harimau saat berada di kebun di tepi hutan. Oleh karena itu, masyarakat membunuh harimau. Tidak sedikit pula harimau yang dipelihara warga atau instansi.
Hal itu diungkapkan Juru Bicara Yayasan Leuser Internasional (YLI) Chik Rini, di Banda Aceh, Jumat. Sebagian besar konflik manusia dengan harimau terjadi di Aceh Selatan dan pantai barat Aceh. Di pantai timur, yang terjadi adalah konflik manusia dengan gajah. ”Kerusakan hutan dan pembukaan lahan perkebunan yang tidak aktif selama masa konflik menjadi salah satu penyebabnya,” kata Rini.
Dalam dua bulan terakhir, dua kali harimau turun ke permukiman warga dan memangsa ternak di Trumon, Aceh Selatan. Warga yang mencoba melepas harimau dari perangkap babi digigit oleh harimau itu.
Berdasarkan catatan YLI, sembilan harimau mati. Dua harimau lain saat ini berada di tangan warga Keude Bakongan dan salah satu instalasi militer di wilayah Aceh Selatan. (SAH/MHD)

Readmore »»

Jalur Hijau di Pluit Dikomersialkan

KOMPAS, Sabtu, 28 Februari 2009, 00:28 Wib
Jalur hijau di Jalan Pluit Putra Raya, Kelurahan Pluit, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara, sudah lama dikomersialkan oleh pemerintah daerah setempat. Sepanjang jalur ini dikuasai oleh segelintir pedagang ekonomi kuat yang berdagang keramik pajangan impor dari China, seperti guci dan vas bunga berukuran besar serta tanaman hias yang harganya mencapai puluhan, bahkan ratusan juta rupiah.

Bahkan, di ujung jalur menjelang Mega Mall Pluit yang seharusnya bebas dari bangunan, berdiri restoran yang konsumennya terdiri dari kalangan menengah ke atas. Segelintir pedagang yang memanfaatkan jalur hijau ini tentu tidak terlepas dari peran aparat pemerintah daerah setempat mulai dari tingkat kelurahan, kecamatan, bahkan wali kota.
Pemprov DKI Jakarta pada era kepemimpinan Gubernur Fauzi Bowo cukup tanggap terhadap jalur hijau yang dikomersialkan. Akhir-akhir ini, seperti jalur hijau yang digunakan untuk usaha stasiun pengisian bahan bakar untuk umum (SPBU), banyak yang digusur karena tidak sesuai dengan peruntukan.
Saya yang setiap hari melintasi kawasan jalur hijau tersebut berharap kepada yang berwenang untuk mengembalikan fungsi jalur hijau dimaksud sesuai dengan peruntukan. Bukan dikomersialkan oleh segelintir oknum untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Pedagang kaki lima ekonomi lemah terus dikejar oleh aparat, tetapi pedagang ekonomi kuat yang berusaha di jalur hijau diizinkan karena sudah membayar sejumlah uang.(Lim Peng Koen Pantai Indah Kapuk, Penjaringan, Jakarta)

Readmore »»

Selasa, 24 Februari 2009

Lapisan Es Mencair di Antartika

KOMPAS, Selasa, 24 Februari 2009
Gambar lapisan es yang mencair di gunung es di Benua Antartika kembali dipublikasikan. Hal ini seiring dengan berlangsungnya pertemuan para menteri lingkungan hidup dan perwakilan dari puluhan negara di dunia yang tiba di pusat penelitian milik Norwegia di Antartika, Senin (23/2). Mereka ingin mempelajari bahaya pencairan lapisan es bagi planet ini.

Readmore »»

Pencanangan Hutan Kota Salatiga

KOMPAS, Selasa, 24 Februari 2009, 09:41 Wib
Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo akan mencanangkan hutan kota di Kecamatan Argomulyo, Salatiga, Rabu (25/2). Wakil Wali Kota Salatiga Diah Sunarsasi mengatakan, Senin (23/2), luas hutan kota tersebut 3 hektar dengan memanfaatkan tanah bengkok. Selain di lokasi itu, juga ada 13 titik lainnya yang tersebar di Kota Salatiga yang dicanangkan sebagai hutan kota. Menurut Diah, adanya hutan kota diharapkan mampu mendorong jumlah pohon mencapai 15 persen dari total luas Kota Salatiga. "Kota Salatiga adalah daerah resapan air. Kami berharap warga dapat berpartisipasi menanam pohon dan memelihara hutan kota agar debit air tidak berkurang," ujar Diah. (GAL)

Readmore »»

Harimau Sumatera - Enam Warga Jambi Tewas dalam Sebulan

Selasa, 24 Februari 2009 00:10 WIB
Jambi, Kompas - Setidaknya sudah enam orang tewas diterkam harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae ) dalam sebulan terakhir di wilayah Desa Sungai Gelam, Kecamatan Kumpeh Ulu, Kabupaten Muaro Jambi. Dinas Kehutanan diminta segera mengantisipasi perambahan dan pembalakan liar di dalam hutan negara yang merupakan habitat harimau.


”Jika persoalan ini tidak segera diatasi, korban yang tewas dimangsa harimau bisa terus bertambah. Bukan kesalahan harimau, tetapi ini lebih sebagai ulah manusia mengusik habitat satwa liar tersebut,” ujar Didy Wurjanto, Kepala Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam Jambi, Senin (23/2).

Minggu malam lalu bertambah satu lagi korban. Pembalak liar kayu, Khoiri (20), warga Lampung, tewas dimangsa harimau saat menyusun kayu-kayu curian dalam kawasan eks hak pengelolaan hutan Rimba Karya Indah di Desa Sungai Gelam, perbatasan Jambi dan Sumatera Selatan.

Dari studi jejak harimau yang diduga sebagai pemangsa, harimau itu berjenis kelamin laki-laki dengan panjang 4 meter. (ITA)

Readmore »»

Senin, 23 Februari 2009

Harimau Serang Warga

KOMPAS, Selasa, 24 Februari 2009, 01:01 Wib
Seekor harimau menyerang Toni (35), penjaga kebun di Desa Gaung, Kecamatan Gaung, Kabupaten Indragiri Hilir, Riau, Minggu (22/2) sekitar pukul 23.30.
Beruntung nyawa Toni dapat diselamatkan meski tubuhnya terluka cukup parah. Toni terluka akibat cakaran harimau di sekujur tubuh. Lengan kanannya pun patah. Toni selamat setelah temannya sesama penjaga kebun, Mamat (28), datang dan menebas harimau itu dengan parang. Saat itu Toni sedang bergumul dengan harimau. ”Banyak bekas cakaran di sekujur tubuhnya dan yang paling parah di dada, punggung, serta paha. Secara umum, kondisinya sudah membaik,” ujar Direktur RS Puri Husada Tembilahan, yang dihubungi dari Pekanbaru, Senin (23/2). Syamsidar, Humas WWF Riau, mengungkapkan, masuknya harimau ke areal warga adalah dampak dari kerusakan lingkungan di wilayah itu. ”Harimau semakin sulit mencari makan di hutan karena sudah berubah menjadi kebun sawit,” katanya. (sah)

Readmore »»

Christine Hakim - Demi Terumbu Karang

KOMPAS, Selasa, 24 Februari 2009 01:25 WIB
Pemain film Christine Hakim (53) rela berbasah-basah demi menanam terumbu karang di Pantai Sikuai, Padang, Sumatera Barat, akhir minggu lalu. Ketika kawan-kawannya masih sibuk di tepi pantai, Christine langsung ngeloyor sampai ke tengah hingga air mencapai sebatas pahanya.

”Ayo, ayo! Ke tengah, tanam terumbu (karang) di sini,” ujar pemain film Pasir Berbisik dan Daun di Atas Bantal ini.

Dengan tangan kiri membawa payung, Christine yang tampil dengan topi dan kacamata hitam itu langsung memasukkan terumbu di tangan kanannya ke dalam air. Maka, sekejap saja badan Christine pun basah kuyup.

”Ah, basah bukan soal prinsip. Kalau idenya melestarikan alam, masak dengan air yang cantik saja kita sudah takut,” ucap Christine yang juga membintangi film Tjoet Nya’ Dhien.

Peraih enam penghargaan Citra dan Bintang Budaya Parama Dharma ini tak mau tanggung-tanggung jika melakukan sesuatu. Demi kampanye pariwisata hijau (green tourism) yang digagas biro wisata Sumatera and Beyond serta para perantau Minang ini, perempuan berdarah Minang ini mengaku menikmati penanaman terumbu.

Tak hanya itu, selain rela berbasah-basah, Christine juga dengan senang hati mencium anak penyu hijau sebelum melepaskannya ke alam bebas. (ART)

Readmore »»

Demi Terumbu Karang

KOMPAS, Selasa, 24 Februari 2009 01:25 WIB
Pemain film Christine Hakim (53) rela berbasah-basah demi menanam terumbu karang di Pantai Sikuai, Padang, Sumatera Barat, akhir minggu lalu. Ketika kawan-kawannya masih sibuk di tepi pantai, Christine langsung ngeloyor sampai ke tengah hingga air mencapai sebatas pahanya.


”Ayo, ayo! Ke tengah, tanam terumbu (karang) di sini,” ujar pemain film Pasir Berbisik dan Daun di Atas Bantal ini.

Dengan tangan kiri membawa payung, Christine yang tampil dengan topi dan kacamata hitam itu langsung memasukkan terumbu di tangan kanannya ke dalam air. Maka, sekejap saja badan Christine pun basah kuyup.

”Ah, basah bukan soal prinsip. Kalau idenya melestarikan alam, masak dengan air yang cantik saja kita sudah takut,” ucap Christine yang juga membintangi film Tjoet Nya’ Dhien.

Peraih enam penghargaan Citra dan Bintang Budaya Parama Dharma ini tak mau tanggung-tanggung jika melakukan sesuatu. Demi kampanye pariwisata hijau (green tourism) yang digagas biro wisata Sumatera and Beyond serta para perantau Minang ini, perempuan berdarah Minang ini mengaku menikmati penanaman terumbu.

Tak hanya itu, selain rela berbasah-basah, Christine juga dengan senang hati mencium anak penyu hijau sebelum melepaskannya ke alam bebas. (ART)

Readmore »»

Pemulung di Sungai

KOMPAS, 23 Februari 2009

Pemulung memungut sampah plastik dari Kali Sekretaris di perbatasan Tanjung Duren dan Kebon Jeruk, Jakarta Barat, Minggu (22/2) seusai hujan. Hasil plastik gelas dan botol air mineral yang dikumpulkan laku dijual Rp 2.500 hingga Rp 5.000 per kilogram ke pengepul untuk selanjutnya didaur ulang di pabrik. Dalam sehari, pengepul dapat mengumpulkan hingga 30 kilogram plastik bekas.

Readmore »»

PARIWISATA HIJAU - Artis Tanam Terumbu di Sikuai

Senin, 23 Februari 2009 00:08 WIB
Padang, Kompas - Artis Christine Hakim, Henidar Amroe, Tasman Taher, dan Jian Batari Anwar menanam terumbu karang di Sikuai, Padang, Jumat pekan lalu. Lokasi pantai yang dipilih merupakan pantai yang mempunyai terumbu yang sudah rusak.


Selain para artis, perantau Minang, pengelola Sikuai Resort, dan sejumlah pengunjung kegiatan juga melakukan kegiatan serupa di pantai yang berada di kawasan Sikuai Resort itu.

”Yang terpenting dari kegiatan ini adalah kampanye pelestarian lingkungan hidup,” kata Christine yang berbasah-basah demi menanam terumbu karang itu.

Henidar juga mengakui bahwa keikutsertaannya pada penanaman terumbu karang ini dilakukan sebagai wujud kepedulian terhadap kerusakan lingkungan.

Terumbu karang sebesar telapak tangan orang dewasa itu dipasang di perairan sekitar 3 meter dari pantai. Pantai Sikuai ini mempunyai pasir putih dan air yang masih jernih sehingga dasar laut bisa terlihat. Sikuai merupakan pulau yang berjarak sekitar 90 menit perjalanan laut dengan kapal pesiar.

Pemilik Sikuai Resort, Rikwan Wijaya, mengatakan, terumbu di kawasan ini memang sudah rusak lantaran resort sempat ditutup sekitar tiga tahun oleh pemilik yang lama. Setelah ditutup, sejumlah nelayan menangkap ikan dengan menggunakan dinamit atau racun sehingga terumbu karang yang ada menjadi rusak.

Upaya pelestarian terumbu karang sudah dilakukan pihak resort sejak beberapa waktu silam. Sejumlah wisatawan yang berkunjung ke Sikuai Resort diajak untuk menanam terumbu karang, termasuk wisatawan mancanegara.

”Kegiatan ini menarik bagi wisatawan. Mereka dengan senang menanam terumbu karang. Sejumlah bagian dari pantai di Sikuai ini sudah tertanami terumbu,” papar Rikwan. (ART)

Readmore »»

PENDIDIKAN - Daur Ulang Sampah Jadi Kurikulum

KOMPAS, Senin, 23 Februari 2009 00:09 WIB
Palembang, Kompas - Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga Palembang akan memasukkan pelajaran mendaur ulang sampah dalam kegiatan ekstrakurikuler, di luar kurikulum wajib yang menjadi mata pelajaran di sekolah dasar. Pelajaran ini diharapkan dapat memupuk kesadaran murid untuk mencintai lingkungan sejak dini.


”Mempelajari proses daur ulang sampah sehingga menjadi produk yang bernilai diharapkan mampu menumbuhkan kesadaran cinta lingkungan sehingga tidak memproduksi dan membuang sampah sembarangan,” kata Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga Palembang Hatta Wazol, di Palembang, Sabtu (21/2).

Menurut dia, menciptakan lingkungan sehat dan bersih melalui program daur ulang sampah menjadi sebuah upaya penting dalam menjaga kelestarian bumi. Pembelajaran mengelola sampah akan mengarahkan masyarakat untuk mengetahui bahwa sampah juga dapat menjadi produk bernilai, seperti pupuk organik dan kertas daur ulang.

Pengolahan sampah menjadi pupuk organik, kertas, dan produk daur ulang lainnya akan mengurangi tumpukan sampah dan meminimalkan pencemaran lingkungan di sekolah.

Dia menjelaskan, pihaknya yakin jika program tersebut dilaksanakan pada setiap sekolah, masalah sampah di Kota Palembang dapat teratasi.

”Produk daur ulang pun dapat menjadi peluang menambah penghasilan dengan menjual pupuk kompos atau kertas daur ulang,” ujarnya.

Program tersebut nantinya tidak hanya menjadi pelajaran ekstrakurikuler di SD, tetapi SMP dan SMA/SMK yang juga akan mengadopsi kegiatan tersebut menjadi pelajaran tambahan.

”Dalam jangka panjang, kegiatan proses daur ulang tersebut dapat memasyarakat pada kehidupan sehari-hari warga,” katanya. (ANTARA/BOY)

Readmore »»

20.000 Biopori Dibuat di Setiap Kelurahan

KOMPAS, 23 Februari 2009, 00:57 Wib
WaliKota Jakarta Pusat Sylviana Murni menargetkan setiap kelurahan, sebanyak 44 kelurahan, di Jakarta Pusat membuat masing-masing 20.000 biopori. ”Sampai akhir 2009 nanti, setidaknya terbangun minimal 880.000 lubang resapan biopori,” kata Sylviana saat memimpin pembuatan lubang biopori di lapangan sepak bola Kelurahan Karet Tengsin, Minggu (22/2). Pembuatan resapan air ini, kata Sylviana, harus diikuti dengan pemeliharaan dan pengambilan kompos sesuai jangka waktunya sehingga tanah tetap subur dan kawasan itu menjadi daerah penyimpan air tanah. (PIN)

Readmore »»

Kebakaran - 100 Tabat untuk Selamatkan TN Sebangau

Senin, 23 Februari 2009 00:55 WIB
Palangkaraya, Kompas - Sedikitnya 100 bendungan kayu sudah dibangun untuk menutup kanal-kanal lahan gambut di kawasan Taman Nasional Sebangau, Kalimantan Tengah. Pembendungan kanal dilakukan untuk menyelamatkan sekitar 66.000 lahan kritis dari kebakaran lahan di taman nasional seluas 568.700 hektar tersebut.


Bendungan kayu atau yang biasa disebut tabat dibuat Balai TN Sebangau bekerja sama dengan World Wide Fund for Nature dan Universitas Palangkaraya, yang tergabung dalam konsorsium Central Kalimantan Peatland Project. Pembangunan kanal juga melibatkan warga sekitar, yang tergabung dalam forum masyarakat TN Sebangau.

”Dengan dibendung, permukaan air tanah di sekitar kanal menjadi naik sehingga tercipta kelembaban tanah. Lingkungan yang lembab cocok ditumbuhi vegetasi, sekaligus terhindar dari bahaya kebakaran lahan,” kata Kepala Balai TN Sebangau Drasospolino saat dihubungi di Palangkaraya, Minggu (22/2).

Dia mengatakan, sebelumnya TN Sebangau adalah hutan produksi dan area kerja pemegang hak pengusahaan hutan. Tahun 1995-1996 konsesi HPH di Sebangau berakhir dan tidak dikelola hingga tahun 2004. Selama itu marak penebangan liar dan penggalian kanal. Kanal-kanal itu menguras air di kawasan gambut sehingga menjadi kering dan mudah terbakar saat kemarau. Kanal-kanal itulah yang kemudian dibendung dengan menggunakan jajaran kayu yang dilapisi dengan karung-karung berisi tanah.

Pada Sabtu lalu, kebakaran lahan bermunculan di sekitar Bandara Supadio Pontianak, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat. Pemantauan dari udara menunjukkan, puluhan titik api dan kepulan asap ke udara terlihat di lahan pertanian di sekitar bandara. (CAS/FUL)

Readmore »»

Konservasi Laut Nusa Penida Mulai Dirintis

KOMPAS, Senin, 23 Februari 2009, 00:53 Wib
Kawasan konservasi laut di Nusa Penida mulai dirintis dengan dibentuknya pusat kegiatan masyarakat di Nusa Lembongan, Klungkung, Bali, Sabtu (21/2).
Pusat kegiatan yang dibentuk lembaga swadaya masyarakat Satya Posana Nusa dan difasilitasi The Nature Conservancy-Coral Triangle Center (TNC-CTC) itu bertujuan untuk meningkatkan kapasitas masyarakat agar dapat mengambil inisiatif dan peran dalam upaya perlindungan dan konservasi laut di kawasan mereka sendiri. Manajer Program Segitiga Terumbu Karang TNC-CTC Abdul Halim menyatakan, pusat kegiatan masyarakat itu merupakan bagian dari upaya mencapai pendekatan kolaboratif dan partisipatif dalam rangka kemitraan TNC-CTC dengan Pemerintah Indonesia untuk melindungi terumbu karang dan biota laut penting lain di kawasan Segitiga Terumbu Karang. Kawasan konservasi laut itu meliputi Indonesia, Filipina, Malaysia, Timor Leste, Papua Nugini, dan Kepulauan Solomon. (BEN)

Readmore »»

Kebutuhan listrik - Energi Panas Bumi Terus Dikembangkan

KOMPAS, Senin, 23 Februari 2009 00:44 WIB
Tomohon - Pertamina Geothermal Energy terus mengembangkan energi panas bumi. Hal ini karena selain memberikan banyak nilai tambah, energi tersebut merupakan energi terbarukan yang ramah lingkungan. Saat ini, energi panas bumi tidak hanya dimanfaatkan untuk sumber daya listrik, tetapi juga untuk pemanasan dan pengeringan pada sejumlah industri pengolahan.


Direktur Utama Pertamina Geothermal Energy Abadi Purnomo saat mengunjungi Area Panas Bumi Lahendong di Sulawesi Utara, Jumat (20/2), mengatakan, saat ini sudah terdapat dua unit pengolahan panas bumi di Lahendong yang mampu menghasilkan daya listrik hingga 20 megawatt. Rencananya pada akhir Maret 2009 akan diresmikan unit pengolahan baru, yaitu Lahendong III dengan kapasitas mencapai 60 megawatt.

Berdasarkan dari hasil penelitian, potensi panas bumi di Lahendong mampu menghasilkan daya listrik hingga 120 megawatt. Oleh karena itu, Pertamina Geothermal Energy akan terus mengembangkannya dengan membangun unit-unit pengolahan yang baru.

Pada tahun 2012 diharapkan potensi daya listrik sebesar 120 megawatt dari panas bumi di Lahendong dapat terwujud. Dengan daya tersebut, berarti sekitar 60 persen kebutuhan listrik di Sulut dipenuhi oleh panas bumi.

Selain di Lahendong, Pertamina Geothermal Energy juga terus mengembangkan potensi energi panas bumi di daerah lain. Beberapa daerah tersebut meliputi area Sibayak di Sumatera Utara, Sungai Penuh di Jambi, Lumut Balai di Sumatera Selatan, Hululais di Bengkulu, Kotamobagu di Sulawesi Utara, Kamojang di Jawa Barat, serta Ulubelu di Lampung.

Banyak keuntungan

Manager Engineering Pertamina Geothermal Energy Area Lahendong Wawan Darmawan mengatakan, energi panas bumi memiliki beberapa keuntungan untuk dikembangkan. Energi tersebut merupakan energi terbarukan dan berkelanjutan jangka panjang, bersih, ramah lingkungan, memiliki emisi gas karbon dioksida yang sangat rendah, menjadi energi alternatif sebagai pengganti energi fosil, dan dapat dikembangkan dalam lahan yang sempit. Selain itu, pengembangan energi panas bumi juga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi daerah.

Saat ini, energi panas bumi tidak sekadar dimanfaatkan untuk menghasilkan daya listrik, tetapi juga untuk industri pengolahan. Energi tersebut dapat digunakan untuk pengolahan gula aren, pengeringan kopra, cengkih, dan vanila. Pemanfaatan panas bumi untuk pengolahan gula aren juga dilakukan di Lahendong. Pemanfaatan tersebut dapat meningkatkan penghasilan 6.285 petani aren.

Panas bumi selalu berasosiasi dengan jalur vulkanik dan diprioritaskan pada gunung api tidak aktif yang masih menyimpan panas di bawah permukaan. (WIE)

Readmore »»

Kerusakan Koral Mencemaskan

Australia Bantu Berikan Pelatihan Penyelamatan
KOMPAS, Senin, 23 Februari 2009 00:45 WIB

Jakarta - Akibat penggunaan bom ikan di sejumlah wilayah, kerusakan koral atau terumbu karang di Indonesia sudah berada dalam kondisi mencemaskan. Padahal, hamparan terumbu karang di Indonesia yang mencapai 60.000 kilometer persegi termasuk yang terluas di dunia.


Untuk memulihkan kembali terumbu karang yang rusak, Pemerintah Australia menegaskan kembali dukungannya membantu Indonesia dalam menyelamatkan terumbu karang melalui program pelatihan rehabilitasi dan pemantauannya.

Dengan melestarikan terumbu karang di kawasan Indonesia, maka secara tak langsung akan terjaga pasokan sumber daya perikanan dan biota laut lain yang bernilai ekonomis. Diketahui kelautan Indonesia menyimpan potensi kemanfaatan yang beragam, terutama sebagai sumber pangan, obat, dan kosmetik.

Hal ini disampaikan Sekretaris Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Indroyono Soesilo, Sabtu (21/2), terkait dengan kehadirannya dalam konferensi ”Indonesia-Australia: Partners in a New Era” di Sydney, Australia.

Menurut Indroyono yang juga mantan Kepala Badan Riset Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan, Australia berkepentingan turut menjaga kelestarian ekosistem laut di Indonesia, antara lain karena melihat lokasi laut Nusantara menjadi tempat berpijah ikan tuna yang ditangkap di wilayah perairan Australia.

Dalam upaya pelestarian tersebut, Pemerintah Australia memberikan dukungan teknis tentang cara pengelolaan terumbu karang yang benar seperti yang dilaksanakan di Great Barrier Reef.

Selain Australia, kata Indroyono, perhatian atas penyelamatan terumbu karang Indonesia diberikan Amerika Serikat. Ketika bertemu dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Hillary Clinton menyampaikan komitmennya.

Dukungan WOC

Secara terpisah, di Manado, Wakil Ketua Simposium Panitia World Ocean Conference (WOC) Desy Mantiri mengatakan, sekitar 1.500 pakar kelautan negara- negara Eropa, Amerika, Afrika, Asia, dan Australia menyatakan siap berpartisipasi pada Konferensi Kelautan Dunia (WOC) di Manado, Sulawesi Utara, pada Mei mendatang.

Desy mengatakan, antusiasme ilmuwan dunia diukur dengan masuknya 610 abstrak dari para ilmuwan ke panitia di Manado dan Jakarta. ”Kemungkinan abstrak mengenai kelautan akan bertambah pada Maret mendatang,” katanya.

Menurut Desy, panitia berupaya agar setiap abstrak mendapat kesempatan dipresentasikan pada pelaksanaan WOC yang dijadwalkan berlangsung lima hari. Panitia telah mengklasifikasi 610 abstrak dalam beberapa bidang simposium untuk dibahas dalam waktu bersamaan.

Sekretaris eksekutif panitia daerah WOC, Noldy Tuerah, mengatakan, persiapan Sulut menjadi tuan rumah WOC dan pertemuan tingkat tinggi enam negara anggota CTI sudah 85 persen.

Tuerah menjelaskan, di Manado terdapat lima gedung konperensi yang telah siap dipakai untuk simposium. Menurut dia, pelaksanaan WOC mendapat dukungan dari Direktur Eksekutif UN Habitat Anna Tibaijuka dan Direktur Eksekutif United Nations Environment Programme Achim Steiner. (YUN/ZAL)

Readmore »»

Jumat, 20 Februari 2009

Pohon Bukan Tempat Propaganda

KOMPAS, Jumat, 20 Februari 2009 14:39 WIB

Saat ini hak setiap warga negara menjadi caleg memang tidak dapat dimungkiri. Hak tiap caleg juga untuk mempropagandakan jati dirinya karena hal itu menjadi tuntutan agar masyarakat mengenalnya. Namun, karena tata cara pemasangan baliho, spanduk, foto, dan atribut-atribut lainnya tidak diatur secara detail, tegas, serta tidak ada retribusi yang harus dibayar, kota menjadi rusak.


Penghijauan yang digalakkan dengan menanam pohon-pohon di setiap lokasi ternyata menjadi sasaran tancap para caleg. Pohon-pohon yang ditunggu supaya cepat rimbun malah dipaku di bagian batangnya sampai tembus ke kambium pohon tersebut. Alhasil, secara perlahan pohon akan mati. Para caleg tentu tidak memasang sendiri atribut-atributnya, yang memasang pasti korlap-korlap bayaran. Alangkah baiknya kalau para korlap diberikan penjelasan sebelum menjalankan tugas untuk memasang atribut. Sayang sekali kalau biaya yang sudah dikeluarkan tidak mendapat simpati, apalagi memilihnya. Amit-amit, caleg yang tidak peduli lingkungan jangan dipilih. Mungkin para caleg melihat papan-papan reklame sedot WC dan tukang talang yang dipaku di pohon-pohon laku laris, jadi ikut-ikutan biar nanti tanggal 9 April laris juga. Mumpung masih ada waktu untuk memperbaiki citra diri, jadilah caleg yang peduli lingkungan. (Widyawati Ketua Perkumpulan Pecinta Tanaman thwidya@yahoo.co.id)

Readmore »»

Inovasi - Pemusnah Sampah dari Dlanggu

KOMPAS, Jumat, 20 Februari 2009 13:18 WIB Oleh: Ingki Rinaldi
Salikun (52), Kurdi (50), dan Bambang Suharto (41) pagi itu memindahkan tumpukan sampah ke dalam sebuah bangunan dari batu bata berukuran tinggi 2,5 meter dan lebar dinding-dindingnya sekitar 2 meter. Dari bagian atas bangunan sederhana di Dusun Kademangan, Desa Dlanggu, Kecamatan Dlanggu, Kabupaten Mojokerto, itu tampak asap putih tebal tiada henti.


Tumpukan sampah basah tadi adalah "penyebab" munculnya asap putih itu. Bangunan batu bata yang sejatinya merupakan tungku berjenjang yang dibuat berdasarkan ide Salikun pada Januari 2006 itu adalah "mesin pemusnah" tumpukan sampah.

Prinsip kerja inovasi sederhana itu didasarkan pada bekerjanya gaya gravitasi dan ketersediaan aliran udara. Di dalam bangunan batu bata itu, Salikun memasang menara kecil dari besi yang berfungsi sebagai penyangga utama jalinan 16 dan 12 batang besi lain yang saling melintang dan seolah membentuk jaring penahan.

Pada bagian bawah bangunan itu dibuatkan penampang melintang ke arah kiri dan kanan untuk menjaga aliran udara yang akan menjaga nyala api. "Sampah basah pun tetap bisa terbakar karena ketika sampai di bagian bawah sampah itu sudah kering. Api pembakaran ini tidak pernah mati selama tiga tahun," kata Salikun.

Sampah apa pun bisa dibakar. Bangunan batu bata itu sekilas mirip insinerator di sejumlah rumah sakit. Abu hasil pembakaran juga banyak dimanfaatkan sejumlah warga untuk menambah campuran media tanam.

Salikun mulai mengoperasikan bangunan pembakar sampah itu sejak 13 Januari 2006, setelah gelisah menyaksikan gunungan sampah di lokasi itu. Selama berpuluh-puluh tahun, sejak Pasar Dlanggu berdiri, lokasi itu dijadikan tempat pembuangan sampah pasar yang menyebabkan gunungan sampah pun tak terkendali.

Tumpukan sampah

Kurdi menyebutkan, selama berpuluh tahun itu gunungan sampah semakin meluas. Bau tak sedap juga makin menyebar ke seluruh penjuru desa. Baunya makin menyengat saat angin berembus. "Saya datang ke desa tahun 1976, dan sejak itu sampah di sini sudah sangat banyak," kata Salikun.

Salikun yang sehari-hari bertugas sebagai anggota Polres Mojokerto di bagian telematika dengan pangkat terakhir brigadir satu akhirnya tak tahan. "Dasar saya orangnya tidak senang menganggur, makanya saya coba buat alat seperti ini dan berhasil," katanya.

Sejak beroperasinya tungku pembakar sampah dalam bangunan batu bata itu, jumlah sampah dari Pasar Dlanggu yang dibuang di desa itu berkurang drastis. Kini tumpukan sampah hanya seluas 15 meter x 15 meter dengan ketinggian tak sampai satu meter.

Pihak pengelola Pasar Dlanggu juga memberikan insentif Rp 250.000 per bulan yang dibagi rata. Jumlah yang terbilang kecil itu tetap diterima ketiganya karena tekad awal mereka memang hanya ingin membebaskan desa itu dari kepungan sampah.

Readmore »»

Resapan Air Berkurang

Kawasan Perumahan Berdiri Tanpa Izin
KOMPAS, Jumat, 20 Februari 2009 00:23 WIB

Medan - Pelan tetapi pasti, kawasan resapan air di Medan mulai berkurang. Kawasan perumahan tanpa izin berdiri di daerah aliran Sungai Deli. Meski pemerintah mengingatkan, pembangunan perumahan jalan terus.

”Daerah resapan ini tidak boleh berubah fungsi. Ini tercantum dalam Rencana Tata Ruang dan Tata Wilayah (RTRW) Medan. Kami akan panggil pengembang dan pihak terkait,” kata Wakil Ketua Komisi D Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Medan Abdul Rahim di Medan, Kamis (19/2).
Dokumen ini tidak diindahkan oleh pengembang. Mereka mulai membangun rumah di kawasan seluas sekitar 10 hektar ini. Pelanggaran kembali terjadi, Pemerintah Kota Medan belum mengeluarkan izin bangunan di kawasan ini. ”Apa pun bentuk bangunan itu, setiap bangunan harus memiliki izin dahulu baru bisa dibangun,” ujar Abdul Rahim.
DPRD Medan, katanya, sudah berkali-kali mengingatkan kepada pengembang. Dia bersama anggota Dewan lain juga pernah langsung mengunjungi lokasi. Dia meminta Pemerintah Provinsi Sumut ikut mengambil langkah menertibkan pembangunan kawasan ini. Pelanggaran lain yang nyata terlihat oleh mata adalah pembangunan beton di bibir Sungai Deli di kawasan ini.
”Pembangunan benteng di bibir sungai ini tanpa berkomunikasi dengan pemerintah. Padahal, menurut aturan, harus ada jarak pembangunan antara bibir sungai dan lokasi bangunan,” katanya.
Wakil Kepala Dinas Pengairan Provinsi Sumut Gindo Maraganti Hasibuan mengatakan hal yang sama. Pembangunan kawasan ini belum mendapat izin Pemprov Sumut. ”Kami hanya mengizinkan membangun beton dengan syarat yang kami tentukan berdasarkan garis sempadan. Tidak bisa sembarangan,” tuturnya.
Dasar aturan yang dia maksud adalah Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 1995 tentang Garis Sempadan Sungai. Gindo mengatakan, Pemprov Sumut tak pernah memberi izin pembangunan rumah di kawasan itu. ”Bukan kami saja yang bertanggung jawab, pemerintah kabupaten dan kota yang dilalui Sungai Deli juga harus ikut bertanggung jawab menjaga kelestarian DAS,” ujarnya.
Rusaknya daerah resapan air di DAS Deli mencemaskan warga yang tinggal di sepanjang sungai itu. Warga Kelurahan Sei Mati, Kecamatan Medan Maimon, Khairil Syah, mengaku terancam dengan pembangunan perumahan ini. ”Pengembang sudah memagari bibir sungai dengan beton,” katanya.
Menurut Khairil, warga meminta keadilan agar pemerintah tidak hanya meminta warga pindah dari lokasi itu. Mereka yang membangun perumahan di bibir sungai (sebelah barat perumahan warga) juga harus diperingatkan agar tidak merusak lingkungan.
Pembangunan perumahan ini mempersempit badan Sungai Deli. Pada kondisi normal saja, kawasan Sei Mati sering terendam air. Ancaman banjir ini semakin besar, seperti yang terjadi tahun 2001. Bandara pernah tergenang karena banjir ini. (NDY)

Readmore »»

Kamis, 19 Februari 2009

Sampah Berbahaya


Pemulung mengayuh perahu busa plastik untuk mencari barang bekas di Kali Jelakeng, Penjaringan, Jakarta Utara, Rabu (18/2). Setiap hari, ada 6.000 ton sampah yang diolah Dinas Kebersihan DKI Jakarta. Dari jumlah itu, 45 persen adalah sampah organik. Sisanya merupakan sampah anorganik seperti plastik yang sulit diurai.

Readmore »»

Lingkungan - Dari Tanah Kembali ke Tanah

KOMPAS, Kamis, 19 Februari 2009 10:45 WIB Oleh:Oleh Antony Lee
Udara sejuk dan gemerisik daun pinus membuat suasana syahdu di tapal batas Kawasan Balai Taman Nasional Gunung Merbabu di Desa Tajuk, Getasan. Rabu (18/2) siang itu ada "pemakaman" pohon-pohon pinus.


Belasan orang hadir pada prosesi "pemakaman" di Desa Tajuk, Getasan, Kabupaten Semarang, Dari wajah mereka tergambar sepercik penyesalan dan harapan.

Sebuah lubang sedalam 1,5 meter dengan lebar 2,0 meter sudah terisi potongan-potongan batang pinus. Di tepiannya ada beberapa potong lagi yang siap dilemparkan. Tidak lama kemudian, setelah warga berdatangan dan petugas Balai Taman Nasional Gunung (BTNG) Merbabu tiba, potongan demi potongan pohon pinus dimasukkan ke dalam lubang galian.

Mereka lalu menimbun lubang itu. Entah sekadar bergurau atau bagian dari haru biru prosesi itu, di gundukan tanah bekas "pemakaman" pohon itu bertaburan beberapa helai kembang. Mereka menancapkan ranting pohon di kiri dan kanan lubang.

"Biarkan pohon pinus itu kembali ke tanah. Semoga pohon itu dapat terurai dan menjadi hara bagi tanah, menyuburkan pohon lainnya," ujar Kepala BTNG Merbabu Untung Suprapto usai prosesi Pengembalian Pohon Tumbang ke Habitat.

Lubang itu berisi tiga pohon pinus yang sudah dipotong-potong. Angin kencang yang menerpa kawasan itu awal Februari lalu menyebabkan 508 pohon pinus di BNTG Merbabu tumbang. Sebanyak 433 pohon di antaranya berada di Getasan.

Menurut Untung, sesuai dengan aturan, semua hasil di daerah konservasi, yakni ranting atau satwa, tidak boleh dibawa keluar dari kawasan. Oleh karena itu, pohon-pohon yang tumbang tersebut harus dimusnahkan. Bisa saja membakar pohon itu, tetapi sangat riskan karena dapat menyebabkan kebakaran hutan. Penanaman kembali pohon ini adalah upaya untuk mencegah perambahan.

"Masyarakat dapat mengawasi. Kayu ini tidak ada yang dibawa keluar dengan alasan apa pun, termasuk untuk alasan diamankan. Kalau begitu caranya kelak kayu besar-besar itu disulap dari omahe pak Untung," katanya sambil tertawa.

Meski tidak terlalu dalam dipendam, pengelola BTNG Merbabu percaya warga tidak akan menggali potongan pohon itu. "Tujuannya untuk menghindari kerusakan hutan. Kami paham," kata Teguh (32), Kepala Dusun Gedong, Desa Tajuk.

Camat Getasan Heru Purwantoro mengatakan, penanaman pohon yang tumbang merupakan salah satu pembeda dengan saat kawasan ini masih dikelola Perum Perhutani. Saat ini, meski pohon tersebut tumbang dengan sendirinya, warga sama sekali dilarang mengambil pohon tersebut.

Ketua Forum Rembuk Merbabu Kabupaten Semarang Suyono sempat berbincang dengan warga yang tinggal perbatasan kawasan BTNG Merbabu. Menurut dia, kemiringan tanah di gunung ini mencapai 45 derajat sehingga sangat rawan longsor. Warga harus betul-betul menjaga keberadaan pohon, termasuk menanam pohon.

Menurut dia, banjir yang melanda Kota Semarang dan sekitarnya tidak terlepas dari laju air di daerah hulu. Pohon-pohon habis sehingga air tidak terserap.

"Jangan sembarangan menebang atau ambil kayu karena mengira tidak terkena dampaknya. Hutan gunung gundul berarti air tidak terserap, tanah akan longsor, warga sekitar yang pertama kali kena imbasnya dapat terkubur," katanya.

Readmore »»

Lingkungan - Banyak IPAL Tidak Berfungsi

KOMPAS, Kamis, 19 Februari 2009 10:54 WIB
Bandung - Tiga pabrik yang dikunjungi Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH) Kota Bandung, Rabu (18/2), terbukti mencemari air Sungai Ciparungpung. Sebab, instalasi pengolahan air limbah yang mereka miliki tidak berfungsi sempurna. Bahkan ada pabrik yang tidak memiliki IPAL.


Pabrik tekstil CV Cimuntex, yang berdiri sejak tahun 1967, tidak memiliki IPAL. Semua air limbah hanya ditampung di kolam sebelum dibuang ke sungai. "Ini bukan IPAL. Ini hanya IPAL-IPAL-an," kata Kepala BPLH Kota Bandung Nana Supriatna saat meninjau kolam pabrik di Jalan Cimuncang tersebut.

Kepala Bidang Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan BPLH Kota Bandung Ayu Sukenjah menjelaskan, pada 2006, biological oxygen demand (BOD) dan chemical oxygen demand (COD) di CV Cimuntek lebih dari 100 miligram per liter. Padahal, ambang batasnya hanya 60 miligram per liter.

Air dengan BOD dan COD tinggi dapat mematikan ikan di sungai dan berbahaya bila dikonsumsi. Air ini juga mengeluarkan bau tidak sedap. Adapun limbah batu bara dibiarkan menumpuk begitu saja. "Soal ukuran limbah atau batu bara, saya tidak mengerti," kata Surya yang bekerja di bagian finishing kain. Saat itu, pemilik pabrik sedang tidak ada.

Sungai tercemar

Sementara itu, PT Sandang Nasional membuang air limbah melalui dua saluran. Saluran pertama menggunakan IPAL, sementara saluran kedua tanpa IPAL. "Kalau besok masih kami temukan air limbah tanpa IPAL, saya akan menyegel mesin pencelupan ini," kata Nana kepada pemilik pabrik, Surya Dharmana.

PT Sandang Nasional juga tidak mengolah air limbahnya dengan proses aerasi. Padahal, aerasi menjadi syarat utama dalam IPAL guna meningkatkan kadar oksigen dalam air limbah. Dharmana berjanji, dalam waktu satu sampai dua hari semua air limbah diproses melalui IPAL sebelum dibuang ke sungai.

Rombongan BPLH juga berkunjung ke PT Nagamas. Meskipun air limbah sebanyak 7.000-8.000 liter per hari itu telah melalui IPAL sebelum dibuang ke sungai, masih ada masalah. Kadar BOD-nya mencapai 70 miligram per liter karena proses aerasinya tidak sempurna. "Akan kami perbaiki segera, Pak," kata pemilik PT Nagamas, Susanto.

Di Bandung terdapat 118 pabrik yang membuang limbah cair ke sungai. Akibatnya, ke-66 sungai di Kota Bandung tercemar, termasuk oleh limbah domestik. (MHF)

Readmore »»

AS Hibahkan 40 Juta Dollar untuk Selamatkan Koral

KOMPAS, Kamis, 19 Februari 2009 00:46 WIB
Jakarta - Pemerintah Amerika Serikat akan menyiapkan dana hibah sebesar 40 juta dollar AS untuk pelaksanaan Coral Triangle Initiative guna penyelamatan terumbu karang di kawasan Asia Tenggara. Selain itu disepakati kerja sama strategis di antara kedua negara yang akan difokuskan pada masalah lingkungan hidup dan perubahan iklim.

Hasil pertemuan delegasi AS dan Indonesia pada pertemuan ke-25 Dewan Pengarah (Governing Council) United Nations Environmental Program (UNEP) di Nairobi, Kenya, itu disampaikan Sekretaris Menko Kesra Indroyono Soesilo yang tiba kembali di Jakarta, Rabu (18/2).
Pada pertemuan itu, delegasi Indonesia diwakili oleh Kepala Badan Riset Kelautan dan Perikanan DKP Gelwyn Yusuf dan Indroyono selaku Sekretaris World Ocean Conference (WOC). Adapun delegasi AS dipimpin Daniel Reifsnyder.
Indroyono mengemukakan, dalam pertemuan itu Daniel juga menyinggung kunjungan Menlu AS Hillary Clinton ke Jakarta, Rabu. Hillary yang didampingi Todd Stern, Dubes Khusus AS yang bertugas untuk negosiasi isu perubahan iklim, akan membicarakan lebih lanjut tentang kerja sama bilateral.
Pertemuan delegasi AS-Indonesia di Nairobi itu, kata Indroyono, juga membahas rencana kehadiran wakil Pemerintah AS, Badan Atmosfer dan Kelautan Nasional AS (NOAA), dan USAID dalam WOC yang akan berlangsung di Manado, Sulawesi Utara, pertengahan Mei mendatang.
Dalam pertemuan yang dihadiri delegasi dari 136 negara itu yang berakhir Jumat (20/2), UNEP juga menyambut baik inisiatif Pemerintah Indonesia dalam melakukan upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim atau pemanasan global di sektor kelautan.
Selain itu, dalam pertemuannya dengan delegasi RI yang dipimpin Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi, Direktur Eksekutif UNEP Ahiem Steiner juga mengusulkan agar kesepakatan yang dicapai di WOC, yaitu Manado Ocean Declaration, dibawa pada pertemuan SBSTA (Subsidiary Body for Scientific and Technological Advice) ke-30 di Bonn, Jerman, Juni mendatang. (YUN

Readmore »»

Selasa, 17 Februari 2009

Bersahabat dengan Alam

KOMPAS, Rabu, 18 Februari 2009
Sekawanan kerbau yang sedang berkubang menjadi teman bermain bagi anak-anak di Sawah Besar, Semarang, Jawa Tengah, Senin (16/2). Sebagian anak-anak yang tinggal di kota besar saat ini mulai asing dan kian berjarak dengan kehidupan alam bebas.

Readmore »»

Lingkungan - Disiapkan Rp 300 Juta demi Adipura

KOMPAS, Rabu, 18 Februari 2009 11:02 WIB
Bandung - Pemerintah Kota Bandung berambisi meraih penghargaan Adipura yang akan diumumkan pada 5 Juni 2009. Untuk itu, Pemkot Bandung mengalokasikan dana Rp 300 juta untuk membenahi kota.


Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Kota Bandung Nana Supriatna menjelaskan, dana tersebut digunakan untuk pengadaan tong sampah, gerobak sampah, dan pendidikan lingkungan di tingkat RW. "Dalam pendidikan lingkungan, Pemkot Bandung bekerja sama dengan PT Unilever dan media massa," ujar Nana, Selasa (17/2) di Bandung. Menurut dia, sedikitnya ada 14 hal yang menjadi fokus penilaian untuk memperoleh Adipura.

Beberapa di antaranya masih sangat buruk, seperti tempat pengolahan akhir sampah, sungai, drainase, stasiun, terminal, dan pasar tradisional. Adapun yang nilainya cukup baik adalah jalan, perumahan, dan perkantoran. "Untuk hutan kota dan taman kota, Bandung dinilai sudah sangat bagus," ujarnya.

Untuk meningkatkan kualitas lingkungan, Pemkot Bandung mengampanyekan peduli lingkungan sampai tingkat RW. Pada awal Maret, Pemkot Bandung menggelar lomba lingkungan bersih antar-RW yang dikoordinasi camat setempat.

Meskipun Pemkot berambisi meraih Adipura, Nana menilai ini merupakan perjuangan berat. Alasannya, pada tahun 2006 Kota Bandung memperoleh predikat sebagai kota terkotor karena tidak dapat mengantisipasi banjir sampah. "Jika nanti tidak memperoleh Adipura, minimal Kota Bandung bersih," paparnya.

Secara terpisah, anggota Komisi A DPRD Kota Bandung, Tedy Rusmawan, mengatakan, upaya pencapaian Adipura menjadi ukuran nyata bagi Pemkot Bandung dalam memperbaiki lingkungan kota. Sebab, selama ini Pemkot selalu mengklaim telah meningkatkan kualitas lingkungan hidup, tetapi belum ada data nyata.

Tedy mengatakan, ambisi meraih Adipura harus sinergis dengan program lain, seperti penataan kawasan Babakan Siliwangi dan pembangunan taman di bawah jalan layang Pasupati dengan dana Rp 6 miliar. Dengan demikian, upaya pencapaian Adipura tidak terkesan main-main.

Namun, peningkatan kualitas lingkungan tidak hanya dilakukan demi memperoleh Adipura. Gerakan budaya, seperti Jumat Bersih dan sejenisnya, harus kembali digalakkan sepanjang tahun. "Saya lihat, sudah lama tidak ada kegiatan Jumat Bersih. Padahal, ini sangat efektif meningkatkan kualitas lingkungan," ujarnya.(MHF)

Readmore »»

Indosat Hijau di Kota Bekasi

KOMPAS, 18 Februari 2009, 00:18 Wib
Tak kurang dari 2.000 batang pohon jenis tanaman produktif disumbangkan Indosat Cabang Bekasi kepada Pemerintah Kota Bekasi.
Penyerahan bantuan pohon itu dilakukan secara simbolis seusai apel bendera di kantor Wali Kota Bekasi, Selasa (17/2), dan dilanjutkan dengan penanaman pohon tersebut di areal taman kantor Wali Kota Bekasi. Kepala Wilayah Jabotabek Indosat Asep Suhendi menyatakan, bantuan tersebut merupakan bentuk komitmen dan kepedulian Indosat dalam upaya pelestarian lingkungan melalui program Indosat Hijau. Selain menyerahkan bantuan pohon, Indosat Cabang Bekasi juga menyerahkan 10.000 buku tulis kepada Pemerintah Kota Bekasi. Buku tulis itu bersampul foto Wali Kota Bekasi dan Wakil Wali Kota Bekasi serta bertuliskan Sukseskan Program Wajib Belajar 9 Tahun.(COK)

Readmore »»

Senin, 16 Februari 2009

Penanaman Massal Jati Unggul Nusantara

KOMPAS, Senin, 16 Februari 2009, 14:52 Wib
Dalam waktu dekat, Pemerintah Kabupaten Kulon Progo akan menanam Jati Unggul Nusantara secara massal di 20 desa.
Pelaksanaan kegiatan itu ditandai dengan penandatanganan nota kesepahaman antara pemerintah daerah dan Unit Usaha Bagi Hasil Koperasi Perumahan Wanabhakti Nusantara (UBH-KPWN), selaku penyedia bibit dan fasilitator, Sabtu (14/2) di Wates. Kepala Kantor Lingkungan Hidup Kulon Progo Djunianto Marsudi Utomo menuturkan, jumlah bibit pohon jati yang akan ditanam berjumlah 100.000 batang atau diperkirakan mampu menutup lahan seluas 100 hektar. Jumlah bibit jati akan bertambah hingga 500.000 batang sampai lima tahun ke depan. Dari setiap 1.000 batang yang akan dipanen dalam usia lima tahun, desa akan mendapat pemasukan kas Rp 50 juta per tahun. (YOP)

Readmore »»

Adiosyafri, Komitmen Menyelamatkan Gambut

KOMPAS, Senin, 16 Februari 2009 00:58 WIB
Sumatera Selatan merupakan salah satu provinsi yang memiliki kekayaan alam berupa lahan gambut. Lahan gambut seluas 200.000 hektar dengan ketebalan 1-6 meter itu terletak di Kabupaten Musi Banyuasin.


Sayangnya, keberadaan lahan gambut selalu terancam kerusakan. Pada era hak pengelolaan hutan (HPH), kawasan tersebut rusak akibat penggundulan hutan. Sekarang, pada era reformasi terancam oleh proyek hutan tanaman industri (HTI) dan pembalakan liar.

Adiosyafri (32) bersama teman-temannya di organisasi Wahana Bumi Hijau Sumsel sejak tahun 2004 mencoba menyelamatkan lahan gambut Merang Kepayang di Kecamatan Bayung Lencir, Musi Banyuasin (Muba).

Menurut Adiosyafri, cara menyelamatkan lahan gambut yang paling efektif adalah dengan memberdayakan masyarakat sekitar yang sering melakukan pembalakan liar. Caranya adalah memberikan bantuan kredit lunak kepada masyarakat.

”Masyarakat yang ingin meminjam uang harus menanam pohon karet atau tanaman lain di lahan kritis maupun di pekarangan mereka,” kata ayah dari Kaisha (2) ini.

Adiosyafri mengungkapkan, dengan cara tersebut, banyak lahan kritis yang bisa diselamatkan. Upaya tersebut juga tidak memerlukan banyak modal karena bibit tanaman karet dapat diupayakan sendiri.

Menurut pria yang lahir di Muara Enim, 30 September 1976, itu, upaya lain menyelamatkan lahan gambut adalah mengajak masyarakat membuat tebat di sepanjang parit yang banyak terdapat di sekitar Sungai Merang dan Sungai Kepayang. Parit-parit yang jumlahnya sekitar 118 buah dengan panjang 3-5 kilometer itu dulu adalah jalan untuk menghanyutkan kayu hasil pembalakan hutan.

Tebat semipermanen itu terbuat dari kayu dan papan. Tujuan membuat tebat agar air yang mengalir di parit tidak cepat kering saat musim kemarau sebab tanah gambut sangat cepat menyerap air sehingga rawan terjadi kebakaran hutan. Panjang tebat bervariasi antara 5 kilometer dan 10 kilometer.

Adiosyafri menuturkan, saat ini masyarakat masih terbatas memelihara tebat yang sudah dibangun dan belum melakukan pembuatan tebat baru. Menurut Adiosyafri, membuat tebat tetap membutuhkan sokongan dana dari pihak luar.

Menurut alumnus Fakultas MIPA Universitas Sriwijaya tersebut, lahan gambut di Muba saat ini menghadapi ancaman kerusakan yang serius dengan adanya HTI dan pembalakan liar meskipun volumenya sudah berkurang. Proyek HTI itu selalu dimulai dengan melakukan pembersihan lahan dan akan melakukan penanaman ulang dengan tanaman yang dibutuhkan perusahaan tersebut di lokasi lahan gambut satu-satunya di Sumsel yang masih terjaga. (WAD

Readmore »»

Minggu, 15 Februari 2009

Asep Samudra Hijaukan Pesisir Cianjur

KOMPAS, Senin, 16 Februari 2009 00:37 WIB Oleh: Agustinus Handoko
Ketika ratusan bangunan di Teluk Palabuhanratu dan pesisir selatan Sukabumi rusak akibat hantaman gelombang besar, Mei 2007, permukiman penduduk di pesisir selatan Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, tetap aman kendati gelombang yang sama besarnya juga menghantam wilayah itu.



Gumuk pasir yang terbentuk di sempadan pantai telah menyelamatkan penduduk dari dampak hantaman gelombang besar.

Kendati telah menyelamatkan penduduk, gumuk pasir yang membentang sepanjang 63,1 kilometer dari Kecamatan Cidaun di sebelah timur dan Kecamatan Bojongterong di barat tetap dibiarkan telantar.

Ancaman pengikisan gumuk oleh aliran sungai dan gerusan air laut tak ada yang memedulikan. Gumuk pasir itu hanya ditumbuhi semak belukar dan tanaman perdu.

Melihat keadaan tersebut, Asep Samudra (39) tergerak untuk menanami gumuk pasir dan sempadan pantai di pesisir selatan Cianjur. Juli 2008, Asep memulai menanami gumuk pasir dan sempadan pantai itu, mulai dari Kecamatan Sindangbarang yang berada di tengah-tengah garis pantai menuju ke arah Cidaun.

”Awalnya banyak orang yang berpikir saya kurang kerjaan sehingga mencari-cari pekerjaan. Untuk apa menanami lahan pantai, buang-buang uang saja,” katanya.

Namun, Asep tak patah arang oleh cibiran orang terkait upayanya menanami gumuk pasir tersebut. Dia terus menanami lahan telantar itu sampai sepanjang 15 kilometer dari tempatnya semula.

Jarak antara pohon 5 meter hingga 10 meter. Di ruas tertentu, penanaman dilakukan hingga dua baris karena lebarnya gumuk pasir. Jumlah pohon yang sudah ditanam tak kurang dari 2.000 batang, yang dibeli Asep dari pusat pembibitan.

Menjaga gumuk

Ketika ditanya berapa uang yang sudah dikeluarkannya untuk penanaman kawasan pesisir itu, Asep enggan mengungkapkannya. ”Tak perlu disebutkan nilai uangnya. Saya hanya ingin melihat pesisir selatan Cianjur hijau yang berarti sekaligus menjaga gumuk pasir yang telah menyelamatkan kami,” ujar Asep yang adalah warga asli Cidaun.

Asep kemudian berbagi pengalaman kenapa dia memilih pohon ketapang untuk menghijaukan pantai. ”Dulu pernah ada gerakan reboisasi oleh pemerintah dengan menggunakan tanaman bakau, tetapi gagal karena lahannya kering. Ternyata bakau hanya cocok untuk rawa pantai,” kata Asep.

Belajar dari kegagalan reboisasi pemerintah itu, Asep kemudian mulai mencari tahu apa tanaman yang paling cocok untuk gumuk pasir yang berkarakter lahan kering.

Dia kemudian menemukan pohon-pohon ketapang yang tumbuh kokoh di suatu kawasan pantai di Jabar. Dari hasil penelitiannya, pohon ketapang memang yang paling cocok di lahan pasir kering. Pohon ketapang bisa tumbuh rimbun dan memiliki perakaran sangat kuat sehingga mampu menahan erosi di muara sungai dan abrasi di sempadan pantai.

”Saya tidak pernah berpikir muluk-muluk, hanya punya keinginan untuk menyelamatkan gumuk pasir dan membuat pesisir selatan teduh. Siapa tahu, potensi keindahan panorama akan dilirik setelah pesisir teduh. Ini yang saya pikir bisa saya lakukan untuk generasi setelah saya,” ungkap Asep.

Berselang tiga bulan sejak memulai penanaman, pohon ketapang di Sindangbarang sudah setinggi orang dewasa. Keberadaan tanaman berdaun lebar itu juga makin menonjol dibandingkan dengan belukar dan tumbuhan perdu lainnya.

Pasir besi

Hal itu cukup memberi jawaban bagi banyak orang yang mencibir upaya Asep. Sebagian warga pesisir mulai bersimpati dengan gerakan yang dipelopori oleh Asep. Apalagi, pada saat yang bersamaan sebagian warga sedang dhinggapi demam penggalian pasir besi di lahan pantai.

Mereka menampung pasir besi yang terbawa ombak meskipun tidak menggali gumuk pasir. Namun, jika tak diawasi, bisa-bisa gumuk pasir juga menjadi sasaran. Untuk itu, Asep yang mulai mendapat dukungan dari nelayan dan banyak warga itu juga mendekati para penambang untuk memberi penjelasan soal pentingnya menjaga lingkungan.

”Mereka mengerti dan bahkan bersedia menyisihkan Rp 1.000 per meter kubik pasir besi yang mereka peroleh untuk mendukung gerakan penanaman lahan pantai. Sempadan pantai yang sudah ditanami menjadi tanggung jawab para penambang. Jika pohon sampai mati, mereka bersedia tidak melakukan penambangan selama tiga bulan,” kata Asep.

Selama ini, para penambang memang belum memperoleh hasil kajian yang menyatakan bahwa kegiatan para penambang itu bisa merusak lingkungan. ”Kalau memang sudah ada kajian, mereka bersedia berhenti,” kata Asep.

Setelah berhasil menggulirkan gerakan penghijauan pesisir selatan Cianjur, Asep berani memasang target untuk bisa mengajak lebih banyak orang lagi sehingga pesisir pantai selatan Cianjur sepanjang 63,1 kilometer seluruhnya bisa dihijaukan.

Readmore »»

Iklim Telah Berubah

KOMPAS, Senin, 16 Februari 2009 00:13 WIB
Jakarta - Cuaca ekstrem, badai tropis yang semakin sering, dan pergeseran musim merupakan fenomena terjadinya perubahan iklim. Munculnya fenomena tersebut di Indonesia diakui merupakan indikasi bahwa perubahan iklim memang telah terjadi di Indonesia.


Ketua Program Studi Meteorologi Institut Teknologi Bandung (ITB) Armi Susandi, yang dihubungi Minggu (15/2) di Jakarta, menegaskan, ”Itu sudah merupakan implikasi dari pemanasan global dan merupakan indikasi perubahan iklim.”

Pemanasan global, kata Armi, telah menyebabkan semakin tidak meratanya pola temperatur dan tekanan udara secara spasial (ruang). Perbedaan temperatur terjadi antara daerah subtropis dan daerah tropis, juga di daerah subtropis atau daerah tropis sendiri yang mengakibatkan terjadinya pergerakan udara. Semakin tinggi perbedaan tekanan udara akibat perbedaan temperatur semakin kencang angin yang ditimbulkannya dan dapat melahirkan badai pada lintang tertentu. Perbedaan temperatur yang ekstrem dapat memicu munculnya cuaca ekstrem.

Perhitungan musim tanam dan musim melaut tidak lagi presisi. Bencana pun selalu datang baik pada musim kemarau maupun pada musim hujan.

Terjadinya perubahan iklim ditegaskan dengan hasil analisa yang telah dilakukan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) dari pengolahan data yang diambil selama 50 tahun. Kepala Bidang Analisa Klimatologi dan Kualitas Udara BMKG Soetamto, Jumat lalu di Jakarta, mengungkapkan, ”Ini untuk melihat kecenderungan yang ditunjukkan sebagai dampak perubahan iklim.”

Analisis tersebut menghasilkan lima peta kecenderungan periode 1951-2000 yang dikategorikan sebagai dampak perubahan iklim di Indonesia. Peta itu meliputi perubahan panjang musim, permulaan musim hujan, permulaan musim kemarau, curah hujan pada musim hujan, dan curah hujan pada musim kemarau.

Indikasi lainnya adalah meningkatnya intensitas siklon tropis yang menyebabkan gelombang tinggi. ”Siklon tropis di Samudra Hindia rata-rata setiap tahun terjadi 7-8 kali dalam rentang waktu lima bulan dari November sampai Maret. Jarang sekali mengumpul seperti empat siklon Charlotte, Dominic, Ellie, dan Freddy dalam masa kurang dari satu bulan,” kata Mezak Arnold Ratag, dosen Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung, Sabtu.

Empat siklon tropis itu terjadi dalam jangka waktu 28 hari, antara 11 Januari hingga 7 Februari. Akibatnya, terjadi gelombang tinggi di perairan Indonesia, mulai dari perairan di barat Sumatera hingga di sebelah timur Nusa Tenggara.

Dampak perubahan iklim antara lain pulau tenggelam akibat naiknya permukaan air laut karena mencairnya es di kutub, ancaman kekeringan, banjir, ketidakpastian iklim, dan cuaca ekstrem. Kejadian-kejadian itu secara langsung akan mengancam penghasilan dan kehidupan nelayan, masyarakat pesisir, dan petani karena berdampak terhadap menurunnya produktivitas pertanian. Secara nasional, kondisi ini dapat mengganggu ketahanan pangan.

Nelayan bangkrut

Semakin seringnya terjadi gelombang tinggi akibat badai tropis, nelayan kini terlilit utang karena mereka praktis tidak berpenghasilan atau penghasilan mereka turun drastis. Mereka terpaksa beralih profesi menjadi penarik becak, buruh tani, kuli angkut, tukang batu, atau menganggur di rumah membantu istri. Mereka antara lain berada di Lamongan, Gresik, Jember, di Provinsi Jawa Timur, dan Lombok, Provinsi Nusa Tenggara Barat, serta Makassar Provinsi Sulawesi Selatan, juga di sejumlah daerah di Sumatera Utara.

Wakil Ketua Himpunan Kerukunan Nelayan Seluruh Indonesia Cabang Lamongan Sudarlin kondisi saat ini sungguh berbeda dengan 10 tahun lalu. Saat ini cuaca semakin susah diprediksi. ”Kelihatannya biasa saja, ternyata di tengah laut gelombangnya besar dan angin kencang,” katanya.

Dari 7-10 hari melaut hanya 2-3 hari efektif untuk menangkap ikan dan hasilnya pun turun drastis. ”Di tempat pelelangan ikan di Brondong. Dulu paling tidak sehari bisa dibongkar 100 ton hingga 200 ton sehari, kini hanya 10 ton-20 ton saja,” katanya. ”Saat paceklik ikan dan cuaca buruk banyak nelayan menggadaikan perhiasan emas, barang elektronika, dan surat kendaraan bermotor, hingga mereka terjerat utang ke rentenir,” kata Sudarlin.

Di Jember, sejumlah 15.225 orang nelayan menganggur, dengan jumlah perahu 1.865 unit.

Selain terjerat utang dan kehilangan penghasilan, nelayan juga mempertaruhkan nyawanya saat melaut.

Hingga Kamis dua nelayan asal Lamongan, Miftahul Arif (19) dan Febriyanto (25) yang melaut 29 Januari lalu belum juga ditemukan. Kisah tiga nelayan Sungairujing, Kecamatan Sangkapura, Pulau Bawean yaitu M Syafi'i (27), M Syahrul (27), dan Ridah (64) tak beda jauh. Sudah dua hari lewat mereka tak kembali. Diduga perahu mereka terbalik diempas ombak. Cerita serupa terjadi di berbagai tempat.

Menurut Guru Besar Oceanografi Institut Teknologi Bandung, Safwan Hadi, Oceanografi ITB mencatat ada 16 daerah di pantai selatan Jawa yang rawan terkena gelombang badai pasang.

Daerah itu antara lain Nusakambangan (Jawa Tengah), Palabuhan Ratu (Jawa Barat), Pamengpeuk (Jawa Barat), Manjungan (Jawa Tengah), Pananjung (Jawa Barat), Pacitan (Jawa Timur), dan Tanjung Pelindu (Jawa Timur). Selain itu juga berpotensi terjadi di Karang Taraje (Jawa Barat), Tanjung Purwa (Jawa Timur), dan Tanjung Tereleng (Jawa Barat).

Pulau tenggelam

Ketua Jurusan Geografi Lingkungan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Junun Sartohadi mengatakan, dengan garis pantai sepanjang 88.000 Kilometer dan 17.500 pulau, Indonesia sangat rawan dengan naiknya permukaan air laut. Pulau-pulau berketinggian satu meter di atas permukaan laut terancam tenggelam-jumlahnya diperkirakan mencapai ratusan.

Menurut dia, dampak kenaikan permukaan air laut di Indonesia terlihat dengan meningkatnya intensitas dan frekuensi banjir di kota pesisir seperti Semarang, Surabaya, dan Jakarta.

Salah satu penelitian yang pernah dilakukan di Kota Semarang menunjukkan, saat ini rob semakin jauh memasuki daratan atau maju beberapa kilometer dari garis pantai.

Dalam lima tahun terakhir, di Jawa Timur terdapat lima pulau kecil terancam tenggelam akibat naiknya permukaan air laut. Sejumlah pulau di Kabupaten Sumenep, Madura terancam tenggelam. Pulau-pulau itu adalah Pulau Gili Pandan, Pulau Keramat, Pulau Salarangan, dan Pulau Mamburit. Pulau Gresik Putih telah hilang sejak 2005.

"Luas Pulau Gili Pandan awalnya 1 kilometer persegi, sekarang tinggal 100 meter persegi, Pulau Keramat semula 700 meter persegi kini tinggal 50 meter persegi. Sedang Pulau Gresik Putih yang luasnya 500 meter persegi tak lagi tampak sejak tahun 2005," ucap Ketua Forum Masyarakat Kelautan dan Perikanan Jawa Timur Oki Lukito di Surabaya.

Sementara itu Armi menegaskan, perubahan iklim juga mengakibatkan terjadinya pergeseran musim hujan dan musim kemarau. ”Musim hujan semakin pendek tetapi intensitas hujannya amat tinggi.”

Kondisi itu menimbulkan masalah air kian parah. Kepala Desa Luwung, Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon, Ahmad Kosasih, mengakui, 20 tahun terakhir kondisi lingkungan menurun drastis. Desanya krisis air setiap kali kemarau.

Sementara di musim penghujan, banjir melanda persawahan di pesisir. Mu'in (45), petani dari Desa Singakerta, Kecamatan Krangkeng, Kabupaten Indramayu bahkan harus menanam ulang hingga tiga kali pada musim tanam penghujan 2008.(ISW/ABK/ACI/SIR/BIL/CHE/ NIT/HEN/IRE/SEM/RUL/ROW/ NAW)

Readmore »»

Kebun Kosong dan Air Tanah

KOMPAS, Minggu, 15 Februari 2009 01:48 WIB
David baru memiliki rumah pada tahun 2005 dan rumah yang dia tempati sekarang adalah rumah pertamanya. Sebelumnya, pria kelahiran Jakarta ini tinggal dari satu tempat kos ke tempat kos lain.


Sepanjang hidup tinggal di Jakarta, David mengaku semakin lama semakin tidak nyaman. Lalu lintas yang bertambah padat dan pertambahan penduduk yang semakin cepat membuat ia memilih tinggal di tempat lain.

Setelah memiliki uang cukup, David lalu mencari tanah di Bogor. Ia terpikir tinggal di Bogor ketika suatu hari berkunjung ke rumah tantenya yang lokasinya tidak jauh dari rumah David sekarang. ”Saya betah di rumah tante dan berpikir enak juga tinggal di Bogor,” kenang David.

Setelah lama mencari-cari, akhirnya David mendapat tanah kebun di pinggir Sungai Ciliwung itu. Ketika membangun rumah, David menyisakan sebagian pohon-pohon besar di bagian depan rumahnya. Di rumah yang sejuk dan tenang itu, David tinggal bersama adik laki-lakinya.

Di kiri-kanan rumah David sampai sekarang masih berupa kebun kosong dan masih banyak pepohonan. Berkat pepohonan itu pula air tanah di sekeliling rumah David masih terpelihara baik.

Bahkan, karena banyak menyimpan cadangan air tanah, warga di seberang sungai beramai-ramai memasang pipa melintang menyeberangi sungai untuk mengambil air tanah. ”Hanya dengan menancapkan pipa ke tanah, air tanah itu mengalir sendiri tanpa harus di pompa,” kata David.

Rumah David yang bentuknya memanjang dari depan ke belakang belum selesai digarap David. Karena dananya habis, David belum bisa mengecat seluruh bagian rumahnya.

Tidak banyak perabotan di dalam rumah David sehingga rumah itu terlihat kosong. Di ruang tamu, David memajang meja sembahyang, sementara di ruang keluarga hanya ada dapur dan lemari makan.

Segala kegiatan David lebih banyak di ruang tamu. Di situ, ia biasa menonton tayangan televisi berbayar, bekerja mengedit naskah buku, hingga makan dan tidur siang. (IND)

Readmore »»

Jelajah Kalimantan - Orangutan di Sungai Rungan, Kenangan...

KOMPAS, Minggu, 15 Februari 2009 00:40 WIB

Seekor orangutan (Pongo pygmaeus wumbii) di atas pohon di Pulau Kaja, Sungai Rungan, Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Senin (2/2). Pulau Kaja adalah tempat introduksi atau semacam pelatihan bagi orangutan sebelum dilepasliarkan. Orangutan merupakan satwa yang dilindungi undang-undang sebab terancam punah.

Beberapa orangutan berdiam di pohon melintang di atas Sungai Rungan, Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Mata binatang itu penuh selidik memandang kami walau tak lama kemudian berlalu dengan cuek. Dari atas kapal kayu, kami buru-buru mengambil kamera, membidik. Wajah purba Kalimantan itu pun kami simpan dalam memori kamera.

Sungai ibarat masa lalu Kalimantan, sedangkan jalan adalah masa kini dan masa depan pulau itu. Masa depan yang suram.

Sembilan hari menyusuri jalan darat Trans-Kalimantan dari Nunukan, Kalimantan Timur, hingga Palangkaraya, kami tak lagi menyaksikan wajah lama Kalimantan, yang sering digambarkan sebagai rimba raya dengan aneka satwa. Di sepanjang jalan darat itu, hutan telah dibabat habis diganti dengan ladang sawit.

Maka, setiba di Palangkaraya, Tim Jelajah Kalimantan 2009 memutuskan beristirahat sejenak, menghirup bau hutan dan melihat geliat kehidupan di sungai. Dengan perahu kayu, The Rahai’i Pangun Jungle River Cruise Boat berukuran 20 meter x 6 meter, kami menyusuri sungai menuju Pulau Kaja. Pulau itu di tengah-tengah Sungai Rungan, anak Sungai Kahayan, tempat tinggal sekawanan orangutan.

Satwa yang menjadi ikon Kalimantan itu sengaja ditempatkan di Pulau Kaja sebagai pulau persinggahan untuk adaptasi sebelum dilepasliarkan di hutan. Orangutan cuek terhadap kedatangan kami, mudah diartikan sebagai belum siapnya mereka dikembalikan ke habitatnya. Mereka yang sudah liar dan menghindar dari manusia—predator utama mereka—siap dilepas.

Selain melihat orangutan, mata pelancong juga dimanjakan hijaunya alam Kalteng dengan kehidupan masyarakat setempat. Di tepi sungai, di Kampung Dayak Sei Gohong, misalnya, ramai pengangkutan karet dari perahu ke truk untuk dibawa ke Banjarmasin, Kalimantan Selatan.

Kami juga kerap berpapasan dengan belasan perahu kayu. Di sungai ini, transportasi sungai masih memperlihatkan geliatnya. Ketika hari menjelang senja, terlihat belasan orang memancing di tepi sungai. Kami pun saling bertukar salam dengan melambaikan tangan.

Penjelajahan Sungai Rungan sangat kami nikmati. Inilah penawar letih setelah berhari-hari dibanting-banting di Jalan Lintas Selatan Trans-Kalimantan. Air sungai yang tak bergejolak membuat perahu meluncur tenang seolah melaju di jalan tol.

Namun, harga untuk menikmati potret masa lalu Kalimantan itu tak murah. Untuk menyusuri Sungai Rungan dengan The Rahai’i Pangun Jungle River Cruise Boat selama dua jam, pelancong harus merogoh Rp 400.000 per orang. Namun, jika ingin berkelana lebih bebas, perahu dapat disewa seharga Rp 5,8 juta per hari (turis domestik) atau 1.200 dollar AS untuk turis mancanegara.

Operator kapal juga menawarkan paket sewa perahu selama 5 hari 4 malam atau 3 hari 2 malam. Paket sewa perahu ditunjang fasilitas kapal yang cukup nyaman, yakni lima kamar yang dilengkapi toilet dan pancuran mandi. Pelancong pun diajak singgah di kampung-kampung Dayak di hulu sungai.

Dengan harga sewa yang lumayan mahal untuk ukuran kocek Indonesia, umumnya, penyewa Rahai’i Pangun berasal dari Amerika Serikat, Australia, Afrika Selatan, Inggris, dan Belanda. Namun, pelancong yang ingin berhemat tetap saja bisa menikmati jalur yang sama karena selain menggunakan The Rahai’i Pangun itu, siapa pun bisa menyewa perahu-perahu kecil milik warga dengan harga yang jauh lebih murah meriah, yaitu sebesar Rp 150.000-250.000 untuk waktu dua jam hingga empat jam.

Dua perempuan Inggris

Wisata berperahu menyusuri Sungai Kahayan dan Sungai Rungan mulai hidup dua tahun ini atas inisiatif dua perempuan Inggris, Lorna Dawson-Collins dan Gaye Thavisin.

Lorna dan Gaye memilih angkutan wisata sungai karena infrastruktur jalan sering kali rusak. Mereka yakin jalur wisata yang bertumpu pada jalan darat akan mati. Lagi pula, tiada nilai jual dari wisata berbasis jalan di pulau yang datar ini sebab tiada pemandangan spektakuler.

Lorna memang telah jatuh hati dengan Kalimantan sehingga membuka paket wisata itu. Dia fasih berbahasa Indonesia dan telah bermukim di Palangkaraya sejak tahun 1996. Ketika itu, Lorna berkiprah di LSM Lembaga Pengembangan Masyarakat yang Berlanjut.

Keinginannya membuka paket wisata, menurut Lorna, tak semata untuk meraup keuntungan, tetapi juga untuk memberdayakan masyarakat dengan ekowisata. Pemasukan dari wisata diharapkan Lorna mendorong masyarakat untuk melestarikan hutan yang tersisa, termasuk mengendalikan penangkapan satwa.

Selain itu, tambah Lorna, 25 persen dari keuntungan bisnis ekowisata menggunakan kapal Rahai’i Pangun akan dijadikan dana mikrokredit untuk memberdayakan ekonomi masyarakat daerah setempat.

Impian Lorna dan Gaye ini menjadi oase di tengah obsesi Pemerintah Indonesia dan sejumlah elite pengusaha yang sibuk dengan mimpi-mimpi mengubah hutan menjadi ladang sawit dan menggantikan sungai serta kanal-kanal yang dibangun sejak ratusan tahun lalu dengan jalan raya.

Lorna dan Gaye sepertinya harus bekerja keras untuk mewujudkan mimpi mereka karena sungai-sungai di Kalimantan saat ini semakin menyusut saat kemarau dan banjir saat musim hujan. Apalagi limbah dari tambang liar terus mencemari sungai-sungai itu. (RYO/AIK/BRO/CAS/FUL)

Readmore »»

Kerusakan Lingkungan - Di Musim Hujan Panen Banjir, Kemarau Langka Air

KOMPAS, Jumat, 13 Februari 2009 10:23 WIB
Sabdani (41) harap-harap cemas ketika hujan turun di persawahannya di Suranenggala Lor, Kecamatan Suranenggala, Kabupaten Cirebon, seperti Kamis (12/2). Ia memang berharap hujan turun dan bisa membuat tanamannya tumbuh, tetapi cemas hujan akan menimbulkan banjir seperti yang terjadi pada tahun-tahun sebelumnya.


Limpahan air menjadi persoalan bagi sawahnya setiap tahun. Tahun lalu, ia terpaksa menanami ulang 0,7 hektar sawahnya karena terendam banjir lebih dari seminggu. Padahal, sebagian tanaman itu sudah dipupuk dan disemprot pestisida. Modal Rp 1 juta terpaksa melayang. Dua tahun sebelumnya, ia bahkan gagal panen karena sawahnya terendam banjir. Baru sekarang saja ia bisa merasa tenang karena banjir tidak terjadi hingga pertengahan Februari.

Tidak hanya Sabdani, Casman (34), buruh tani dari Desa Kali- anyar, Kecamatan Krangkeng, Kabupaten Indramayu, pun merasa khawatir saat hujan tiba. Tahun lalu, hampir dua bulan ia tidak bisa bekerja karena persawahan di desanya terendam banjir.

Daerah pesisir di Cirebon dan Indramayu memang menjadi langganan banjir setiap tahun. Di Desa Karanganyar, Kecamatan Kandanghaur, banjir bahkan selalu masuk ke rumah warga. Ironisnya, ketika musim kemarau tiba, desa-desa di pesisir itu kering tak kebagian air. Kemarau tahun lalu, PDAM di Kecamatan Kapetakan bahkan tidak bisa melayani 4.000 pelanggan karena air di sungai Kumpulkuista, yang menjadi sumber air baku PDAM, kering. Warga Desa Bungko lor pun harus berebut air suplai PDAM untuk persediaan air minum. Rawan bencana

Kekeringan tak hanya melanda wilayah utara. Di wilayah timur Cirebon, seperti Kecamatan Mundu, kekeringan juga terjadi. Padahal, di Mundu sudah ada Situ Patok, situ yang mengairi persawahan di sekitarnya.

Muhammad Derajat, staf Unit Pelayanan Teknis Dinas Pertanian Perkebunan, Peternakan, dan Kehutanan Kabupaten Cirebon, mengatakan, fungsi Situ Patok kini menurun. Jika 20 tahun lalu air dari situ itu masih bisa mengairi daerah Mundu, Astanajapura, dan Greget, bahkan menjadi pemasok air di perkebunan tebu di Sindanglaut, Cirebon, kini air Situ Patok tak cukup untuk wilayah Mundu saja.

Kepala Bidang Evaluasi Potensi Bencana Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral Gatot Sudradjat mengatakan, pesisir utara memang rawan bencana banjir dan kekeringan. Itu disebabkan berkurangnya fungsi serapan air di daerah hulu. Agar bencana bisa diminimalisasi, perbaikan dari hulu hingga hilir harus segera dilakukan secara serius.

Pengerukan sungai untuk mencegah banjir di hilir, menurut dia, tidak efektif selama perbaikan di hulu tidak dilakukan. Dana untuk pembangunan infrastruktur guna mencegah bencana, kata Enggar Tiasto Lukita, anggota DPR Komisi V, juga terbatas.

Jika penanggulangan bencana masih dilakukan parsial, mungkin bencana kekeringan dan kebanjiran tidak akan bisa terselesaikan dengan tuntas. Banjir dan kekeringan akan tetap menjadi langganan, bahkan mungkin kian parah. Produksi pertanian bisa jadi menurun. Kalau sudah begitu, yang menderita tidak hanya petani dan warga pesisir yang terkena bencana. Semua warga pun akan ikut terkena imbasnya. (Siwi Yunita Cahyaningrum)

Readmore »»

Bencana di Hilir Makin Parah

Penanganan Masalah DAS Masih Parsial
KOMPAS, Jumat, 13 Februari 2009 10:22 WIB
Cirebon - Bencana banjir pada musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau di bagian hilir, termasuk Indramayu dan Cirebon, bertambah parah setiap tahun. Degradasi daerah resapan air di hulu dan perubahan cuaca menjadi faktor utama yang menyebabkan bencana tersebut.


Lingkungan yang memburuk dirasakan langsung oleh warga di hilir. Ahmad Kosasih, Kepala Desa Luwung, Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon, Selasa (10/2), mengatakan, desanya selalu kekurangan air pada musim kemarau. Petani terpaksa menggunakan pompa untuk menyedot air guna mengairi sawahnya yang kering pada musim kemarau. Padahal, 20 tahun lalu, sawah di desanya tidak pernah kekurangan air. Air di sumber mata air Situ Patok bahkan bisa mengairi empat kecamatan di Cirebon.

Pada musim hujan, banjir hampir selalu menggenangi sebagian besar desa di Kecamatan Gegesik, Kapetakan, Gunungjati, dan Suranenggala. Penanaman ulang sudah menjadi hal lumrah bagi Sabdani, petani yang mengolah lahan padi dan kacang seluas 0,7 hektar di Suranenggala Lor, Kecamatan Suranenggala, Kabupaten Cirebon. Hanya tahun ini persawahannya tidak terendam karena hujan tidak terjadi setiap hari.

Kepala Bidang Evaluasi Potensi Bencana Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral Gatot Sudradjat, Kamis (12/2), mengatakan, kasus banjir mengalami peningkatan selama satu dekade ini. Di Jawa Barat, genangan air meluas hingga mencapai 40.000 hektar, termasuk di Bekasi, Indramayu, dan Cirebon. Padahal, 10 tahun lalu diperkirakan genangan air masih setengahnya.

Gatot mengakui, kondisi lingkungan kini mulai terdegradasi. Fungsi penyerapan daerah aliran sungai (DAS) di 20 sungai di Jabar berkurang, termasuk Sungai Cisanggarung dan Cimanuk. Akibatnya, pendangkalan sungai di hilir terus terjadi. Air hujan yang seharusnya terserap langsung terbuang. Pihaknya mencatat, persentase air hujan yang terserap di tanah kini hanya 20-30 persen. Adapun sisanya langsung mengalir ke hilir (run-off). Kondisinya kini jauh berbeda dibandingkan dengan 30 tahun lalu dengan persentase run-off hanya 50 persen.

Kondisi hulu di Kuningan dan Majalengka, menurut Kepala Taman Nasional Gunung Ciremai Muhtadin Nafari, juga perlu perbaikan. Setidaknya sekitar 3.500 hektar lahan di Gunung Ciremai perlu dihijaukan lagi. Lahan itu merupakan lahan bekas kebakaran hutan. Muhtadin mengatakan, area itu kini mulai ditanami dengan tanaman Gerakan Rehabilitasi Penanaman Hutan dan Lahan (Gerhan), tetapi hasilnya baru bisa dilihat 8-10 tahun ke depan. Sebenarnya, menurut dia, tanaman Gerhan tidak diperbolehkan ditanam di wilayah taman nasional karena seharusnya dibiarkan tumbuh sendiri. Masih parsial

Kepala Badan Koordinasi Pemerintah dan Pembangunan Wilayah III Cirebon Ano Sutrisno mengatakan, perbaikan lingkungan harus segera dilakukan tidak hanya di hulu, tetapi juga di hilir. Meski demikian, ia mengatakan, penanganannya masih parsial. "Saat ini daerah mengatasi persoalannya masing-masing. Kuningan dan Majalengka dengan longsornya, Indramayu dan Cirebon dengan banjir dan kekeringannya. Perlu gerakan sinergi untuk mengatasi persoalan-persoalan itu," ujarnya.

Perbaikan DAS Cimanuk dan Cisanggarung pun tidak bisa dilakukan oleh satu kabupaten, tetapi semua kabupaten mulai dari Cirebon hingga Garut. Campur tangan Pemerintah Provinsi Jawa Barat, bahkan pemerintah pusat, diperlukan dalam hal ini untuk bisa menyinergikan hubungan antardaerah. (NIT)

Readmore »»

Satwa Liar - Sporc Kejar Pencuri Bayi Harimau

Jumat, 13 Februari 2009 01:28 WIB
Jambi, Kompas - Satuan Polisi Kehutanan Reaksi Cepat atau Sporc menelusuri pencuri bayi harimau dari dalam kawasan eks hak pemanfaatan hutan Rima Karya Indah, Kabupaten Muaro Jambi. Induk harimau tersebut kini dikarantina di Kebun Binatang Taman Rimbo Jambi guna menghindari berlanjutnya perburuan satwa liar tersebut.

”Kami telah mengirim Sporc untuk terus melacak pelaku pencurian dan penjualan bayi harimau. Si bayi harus ditemukan dan dikembalikan kepada induknya,” ujar Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam Jambi Didi Wurjanto, Kamis (12/2).

Menurut Didi, tewasnya tiga warga Sungai Gelam dan Pematang Raman di Muaro Jambi oleh terkaman induk harimau akibat kemarahan harimau setelah mengetahui bayinya dicuri orang. Pencurian bayi harimau diperkirakan terjadi saat sang induk tengah pergi berburu makanan di tempat lain.

Pada Kamis kemarin, induk betina harimau telah dipindah ke Kebun Binatang Taman Rimbo Jambi setelah sehari sebelumnya masuk jebakan yang dipasang tim BKSDA dalam hutan. Lalu, harimau itu diangkut dengan truk menempuh perjalanan hampir enam jam menuju Kota Jambi.

Aktivis konservasi harimau sumatera, Debby Martyr, menilai, tindakan BKSDA Jambi untuk mengarantina harimau tersebut sudah sesuai dengan strategi konservasi. ”Kami memang tidak bisa lagi terlalu romantis. Keberadaan harimau berdekatan dengan manusia. Ini dapat membahayakan manusia, juga membahayakan harimau itu sendiri dari perburuan liar,” ujarnya.

Debby menambahkan, pemerintah selanjutnya perlu mempertimbangkan kawasan yang cocok untuk harimau tersebut dilepaskan sehingga dapat hidup aman tanpa gangguan manusia.

Ia memperkirakan populasi harimau sumatera kurang dari 400 ekor. Jambi memiliki kawasan konservasi harimau, di antaranya Taman Nasional Berbak, Taman Nasional Bukit Tigapuluh, dan Taman Nasional Kerinci Seblat. (ITA)

Readmore »»

Jual Bagian Binatang Ditangkap

KOMPAS, 13 Februari 2009, 01:01 Wib
Polda Metro Jaya, Kamis (12/2) pukul 11.00, menangkap para pedagang di Pasar Rawa Bening, Jatinegara, Jakarta Timur, yang menjual bagian organ hewan yang dilindungi. Bagian-bagian dari binatang itu adalah
kepala dan kulit macan tutul, rahang hiu, gading dan gigi gajah, serta kulit beruang. Barang-barang itu dijual dengan harga Rp 10 juta-Rp 15 juta. Dari empat toko, polisi menangkap empat tersangka. Mereka dijerat UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, Pasal 40 Ayat 2 juncto Pasal 21 Ayat 2b KUHP, dengan hukuman lima tahun penjara dan denda Rp 100 juta. Demikian dikatakan Kepala Satuan Sumber Daya Lingkungan Polda Metro Ajun Komisaris Besar Rudi Setiawan, Kamis. (WIN)

Readmore »»

Sumut Segera Miliki Toba Orchid Park

KOMPAS, Rabu, 11 Februari 2009, 00:15 Wib
Sumatera Utara akan segera memiliki Toba Orchid Park atau Taman Anggrek Toba yang menjadi bagian dari Taman Konservasi Eden, Desa Lumban Rang, Kecamaran Lumban Julu, Kabupaten Toba Samosir.
Taman Anggrek seluas 1.000 meter persegi itu pada tahap pertama mengumpulkan dan memamerkan 100 jenis anggrek hutan dari perbukitan Lumban Julu. Ketua Forum Peduli Anggrek Toba Ria Telaumbanua, Selasa (10/2), mengatakan, koleksi itu diturunkan dari perbukitan dengan ketinggian antara 1.000 dan 2.000 meter di atas permukaan laut. Warna anggrek beraneka macam, mulai putih, kuning, hingga ungu, tetapi ukurannya lebih kecil dibandingkan dengan anggrek hibrida yang banyak diperdagangkan. ”Katalog anggrek hutan masih sangat minim. Jadi, koleksi ini masih kami cocokan dengan katalog anggrek terbitan luar negeri,” tutur Ria. Forum Peduli Anggrek Toba memperkirakan lebih dari 1.000 jenis anggrek hutan terdapat di sekitar Danau Toba dan sampai saat ini belum dikonservasi. Pembukaan taman akan dilakukan hari Sabtu (14/2). (WSI)

Readmore »»

Kamis, 12 Februari 2009

Harimau Sumatera Masuk Jebakan BKSDA

KOMPAS, Kamis, 12 Februari 2009 02:00 WIB
Harimau sumatera betina dewasa yang masuk perangkap dibawa tim Balai Konservasi Sumber Daya Alam Jambi untuk dikarantina di Jambi, Rabu (11/2). Harimau yang diduga menerkam tiga warga Desa Sungai Gelam, Muaro Jambi, hingga tewas ini ditangkap untuk menghindari perburuan liar.


Jambi, Kompas - Seekor harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) betina tertangkap dalam jebakan milik tim Balai Konservasi Sumber Daya Alam Jambi, Rabu (11/2). Harimau yang sebelumnya diketahui menerkam tiga warga di Sungai Gelam, Muaro Jambi, hingga tewas ini akan dikarantina dan kemudian dilepas kembali ke habitat yang lebih aman.
Dari jebakannya yang dipasang dalam kawasan eks hak pemanfaatan hutan (HPH) Rimba Karya Indah, harimau diangkut menggunakan truk dan kemudian menempuh perjalanan hampir enam jam mencapai kantor BKSDA di Kota Jambi. Harimau dewasa berukuran berat lebih dari 300 kilogram dan panjang 2 meter tersebut menggeram keras berulang kali karena dikerumuni banyak orang.
Kepala BKSDA Jambi Didi Wurjanto menjelaskan, pihaknya terpaksa menangkap harimau karena desakan masyarakat sangat kuat. ”Masyarakat khawatir akan bertambah korban lagi yang diterkam harimau tersebut,” ujarnya.
Sebagaimana diketahui, harimau yang sama menerkam tiga warga Desa Sungai Gelam dan Pematang Raman akhir Januari lalu. Para korban adalah perambah hutan dan pencari jelutung yang masuk ke dalam teritori harimau. Menurut Didi, harimau adalah jenis satwa yang tidak memiliki kebiasaan memangsa manusia.
Sifat agresif yang di luar kebiasaan diduga akibat warga menangkap bayi dari harimau betina tersebut. Dugaan dikuatkan dengan kondisi fisik puting harimau yang masih membesar. (ITA)

Readmore »»

Perubahan Iklim - Segitiga Koral, Jantung Dunia

KOMPAS, Kamis, 12 Februari 2009 01:15 WIB Oleh: YUNI IKAWATI
Kekayaan spesies terumbu karang, ikan, dan biota laut lainnya tampak berlimpah di Perairan Alor, Nusa Tenggara Timur, pada Mei 2007. Segitiga Terumbu Karang yang disebut juga sebagai "Amazon of the Seas" mencakup wilayah perairan tengah dan timur Indonesia, Timor Leste, Filipina, Sabah-Malaysia, Papua Niugini, dan Kepulauan Salomon diperkirakan dihuni sekitar 3.000 spesies ikan.

Sumber kehidupan manusia masa depan terpendam di laut. Namun, harta karun itu—berupa berbagai jenis biota laut—sebagai bahan baku pangan, obat-obatan, dan kosmetik mulai terancam kehidupannya. Hal itu disebabkan terumbu karang—rumah mereka—terus dirusak dan dihancurkan.

Tingginya tingkat perkembangbiakan makhluk di laut itu tergantung dari kelestarian terumbu karang yang bukan hanya jadi tempat tinggalnya, tetapi juga sumber pakan dan lahan untuk berpijah.

Rumah-rumah ikan itu tidak terbangun di sembarang tempat, tetapi di laut dangkal yang bersuhu hangat di pesisir—dekat pulau. Itulah yang menyebabkan kawasan di Asia Tenggara—yang disebut juga Benua Maritim— menjadi kawasan terumbu karang terluas.

”Kerajaan ikan” ini yang disebut Segitiga Terumbu Karang mencakup kawasan yang luas di perairan tengah dan timur Indonesia, Timor Leste, Filipina, Sabah-Malaysia, Papua Niugini, dan Kepulauan Solomon di Samudra Pasifik.

Segitiga Terumbu Karang ini karena menjadi episenter kehidupan laut yang memiliki keragaman jenis biota laut yang tinggi disebut juga ”Amazon of the Seas”. Terumbu karang di kawasan ini mencakup 53 persen terumbu karang dunia

Di beberapa areal di Segitiga Terumbu Karang, seperti di perairan Raja Ampat, Maluku Utara, terdapat lebih dari 600 spesies koral atau lebih dari 75 persen spesies yang dikenal di dunia.

Di terumbu karang yang tersebar perairan di enam negara itu juga dihuni sekitar 3.000 spesies ikan, serta memiliki hutan mangrove yang paling luas di dunia. Segitiga Terumbu Karang juga menjadi tempat bertelur dan berkembang biaknya ikan tuna dalam jumlah yang terbesar di dunia. Tuna merupakan komoditas perikanan yang tergolong paling diminati di dunia.

Ancaman meningkat

Sayangnya Segitiga Terumbu Karang mulai terancam kelestariannya karena berbagai masalah pencemaran, dan cara penangkapan ikan yang merusak terumbu karang, misalnya dengan menggunakan bom dan racun. Saat ini data Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) menyebutkan terumbu karang yang masih dalam kondisi sangat baik tinggal 6,2 persen.

Belakangan ini diketahui kenaikan suhu muka laut yang menyebabkan gangguan cuaca, dan perubahan iklim akibat pemanasan global, juga mengancam kelangsungan hidup terumbu karang. Keberadaan koral juga mendapat tekanan ekonomi masyarakat pesisir yang umumnya miskin.

Penelitian yang dilakukan peneliti LIPI beberapa waktu lalu menyebutkan, kerusakan terumbu karang terbesar disebabkan oleh penangkapan ikan dengan menggunakan bom ikan. ”Penelitian menunjukkan, bahan peledak 0,5 kilogram bila diledakkan pada dasar terumbu karang menyebabkan matinya ikan yang berada sampai radius 10 meter dari pusat ledakan. Adapun terumbu karang yang hancur sama sekali sampai radius tiga meter dari pusat ledakan,” ujar Suharsono, Kepala Pusat Penelitian Oseanologi LIPI. Ledakan bom tidak hanya menghancurkan terumbu karang, tetapi juga berdampak buruk bagi usaha perikanan, pelestarian lingkungan, dan pariwisata.

Berbagai masalah itu menyebabkan Indonesia yang memiliki areal terumbu karang sekitar 60.000 kilometer persegi yang semestinya dapat diraih keuntungan 4,2 miliar dollar AS per tahun dari hasil ikan dan pemanfaatan sumber biota laut bernilai ekonomis lainnya. Namun, menurut data dari Departemen Kelautan dan Perikanan, yang terjadi justru sebaliknya. Pada tahun 2000 kerugian yang ditanggung mencapai 12 juta dollar AS atau lebih dari Rp 84 miliar per tahun akibat kerusakan terumbu karang.

Kerusakan itu juga menghilangkan peluang ekonomi dari hasil perikanan, turisme, dan fungsi terumbu karang sebagai penahan ombak yang bernilai paling sedikit 70.000 dollar AS per kilometer persegi. Kondisi terumbu karang di Indonesia yang baik memiliki nilai wisata selam 3.000 hingga 500.000 dollar AS per kilometer persegi.

Selain itu, terumbu karang tepian yang berperan menetralisasi kekuatan angin dan gelombang keberadaannya diperkirakan dapat menghemat biaya 25.000-550.000 dollar AS untuk perlindungan pantai dari erosi.

Sebaliknya jika terumbu karang rusak, diperlukan dana besar untuk pemulihannya dan memakan waktu lama hingga 50 tahun. ”Tingkat pemulihannya pun tidak 100 persen. Pasti ada spesies yang hilang permanen,” kata Suharsono.

Kampanye penyelamatan

Hal inilah yang mendorong Indonesia pada tahun 2000 mencanangkan kampanye rehabilitasi dan pengelolaan terumbu karang dengan slogan ”Selamatkan Terumbu Karang-Sekarang!” Program itu dilaksanakan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) bekerja sama dengan Departemen Kelautan dan Perikanan serta mendapat bantuan teknis dari The Johns Hopkins University, AS.

Melalui kampanye itu diharapkan kesadaran masyarakat dan pemerintah terhadap arti penting dan nilai strategis terumbu karang di Indonesia meningkat. Program yang dipersiapkan sejak tahun 1995 dan direncanakan akan berlanjut hingga 2013, sayangnya belakangan ini melemah gaungnya.

Isu penyelamatan terumbu karang, menurut Sekretaris Panitia World Ocean Conference 2009 dan Coral Triangle Initiative Summit, Indroyono Susilo, akan diangkat kembali agar menjadi perhatian dunia.

Hal ini, kata Indroyono yang juga Ketua ISOI (Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia), terkait dengan ancaman yang kian besar terhadap kelestariannya karena dampak perubahan iklim, berupa kenaikan suhu muka laut dan kenaikan permukaan air laut. Pertemuan CTI ini akan berlangsung di Manado, Sulut, pada 15 Mei mendatang.

Dalam pertemuan terdahulu, ujar Indroyono yang juga menjabat Sekretaris Menko Kesra, dari beberapa negara berhasil dihimpun dana hibah 250 juta dollar AS untuk menyelamatkan terumbu karang di Segitiga Terumbu Karang.

Namun untuk memperoleh dana itu, ujarnya, tiap negara yang berada di kawasan itu perlu menyusun program yang jelas dalam upaya penyelamatan terumbu karang yang menjadi warisan dunia yang sangat berharga itu. Indonesia harus memegang peranan besar dalam hal ini.

Readmore »»

Rabu, 11 Februari 2009

Energi Terbarukan - Beda Suhu Laut untuk Pembangkit Listrik

KOMPAS, Kamis, 12 Februari 2009 01:16 WIB
Jakarta - Teknologi pembangkit listrik dengan sumber energi terbarukan dari kelautan yang tergolong sebagai inovasi paling baru dari Jepang mulai dijajaki di Indonesia. Teknologi itu memanfaatkan beda suhu laut untuk menggerakkan sistem kerja fluida penggerak turbin yang sedang dikaji kelayakan operasionalnya di Mamuju, Sulawesi Barat.


”Teknologi itu dikembangkan The Institute of Ocean Energy Saga University (IOES) di Jepang yang bisa menciptakan peluang besar untuk pembangkit listrik di wilayah kepulauan seperti di Indonesia, tanpa menghasilkan emisi yang berdampak pada efek rumah kaca,” kata Kamaruddin Abdullah, anggota Dewan Pakar Masyarakat Energi Terbarukan (METI) Bidang Surya Termal, Rabu (11/2) di Jakarta.

Rektor Universitas Darma Persada ini juga menjelaskan, beda suhu laut yang dibutuhkan hanya 15 derajat celsius antara permukaan dan bagian kedalaman laut yang berkisar 500 meter sampai 1.500 meter. Dengan suhu permukaan laut yang relatif konstan di wilayah tropis setinggi 24 derajat celsius itu dapat dimanfaatkan untuk menciptakan sistem fluida kerja dari amoniak cair.

Pada suhu 24 derajat celsius itu, amoniak cair akan mendidih dan menghasilkan tekanan yang dapat dimanfaatkan untuk menggerakkan turbin penghasil listrik. Rangkaian teknologi ini kemudian dikenal sebagai OTEC (Ocean Thermal Energy Conversion).

Secara terpisah, Yasser Rahman selaku pihak swasta yang akan mengembangkan teknologi OTEC di Mamuju menyatakan, kapasitas produksi listrik yang direncanakan mencapai 100 megawatt. ”Produk utamanya nanti bukan listrik, tetapi hidrogen. Sekarang masih dalam proses studi kelayakan,” kata Yasser.

Menurut dia, Mamuju berada di Selat Makassar yang memiliki jalur perairan internasional. Sasaran produksi hidrogen mengantisipasi kebutuhan sumber energi ramah lingkungan di masa mendatang dengan teknologi fuel cell atau sel bahan bakar yang menghasilkan air murni. (NAW)

Readmore »»

Penanaman Bakau Belum Efektif

KOMPAS, Senin, 9 Februari 2009 01:16 WIB
Cirebon - Penanaman bakau di pesisir Cirebon dan Indramayu belum efektif. Selain kendala alam, tanaman bakau juga tak dirawat.

Bibit-bibit bakau yang tahun lalu ditanam di Desa Bungko Lor, Kecamatan Kapetakan, dan Tangkil, Kecamatan Gunungjati, Kabupaten Cirebon, banyak yang mati. Pesisir pantai masih gersang. Sampah menumpuk di sela pohon bakau di muara sungai, antara lain di Bondet dan Kesenden, Kabupaten Indramayu.
Rohmani, pembudidaya bakau di Desa Karangreja, Kecamatan Suranenggala, juga mendapati banyak bibit bakau mati. ”Selain tak dirawat dengan baik, tanaman berasal dari daerah lain sehingga tidak bisa beradaptasi,” ujar Rohmani, Sabtu (7/2).
Yoyon Haryono, Direktur Lembaga Swadaya Buruh dan Lingkungan Hidup Cirebon, menyatakan, penanaman bibit bakau memang tidak selalu berhasil apalagi jika tidak didukung masyarakat sekitar.
Lembaganya telah berkali-kali menanam bibit bakau di pesisir pantai, di antaranya di Desa Bungko Lor, Mundu, dan Tangkil, sejak lima tahun lalu. Namun, tidak semua bibit bisa tumbuh. ”Dari 1.000 bibit yang ditanam, 30 persen bisa hidup dan jadi pohon saja sudah bagus,” katanya.
Rohmani yang juga pembudidaya kerang hijau mengakui, sebagian nelayan mulai menyadari pentingnya bakau karena mulai merasakan akibat rusaknya ekosistem pesisir dan laut. Namun, sebagian warga masih belum menyadari.
”Ketika ada tanah timbul langsung dipakai sebagai lahan tambak, padahal seharusnya digunakan sebagai lahan bakau,” kata Rohmani.
Menurut Yoyon, tidak mudah membuat petambak di tanah timbul menyadari peran bakau untuk mengembalikan kondisi lingkungan yang telah rusak. Kerusakan lingkungan tidak hanya mengganggu sektor ekonomi nelayan, tetapi juga petambak.
Saat ini tambak Cirebon tidak lagi menjanjikan udang yang melimpah. Para petambak udang kini beralih menjadi petambak bandeng, lele, atau menjadi pembudidaya kerang. (NIT)

Readmore »»